Tokoh Betawi Nasionalis-Revolusioner
M.H. Thamrin
Generasi muda yang sebelum pecah Perang Dunia II sudah berada di tingkat sekolah menengah mungkin kenal nama Mohammad Husni Thamrin, tetapi generasi muda yang lahir di jaman Orde Barunya Suharto mungkin lebih tau nama Thamrin sebagai jalan protokol di pusat kota Jakarta yang setiap hari pada jam-kantor macet lalu-lintasnya. Apalagi ahli sejarah Orde Baru, Nugroho Notosusanto, menganggap sejarah perjuangan Indonesia baru dimulai tahun 1965, saat Orde Baru dan militerisme Suharto mulai merajalela selama tigapuluh tahun lebih.
Hasta Mitra gembira mempersembahkan pada khalayak pembaca Indonesia sebuah karya standar oleh Prof. Bob Hering mengenai Moh. Husni Thamrin. Kita menyebutnya sebagai karya besar, karena untuk pertama kali Thamrin dipresentasikan secara utuh dan lengkap, sehingga patut ia menjadi bacaan rujukan. Data yang kaya dan analisisnya sangat berharga untuk lebih mengenal siapa dan apa sumbangan Thamrin kepada bangsa dan tanah-air,
Penulisnya adalah seorang Belanda, warga-negara Kanada, di masa pensiunnya sekarang dia bermukim bersama istrinya Netty Liem di Stein, sebuah kota kecil di Belanda selatan. Dia dengan bangga menyebut diri sebagai “anak Indo”, anak betawi kelahiran 1925 di Mèstèr, Meester Cornelis, sekarang Jatinegara.
Sebagai murid sekolah menengah KW-III jaman kolonial di Kramat-Salemba, pada tahun 1941 dia bersama teman-teman sekelasnya ikut menyaksikan iring-iringan panjang pengantar jenazah M. Husni Thamrin dari rumah almarhum di Sawah Besar ke “Kuburan Karet” Jakarta. Pada saat itu dia tentu tidak menyadari sama sekali, bahwa menyaksikan peristiwa pema¬kaman Thamrin di tahun 1941 itu rupanya menentukan dan mengarahkan untuk selama¬nya perjalanan hidupnya di kemudian hari sebagai ilmuwan. Seluruh karya-keilmuannya sebagai ilmuwan kemudian kita lihat terfokus pada gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia, dan dengan sendirinya selain Soekarno, M. Husni Thamrin menjadi salah satu figur puncak dalam pelacakan penelitiannya mengenai gemuruh sejarah kebangkitan nasionalisme Indonesia itu.
Karya hidup paling utama Bob Hering adalah mengenai Soekarno, biografi B.K. dari lahir sampai ia dikhianati dan ditumbangkan oleh rejim militer Suharto. Bung Karno adalah pemimpin Indonesia yang oleh Pemulis di kagumi dan sangat dihormati, akan tetapi Bung Karno tidak dia kultuskan. Namun kajian keilmuannya sebagai peneliti gerakan kemerdekaan Indonesia menuntut padanya menulis tentang tokoh Betawi Mohammad Husni Thamrin terlebih dahulu sebelum menulis tentang Bung Karno. Bob Hering melihat dalam ketokohan Thamrin dan Bung Karno suatu kesatuan, suatu fenomena kesinam¬bungan perjuangan yang telah mengantar rakyat Indonesia yang terjajah menjadi nasion merdeka. Sungguh sutau premisse yang menarik.
Menyebut dalam senafas nama Thamrin-Bung Karno mempu¬nyai segudang pengertian, mengandung banyak pelajaran, terutama bagi para pemuda kita sekarang yang sibuk berpolitik radikal dengan ambisi mau membangun Indonesia yang lebih baik. Menyebut nama Thamrin dan Bung Karno berarti belajar dari sejarah tentang kerjasama seorang Thamrin -– politikus yang bekerja “dari dalam sistem” atau ikut dalam institusi tatanan penguasa di Volksraad bersama tuan-tuan Belanda kolonial; dengan seorang Soekarno, politikus revolusioner yang bekerja “di luar sistem”, di jalanan, di alun-alun, di kota dan desa-desa, di mana-mana bersama rakyat. Secara populer politisi dua kubu seperti itu disebut ko dan non-ko.
Pada golongan “ko” atau koperator terdapat konotasi negatif -– pada mereka melekat setempel sebagai antek-antek Belanda. Kecurigaan seperti itu tidak seluruhnya salah, karena memang ada di antara mereka -– walau dalam jumlah minoritas -– yang setia sekali kepada Belanda, bahkan kepingin jadi Belanda. Tetapi Thamrin pasti tidak termasuk dalam golongan yang mau mengabdi kepada Belanda seperti itu. Dan itulah khas identitas Thamrin yang mencolok, dia ikut serta dalam sistem kekuasaan Belanda, tetapi menjadi eksponen nasionalis revolusioner yang mengabdi kepada bangsanya, terutama rakyat kecil. Menyoroti aspek ini, Thamrin sebagai tokoh ko mempunya titik-singgung yang erat dengan Bung Karno sebagai tokoh non-ko yang piawai gerak dan gebrakanmya menantang kekuasaan kolonial Belanda. Keterlibatan Thamrin dalam semua peristiwa penting yang dialami Bung Karno sungguh signifikan sekali; dia hadir pada saat B.K. diadili, dia hadir pada saat B.K. dijebloskan dalam penjara, dia juga hadir pada saat B.K. dibuang ke Ende, dia memprotes di Volksraad penahanan Soekarno oleh pemerintah Belanda, akhirnya Belanda menghukum Thamrin dengan tahanan-rumah setelah Bung Karno berkunjung ke rumahnya. Gubernur Jendral Hindia-Belanda dengan gemas berpendapat bahwa orang paling berbahaya sebenarnya adalah Thamrin. Sang Gubernur-Jendral kepingin sekali menjebloskan Thamrin dalam penjara, tetapi demokrasi formal yang masih berlaku membuatnya tidak segampang itu menangkap Thamrin. Namun, seperti pepatah Belanda sendiri mengatakan “untuk memukul anjing, pentung selalu cepat tersedia untuk digunakan.” Maka, ditemukanlah pentung, dan ditangkaplah Thamrin –- alasan gampang dan selalu bisa dicari. Dalam sejarah perjuangan mencapai Indonesia merdeka, Thamrin untuk selamanya tercatat sebagai tapol (tahanan-politik) yang meninggal di tangan Penguasa kolonialisme Belanda. Dari segi ini kesamaan dengan Soekarno sebagai sesama pejuang kemerdekaan sungguhlah identik sekali. Soekarno juga –- seperti Thamrin –- meninggal sebagai tapol, tetapi ini kali sebagai tahanan bangsanya sendiri, penguasa kejam rejim Golkar dan militerisme Suharto.
Banyak terdapat kesamaan antara dua pemimpin bangsa ini; sama dalam cita-cita membangun satu tanah-air Indonesia yang merdeka, sama melandasi perjuangan pada azas kebangsaan, nasionalisme Indonesia, dan sama dalam sikap politik revolusioner, meski masing-masing menempuh jalan yang berbeda. Perbedaan dengan Soekarno dengan sendirinya ada, dan dari segi ini boleh kita katakan Thamrin memiliki kelebihannya sendiri. Thamrin bukan seperti Soekarno, dia tidak hanya memfokuskan perhatian politiknya pada “garis-besar” saja. Selain menjangkau masalah nasional -– berjuang untuk suatu Indonesia yang merdeka, perhatiannya juga meliput peta skala internasional, seperti misalnya memperingatkan penguasa Belanda akan bahaya fasisme Jepang. Tetapi dia malah dicurigai Belanda sebagai mata-mata Jepang -– pemimpin-pemimpin non-ko seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir juga pernah memperingatkan penguasa Belanda terhadap fasisme Jepang, mereka menawarkan kerja-sama tetapi tidak digubris oleh Pemerintah. Soekarno-Hatta malah dituduh sebagi kolaborator Jepang.
Beda dan kelebihannya dari Soekarno seperti kita singgung di atas, Thamrin menukik sampai ke urusan mikro, masalah-masalah kecil. Dia bicara tentang kampung-kampung becek tanpa penerangan dan masalah banjir. Dia menggugat daerah elit Menteng yang dalam pembangunan diprioritaskan dalam segalanya. Dia selalu menjuru-bicarai kepentingan rakyat kecil misalnya tentang pajak dan sewa tanah bagi petani sampai-sampai kepada harga kedelé, gula, beras, karet rakyat, kapuk, kopra, semua komoditi yang dihasilkan oleh rakyat. Berbeda dengan Soekarno, seorang “politikus garis-besar” -– dalam perjuangan politik Soekarno tidak mau memasuki urusan-urusan mikro yang dia anggap jelimet. Bung Karno bukan meremehkan soal-soal kecil, tetapi dia selalu berpendapat bahwa masalah-masalah detail akan bisa diselesaikan nanti bila Indonesia sudah merdeka, bila demokrasi sudah ditegakkan -– nanti di seberang jembatan emas. Walau pun beda dalam gaya dan sikap, adalah menarik bagaimana Thamrin sebagai seorang koperator bersikap terhadap penguasa/pemerintah Belanda. Sikap koperatif Thamrin tidak berdasar pada prinsip loyalitas terhadap penguasa mau pun “kelompok etik” Belanda, tetapi sikap koperatifnya berwatak oposisi yang tidak berbeda dengan pemimpin-pemimpin non-ko seperti Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lainnya. Dia juga tidak punya ilusi atau wishfulthinking terhadap penguasa Belanda. Ketika pihak Belanda mengatakan bahwa orang Indonesia belum matang untuk merdeka, dan Belanda punya modal dan keahlian untuk membantu orang Indonesia, M.Husni Thamrin dengan enteng menjawab “orang Indonesia tidak pernah mengundang kalian!” Watak politik Thamrin sebagai seorang koperator yang dinamis bisa kita tangkap dari ucapannya “.... bila kami kaum koperator merasa pendekatan kami tidak efektif, maka kami akan menjadi yang pertama menempuh politik lain yang diperlukan.” Fraksi Nasional yang dia pimpin kemudian mengubah tujuannya menjadi Indonesia merdeka dan bukan lagi sekedar otonomi. Di Volksraad dia berkata lantang: “Nasionalis ko dan nasionalis non-ko memiliki satu tujuan bersama, yakni Indonesia Merdeka!”
Demikian dengan ringkas sketsa tentang ketokohan Thamrin sebagai anak Betawi yang memulai karier politiknya di peringkat dewan haminte (gemeente-raad) Betawi, kemudian menjulang gemilang sebagai tokoh nasionalis revolusioner yang menyumbang pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pelajaran berharga dari Thamrin bagi generasi muda kita sekarang adalah bagaimana sebagai revolusioner dia santun beroposisi, dia selalu sadar bagaimana bersikap terhadap lawan sebenarnya dan terhadap bukan lawan, oleh karena itu dia tau bagaimana bekerja-sama menggalang kekuatan dengan pihak-pihak berbeda visi untuk mengejar tujuan yang sama.
Kita menghargai karya Bob Hering yang mengangkat Thamrin ke permukaan, karena masih terlalu banyak generasi muda kita –- termasuk kaum intelektualnya -– yang kurang mengenal Thamrin.
Joesoef Isak, ed.