Novel Arus Balik - Pramudya Ananta Tur *
ARUS BALIK adalah bagian dari suatu proyek besar studi sejarah Nusantara yang dilakukan Pramoedya sebelum ditahan pada 1965. Terpaksa dia menulis hasil risetnya semasa tahanannya di Pulau Buru (1969–1979) tanpa membawa sebaris pun catatannya. Yang dihasilkan bukanlah sebuah thesis sejarah, tetapi novel sejarah sebagaimana juga halnya dengan sejarah gerakan kebangkitan kebangsaan Indonesia yang dituangkannya dalam bentuk novel tetralogi Bumi Manusia.
ARUS BALIK mungkin merupakan novel pertama dalam khazanah sastra Indonesia modern yang mengisahkan Nusantara dalam segala kemegahannya sebagai kesatuan maritim, sebagai kekuatan bahari yang jaya. Bagi Pramoedya kekuatan citra bahasa Indonesia, berikut segenap wawasan falsafah dan estetiknya tertempa dan berkembang berkat wawasan kelautannya yang berwatak luas menembus kedangkalan dan kekerdilan; sebagaimana juga kejayaan persatuan dan kesatuan Indonesia dilahirkan oleh gelora kebaharian – sebaliknya kawasan-kawasan pedalaman agraris mengungkung wawasan berpikir, cenderung membentuk watak kerdil dan kemunafikan akibat tiadanya sentuhan gemuruh gelombang lautan.
Maka benar sekali ucapan Pramoedya, Indonesia tak habis-habisnya dirundung masalah integrasi dan tersendat perkembangannya, disebabkan sebagai kekuatan bahari Indonesia sejak merdeka justru selalu diatur oleh kekuasaan angkatan darat dengan watak khasnya yang bukan saja tak kenal, malah meminggirkan wawasan kebaharian.
Sebagai penulis yang pada tempat pertama adalah novelist, Pram sengaja memilih menuangkan hasil penelitiannya dalam bentuk novel daripada suatu karya ilmiah. Di situ pulalah letak kekhasan Pramoedya sebagai novelist : dia seorang master dalam mempresentasikan pesan yang dikandung sejarah bagi semua segment masyarakat, mulai dari pembaca paling awam sampai kepada lingkungan paling terpelajar. Lingkaran pembaca seluas-luasnya itulah yang ingin dia jangkau, bukan hanya sejumput intelektual dari lingkaran masyarakat ilmiah, melainkan semua lapis masyarakat diharapkannya dapat mencerna dan memahaminya.
Sebagaimana juga karya-karya sebelumnya, kekuatan bahasa dan imajinasinya menjadi wahana gaya bercerita Pramoedya yang dengan kemahiran kepujanggaannya mampu menjalin-jalin dan memilin-milin fakta dan fiksi sambil tetap berkukuh pada hakekat kebenaran sejarah.
ARUS BALIK adalah suatu epos pasca kejayaan Majapahit pada saat arus zaman membalik, pada saat segalanya berubah – kekuasaan di laut menjadi kekuatan darat yang mengkerut di pedalaman, kemuliaan menukik ke dalam kemerosotan, kejayaan berubah ke kekalahan, kecemerlangan cendikia menjadi kedunguan dalam penalaran, kesatuan dan persatuan berubah menjadi perpecahan yang memandulkan segala kegiatan.
Wiranggaleng, seorang pemuda desa sederhana, protagonis dalam epos kepahlawan ini berkata : “Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal besar dibuat hanya oleh kerajaan besar, kapal kecil oleh kerajaan kecil, menyebabkan arus tidak bergerak lagi dari selatan ke utara. ‘Atas Angin’ sekarang unggul, membawa segalanya ke Jawa, termasuk kehancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita makin kecil untuk kemudian tidak mempunyai lagi ....
“Semasa jaya Gajah Mada, arus bergerak dari selatan ke utara; segala-galanya : kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-cita dan citranya – bergerak dari Nusantara di selatan ke ‘Atas Angin’ di utara, sebab Nusantara bukan saja kekuatan darat tetapi juga kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ....”
Pramoedya bukan menangisi kebesaran masa lalu, tidak merindukan kejayaan purbakala, tetapi dia bernostalgi dengan masa depan yang cerah. Baginya sejarah merupakan cermin paling jernih, referensi terpercaya untuk suatu perubahan guna membangun masa depan yang lebih baik. Itulah isi paling substansial Pramoedya bila ia mengorek-orek sejarah; di situlah kecintaannya pada rakyat dan tanah tumpah darahnya. Sedemikian banyak pelajaran dipersembahkan oleh sejarah dan diteruskan oleh Pramoedya kepada masyarakat luas lewat keunggulan pènanya. Dia menulis betapa kekuatan dan kesatuan maritim Nusantara pernah mengimbak-imbak megah berpendaran damai ke utara, tetapi kemudian arus membalik. Arus raksasa menggelombang dari utara menghempas Nusantara mundur ke selatan – yang tertinggal hanya negara-kota kecil-kecil di pesisir utara Jawa, bahkan lebih jauh lagi mundur sampai ke pedalaman, ke desa-desa di kaki-kaki pegunungan. Mundur, mundur terus sampai ke pedalaman bukan hanya geografis, tetapi lebih-lebih lagi mundur ke pedalaman diri sendiri, ke pedalaman nurani dan kenalurian yang mengganti nalar rasional. Merasuk dalam ke pedalaman diri yang paling aman, pedalaman yang tak akan mampu disentuh oleh siapa pun; pedalaman di mana bisa dibangun kekuasaan paling perkasa dan bisa berbuat segala-galanya,... khayal dan kenyataan bersimpangan tanpa batas, akhirnya ... lahirlah mistik Jawa yang menjamur dan membudaya pada prilaku manusianya. Bukankah arus utara
Pramoedya - Arus Balik |
ARUS BALIK adalah sebuah karya monumental Pramoedya – malah ada yang menganggapnya lebih besar dibanding karya-karya sebelumnya selama ini, seperti a.l. tetralogi Bumi Manusia yang sudah menyebar dalam berbagai bahasa asing di dunia. Di negeri merdeka dan di antara manusia merdeka, orang merdeka menafsir, bagaimana dan ke mana pun mau ditafsirkan. Yang pasti ARUS BALIK adalah juga literatur maritim Nusantara, tonggak baru dan sumbangan tak ternilai dalam khazanah sastra Indonesia.
Jakarta, 1995 Joesoef Isak, ed.
_________________
* Catatan Penerbit tahun 1995 yang diperbaharui.
****
Ramon Magsaysay Award Foundation
Press Release – Manila, 19 Juli 1995
Novelis Indonesia memenangkan Hadiah Magsaysay
Press Release – Manila, 19 Juli 1995
Novelis Indonesia memenangkan Hadiah Magsaysay
PRAMOEDYA ANANTA TOER, novelis Indonesia yang karya-karyanya diterjemahkan ke dalam lebih dari duapuluh bahasa, telah terpilih menerima Hadiah Magsaysay untuk Jurnalistik, Sastra dan Seni Komunikasi Kreatif tahun 1995. Penulis usia 70 tahun itu disebut berjasa “menerangi dengan kisah-kisah cemerlang kebangkitan historis dan pengalaman modern rakyat Indonesia.”
Di antara karya-karya Pramoedya yang cukup terkenal terdapat Perburuan dan Keluarga Gerilya, demikian pun kwartet novel historis – diawali dengan Bumi Manusia – yang ditulisnya di tahun 70-an sebagai tahanan politik di Pulau Buru. Dia seorang Jawa, tetapi Pramoedya menulis dalam bahasa nasional Indonesia, negerinya di mana buku-bukunya sudah sejak lama diberangus.
Pemenang Hadiah Magsaysay akan menerima sertifikat dan medali dengan potret wajah presiden Filipina ke-tiga yang namanya dipakai untuk Hadiah ini, dan juga hadiah sebenar US$ 50.000 pada saat berlangsung Seremoni Penyerahan Hadiah di Manila pada tanggal 31 Agustus.
Pramoedya adalah orang Indonesia kedua yang menerima Hadiah untuk Jurnalistik, Sastra dan Seni Komunikasi Kreatif. Yang pertama adalah Mochtar Lubis di tahun 1958. Pramoedya adalah orang Indonesia ke limabelas yang terpilih sebagai Pemenang Magsaysay. Yang terakhir menerima adalah Abdurrahman Wahid untuk Kepemimpinan Kemasyarakatan tahun 1993.
Selain Pramoedya, diumumkan juga tiga pemenang lainnya untuk tahun 1995 : Morihiko Hiramatsu dari Jepang untuk Pelayanan Pemerintah, Asma Jahangir dari Pakistan untuk Pelayanan Umum, dan Ho Ming-teh dari Taiwan untuk Kepemimpinan Kemasyarakatan. Pemenang untuk Saling Pengertian Internasional masih akan diumumkan.
Sejumlah 172 orang dan 14 lembaga telah menerima hadiah tahunan Ramon Magsaysay sejak Hadiah itu dikeluarkan untuk menghormati Presiden Filipina yang tewas dalam kecelakaan pesawat terbang di tahun 1957. Teks lengkap pernyataan yang dikeluarkan hari ini oleh Ramon Magsaysay Award Foundation adalah sbb:
“Sebagai anak muda di Jawa, tempat ia dilahirkan, Pramoedya merampungkan beberapa tahun di sekolah menengah dan dengan singkat mengikuti kursus reparasi radio. Dia baru berusia 17 tahun ketika Jepang di tahun 1942 masuk dan mengambil-alih Hindia-Belanda. Di tengah-tengah masa perang ia belajar stenografi; ia bergelut mencoba menulis novelnya yang pertama pada awal masa kepengarangannya, tetapi semua itu hilang. Sebagai tahanan Belanda semasa revolusi, dia melahirkan di tengah-tegah pergolakan yang sedang berkecamuk Perburuan dan Keluarga Gerilya, novel-novel yang memantapkan reputasinya sebagai pengarang. Sesudah kemerdekaan, Pramoedya secara produktif menulis tentang pengaruh merusak yang disebabkan oleh kemiskinan, kesemerawutan sosial dan korupsi di tengah nasion baru Indonesia; dan ia tampil sebagai master penulis fiksi di dalam bahasa nasionalnya.
Dalam pergulatan kekuasaan yang getir antara Kiri-Kanan di awal 60-an, Pramoedya memilih Kiri. Walaupun tak pernah menjadi anggota Partai Komunis yang besar dan sah itu, dia menggabungkan diri permanen dengan lembaga kebudayaan partai tersebut dan menjadi editor lampiran kebudayaan sebuah suratkabar kiri. Ia bertabrakan terbuka dengan penulis-penulis dan para intelektual yang berbeda pandangan. Pada waktu yang sama, Pramoedya meneruskan sendiri secara intensif studi tentang sejarah Indonesia, dan menulis Gadis Pantai, sebuah novel yang diilhami oleh neneknya yang bernasib malang.
Pramoedya ditangkap segera setelah usaha kup September 1965, yang kemudian disusul dengan kelahiran Orde Baru Indonesia. Ketika beratus-ribu orang kiri Indonesia lainnya dibantai, Pramoedya ditahan oleh tentara di Jawa. Perpustakaannya dirampok dan dibakar. Kemudian pemerintahan yang dipimpin militer mengirimnya ke kamp kerja untuk para tahanan politik di pulau Buru. Dilarang memiliki alat-alat tulis sampai tahun 1975, Pramoedya mulai bercerita secara lisan kepada teman-teman senasibnya. Bumi Manusia menjadi kisah inovatifnya pertama hasil pulau Buru dari empat novel berangkai yang menjabarkan awal kebangkitan kesadaran nasional Indonesia.
Pramoedya yang dibebaskan 1979 berada di bawah pengawasan para pejabat militer di Jakarta, kota di mana dia sejak pembebasannya berada dalam “tahanan kota”. Bumi Manusia dan buku-buku Buru lainnya mengalami penjualan yang gemilang ketika buku-buku itu pada akhirnya diterbitkan. Akan tetapi pemerintah Indonesa segera memberangusnya. Dengan cap subversif, buku-buku itu tetap dilarang di Indonesia sekarang bersama dengan karya-karyanya yang lain.
Novel-novel Pramoedya tidak bersifat politik dalam artian sempit. Kisah-kisahnya mengembara pada tema-tema kemanusiaan dan keadilan sosial. Aspirasi tokoh-tokohnya berhadapan dengan kejahatan historis kekuasaan asing, feodalisme pribumi mau pun akibat-akibat keadaan perang, kemiskinan dan kekacauan. Kisah-kisahnya bergelimang dengan kesadaran pedih akan rapuhnya moral manusia ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan jahat yang dominan itu dan juga ketika menghadapi kondisi-kondisi yang ekstrem. Akan tetapi kisah-kisahnya mengagungkan kelenturan dan martabat manusia dan secara mencolok sekali tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novelnya bertahan secara terhormat terhadap penghinaan, terhadap segala cobaan dan berbagai bahaya.
Sebagai master pencerita, Pramoedya menulis dengan penuh perasaan akan tetapi tidak sentimentil. Kendati kisah-kisahnya khas Indonesia, berakar khususnya pada budaya Jawa, ia sepenuh hati menyentuh kondisi manusia universal – dan itu pulalah sebabnya tanpa ragu karya-karyanya diterjemahkan ke dalam lebih dari duapuluh bahasa.
Sekalipun mengalami kehilangan cukup berarti dari masa hidupnya yang penuh gejolak – termasuk tidak diterbitkannya naskah yang tak terhitung jumlahnya – Pramoedya berjalan terus sampai hari ini menyusun kamus geografi sosial Indonesia, tanah air yang dicintainya. Masih menjadi paria di negerinya sendiri, dia mengaku tidak mempunyai gagasan politik yang jelas. Pendek dan sederhana ia berkata “Saya penulis.”
Dalam memilih Pramoedya Ananta Toer sebagai penerima Hadiah Magsaysay untuk Jurnalistik, Sastra dan Seni Komunikasi Kreatif tahun 1995, Dewan Pimpinan Magsaysay mengakui “cahaya terang yang memancar lewat kisah-kisahnya yang cemerlang mengenai kebangkitan historis dan pengalaman modern rakyat Indonesia”.
____________
****
Pernyataan Pramoedya Ananta Toer
Lewat penerbitnya, Pramoedya Ananta Toer mengeluarkan pernyataan berkenaan dengan terpilihnya dia sebagai Pemenang Hadiah Sastra Magsaysay tahun 1995. Pernyataan yang dia tanda-tangani pada 19 Juli '95 sore itu berbunyi sbb:
Ramon Magsaysay Award Foundation pada 19 Juli 1995 mengumumkan nama saya sebagai Pemenang Hadiah Magsaysay tahun 1995 untuk Jurnalistik, Sastra dan Seni Komunikasi Kreatif. Berkenaan dengan itu saya ingin mengucapkan penghargaan dan terimakasih saya kepada Lembaga Magsaysay dan kepada semua pihak yang dengan cara masing-masing ikut berperan dalam pengambilan keputusan memberikan Hadiah itu kepada saya.
Saya memaklumi bahwa cukup banyak orang yang ikut bergembira bersama saya dengan penyampaian ucapan selamat yang hangat kepada saya, tetapi sebaliknya juga saya duga ada pihak-pihak yang heran dan tidak mengerti bahwa nama saya yang sudah ditempeli berbagai cap bisa dihubungi dengan seorang demokrat Philipina, Ramon Magsaysay. Menurut hemat saya semua kejadian tidak terlepas dari perkembangan dunia, khususnya proses perubahan di kawasan regional Asia. Hadiah itu jelas sejalan dengan rujuk Amerika Serikat dan Vietnam, pembebasan tahanan politik Aung San Suu Kyi di Birma, perkembangan-perkembangan baru yang akan menumbuhkan trend pendemokrasian negeri-negeri otoriter di Asia.
Saya tentu mengucapkan terimakasih bukan saja sebagai pribadi tetapi juga sebagai warganegara Indonesia, sebab dengan hadiah terhormat itu manusia dan warganegara Indonesia sesuai dengan trend demokratisasi di mana-mana diakui harkat dan kebebasannya; begitu pula sebagai mahluk Tuhan yang dilahirkan tidak untuk ditindas dan tidak untuk diberangus.
Upacara resmi penerimaan Hadiah pada 31 Agustus 1995 di Manila tentu akan saya hadiri bila beberapa faktor dapat terpenuhi, yaitu faktor kesehatan saya yang baru habis menjalani operasi, walau pun hal ini bukan menjadi penghalang yang menentukan. Faktor lebih serius adalah masalah izin berangkat keluar negeri. Saya menolak diperlakukan berbeda dari w.n. Indonesia lainnya untuk wajib memohon izin khusus pada instansi Pemerintah urusan pengawasan sosial-politik. Saya tidak berniat ikut melanggar hak-hak azasi saya sendiri. Faktor selanjutnya adalah bahwa di mana pun di luar rumah selama 30 tahun ini saya merasa tidak ada jaminan keamanan yang pasti bagi diri saya. Akhirnya juga faktor ada-tidaknya kepastian untuk dapat pulang ke tanah air setelah suatu kunjungan ke luar negeri.
Sekali lagi hormat saya setinggi-tingginya kepada Lembaga Magsaysay.
Jakarta, 19 Juli 1995
Pramoedya Ananta Toer
_____