Peninggalan Bung Karno dan kajian biografinya


Peninggalan Bung Karno 
dan kajian biografinya

Pengantar Penerbit Edisi Indonesia

Joesoef Isak, ed.

Para peminat sosial-politik masyarakat, politikolog, wartawan dan juga orang awam di dalam dan terutama di luar negeri – banyak sudah yang menulis tentang Bung Karno (B.K.). Tulisan-tulisan itu ada yang meru­pa­kan biografi utuh – riwayat B.K. dari lahir sampai meninggal –, atau yang hanya fragmen­taris menyang­kut satu kurun waktu tertentu saja, dan selain itu juga kita dapati berbagai tulisan yang bersifat esai-esai pendek. Banyak dari tulisan-tulisan itu berusaha memberi kesan sebagai hasil suatu penelitian, berpretensi menghidangkan karya ilmiah obyektif, atau bersifat ringan jurnalistik belaka. 
     Ada dua mazab besar dalam teknik menulis biografi. 
    Kubu mazab pertama menganggap biografi harus obyektif ilmiah dikombinasikan dengan gaya penulisan roman. Alasannya : biografi harus memenuhi syarat research ilmiah akan tetapi harus lancar dan enak dibaca, itu sebabnya perlu dikombinasikan dengan kreativitas fiksi. Dan kita tahu bila fiksi sudah kejauhan, dengan sendiri­nya biografinya merosot jadi roman murahan namun bisa saja menarik. Kubu pertama ini dengan sadar berpendapat biografi harus merupa­kan roman menarik yang didokumen­tasikan, sedangkan roman adalah biografi dengan fantasi kreatif.
     Kubu mazab kedua berpegang ketat pada fakta research, lugas ilmiah, tanpa kecampuran fiksi gaya novel, apalagi berfantasi liar, alias isapan jempol. Konsekwensinya cukup banyak orang berpendapat bahwa penulisan versi mazab kedua seperti itu di­anggap “berat”, terlalu ilmiah atau kering. Kedua mazab mempertahankan kebenaran masing-masing, dan memiliki penganut dan penggemar sendiri-sendiri.
     Sebelum kajian Bob Hering tentang Bung Karno yang kini diedarkan oleh Hasta Mitra dalam dua edisi – Inggris dan Indonesia – sudah beredar lebih dulu bahasan tentang Soekarno oleh antara lain Louis Fisher, Cindy Adams, J.D. Legge, Bernhard Dahm, C.L.M. Penders, A.C.A. Dake, John Hughes, Willem Oltmans dan Lambert Giebels. Kita tentu menghormati kebebasan para penulis itu untuk menulis apa saja tentang B.K. Semua terpulang kepada pembaca apakah menerima kajian mereka dengan kritis atau menelan saja mentah-mentah apa yang mereka sodorkan, termasuk yang rancu dan rincu. Terka­dang kita dibuat kagum oleh kajian yang tajam dan kesimpulan yang orijinal, tetapi sering juga beberapa penulis membuat kita tersenyum menggèlèng-gèlèng kepala – kita terperangah oleh omong-kosong dan sikap “sok tau”. Bukankah banyak penulis asing bersikap lebih tahu mengenai Indonesia daripada orang Indonesia, bahkan lebih tau tentang B.K. daripada B.K. sendiri?
     Pada hakekatnya, walaupun obyek tulisan adalah Soekarno, namun pertama-tama dari karya-karya biografis seperti itu, sebenarnya warna dan watak penulisnya sendiri yang mengemuka. Obyeknya memang Soe­kar­no, tetapi pertama-tama stempel selera dan warna-politik penulis sendirilah yang dapat langsung kita detect, dapat langsung  kita lihat belang penulisnya. Tentulah menyedihkan sekali apabila orang-­­­­orang Indonesia – yang sudah sangat anti-Soekarno – me­ngunyah-nguyah rujukan-rujukan yang dianggap ilmiah hanya karena ditulis oleh pakar luar negeri, padahal apa yang ditulis cukup meriah dengan berbagai kerancuan dan rekayasa selera politik. Oleh karenanya, kita masih mengharapkan akan munculnya penulis Indonesia – entah dari yang tua-tua, entah dari generasi muda – yang mampu berpikir dan menulis tentang B.K. secara kreatif dan mandiri, tidak hanya kutip-mengutip rujukan isapan-jempol yang sudah mem­belukar, apalagi rujukan klisé sia-sia yang tak berharga sama sekali. Bila jeli melihatnya, kita dapati beberapa kategori persepsi tentang B.K. , dengan ringkas kita catat di sini antara lain :

1. Kategori pertama, adalah orang-orang Indonesia yang sejak awal sudah anti-Soekarno, masing-masing tentu dengan latar-belakang dan motifnya sendiri-sendiri. Kategori orang-orang yang “sudah tidak ketolongan” anti-Soekarno ini, terdiri dari dua kubu: yang pertama anti-Soekarno dengan kesadaran sendiri, mereka senang Soekarno jatuh tetapi hanya terlibat pasif dalam usaha menjatuhkan Soekarno; yang kedua sadar anti-Soekarno karena dibayar dan bertugas sangat aktif menjatuhkan Soekarno.

2. Kategori kedua adalah para pendukung setia Soekarno. Cukup banyak dari kategori ini mandul, beku, mengunyah ajaran dan pemikiran Soekarno sebagai dogma. Maunya supaya ajaran B.K. dilaksanakan, tetapi tidak ada kegiatan serius selain bernostalgi pada kejayaan masa lalu. Dengan sendirinya sukarnois-sukarnois seperti in tidak memberikan sumbangan apa-apa bagi pengembangan ajaran B.K., malah hanya memberi amunisi bagi kerja konspirasi orang-orang yang kita sebut dalam kategori pertama di atas. Para pendukung yang meng­kultuskan Bung Karno macam inilah yang menjadikan ajaran B.K. seperti fosil, padahal wawasan Bung Karno seyogianya harus menjadi pelita untuk menempuh masa depan.
3. Kategori ini terdiri dari politisi yang sejak awal berseberangan dengan Bung Karno, tetapi setelah B.K. meninggal, setelah melihat dan sempat mem­banding-bandingkan Soekarno dan Soeharto, menyadari kekeliruan sikap politik mereka terhadap B.K. Kategori ini terutama terdiri dari kaum intelektual – tentu kebanyakan dari generasi tua – yang sekarang tampil mengangkat tinggi panji-panji Soekarno. Karena bukan orang-orang bodoh, maka penampilan mereka mendukung garis Bung Karno dilakukan secara rasional dan kreatif.
4. Kategori ini cukup vokal, dulu mereka fanatik pendu­kung Bung Karno, bersikap progresif revolusioner bahkan lebih kiri daripada pemuja Mao. Sekarang mereka berkapitulasi dan menyeberang. Dengan sendirinya sikap menyeberang itu dikemas dengan berbagai alasan seakan rasional, lalu “bersikap jujur“ mengaku dulu mereka salah dan sekarang “sudah sadar”. Pada inti yang sedalam-dalamnya, mereka dengan sadar ber­­­gabung dengan kekuatan dahsyat yang telah berhasil meng­guling­kan Bung Karno. Mereka sekarang yakin pada ke­ung­gulan sistem kapitalisme, tetapi masih merasa perlu menutup-nutupi frustasi dan rasa-bersalah atas keterli­batan mereka di masa lampau. Mereka misalnya lantang berkoar bagai orang progresif pendukung HAM, lantas maki-maki Bush dan memihak rakyat Irak. Kategori ini menangguk simpati luas para pendukung sistem kapitalisme di dalam dan luar negeri, dan menikmati hidup nyaman dalam habitatnya yang baru.
5. Kategori ini juga tampil militan mendukung politik B.K., tetapi dilakukan sepenuhnya atas kalkulasi kepentingan tujuan politik sendiri. Ada dua kelompok potensial dalam kategori ini, masing-masing berusaha melaksana­kan program-skenarionnya sendiri dengan cara taktis berdiri setia di belakang B.K.. Kedua kelompok ini saling berseberangan tetapi sama-sama meng­gunakan nama dan wibawa B.K. untuk manjat ke kekuasaan, mereka siap memelintir batang-leher saingannya, bahkan salah satu dari dua kelompok ini bukan saja mau me­numpas saingannya, tetapi juga sekaligus berencana menying­kirkan B.K. yang secara lihay didukung hanya secara verbal.
6. Kategori lain lagi terdiri dari terutama generasi muda. Mereka militan, radikal revolusioner, menentang Orde Baru, anti globalisme kapitalisme, dengan niat baik mempunyai program membela rakyat kecil, menyelenggarakan keadilan dan kesejahteraan. Bila jeli mengkaji sepak-terjang generasi muda ini, maka kita lihat suatu arogansi politik seakan sejarah perjuangan kebebasan dan keadilan baru dimulai sejak mereka tampil. Sikap a-historis seperti itu tidak melihat bahwa perjuangan adalah suatu gerak berkesinambungan, tokoh seperti Bung Karno dianggap fosil yang harus dilupakan. Bung Karno, Pancasila, Semangat 45, Negara Kesatuan, dianggap omong-kosong yang tak ada gunanya sama sekali. Tetapi kita melihat dalam kenyataan bahwa sikap ultra-progresif a-historis ini tidak menghasilkan apa-apa. Sikap a-historis itu membuat mereka terus-menerus jalan-di-tempat, sering malah menum­bukkan kepala sendiri ke tembok yang mau dijebolkan tetapi tidak mampu.

Apa yang diuraikan di atas tentulah hanya yang pokok-pokok saja, masih ada bermacam kategori dalam berbagai varian lain, berbeda nuansa, saling bersentuhan bahkan dapat saja tumpang-tindih. Saling bertentangan tetapi di ujung-ujungnya sebenarnya saling jumpa dalam perjalanan, les extrêmes es touchent. Namun bagaimana pun, semua bebas­ dan sah berhak mengemukakan pendapat apa saja tentang Bung Karno.
     Dalam usaha menilai B.K. secara obyektif, proporsional dan berimbang, sadar bahwa B.K. bukan manusia sempurna tanpa kelemahan dan kesalahan, maka ada baiknya kita timbang-timbang mana yang lebih berat melekat pada Bung Karno: aspek positif atau negatif? Bila aspek negatif yang lebih berat, sebaiknya ajaran dan pemikiran B.K. dimasukkan ke museum atau disimpan dalam laci meja-tulis pa­ling bawah – kunci lacinya dan tamatlah sejarah Soekarno. Tetapi kami menilai aspek positif B.K. jauh lebih berat, dominan di atas segala-galanya. Kita sebut tiga butir saja peninggalan mutiara-mutiara cemerlang Bung Karno kepada bangsa yang tak ternilai harganya :

1. Persatuan Bangsa yang mengantar kita pada Indonesia merdeka, dan berdirinya Republik negara kesatuan,
2. Pancasila, filsafat hidup berbangsa dan bernegara sebagai dasar Republik, filsafat penyuluh untuk menyelenggarakan keadilan, kesejahteraan lahir-batin, demokrasi, integritas nasional, dan keru­kun­an etnik serta agama.
3. Trisakti, program arah kebijakan penerapannya bagi semua pranata negara maupun lembaga masyarakat, dalam mewujud­kan ke­adilan, kesejahteraan dan demokrasi bagi seluruh rakyat. Itulah Trisakti Bung Karno :

3  Bebas-aktif dalam Politik, 
3  Berdikari dalam Ekonomi, 
3  Berkepribadian dalam Kebudayaan.

Konsep sosial-politik cemerlang seperti itu dengan sendirinya menjadi slogan kosong, menjadi fosil, bila para pendukung B.K. memperlaku­kannya sebagai primbon kramat yang hanya dipuja-puji semata. Padahal seluruh raga dan rohani, darah-daging sampai ke tulang sumsum Bung Karno tidak lain adalah gerak, berjuang tak pernah henti-hentinya. Itu sebabnya semua wawasan dan cita-citanya menuntut kerja keras dan kreativitas politik, cita-cita yang senantiasa harus diperjuang­kan, direbut. Untuk itu Bung Karno tak pernah bosan berseru-seru melaksa­na­kan aksi massa dan massa aksi, menggalang kekuatan dan meng­gunakan kekuatan, machtsvorming dan machtsaanwending. 
Pada suatu waktu Bung Karno meledak terhadap IMF, World Bank dan kapitalisme barat: go to hell with your aid! Kita tahu bagaimana dunia Barat bereaksi dan juga orang-orang Indonesia yang patut dikasihani. Bung Karno dianggap sudah bergabung dengan kubu komunis, tidak mengerti mengurus kepentingan ekonomi.
     Patriot yang sadar politik mengerti bahwa statement Bung Karno itu bukan hanya suatu sikap politik, tetapi terutama merupakan pernyataan kebudayaan. Sebagai negarawan yang sibuk dengan acara nation building dan character building, Bung Karno mau mendidik bangsanya untuk tidak menjadi bangsa pengemis. Namun menjadi bangsa bermartabat, mandiri dan berdikari, tidak mengemis-ngemis, tidaklah gampang – ia merupakan tantangan yang harus diper­juang­kan, direbut, dengan segala konsekwensinya. Tigapuluh tahun lebih rejim Orde Baru Soeharto dengan Golkar sebagai kendaraan politiknya, hidup dan mengajar kita mengemis utang dan tergantung pada kapitalisme Barat. Setelah Soeharto lengser, sangat disayangkan kekuatan-kekuatan reformasi lamban sekali mengerti inti ajaran Bung Karno, apalagi menerapkannya untuk membersihkan lebih dulu sampah yang ditinggalkan Orde Baru Soeharto sebelum mau mem­bangun sistem sosial-politik yang sama sekali baru.
     Kembali pada soal menilai aspek negatif dan positif Bung Karno, kita menganggap inti pemikiran Bung Karno bukan saja positif, akan tetapi tetap relevan sebagai penyuluh yang mampu mengantar kita memasuki masa depan adil-sejahtera sesuai cita-cita pada saat membangun Republik di tahun 1945. Lebih-lebih dia relevan dalam era globalisme ekonomi yang sedang melilit leher dunia sekarang ini. Syarat untuk itu adalah dinamika, bersikap mandiri, berpolitik kreatif dalam penerapan dan pengem­bangan­nya sesuai derap sejarah yang terus mengalir maju. Gembar-gembor reformasi yang sudah empat tahun lamanya praktis cuma berjalan di tempat, kalau pun maju dia melangkah secepat siput. Penyebabnya tidak lain adalah karena kekuatan reformasi berikut kebanyakan sukarnois tidak mengacuhkan sama sekali aset nasional peninggalan Bung Karno yang potensial dan tinggi sekali nilainya. Berpendapat demikian sama sekali bukanlah nostalgi, bukan berarti mau kembali ke masa lalu semasa Bung Karno masih hidup, sesuatu yang secara alamiah dan ilmiah memang mustahil. Sebaliknya malah kita justru mau cepat maju dengan kendaraan yang disediakan oleh Bung Karno karena Bung Karno sendiri dengan wawasannya adalah kemajuan itu sendiri, selalu dinamis bergerak dialektis mengusahakan perobahan dan menciptakan pembaru­an. Berani membongkar sistem dan pranata lama yang hanya meng­untungkan sejumput elit di lapisan atas berikut para majikan ekonomi globalisme mereka.

Seperti disinggung di atas, beberapa orang Belanda telah menulis tentang Soekarno, kita sebut di sini C.L.M. Penders, berasal keluarga Belanda yang pernah menik­mati kejayaan kolonialisme Hindia-Belanda semasa pra-Perang-Dunia II, seorang konservatif yang dengan sendirinya bersikap negatif terhadap B.K., sudah berimigrasi dan sekarang dia jadi warga Australia. 
    Penulis Belanda lain adalah Lambert Giebels, seorang progresif anggota Partij v.d. Arbeid yang berusaha memberi kesan obyektif mengenai B.K. Sebagai penulis biografi ia tergolong dalam kubu mazab pertama. Menurut Giebels, biografi harus ditulis menarik ibarat roman yang mengasyikkan, maka kreatiflah tulisannya dengan gunjingan yang memerosot­kan nilai tulisannya. 
     Selanjutnya ada A.C.A. Dake, wartawan Belanda yang memperoleh gelar Ph.D dengan disertasinya mengenai Soekarno. Wartawan ini kita kategorikan sebagai “sok tau”, tampil sebagai orang yang lebih tahu tentang Indonesia dan B.K. dari­pada orang Indonesia dan B.K. sendiri. 
     Willem Oltmans adalah seorang wartawan Belanda yang kenal dan secara pribadi dekat dengan B.K. Gara-gara itu Oltmans dianggap persona non grata di negerinya sendiri selama empat-puluh tahun lebih, tulisannya mengenai B.K. dianggap sebagai sebuah hagiograf, di­anggap hanya memuji-muji Soekarno.
    Orang Belanda kelima adalah Bob Hering, buku yang kita terbitkan sekarang ini barulah jilid pertama meliput tahun 1901 sampai 1945; jilid kedua akan membahas periode 1945 sampai B.K. digulingkan. Bob Hering adalah orang Belanda warganegara Kanada, ia bangga mengaku “anak Indo” kelahiran Jatinegara (Mèstèr), sekarang dalam masa pesiun di hari tuanya dia tinggal di Stein, sebuah kota kecil di selatan Belanda. Pernah menjadi pelatih terjun-payung dalam Misi Militer Belanda dan pernah bertemu dengan Soekarno di Maguwo-Yogyakarta (Desember 1948) ketika Soekarno-Hatta ditahan Belanda untuk dikucilkan ke Prapat. Tetapi Bob Hering semasa muda sejak awal kariernya sebagai ilmuwan di Kanada sudah menjadi pengagum Bung Karno yang diyakininya sebagai pemimpin alternatif rakyat sedunia yang tertindas, di samping Patrice Lumumba, Nelson Mandela, Martin Luther King dan Malcolm X.
Kita menghargai sumbangan tulisan Bob Heing bukan karena dia kagum dan punya respek besar pada Bung Karno, tetapi justru karena dia tidak mau mengkultuskan Bung Karno. Dia tetap berada dalam koridor ilmu sebagai intelektual yang mandiri, bahasannya bersih dari berba­gai fantasi dan reïfikasi. Ratusan data dan nara-sumber di­pelajari­nya, sampai-sampai ada kritikus Belanda menga­takan bahwa Bob Hering menulis biografi untuk penulis-penulis biografi. 
Jilid pertama biografi Bung Karno dalam bahasa Inggris, Soekarno, the Founding Father of the Republic of Indonesia, 1901-1945, atas permintaan khusus Penulis telah diluncur­kan di wilayah Indonesia, di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2002.

* * *           

Pada acara peluncuran buku Jilid I di KBRI Den Haag itu,  penerbit Hasta Mitra atas permintaan Penulis ikut memberikan sambutan. Pada kesempatan itu, nada  sambutan tertulis editor Hasta Mitra secara khusus ditujukan kepada publik Belanda. Dengan beberapa perubahan kecil, di bawah ini dimuat uraian yang telah dibacakan di Den Haag tersebut.

Walaupun tidak hadir, saya sungguh gembira menyambut hari ini, hari yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, hari pelun­curan buku Biografi Bung Karno oleh sahabat baik saya, Bob Hering, hari yang sudah saya tunggu-tunggu sejak lima tahun yang lalu. 
Selamat sehangat-hangatnya kepada Penulis! Dan juga pengharga­­an saya sampaikan kepada KITLV Leiden sebagai penerbit yang memung­kin­kan inteligensia dunia mengenal Bung Karno dari satu sudut-pandang berbeda ketimbang biografi-biografi sebelumnya yang pernah ditulis mengenai Soekarno.
Saya melihat dua aspek istimewa dalam peluncuran buku biografi Soekarno ini; pertama karena untuk pertama kali Soekarno disorot dengan satu sudut-pandang yang saya anggap sudah bersih sama sekali dari berbagai “reïficaties”, kedua – meskipun ditulis dalam bahasa Inggris – buku ini ditulis oleh seorang Belanda dan diluncurkan pertama kali di Negeri Belanda. 
Saya garis-bawahi oleh orang Belanda dan terbit di Negeri Belanda, karena saya mengharapkan buku baru Bob Hering sekarang ini akan merangsang publik Belanda untuk menilai kembali Soekarno secara lebih wajar dan proporsional. Sebenarnya sejarah telah membuat Indonesia-Belanda memiliki hubungan kultural yang khusus, tetapi semua itu lenyap atau rusak karena sikap keliru pemerintah Belanda mau pun pers Belanda secara umum terhadap Soekarno. Gara-gara itu semua, generasi muda Indonesia masa kini sudah terlanjur tidak berorientasi lagi kepada Belanda sebagaimana halnya dengan generasi Soekarno; mereka sekarang sudah berkiblat ke negeri-negeri berbahasa Inggris. Bagi Indonesia peralihan orientasi ke bahasa Inggris tentulah positif dan menguntung­kan, bagi Belanda hal itu merugikan karena berdampak pada putusnya hubungan kultural. Sebagai wartawan yang mengenal dekat Soekarno, dengan pasti saya katakan bahwa Soekarno di antara semua pemimpin nasionalis segenerasi­nya sebenarnya adalah pemimpin yang bisa menjadi “sahabat terbaik Belanda”, karena dia mempunyai “kelemahan” (voorliefde) terhadap Belanda dan orang Belanda. Tetapi itu pun tidak terjadi dengan segala akibatnya sampai kepada generasi muda sekarang.
Sisa dari generasi kolonialisme Belanda, dengan nama yang saya sebut antara lain Van Mook, Drees, Beel, Luns adalah beberapa tuan-tuan politici Belanda yang paling bertanggung-jawab atas putusnya hubungan historis Indonesia-Belanda itu. Hubungan Indonesia-Belanda sekarang adalah hu­bungan diplomatik biasa antara dua negara mana pun di dunia, tanpa keterkaitan apa-apa secara khusus. 
Indonesia Merdeka lepas sama sekali dari Belanda yang diprokla­masi­­­kan Soekarno-Hatta, rupanya menjadi pil pahit yang tidak mampu dicernakan oleh perut para politici generasi Van Mook, Drees, Beel dan kemudian Luns. Untuk itu mereka organisir satu kampanye menghi­tam­kan Soekarno yang berlangsung sampai tahunan. Sebenarnya manuver politik seperti itu hanyalah suatu usaha putus-asa yang sia-sia saja, sekalipun semua itu didukung langsung tanpa daya kritis apa pun oleh hampir seluruh pers dan mayoritas inteligensia Belanda. Sampai hari ini pun, kampanye men­diskreditkan Soekarno seperti itu masih kuat sisa-sisanya. Kampanye itu terbantu sekali dan diperkuat pada saat dia berkoar seiring-sejalan dengan paradigma Perang Dingin Amerika Serikat sepanjang masa kepresi­denan Soekarno. 

Saya sebut di sini beberapa issue yang sudah jadi hobby kuda-tunggangan yang mendarah-daging dalam kampanye Belanda itu : 

1) Soekarno seorang kolaborator fasisme Jepang, 
2) Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya sudah menjadi seorang diktator, 
3) Soekarno yang megalomania menyengsarakan rakyatnya karena tidak mengurus ekonomi, 
4) Soekarno seorang nasionalis anti Barat, bahkan dicap komunis.

Pada alinea-alinea pertama dalam sambutan saya di atas, sengaja saya meminjam istilah sosiologi “reïficatie”, karena itulah istilah yang paling kena untuk menggambarkan butir-butir omong-kosong yang saya bèbèr­kan di atas. Reïficatie adalah produk kotak-katik otak manusia (maaksels van de menselijke geest) yang membuat pengertian atau persepsi diterima sebagai kebenaran dan lama-kelamaan dianggap sebagai kenyataan – padahal semua itu tidak lain adalah abstraksi-abstraksi yang tidak ada kaitan sama sekali dengan kenyataan, murni produk rekayasa semata-mata. Masyarakat inteligensia, para awam dan seluruh pers Belanda ikut mengunyah-nguyah bertahun-tahun lamanya abstraksi-abstraksi itu. Suatu hukum kelambanan kemudian berlaku, de wet der traagheid. Tidak ada lagi orang yang kritis mem­pertanyakan apakah benar semua butir-butir abstraksi itu? Bagai­mana asal-usul fabrikasi rekayasa bikinan para politici dan pers Belanda itu? 
Dengan serba ringkas saja ingin tanggapi butir-butir abstraksi itu di bawah ini.

Soekarno distigmatisasi sebagai koloborator fasisme Jepang dan disama­kan dengan Mussert, seorang Belanda peng­khianat. Benarkah itu? Mussert dan Soekarno adalah dua kwalitas berbeda yang sepenuhnya diametral ber­tentangan. Mussert menjual tanah-airnya kepada Nazi Jerman, sedangkan Soekarno mempertaruhkan seluruh wibawa dan karier politiknya untuk memerdekakan tanah-airnya. Soekarno sebagai politikus menggunakan momentum terbaik semasa pendudukan Jepang yang singkat itu untuk mempersiapkan ter­wujudnya cita-cita Indonesia Merdeka, kesempatan yang tidak pernah dia dapat selama perjuangan politiknya duapuluh tahun di bawah kekuasaan Belanda. Soekarno dan beberapa tokoh nasionalis semasa ditahan Belanda (sebelum dan sampai pecahnya Perang Dunia ke-II) menawarkan kepada pemerintah Belanda suatu kerjasama untuk menghadapi fasisme Jepang. Tetapi tawaran itu ditolak. Sebaliknya Belanda mentah-mentah menyerahkan seisi Indonesia beserta seluruh pendu­duknya kepada Jepang. Kita lantas bertanya : masihkah Van Mook cs punya hak moreel untuk menggugat Soekarno mengenai sikap yang dia ambil semasa pendudukan Jepang, setelah Pemerintah Belanda bulat-bulat menyerahkan nasib seluruh penduduk Indonesia berikut Soekarno kepada kekuasaan fasisme Jepang itu? 
Namun bila kita teliti memperhatikan, ternyata tuduhan kolabo­rator ternyata tidak juga selalu konsekwen. Dalam rangka politik pecah-belah, Belanda lebih suka diam terhadap Mohamad Hatta yang jelas mengambil garis sepenuhnya sama dengan Soekarno terhadap Jepang – rupanya sasaran utama adalah tetap harus Soekarno. Dan yang paling memualkan adalah bahwa dalam pretensi membela demokrasi, Belanda dalam menghadapi Soekarno yang berjuang untuk merdeka, bersikap sama seperti rejim Nazi Jerman ketika rejim Nazi itu menyerang dan menduduki Belanda. 
Tuduhan kolabarator oleh Belanda rupanya diperhitung­kan bisa mempunyai muatan politik yang besar dan effektif untuk mematahkan Soekarno. Argumen politik itu ternyata tidak mempan, menghembus-hembuskan besar-besaran tuduhan kolaborator gagal total karena memang tidak lain merupakan rekayasa politik yang coba dijual sebagai kebenaran. Inti masalahnya: Indonesia Merdeka hasil kerja Soekarno, côute que côute tidak bisa diterima, tidak terpikirkan dan sama sekali tidak masuk di akal tuan-tuan politici Belanda bahwa Indonesia lepas sepenuhnya dari Belanda. Semua itu hanya gara-gara Soekarno, si kolaborator – begitulah reasoning para politici pintar Belanda  berikut persnya yang sudah tidak berdaya dan terdesak di jalan buntu pada saat mereka berusaha mau menyetop sejarah,  me-rèm perkembangan zaman.

Soekarno diktator? Demokrasi Terpimpin Soekarno otoriter? 

Kali ini rekayasa atau abstraksi bikin-bikinan itu bersifat dangkal, karena tidak ada usaha sama sekali dari mereka untuk meneliti lebih mendalam apakah Soekarno betul punya kekuasaan untuk menjadi diktator? Sejak proklamasi kemerdekaan 1945, selama limabelas tahun Soekarno praktis cuma jadi Presiden simbolis. Sampai 1959 pemerin­tah­an ganti-berganti berada di tangan orang-orang sealiran Hatta-Sjahrir atau para sukarnois yang harus berkompromi dengan partai Masjumi dan PSI. Soekarno baru bisa dikatakan “berkuasa” hanya enam tahun terakhir sejak diumumkan “Demokrasi Terpimpin” bulan Juli 1959. Itu pun cuma kekuasaan formal karena paralel di samping kekuasaan Soekarno, dari pusat sampai ke daerah berjalan kekuasaan Angkatan Darat yang masif, reëel dan efektif dengan senjata di tangan. Militerlah yang menjalankan kekuasaan dengan meng­gonceng pada wibawa Soekarno, termasuk melancar­kan penang­kapan-penangkapan politik dengan legalitas SOB. Mereka melakukan berbagai penge­kangan kebebasan publik semua atas nama Soekarno. Selanjut­nya mereka melan­carkan berbagai manuver politik seperti misalnya memanfaat­kan (kalau tidak mau disebut menciptakan) Manikebu, BPS (Badan Pen­dukung Soekarnoisme), dan menunggangi konsep Soekarno tentang “golongan fung­sional”. Kelompok militer Angkatan Darat yang me­rong­rong Soekarno itu jugalah kemudian berkuasa leluasa di jaman “Orde Baru” tanpa ada penghalang apa-apa lagi. Angkat­an Darat telah ber­hasil menunaikan “tugas interna­sional­nya” menegak­kan paradig­ma McCarthy di Indonesia dengan tuntas dan gemilang, meng­hancurkan PKI dan menggèsèr Soekarno dari pentas sejarah. Sejak 17 Oktober 1952 sampai 1965 Angkatan Darat bermain di bawah-bawah, menyusup dan menyatu dengan kekuatan progresif-revolu­sioner, di era Orde Baru watak asli se­sung­­­guh­nya kekuasan militer barulah muncul telanjang bulat di permu­kaan dengan mitra sipilnya Golongan Karya.

Lagi pula Soekarno tidak punya bakat sama sekali untuk jadi diktator. Untuk itu dia harus tidak punya hati nurani, harus tega mampu mem­bunuh dan memenjarakan rakyatnya sendiri sebagaimana didemon­strasi­­kan oleh jendral Soeharto selama tigapuluh tahun kekuasaannya. Tetapi Soeharto itulah yang oleh Dunia Barat dianggap telah berhasil “mengoreksi total otoriterisme Soekarno” kembali ke “jalan benar”, ke jalan demokrasi yang dianggap benar oleh Barat.
Soekarno sebagai pemimpin yang paling mengerti rakyatnya, secara sadar menolak menjiplak mentah-mentah demokrasi Barat walaupun otaknya penuh berisi ide-ide sosial-demokrasi, Aufklärung dan berbagai konsep sosial revolusi Prancis, revolusi Amerika sampai pada perjuangan Willem van Oranje melawan Spanyol. Dia sepenuhnya diilhami konsep-konsep Barat, tetapi dia berdiri kukuh dengan kedua kakinya di bumi tanah-airnya. Dari pengalaman langsung yang dia rasakan pada badannya sendiri, dia tahu betul bahwa menuntut reform sosial, membela rakyat tertindas dalam sistem demokrasi Barat, pada ujung-ujungnya selalu rakyat akan berada di pihak yang kalah. Maka dia kembangkan ide yang berasal dari Ki Hadjar Dewantoro “democratie met leiderschap” (demokrasi dengan pimpinan), dan kita semua tahu bahwa Demokrasi Terpimpin Soekarno dalam masa balita-nya sudah dibantai berdarah pada tahun 1965. 
Demokrasi Terpimpin tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk membuktikan bahwa gagasan itu bermanfaat dan diperlukan bagi rakyat yang ingin mem­perbaiki nasibnya sendiri. Di dunia Barat, demokrasi berkesempatan diuji (disosialisasi) seabad lebih sebelum dia sampai menjadi sistem mapan yang kita kenal sekarang ini. Soekarno dengan eksperimen demokrasinya yang cuma sempat berjalan lima tahun – notabene dirongrong pula habis-habisan oleh militer dari dalam dan Perang Dingin dari luar – sudah dianggap gagal dan difitnah sebagai otoriter. 

Lebih lanjut lagi Soekarno dianggap tidak mengurus ekonomi dan dia anti Barat dengan pernyataannya yang terkenal “go to hell with your aid!” 
Kita semua tahu bahwa Eropa Barat yang porak-poranda setelah perang Dunia Kedua, untuk pemulihan ekonomiya dan juga untuk menghadang masuknya komunisme, diguyur dengan bantuan masif jutaan dollar lewat “Marshall Plan” Amerika  Serikat. Apa yang dilakukan Amerika Serikat dan Dunia Barat terhadap Dunia Ketiga khususnya Indonesia? Bukan kucuran dollar, tetapi dirongrong oleh jendral-jendral militer lokal yang oleh Barat dijadikan sekutu sebagai perpanjangan pelaksana paradigma Perang Dingin. Tugas militer lokal adalah jelas menghadang komunisme dan Soekarno sesuai order majikan dari luar. Selain itu Soekarno masih dirongrong bertahun-tahun oleh Menlu Joseph Luns, yang berkukuh mengangkangi Irian Barat. Kita sekarang mau bertanya, pemimpin mana di dunia bisa membangun ekonomi dalam keadaan seperti itu? 
Memang semua akan berjalan lancar dan menjadi serba nyaman bagi Soekarno – bahkan Bung Karno akan dipuja-puji –, bila saja dia mau berpihak pada Barat dan menjual Indonesia kepada dunia kapitalisme Barat. Jelas Soekarno tidak bisa dibeli, maka macam-macam rongrongan dikerjakan oleh pihak Barat : Soekarno tidak boleh dan jangan sempat membangun ekonomi negerinya. 
Sebagai negarawan dan politikus, Soekarno menangani revolusi yang dipimpinnya secara bertahap. Mula-mula tahapan politik – periode pembenahan politik dengan doktrin Manifesto Politiknya (1959–1962) diselesaikan lebih dulu – setelah masalah Irian Barat selesai barulah Soekarno memasuki tahapan pembangunan ekonomi. Untuk itu kita kenal doktrin Deklarasi Ekonomi (Dekon, mulai1963 sampai terjadi terminasi dadakan di tahun 1965), Dekon yang kita tahu berazas ekonomi berdikari. 
Jadi Soekarno, walau pun menghadapi banyak rong­rongan dalam dan luar negeri, dengan terencana mulai 1963 dia memasuki agenda pembangunan ekonomi. Sungguh suatu tuduhan murahan bahwa dia tidak memperhati­kan ekonomi rakyatnya. Ini kali bahkan bukan semasa balita, dalam masa embrionya pun Dekon sudah dibantai berdarah secara kejam oleh para jendral lokal. Politici dan inteligensia Barat dalam paduan suara besar kemudian ramai-ramai bernyanyi bahwa Soekarno tidak mengurus ekonomi. Rupanya dalam dua tahun itu dari Soekarno sudah dituntut bukti memunculkan mujizat pem­bangunan ekonomi. Indonesia yang tidak makmur dalam dua tahun, dianggap salahnya Soekarno yang gagal dan tidak becus mengurus ekonomi. Bagi Barat pembangunan ekonomi itu ada dan benar konsepnya, hanya bila diselenggarakan dengan utang dan investasi modal Barat – dengan kata lain hanya bila sepenuhnya menggantung­kan diri pada negeri-negeri kapitalis. Jelas syarat seperti itu tidak sejalan dengan wawasan Bung Karno.
Tokoh yang dianggap oleh Barat membangun ekonomi dengan benar dan sukses adalah Soeharto. Dengan nyata sekali “sukses” itu dibuktikan dengan  menjulangnya pen­cakar-pencakar langit di kota-kota besar di Indonesia, mulai berkiprahnya para konglemerat asing dan lokal berkat kekayaan bumi Indonesia yang melimpah-ruah. Suatu elit baru Indonesia lahir – makmur-sejahtera, selapis tipis pribumi dadakan kaya-raya tidak ketolongan. 
Ketika Soekarno berteriak “go to hell with your aid!”, maka seruan itu kontan ditafsirkan sebagai agitasi anti Barat dan Soekarno dianggap sudah terbuka bergabung dengan kubu komunis. Padahal pernyataan itu bukan semata-mata punya makna politis, akan tetapi lebih penting lagi merupa­kan suatu pernyataan kebudayaan. Soekarno yang mem­punyai agenda besar mewujudkan nation and character building dengan sadar mau mendidik rakyatnya untuk tidak menjadi bangsa pengemis. Sekarang apa yang di­nama­kan Barat sebagai “sukses pembangunan ekonomi Soeharto”, mem­buat rakyat Indonesia menang­gung beban utang sebesar 140 milyar dollar atau kurang-lebih 3.500 dollar setiap keluarga Indonesia, termasuk anak-anak sampai yang masih bayi harus ikut bayar utang keluarga Cendana , utang elit Orde Baru berikut para konglomerat dan para kroni Soeharto itu.

Kembali kepada buku biografi Soekarno, saya dan saya kira juga semua orang Indonesia pen­dukung Soekarno, sama sekali tidak mengharap­kan suatu hagiografi tentang Soekarno. Semua orang berhak menulis apa saja mengenai Soekarno, saya cuma mengharapkan ­– terutama bila ditulis oleh orang Belanda – agar penulisnya bisa melepaskan diri dari omong-kosong patent dan baku yang dipelihara melekat pada Soekarno seakan sebagai kebenaran otentik. Silakan menulis kritis setajam-tajamnya tentang Soekarno, asal saja jauh dari kedangkalan dan bebas dari berbagai gambaran reïficatie omong-kosong yang sebenarnya sama sekali tidak merugikan Soekarno akan tetapi pada akhirnya sangat merugikan hubungan Indonesia-Belanda sendiri. Kita cukup memerlukan jari sebelah tangan untuk menghitung orang Belanda yang mengerti Soekarno. Rekan saya, Willem Oltmans dengan bukunya “Mijn Vriend, Soekarno”; itu saja sudah dianggap suatu hagiografi. Saya sama sekali tidak berpendapat bahwa isi buku Oltmans itu berisi pengkultusan terhadap Soekarno. Sebenarnya Oltmans malah jauh lebih tajam dan informatif tentang Soekarno dalam beberapa memoirenya, terutama dalam buku “Den Vaderland Getrouwe” ketimbang “Mijn Vriend, Soekarno”, sebuah vlug­schrift atau buku bersifat pamflet yang dia tulis cepat-cepat untuk ikut menyambut 100 Tahun Bung Karno. Tetapi apa yang terjadi dengan Olt­mans? Sama seperti sikap mentaliteit kolonial terhadap Soekarno, orang yang mau memberikan gambaran obyektif mengenai Soekarno dianggap kotoran di negerinya sendiri oleh penguasa dan pers Belanda. Syukurlah, walaupun sangat terlambat kita lihat kebenaran akhirnya toch yang menang, bagi Soekarno dan bagi Wim Oltmans. Soekarno direhabilitasi oleh rakyatnya sendiri, sedangkan jendral Soeharto terpuruk ke tempat yang hina. Di Belanda, Komisi Arbitrage mewajib­kan pemerintah Belanda mengganti kerugian bagi Wim Oltmans sebesar empat juta dollar AS.
Lambert Giebels, seorang Belanda lain lagi juga menulis biografi Soekarno dalam dua jilid tebal, masing-masing 531 dan 566 halaman. Gambarannya tentang Soekarno lain lagi, tampak usaha bersikap obyektif, tetapi saya meng-konstatasi bahwa Giebels dalam presentasi­nya sungguh kreatif dalam fantasinya. Dia hanyut membiar­kan tulisan­nya terkon­taminasi dengan gossip murahan. Cacat yang memerosot­kan nilai tulisannya yang maunya mengesankan serius dan obyektif. Bukan konsep-konsep Bung Karno seperti Nefo-Oldefo, Nasakom, Persatuan dan Kesatuan yang romantis, tetapi Giebels-lah yang saya lihat kreatif imajinasi roman­tiknya dalam peng­gam­baran sosok Soekarno. Pada akhirnya biografi yang dia tulis sudah berubah menjadi sebuah buku roman tentang Bung Karno, lengkap dengan bumbu-bumbu cerita-cerita gunjingan. Meskipun demikian, saya tetap meng­hormati kebebasan menulisnya.
Cukup banyak ilmuwan maupun orang awam yang pintar-pintar dari luar mau pun dalam negeri dalam kajian mereka menganggap gagasan-gagasan Soekarno cemerlang tetapi tidak mungkin bisa diwujudkan, unworkable, karena mereka anggap gagasan-gagasan itu tidak lain adalah angan-angan romantisme belaka. Bahkan mereka menggambar­kan Soekarno sebagai sosok yang bergerak di wilayah hyperreal. Oleh karena itulah Soekarno gagal total, kata mereka. 
Saya tidak membenarkan pendapat seperti itu, saya meng­anggap justru orang-orang itu yang gagal total dalam memahami Soekarno. Dia sama sekali bukan sosok romantis – memang demikian dalam aspek estetika – tetapi dalam politik dia manusia dari darah dan daging yang justru sangat realistis menghadapi kenyataan sosial politik sekelilingnya. Dia kuasai betul kondisi kultural-sosial-politik  negerinya sendiri maupun kondisi di dunia luar. Wilayah geraknya juga bukan hyperreal, tetapi kongkret suatu arena pertarungan yang membutuhkan perjuangan keras, kadang-kadang bahkan berdarah untuk membangun masyarakat adil sejahtera bagi seluruh rakyatnya. Soekarno dengan pasti saya katakan bukan gagal, tetapi berhasil dengan gemilang digagalkan ide-idenya oleh lawan-lawan­nya, bahkan dia dipenjarakan sampai kepada akhir hayatnya. Yang saya maksud lawan-lawannya adalah kekuatan maha besar Perang Dingin Amerika Serikat dan dunia kapitalis keseluruhannya – selanjut­nya kekuatan ekstern itu telah berhasil membangun basis kekuatan yang dahsyat dan mapan dalam barisan Angkatan Darat Indonesia dengan sasaran menum­bangkan Soekarno. Dalam bahasa Belanda saya katakan “Soekarno was bezweken voor een overmacht!” Soekarno ditakluk­kan tak berdaya oleh suatu kekuatan maha dahsyat, suatu overmacht. Para peng­kaji Soekarno yang saya sebut-sebut di atas, sekalipun cerdas dan ber­pen­­didikan tinggi, tidak nyandak otaknya untuk bisa melihat kenyataan telanjang itu. Alam dan struktur berpikir mereka sudah terlanjur penuh kabut reïfikasi, bergelimang abstraksi-abstraksi kreatif kosong yang bagai kabut mendung menguasai semesta Indonesia.
Wawasan Bung Karno tentang Nasakom, Persatuan dan Kesatuan sama sekali bukan megalomania atau khayalan romantik, tetapi menjadi suatu prasyarat sosial-politik, suatu komponen mutlak dari wawasan demokrasi Indonesia untuk menegakkan keadilan dan ke­sejah­teraan bagi rakyatnya sendiri, bukan untuk dunia kapitalisme. Tanpa persatuan, si kecil selalu kalah dari sang majikan. Tanpa kesatuan, Indonesia selalu jadi lahan kemak­muran bagi negeri-negeri kapitalis belaka. Setelah Bung Karno tidak ada, bagi kita semua sekarang terbentang bukti-bukti gamblang bagai­mana jadinya bila Nasakom, Persatuan dan Kesatuan itu dileceh­kan? Lihat saja : Aceh, Ambon, Irian Barat, Poso, saling bakar gereja dan mesjid, teror di mana-mana, gontok-gontokan suku bangsa dan antar agama tiada hentinya, dan sebagainya dan sebagainya. Di luar Indonesia kita lihat apa yang terjadi dengan Yugoslavia dan Uni Sovyet.
Menghancurkan konsep Nasakom, Persatuan dan Kesatuan Indonesia, adalah agenda permanen negeri-negeri kapitalis untuk me­ngua­sai bumi Indonesia yang kaya-raya ini. Sungguh tragis bila orang-orang Indonesia yang sudah tidak ketolongan anti Bung Karno ikut-ikutan mendukung agenda kekuatan globalisme itu. Yang mereka hancurkan pada hakekatnya bukanlah Bung Karno, tetapi Indonesia dan rakyatnya yang membutuhkan keadilan, kesejahteraan dan kedamaian.

Saya tidak bermaksud di sini mengkaji isi buku baru Bob Hering, untuk itu biarlah para pembaca yang memberikan penilaian. Saya hanya ingin menyatakan bahwa saya terkesan atas cara pendekatan Bob Hering – justru karena dia tidak menyanjung-nyanjung Soekarno, ­padahal secara pribadi dia punya respek besar terhadap Bung Karno. Tadi sudah saya kemukakan bahwa Bob Hering untuk pertama kali tampil dengan satu sudut-pandang baru, berbeda dari kajian-kajian yang beredar sebelum­nya. Yang mencolok bahwa dia menggunakan approach ilmiah, kajian historisnya proporsional pada tempatnya, dan last but not least dia bebas dari kontaminasi abstraksi-abstraksi kerekayasaan yang bermak­sud mematahkan dan menghitamkan Soekarno. 
Orang Belanda rasanya patut mem­perhatikan bagaimana Bob Hering misalnya menulis tentang issue kolaborator dan gagasan Soekarno tentang persatuan Nasakom, nasionalis-agama-komunis. Di Indonesia sendiri berkat jasa Soeharto – epigon McCarthy paling setia dan paling fanatik di dunia – sampai sekarang pun issue Nasakom dan sikap terhadap komunisme masih tidak bisa dimengerti, masih meru­pakan allergi bahkan masih tabu.
Bob Hering dengan buku jilid satu ini baru berada di setengah perja­lanan, dia masih harus merampungkan bagian akhir perjalanannya dengan jilid kedua. Jilid dua itu kita tunggu dengan penuh harapan, karena di situlah dia akan memasuki periode Soekarno dari tahun 1945 sampai akhir hayatnya. Satu periode penuh dinamik dan pergolakan, termasuk apa yang disebut Peristiwa 30 September 1965 yang berdarah dan membawa Soekarno, bapak bangsa yang memerdekakan negeri­nya, kepada ajalnya sebagai tahanan politik dari sebuah rejim militer Indonesia yang kejam. Saya menaruh harapan dapat menemukan dalam jilid dua, jawaban atas pertanyaan sampai sejauh manakah Soekarno berkuasa selama dia menjadi Presiden? Ini tentu menyangkut esensi dan substansi, bukan sekedar apa yang formal ada di permukaan. Bagaimana dan apakah Demokrasi Terpimpin itu yang dilaknati demokrat-demokrat Barat? 
Maaf saja bila saya apriori mengatakan, bahwa semua kajian mengenai Soekarno menjadi rancu, bila era Soekarno itu tidak dilihat dan diletakkan dalam konteks Perang Dingin yang telah ikut aktif mengaduk-aduk Republik Indonesia sejak berdirinya di tahun 1945 sampai sekarang. Akhhirnya ingin saya menyatakan harapan, agar suatu waktu dua jilid biografi Soekarno oleh Bob Hering bisa muncul dengan edisi populer, artinya: dalam bahasa Belanda sebagai leesboek, bukan sebagai text-book. Dapat di-akses oleh publik yang luas, dan tidak saja menjadi bacaan yang beredar terbatas di kalangan ilmuwan atau dunia universitas saja. 
Bob, selamat atas kerja besar mu!

Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 9:18 AM