Negara dan Revolusi
V.I. Lenin
Pengantar penerbit
Jatuhnya Suharto oleh tekanan gerakan mahasiswa 1998, telah meninggalkan masalah besar dan berat yang harus ditanggulangi – politik, ekonomi dan sosial budaya. Selama 32 tahun, Suharto dengan Orbanya telah membangun kekuasaan yang otoriter, sentralistik, militeristik dan sekaligus feodalistik. Sistem kekuasaan yang dibangunnya itu telah membuat kedudukan negara/pemerintah sedemikian kuatnya, sedangkan rakyat sama sekali tidak berdaya. Partai-partai politik dan organisasi-organisasi rakyat di luar Golkar dipangkas dan dikebiri, padahal kekuatan rakyat terletak pada organisasinya.
Tidaklah heran, masa transformasi sistem dari kekuasaan yang otoriter, sentralistik dan militeristik ke kekuasaan yang lebih demokratis tidaklah semudah seperti yang diharapkan. Apalagi kaum reformis nampaknya belum siap dengan program bersama tentang penyelenggaraan negara yang akan diterapkan. Ini antara lain disebabkan lengsernya Suharto berlangsung agak “mendadak”, sehingga orang sempat terperangah dengan kejatuhan yang mendadak itu.
Sementara itu, sorak-sorai kegembiraan menyambut kejatuhan Suharto yang dianggap sudah merupakan kemenangan demokrasi telah merambah seluruh lapisan masyarakat. Mereka merasa mendapatkan “kebebasan”dari keterkungkungan selama puluhan tahun. Apa yang selama puluhan tahun diredam dan dipendam, kini terbuka secara telanjang. Karena transformasi yang tersendat akibat tidak siapnya kaum reformis dengan konsep politik yang matang dan terencana, dan tidak ada penyelesaian tuntas atas masalah-masalah yang seharusnya mendapatkan prioritas penyelesaian yang segera, serta belum dirasakannya keuntungan ekonomi dari perubahan yang ada, maka ia berkembang menjadi konflik-konflik terbuka – vertikal dan horisontal. Konflik antara daerah dengan pusat, khususnya antara daerah yang kaya akan sumber alamnya dan merasa selama ini dikuras dan diperlakukan secara tidak adil, menuntut pemisahan diri dari negara kesatuan. Pertikaian etnik antar sukubangsa di berbagai daerah yang semula bersumber kepada ketidak-puasan ekonomi merebak, dan pihak-pihak yang bertikai bahkan menggunakan simbol-simbol agama. Konflik-konflik yang belum terselesaikan itu ditambah lagi dengan konflik kepentingan ambisi pribadi dan golongan antar elite politik, yang bisa saja merupakan pencerminan atau sama sekali bukan pencerminan konflik-konflik yang terjadi di bawah.
Konflik-konflik itu bukan lagi hanya mengancam integritas bangsa dan negara kesatuan, tetapi telah mengancam eksistensi Indonesia sebagai sebuah nasion. Kekacauan, khaos memang telah mengacam Indonesia secara riil.
Pengalaman dua tahun melakukan transisi sesudah kejatuhan Suharto menunjukkan hasil yang tidak memuaskan dan jauh dari harapan semula. Berbagai pertanyaan dan perdebatan mengemuka untuk mencari format yang pas mengenai hubungan negara/pemerintah, dengan rakyat. Orang berpaling kepada, ajaran-ajaran klasik ataupun modern. Orang menoleh kepada ajaran para pencerah Prancis abad ke-18.
Dan memang, sejarah umum atau pun sejarah filsafat telah memperkenalkan kita dengan nama-nama pemikir besar dunia, di antaranya Voltaire (1694-1778), Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1788), yang ajaran-ajarannya telah mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan besar di negerinya. Dalam bahasa politik, mereka dikatakan sebagai ideolog revolusi Prancis (1789) yang mengibarkan semboyan “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” yang mashur itu. Perubahan besar yang diawali Prancis itu, kemudian melanda Eropa daratan – menggulingkan monarki yang feodalistik, menegakkan republik demokratis. Kelas menengah atau burjuasi tampil di tampuk kekuasaan, menggantikan sistem lama yang feodal dengan sistem baru yang kapitalistik.
Diselenggarakanlah diskusi, seminar-seminar dan ditulis artikel-artikel i1miah populer tentang bentuk-bentuk penyelenggaraan negara untuk mencari jalan yang tepat guna pembangunan politik bagi Indonesia Baru yang dicanangkan itu. Orang juga mendiskusikan konsep negara Islam dan Islam kultural, yang juga berpusat kepada pertanyaan tentang kekuasaan negara. Konsep civil society digali kembali, yaitu konsep memberdayakan masyarakat/warga semaksimal mungkin, dan meminimalkan peranan negara sejauh mungkin. Bahkan masih dalam rangka pencarian format yang pas itu, diseminarkan pula konsep “jalan ketiga” Giddens yang sesungguhnya lebih banyak penekanannya kepada kebijaksanaan ketimbang teori, sekalipun pada dasarnya, ia juga mempunyai kaitan erat dengan masalah peranan negara.
Tetapi diskusi, perbincangan itu masih mendasarkan diri pada anggapan, bahwa negara itu semestinya adalah “alat pendamai”, “fasilisator terorganisasi” yang berdiri di atas semua golongan atau sebuah organisasi yang dibangun berdasarkan kontrak sosial, dan sebagainya. Dalam perbincangan itu belum digunakan pilihan alternatif lain, yaitu pemikiran dan konsep kaum Marxis tentang negara.
Buku “Negara dan Revolusi” yang kita terbitkan ini dimaksudkan untuk memperluas wawasan pemikiran guna mencari alternatif atas masalah yang kita bicarakan tahun-tahun belakangan ini. Ia diharapkan akan menjadi bahan studi perbandingan untuk memahami apa sesungguhnya negara itu, asal-usulnya dan peranan serta keberpihakannya serta apa yang harus dilakukan setelah perubahan atau peralihan penyelenggara kekuasaan terjadi oleh penyelenggara baru.
Penerbitan buku ini juga akan meniadakan salah kaprah yang sering terjadi, karena orang tidak mempelajari teori Lenin dari karya aslinya melainkan dari orang ketiga, dari penafsiran orang lain terhadap karyanya. Sebutkan saja misalnya konsep “diktatur proletariat” sering orang berpikir bahwa ia adalah pemikiran V.I. Lenin atau J.V. Stalin, dan pengeterapan konsep itu dalam praktek oleh kedua nama itu dikatakan telah “mencemarkan” nama Karl Marx yang karyanya penuh dengan humanisme itu. Padahal konsep diktatur proletariat itu – diktatur mayoritas terhadap minoritas yang merupakan kebalikan dari diktatur minoritas terhadap mayoritas dalam kekuasaan burjuasi – adalah konsep Karl Marx sendiri, yaitu kekuasaan yang diperlukan dalam masa peralihan dari perubahan kapitalisme ke komunisme. Demikian pula dengan konsep “melenyapnya negara”, ia bukanlah asli pemikiran V.I. Lenin, melainkan pemikiran Karl Marx yang didasari atas asumsi, bahwa bila dasar materiil sudah lahir dan diiringi oleh budaya yang sesuai, maka negara sebagai alat penindas akan lenyap dengan sendirinya, dan semua urusan yang sebelumnya dilakukan oleh negara, kini diurus oleh warga masyarakat itu sendiri. Menarik kiranya untuk memperbandingkan konsep “civil society” yang dikaji banyak orang belakangan ini yang pada hakekatnya memaksimalkan peranan warga dan meminimalkan sejauh mungkin peranan negara dengan konsep Karl Marx mengenai hal yang sama. Konsep civil society yang dikaji banyak orang dewasa ini tanpa menyinggung sama sekali dasar materiil yang memungkinkannya, hanya terbatas pada dasar budaya dan moral belaka.
Memang ada usaha untuk memisahkan atau membedakan ajaran Marx dengan ajaran Lenin. Tetapi agaknya pemisahan dan memperbedakan Marx dan Lenin agak dicari-cari hingga menimbulkan salah kaprah dalam pemikiran yang kita sebutkan di atas. Jika pun ada perbedaan, maka perbedaan itu disebabkan oleh jaman yang berbeda, perbedaan karena perkembangan sosial-ekonomi yang berbeda pula. Salah satu perbedaan atau lebih tepat “pengembangan” yang signifikan adalah teori Lenin tentang kemungkinan akan pecah dan menangnya revolusi sosialis di satu negeri. Dalam jaman Karl Marx yang hidup dan mempelajari secara intens kapitalisme ketika masih dalam tingkat kemekarannya, maka revolusi sosialis dianggap akan terjadi serentak di sejumlah negeri kapitalis yang maju. Tetapi Lenin hidup dalam jaman kapitalisme yang sudah sampai ke puncak perkembangannya yang tertinggi, yaitu imperialisme, dan ia melihat dari hasil studinya terhadap imperialisme ketidak-samaan perkembangan kapitalisme, hingga memungkinkan pecahnya revolusi di satu negeri kapitalis dan memenangkannya. Pemikiran seperti itu kelihatannya seakan “menyimpang” dari asumsi Karl Marx. Dan sejarah membuktikan, bahwa kemungkinan itu telah dijadikan kenyataan oleh penggagasnya dengan pecahnya revolusi sosialis di Rusia, 1917, dan memenangkannya.
Pengembangan teori inilah, yang antara lain melahirkan apa yang kita kenal dengan istilah Leninisme yang bagi pengikut-pengikutnya disebut sebagai Marxisme-Leninisme, dalam arti ajaran Marxisme dalam jaman imperialisme. Tetapi masalah itu bukanlah masalah yang dipersoalkan dalam buku yang kita terbitkan ini.
“Negara dan Revolusi” ini ditulis Lenin antara bulan Agustus dan September 1917, yaitu ketika kondisi untuk perubahan-perubahan mendasar tengah mematang di negerinya – Rusia. Konon, dikerjakannya ketika berada di tempat persembunyiannya di sebuah gubuk di sebuah hutan kecil di pinggir kota Petersburg, untuk menghindari usaha penangkapan atas dirinya oleh pemerintah sementara burjuis di bawah pimpinan Jenderal Kerensky.
Maka, agaknya seperti Voltaire, Montesquieu dan Jean Jacques Rousseau yang dianggap sebagai pencerah dan ideolog di negerinya hingga terjadi perubahan besar dengan Revolusi 1879, maka demikian pula Lenin, ia merupakan ideolog revolusi sosialis yang pecah di negerinya dan memenangkannya – di Rusia. Kelebihannya dengan tiga nama tersebut di atas, Lenin bukan hanya sekedar ideolog, pemikir, melainkan juga seorang revolusioner, sekaligus praktikus, partisipan dan bahkan pemimpin utama revolusi itu sendiri.
Semoga sebagai bahan pembanding studi dan peluasan wawasan dalam jaman reformasi yang menganut paham pluralistik dalam masyarakat, buku ini dapat diminati oleh para pemikir, politisi, pengamat masyarakat, aktivis LSM, para pemuda dan mahasiswa dalam pencarian pemecahan masalah di tanah air kita dewasa ini.
Redaksi Indonesia Tera