Sejarah editing tetralogi "Bumi Manusia"

Sejarah editing "Bumi Manusia", "Anak Semua Bangsa", "Jejak Langkah", dan "Rumah Kaca"

Dua Modal Kerja

Cukup banyak orang–orang Indonesia mau pun asing berbagai bangsa –- yang ingin jumpa atau berkorespondensi dengan Pramoedya Ananta Toer, biasanya akan menghubungi saya terlebih dulu. Mereka adalah wartawan, para ilmu­wan dalam dan luar negeri, peneliti, maha­siswa yang sedang menyusun kertas ilmiah, para seniman/sastrawan, bahkan diam-diam juga duta-duta besar asing, atau pun orang-orang awam biasa peminat atau pengagum Pramoedya. Saya memang adalah editor karya-karya Pramoedya Ananta Toer setelah kami sama-sama berada di luar penjara. Nama Joesoef Isak seakan menyatu berkait dengan nama novelis Indonesia terbesar abad ke-20 itu.
      Itu semua ada sejarahnya. Sejarah yang dimulai dan melibatkan “Paman Wag”, begitulah “nama sandi” yang diberikan oleh Pramoedya kepada Prof. W. F. Wertheim, oom Wageningen, karena Pram sudah terbiasa berhati-hati hidup di negeri intel dan menghindari menyebut nama seseorang dengan terbuka di dalam surat.

Ketika BUMI MANUSIA terbit pertama kali di pertengahan 1980, gegerlah seluruh negeri! Seorang komunis berbahaya yang baru pulang dari pulau Buru, buku yang dia tulis selama dalam tahanan mendadak sontak menjadi bestseller. Oplaag pertama 10.000 copy habis dalam sepuluh hari. Tidak pernah ini terjadi sebelumnya! Pembaca hanyut terseret oleh kisah si Minke, Nyai Ontosoroh dan Annelies.
     Pemerintah terkejut, dinas intel terkejut, kejaksaan agung menjadi sibuk, sebab seluruh lapisan masyarakat mencari dan menbaca BUMI MANUSIA. Anak-anak muda, para mahasiswa, ibu-ibu rumah-tangga, sampai-sampai juga istri-istri menteri, jendral dan para pejabat tinggi, terbuka atau sembunyi-sembunyi memerlukan membaca kisah Nyai Onto­soroh itu.
      Tetapi bukan hanya penguasa yang terkejut. Pramoedya pun terkejut. Jelas bukan karena intimidasi atau interogasi kejaksaan agung –- untuk itu Pram sudah kebal –- melainkan oleh sebuah amplop besar yang datang dari Wagenin­gen!
     Paman Wag menyarankan agar dalam cetakan ke-II dilakukan berbagai perbaikan menyangkut salah cetak, mau pun kesalahan atau ketidak-tepatan data. Pramoedya meminta saya mempe­lajari bahan-bahan dari Wageningen itu dan menggunakannya untuk cetakan ke-II. Dalam hal ini dia memberikan mandat blanko kepada saya. Itulah dua modal kerja saya sebagai seorang editor yang tidak punya latar-belakang kesas­traan apa-apa: kepercayaan sebulat-bulatnya dari Pramoedya dan bantuan bahan serta petunjuk dari Wim Wertheim.

Maka dalam BUMI MANUSIA cetakan ke-II, si Babah Atjong tidak jadi dihukum 10 tahun. Germo itu baru di dalam ANAK SEMUA BANGSA menerima ganjaran­nya masuk penjara. “Ne bis in idem”, kata Paman Wag. Prinses van Bacan juga tidak masuk sekolah Mulo tahun 1913, karena Mulo baru berdiri di tahun 1916. Yang pa­ling rumit adalah yang menyangkut aspek hukum dalam urusan pembagian harta waris kepada anak yang ber-ibu Nyai dan ber-ayah seorang Belanda totok, lebih-lebih lagi karena sang ayah masih punya istri orang Belanda yang juga punya anak darinya. Untuk itu Paman Wag sampai melampirkan fotokopi halaman Burgelijk Wetboek, di mana bisa dibaca pengaturan status dan hak-hak bersangkutan dalam perkawinan campuran itu.
      Apa yang saya ceritakan ini hanyalah sedikit dan singkat saja, akan tetapi merupakan pekerjaan besar yang hanya mampu terselenggara berkat bantuan yang tak ternilai dari Paman Wag. Kerja segi-tiga ini terus berlanjut dalam jilid-jilid selanjutnya dari tetralogi Pramoedya Ananta Toer yang kini masyur di seluruh dunia.
     Saya sering bertukar fikiran dengan Pram, dan dalam kesempatan seperti itu sering muncul nama Paman Wag. Dia-lah orang Belanda yang kami anggap pa­ling berjasa, bukan saja dalam hubungan buku-buku Pramoedya, akan tetapi bagi segenap Rakyat Indonesia yang kini hidup tertindas di bawah telapak kaki militerisme Soeharto. Paman Wag adalah satu-satunya orang Belanda yang membantu dan mendukung perjuangan Rakyat Indonesia, secara murni, bulat dan utuh tanpa pamrih setitik apa pun!

Suatu waktu Pram pernah bercerita, bahwa dia dengan beberapa rekan sastrawan pernah jumpa Bung Karno dan menyarankan kepadanya agar membangun patung Multatuli di Indonesia. Bung Karno menanggapinya dengan pertanyaan: Mengapa Multatuli? Mengapa tidak Adolf Baars? Jelas bahwa Bung Karno bukannya tidak menyetujui berdirinya patung Multatuli di Indonesia. Kita tahu semua bahwa Bung Karno adalah pengagum Multatuli yang sering dia kutip dalam pidato-pidatonya. Dia sebenarnya ingin mengatakan, bahwa di samping Multatuli masih banyak orang Belanda progresif lainnya yang berjasa dalam perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan.
    Multatuli atau pun Baars adalah dua nama di masa lampau. Di masa kini, positif tentulah Wertheim namanya. Tetapi kita semua kenal Wim Wertheim, dia pasti tidak mau diperingati dengan patung dirinya. Kalau begitu, memang tidak perlu membangun patung, sebab lebih daripada sebuah patung sudah lama tegak nama Wertheim di hati segenap rakyat yang tertindas di Nusantara tercinta ini. Terimakasih Paman Wag!
      Paman Wag, beste Wim, panjang umur dan selamat ulang tahun, semoga masih banyak kalian tahun Paman Wag berulang-ulang mengalaminya dalam keadaan sehat-walafiat!
 
Joesoef Isak 
Jakarta, november 1997

Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 9:31 AM