Novel-Biografi Cerita dari Blora - Pramudya Ananta Tur
Pengantar oleh H.B. Yasin
Dua puluh sembilan bulan dalam tawanan Belanda bagi Pram adalah masa pengalaman, penderitaan, pemikiran dan pengkhayalan yang mematangkan dan menyuburkan jiwa. Dari masa inilah berasal sembilan dari sepuluh cerita pendeknya yang terkumpul dalam PERCIKAN REVOLUSI (Gapura, Jakarta 1950), romannya KELUARGA GERILYA (Pembangunan, Jakarta 1950), kedua novelnya PERBURUAN (Balai Pustaka 1950) dan BLORA yang dimuat dalam kumpulan cerita pendeknya SUBUH (Pembangunan, Jakarta 1950).
Dalam masa ia terasing banyaklah Pram teringat kepada negeri kelahirannya Blora, kepada masa kecilnya dalam lingkungan keluarga yang besar, kepada ibu, seorang perempuan yang saleh, penuh pengorbanan dan ketubian kepada suami dan anak, lembut dan pengasih tapi tahu disiplin, kepada ayah yang mempunyai daerah kegiatan yang besar dan kepada adik-adik seorang demi seorang, yang dia sebagai putera tertua merasa bertanggung-jawab terhadap nasib mereka di kemudian hari.
PERBURUAN yang diilhamkan oleh pemberontakan Peta (Pembela Tanah Air) di Blitar waktu pendudukan Jepang, seluruhnya bermain di kota Blora dengan kali Lusi-nya yang bersejarah. “Sebuah cerita khayal”, Pram menerangkan di bawah kepalanya. Memang banyak Dichtung dalam cerita ini, tapi bebe–rapa tokoh serasa-rasa kita kenali juga dari cerita-cerita Pram yang lain. Lebih jelas tokoh-tokoh itu dalam BLORA, yang juga adalah mimpi seorang tawanan, BLORA yang dalam istilah Freud adalah suatu wensdroom, suatu mimpi yang dimimpikan karena keinginan, demikian besarnya hasrat hendak bertemu dengan orang tua dan adik-adik. Dan mimpi-mimpi karena keinginan ini segera disusul dengan pertemuan dalam Realität yang menghasilkan BUKAN PASAR MALAM (Balai Pustaka, 1950), pertemuan yang menyedihkan dengan ayah dan adik-adik di negeri kelahiran, enam bulan sesudah lepas dari tawanan.
Dan kesadaran yang meruang akan fananya segala, kesadaran inilah pada hemat saya salah satu pendorong pencipta akan mengabdikan segala sesuatu. – Manusia lahir dan mati. Apakah peninggalannya? – Hanya kenang-kenangan pada yang tinggal. – Dan untuk berapa lamanya?
Di dalam buku ini Pram menyajikan pula cerita-cerita dari Blora yang hampir semuanya ditulis beberapa bulan sesudah ia merdeka dari tawanan. Blora, daerah kapur yang miskin, di mana seorang sebelum bisa hidup dengan segobang sehari, penghasilan seorang buruh tani kecil 11/2 sen sehari dan dengan gaji beberapa rupiah sebulan orang berani hidup berkeluarga dalam segala kemiskinan. Di mana ada orang yang karena kemiskinan mau menyewakan diri untuk mencabut nyawa orang lain dengan persenan sepuluh rupiah atau jadi pembegal di hutan jati. Di mana anak perempuan dikawinkan pada umur enam tahun dengan maksud meringankan beban orang tua dan di mana tidak jarang perempuan menjualkan diri untuk mencari nafkah hidupnya. Dan dalam melukiskan kebodohan, kepicikan dan kelemahan orang-orang ini, Pram selalu menunjukkan rasa kasihan, meskipun di sana-sini terasa pula kepahitan yang membikin dia kadang-kadang menjadi kasar.
Menarik hati tokoh ayah yang dilukiskan oleh Pram dalam KEMUDIAN LAHIRLAH DIA dan DIA YANG MENYERAH, yang kita temui pula dalam BUKAN PASAR MALAM. Ayah yang hidupnya intens. Kepala sekolah partikelir yang didirikan dalam perang dunia pertama, yang memberikan segala tenaganya dalam tahun-tahun tiga puluhan kepada gerakan kebangsaan, gerakan kepanduan dan mendirikan koperasi dan bank rakyat di samping jadi guru partikelir giat pula memberikan kursus politik, ekonomi dan pengetahuan umum di rumahnya sendiri. Dan ayah inilah pula yang menjadi penjudi yang tahan empat hari empat malam tidak beralih dari tempat duduknya mencari hiburan karena usaha-usahanya digagalkan oleh pemerintah kolonial: sekolah dibikin lumpuh, buku-buku pelajaran disita, guru-guru dilarang mengajar, anak-anak pegawai gubernemen dilarang
Dalam semua cerita Pram terasa-rasa kekeluargaan yang erat antara pelakon-pelakon. Seorang demi seorang kita bisa dapati kembali tokoh-tokoh ayah, ibu, gadis-gadis yang keibuan dalam keluarga, anak-anak lelaki, masing-masing dengan rasa tanggung-jawab yang besar. Dan sebagai suatu keluarga guru yang ingin maju, kita selalu mendapati pikiran: belajarlah baik-baik untuk kebaikan hari kemudianmu. Seringkali Dichtung menyelubungi Realität dengan tebalnya, sebagai pernyataan jiwa yang kepenuhan. Ini misalnya keras sekali dalam novel KELUARGA GERILYA dalam mana realitas kadang-kadang dilangkahi dan idé menguasai suasana.
Dalam tujuh cerita pendek yang pertama dalam kumpulan ini Pram melukiskan masyarakat waktu zaman kolonial dan meskipun tidak sekali juga menyebutkan angka-angka tahun, kita dapat juga menangkap perkembangan kesejarahan dalam hidup pergerakan dan kemajuan masyarakat sebelum perang dunia kedua. Misalnya dalam cerita KEMUDIAN LAHIRLAH DIA dengan jelas terbayang perjuangan kaum nasionalis Indonesia di lapangan sosial dan pengajaran menghadapi pemerintah kolonial. Terutama gugatan sosial yang lahir dari perasaan keadilan dan kemanusiaan adalah kekuatan Pram yang istimewa. Gugatan terhadap kemiskinan, kebodohan, pergundikan dan pelacuran karena kemiskinan. Dan keadilan dan kemanusiaan itu baginya lebih penting dari segala-gala. Juga dari bentukan-bentukan dan dogma-dogma ideologi. Seorang Karmin yang berkhianat karena kekhilafan dan dengan tidak disadarinya seperti diceritakan dalam PERBURUAN oleh Pram masih diberi ampun dan kesempatan untuk memperbaiki diri dan dia dengan tegas menuntut kebahagiaan hidup dan keadilan juga bagi ANAK HARAM yang dikutuki masyarakat karena ayahnya berkhianat bertahun-tahun malah berpuluh tahun yang lalu dalam perjuangan. Bagi Pram kutukan “tujuh turunan” adalah perbuatan yang tolol, sebab diukur dengan akal budi apakah hak manusia untuk menghukum makhluk yang tidak bersalah?
Pram tidak memberatkan simpatinya kepada sesuatu isme kecuali kepada humanitas. Dalam DIA YANG MENYERAH hidup sekali Pram melukiskan jiwa revolusioner pemuda merah, komplit dengan istilah-istilah feodal, borjuis, kapitalis, imperialis dsb. Sangat realistis lukisan-lukisannya tentang kekejaman-kekejaman yang mendirikan bulu roma dari kedua belah pihak, tapi pikiran kemanusiaan yang lebih agung muncul pada gadis Diah yang menangisi kejadian-kejadian yang melanggar peri-kemanusiaan. Dan di sini Pram melukiskan tragik tiap perjuangan: Ayah, nasionalis tulen yang anti komunis. Pasukan merah yang anti nasionalis karena mereka ini pro pemerintah nasional yang dianggap mereka pula kaki tangan imperialis-kapitalis Amerika. Datang pula Sucipto dari tentara Kerajaan dengan istilah-istilahnya pula mencap perampok orang-orang nasionalis dan komunis. Dan semua mereka ini bertujuan dan berkeyakinan membawa keselamatan dan kesejahteraan dan untuk itu berbunuh-bunuhan.
Banyak anasir-anasir pengalaman dan kenangan otobiografis dalam cerita-cerita ini, tapi soal-soalnya cukup diperumum dengan warna-belakang kesejarahan dan kemasyarakatan yang luas.
Jakarta, 13 Januari 1952*
________
* Pengantar oleh H.B. Yasin ini terdapat dalam buku cetakan pertama 1952.
Hanya ejaan disesuaikan dengan EYD, isinya sepenuhnya tetap sama – ed.