Belanda di Papua Barat, di Masa Genting 1945–1962

Belanda di Papua Barat
Bekerja di Masa Genting 1945–1962

Prakata

pim  schoorl

Dalam buku ini sejumlah mantan pegawai Departemen Dalam Negeri (amtenar BB) di Nugini-Belanda menceritakan pengalaman mereka sebagai kontro­lir BB atau sebagai residen. Dalam keadaan yang sering sukar dan primitif mereka menjalankan tugas mereka dengan taruhan diri sendiri dan dengan perhatian yang besar untuk penduduk. Kebanyakan dari mereka dibantu oleh istri yang menerima kehidupan di rimba yang riskan dan ikut tenggelam di dalam pekerjaan mereka yang sering tegang.Tugas itu kadang-kadang menghadapkan para kontrolir pada situasi yang tak terduga dan berbahaya yang tak terpikirkan sebelumnya. Pada usia muda mereka sudah memikul tanggung jawab yang besar. Watak petua­lang dan rasa tanggung jawab berpadu di dalam jiwa mereka. Bukan maksud kami di sini untuk mengambil sikap tentang keduduk­an politik Nugini Barat, sekarang disebut Irian Jaya. Tentang hal itu tidak ada kesamaan sikap di sini. Maksud buku ini ialah memberi gambaran sebaik mungkin tentang bagaimana kami hidup dan bekerja. Sudah tentu situasi politik yang tidak menentu pada waktu itu memainkan peran­annya dan dalam beberapa kisah hal itu juga tergambar. Kami tentu sadar akan ketidakpastian hari depan itu dan kami berusaha memperhitungkannya dalam kebijakan kami. Usaha kami yang terpenting ialah ikut menciptakan kemajuan bagi penduduk agar mereka dapat ikut dalam pergaulan dunia modern. Usaha kami ke arah itu tiba-tiba berhenti pada tahun 1962 dengan diserahkannya wilayah tersebut kepada Indonesia. Dalam beberapa artikel, situa­si mutakhir dan keprihatinan terhadapnya juga dibicarakan, tidak dengan anggapan bahwa pekerjaan kami begitu baik, akan tetapi terutama dengan maksud menunjukkan bahwa lebih banyak perhatian diperlukan untuk perbaikan nasib rakyat Papua. Kami juga sadar bahwa memerintah suatu daerah dengan sarana perhubungan yang sukar seperti Nugini dan penduduk yang terpencar-pencar seperti orang-orang Pa­pua itu bukan tugas yang mudah. Ini tampak juga pada kisah-kisah dalam buku ini. Kekurangan buku ini ialah beberapa kelompok lain yang juga terlibat dalam membantu mengangkat daerah dan penduduknya tidak terca­kup di dalamnya. Pertama, saya ingin menyebut korps asisten terdiri dari orang-orang Ambon, Kei, dan Papua. Mereka sering berkedudukan di ibu kota distrik yang terpencil dan biasanya merekalah yang pertama berhubungan dengan penduduk di desa-desa. Juga pada mereka tergantung baik-buruknya pelaksanaan suatu kebijakan. Kurangnya kontak dan kendala bahasa menyebabkan tidak mungkin minta sumbangan karang­an kepada mereka untuk (edisi Belanda) buku ini. Untuk kebanyakan dari mereka tugas itu belum berakhir pada tahun 1962. Beberapa di antara mereka kelak menjadi bupati atau bahkan gubernur. Dalam beberapa kisah mereka memang di­sebut-sebut dan di situ prestasi dan penghargaan kepada mereka menjadi jelas. Dalam hubungan ini seluruh jajaran polisi juga harus disebut. Tanpa dukungan mereka, kami tidak dapat melaksanakan tugas. Itu pun dapat dibaca pada kisah-kisah di buku ini.Di luar dinas pemerintahan dan polisi, sudah tentu ada pegawai dari berbagai jawatan, yang dengan penuh semangat ikut bekerja untuk pembangunan. Para dokter, mantri, dan juru rawat Belanda menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bagus, yang untuk banyak negara berkembang masih dapat dijadikan teladan. Kami punya kenangan yang baik tentang pendidikan di semua jenjang, dari sekolah desa hingga sekolah menengah dan pelbagai sekolah kejuruan. Di samping itu, kami ingat pada jawatan-jawatan teknis yang ba­nyak jumlahnya, di antaranya pelayaran, penerangan, ­pengairan, dan penyuluhan pertanian.Sudah tentu ada pula para pendeta dan misionaris yang sangat berpe­ngaruh atas proses pembangunan. Dalam periode kemudian, kehidupan perusahaan swasta mulai memainkan peranan yang semakin penting.Kami tidak dapat menyebut dan memberi tempat yang selayaknya kepada semua kelompok. Kami hanya ingin menekankan bahwa bukan maksud kami meremehkan peran mereka. Pengalaman mereka sebenar­nya juga menarik. Akan tetapi, kami harus membuat pilihan.  
      Kekurangan lain berupa jumlah penulis yang ikut menyumbang. Di satu pihak, kami berusaha memperoleh kisah yang bervariasi mengenai situasi dan daerahnya, sudah tentu tanpa pretensi memberi gambaran yang lengkap. Di lain pihak, ada lebih banyak orang yang diminta daripada yang kemudian mengirim tulisan. Tidak semua masih punya ba­han yang cukup untuk menghasilkan tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan. Ditambah lagi, yang harus ditonjolkan adalah pengalaman pribadi. Tulisan itu juga tidak boleh sama dengan apa yang sudah mereka tulis dalam nota serah terima yang harus ditulis oleh setiap amtenar BB pada akhir jabatannya di sesuatu daerah untuk menginformasikan penggantinya tentang keadaan di daerah kerjanya yang baru. Hein van der Schoot telah membuat daftar yang berisikan para pejabat BB di Nugini-Belanda, berikut masa dinas, jabatan, dan pos masing-masing (lihat hlm. 601-622). Untuk membantu pemahaman pembaca, karangan terakhir yang di­tulis Frits Sollewijn Gelpke menjelaskan tata istilah, dan pembagian wilayah administratif pemerintahan dari periode yang menjadi obyek buku ini.Buku ini lahir berkat saran Cees Fasseur sesudah ia membaca pengan­tar saya yang sebenarnya ditulis untuk buku lain. Ia menanyakan apakah saya tidak dapat menemukan rekan-rekan mantan amtenar BB yang juga bersedia menuliskan pengalaman mereka. Kami, para penulis, berterima kasih atas sarannya. 

****
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 8:11 AM