Novel Arok Dedes - Pramudya Ananta Tur

Novel Arok Dedes - Pramudya Ananta Tur

AROK DEDES adalah novel-sejarah yang seperti juga tetralogi “Bumi Manusia” ditulis Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru. Kesulitan dana akibat bertubi-tubi diberangus oleh kekuasaan represif rejim Orde Baru menyebabkan “Arok Dedes” ini baru sekarang dapat kami terbitkan. Masih ada tulisan pen­ting lain ditulis Pramoedya di Buru yang kami harapkan bisa menyu­sul terbit dalam waktu dekat, yaitu satu-satunya karya dalam bentuk drama/sandiwara berjudul “Mangir”. Sebenar­nya masih ada satu karya besar lagi yang berbobot setara dengan “Arus Balik” dan “Arok Dedes”, tetapi sangat disesalkan karya besar itu sirna, sudah tidak tentu lagi rimbanya ke mana.
      “Mata Pusaran”, demikian judul novel-sejarah yang hilang itu, berkisah tentang awalnya disintegrasi kekuasaan Majapahit oleh konflik intern yang mencetuskan perang paregreg antara Ratu Suhita dengan panglima perempuannya Ni Paksini/Ni Ken Supraba melawan Bhre Wirabhumi dari Lumajang.
      Naskah utuh yang sebenarnya sudah rampung itu pernah dititipkan oleh penulis pada seorang perwira angkatan laut pada saat mening­galkan pulau Buru, tetapi disita oleh penguasa de­ngan cara dan praktek-praktek kebiasaan Orde Baru: tanpa kejelas­an otoritas dan proses penyitaan sehingga tidak memung­kinkan mengclaimnya kembali atau bahkan mengusut keber­adaannya. Juga tidak ada jaminan sama sekali naskah sitaan itu tersimpan dan terpelihara baik terhadap berbagai kemungkin­an kemusnahan. Kekhawatiran ini ter­nyata ber­alasan sekali. Se­orang ilmuwan Belanda yang rajin mencari literatur di pasar buku tua di Pasar Senen Jakarta secara mengherankan sekali menemukan naskah “Mata Pusaran” itu. Apa yang dia temukan masih dalam format ketik-ketikan setengah folio yang sudah difotokopi, namun sa­ngat disayangkan tidak lengkap, tidak utuh.
      Orang Belanda itu yang menyadari betapa berharganya pene­muannya itu telah menyerahkan apa yang tersisa dari “Mata Pusar­an”  itu kepada redaksi Hasta Mitra. Dalam hubungan itu kami di sini ingin mengimbau semua pihak agar juga melakukan hal yang sama bila kebetulan dapat menemukan naskah tersebut, dalam keadaan utuh atau pun sepotong-sepotong. Pramoedya dengan sangat kecewa mengatakan bahwa usia dan kesehatannya sudah tidak memungkinkan lagi baginya untuk menulis ­ulang novel tsb. Oleh karena itu, dari lembaran-lembar­an tersisa yang mung­kin masih dapat dilacak kembali, redaksi – dengan bantuan pembaca – berniat sedapatnya menghimpun dan merampungkan kembali no­vel itu agar menjadi naskah utuh untuk dapat dibaca oleh segenap peminat karya-karya Pramoedya.

Kembali mengenai buku “Arok Dedes”, mungkin menarik untuk dicatat di sini bahwa novel ini ditulis oleh Pramoedya seper­empat abad yang lalu dalam status sebagai tahanan di Buru pada saat kekuasaan rejim Suharto sedang sejaya-jayanya. Ciri yang khas dari kepujanggaan Pramoedya adalah bahwa dia de­ngan caranya sendiri sebagai sastrawan berkomunikasi dan mencoba menjelaskan kepada bangsa Indonesia, terutama generasi muda­nya, tentang mengapa nasib Indonesia menjadi belingsat seperti sekarang ini. Untuk itu dia tetap menggunakan media bahasa yang menjadi ciri kekuatannya dengan tetap berkukuh berada di wilayah sastra – lepas dari slogan, propaganda dan jargon politik – meski kisah yang dia bawa sarat muatan politiknya. Dan lahan serta bahan ramuan yang dipakai untuk berkomunikasi adalah panggung sejarah Nusantara kita sendiri.
      Pramoedya pernah mengatakan bahwa kudeta pertama yang terjadi dalam sejarah Nusantara kita adalah ketika Ken Arok tampil merebut kekuasaan Tumapel. Kisah “Arok Dedes” ini merawikan peristiwa kudeta pertama dalam sejarah Nusantara kita itu. Kudeta atau coup d’etat ada­lah pengertian modern tentang pe­rebut­an kekuasaan negara, namun dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara perebutan kekuasaan negara seperti itu sudah pernah terjadi pada awal abad 13. Tetapi kudeta di abad 13 itu berlangsung khas dan unik. Pramoedya yang kenal betul kebudayaan Jawa sampai ke tulang sumsum membeberkan bagaimana de­ngan kelihaian yang canggih Arok berhasil menjadi Akuwu Tumapel menying­kirkan Tunggul Ametung. De­ngan dukung­an kelompok agama di Jawa – dalam hal ini tokoh pendeta Syiwa – Ken Arok berhasil bertengger di puncak kekuasaan lewat “kudeta à la feodal Jawa”, licik munafik, tidak terbuka, lempar batu sembunyi tangan.
      Tidak terlalu mengherankan bila para pembaca setelah meng­ikuti kisah “Arok Dedes” Pramoedya – walau tidak disuruh – asosiasi mereka dengan sendirinya segera pindah dari abad 13 langsung ke abad 20 di tahun 1965-an. Sampai hari ini pun belum selesai orang mengkaji apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965 itu. Bagai­mana bisa ter­jadi “peralihan kekuasaan” dari Presi­den Soekarno ke Suharto? Bagaimana orang yang mengkup kekuasaan justru berhasil melempar tuduhan kup itu kepada pihak-pihak lain sampai yang difitnah menjadi korban kesengsaraan dan penderitaan – bagai­mana orang yang memberi informasi tentang bakal terjadi­nya kup, malah ditangkap dan dipendam lebih tigapuluh tahun dalam penjara?
      Nalar ilmu mengatakan bahwa sejarah tidak mungkin ber­ulang. Itu betul sekali, akan tetapi dari sejarah itu jugalah akan bisa kita baca berbagai gejala kemiripan masakini dan masa lampau. Cukup banyak terdapat analogi yang dapat memperkaya wawasan budaya dan politik kita untuk me­ngenali diri kita sendiri – ­membaca hari ini dan masa depan lewat pelajaran hal-ihwal yang diwarisi masa lampau, lewat sejarah yang menjadi asset kaya bagi mereka yang mau belajar dan menarik manfaat dari ber­bagai pengalam­an yang telah terjadi.
      Kurang-lebih 25 tahun yang lalu dalam keadaan terkucil di pulau pembuangan Buru, lahirlah kisah AROK DEDES Pramoedya ini. Dengan media sastra dan berpaling ke sejarah kita sendiri, Pramoedya berkisah dan me­nyampaikan pesan kepada bangsa dan generasi mudanya menge­nai keberadaan kehidupan dalam era rejim Orde Baru yang sedang dijalani Indonesia.
      Demikianlah catatan pendek tentang “Arok Dedes” sebelum kami menutup pengantar ini dengan satu catatan yang mungkin menarik untuk tidak dilewatkan.

“Arok Dedes” adalah karya Buru Pramoedya Ananta Toer terbit­an Hasta Mitra yang pertama kali diterbitkan setelah Suharto lengser bulan Mei 1998 tahun lalu. Dalam “era reformasi” dan suasana euforia atas kejatuhan militerisme Orde Baru dan lahirnya “kebebasan pers”, patut dicatat di sini bahwa sampai kata pengan­tar penerbit ini naik ke percetakan, tidak pernah larangan atas buku-buku Pramoedya oleh Kejaksaan Agung itu dicabut. Pramoedya sebagai penulis dan kami sebagai editor/penerbit, memang tidak terlalu meng­andalkan keputusan resmi seperti itu. Pencabutan larangan terbit sebenarnya merupakan suatu langkah untuk kepentingan citra Pemerintah sendiri. Bagi kami, ada atau tidak ada pencabutan larang­an buku-buku yang dibrei­del, kami akan tetap jalan terus seperti biasa selama syarat-­­­syarat beaya cetak masih mampu kami penuhi. Menerbitkan buku adalah kerja politik untuk menegakkan apa yang menjadi hak paling sah dari setiap individu.
     Bukankah semua buku-buku Pramoedya ­– terutama karya-karya Pulau Buru – justru diterbitkan semasa Suharto masih sekuasa-­kuasanya? Tidak kami tunggu kebaikan hati para pe­nguasa militer, kejaksaan, kepolisian dan birokrasi sampai mereka menghadiahi kami kebebasan bersuara, kebebasan untuk mener­bitkan buku-buku yang kami ingini. Dalam kenyataan bukan kebebasan atau kelonggaran, sebaliknya rejim Suharto tak henti-hentinya memberangus Pramoedya dan Hasta Mitra, tetapi Pramoedya dan Hasta Mitra pun tak henti-hentinya bangkit lagi setiap kali setelah digebuk. Secara ekonomis kami memang babak-belur, tetapi secara politik kami tidak pernah tertaklukkan. Tekad untuk tetap terbit semasa rejim represif Orde Baru adalah bentuk sumbang­an Pramoedya dan Hasta Mitra untuk ikut menegakkan demokrasi, karena kami sadar bahwa kebebasan dan hak-hak azasi kami di jaman Orde Baru adalah sesuatu yang harus kami rebut dan tegakkan sendiri, bukan sesuatu yang bisa diharapkan bakal dihadiahi oleh Suharto atau seorang Habibie.

Akhirnya ingin kami sampaikan di sini tentang kepergian untuk selama-lamanya se­­orang rekan dan salah seorang dari tiga pendiri Hasta Mitra pada bulan Juni yang lalu, bung Hasyim Rachman, pada saat Pramoedya sedang bersafari selama tiga bulan di Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Prancis dan Jerman. Bung Hasyim Rachman adalah seorang wartawan yang seperti juga Pramoedya dipenjarakan oleh rejim Suharto selama 14 tahun, sepuluh tahun di antaranya di Pulau Buru. Selepas Buru dia de­ngan caranya sendiri sejak hampir 20 tahun yang lalu telah ikut mempelopori pertarungan panjang melawan kekerasan rejim Orde Baru. Dia ikut aktif menegakkan demokrasi lewat usaha penerbitan buku, jadi sudah sejak lama dia bekerja sebelum gerak­an era reformasi pemuda/mahasiswa mulai bangkit untuk me­num­bangkan jendral Suharto pada 1998 tahun yang lalu.
      Apa yang dapat kami lakukan bagi rekan yang sudah pergi le­bih dulu, tidak lain adalah ketetapan hati untuk meneruskan segala yang positif yang pernah dia kerjakan – yaitu meneruskan penerbitan buku-buku bermutu – dalam hal ini sekurang-kurangnya menyelenggarakan program penerbitan ulang karya-karya Pramoedya Ananta Toer, terutama buku-buku yang dilarang semasa rejim Orde Baru.
                           Joesoef Isak, ed.



Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 11:11 PM