Klarifikasi dua konflik Joesoef Isak oleh tim redaksi


Klarifikasi dua konflik Joesoef Isak oleh tim redaksi "80 Tahun Joesoef Isak"

Bonnie Triyana & Max Lane

Ada dua masalah yang Redaksi tanyakan langsung kepada Joesoef, yaitu mengenai konflik dengan B.M. Diah di tahun 1963 dan konflik intern Hasta Mitra sebagaimana secara samar disinggung sedikit dan disayangkan oleh Koesalah Soebagyo Toer dalam tulisannya di atas.

1)  Mengenai konflik dengan B.M. Diah, Joesoef mengatakan banyak beredar berita atau komentar yang kebanyakan tidak correct. Joesoef menjelaskan memang betul terjadi konflik dengan B.M. Diah, tetapi tidak benar kalau dikatakan B.M. Diah memecat Joesoef dari Merdeka. B.M. Diah memutasi Joesoef dari pimpinan redaksi menjadi Ketua Dewan Perusahaan untuk seluruh Grup Merdeka. Pengangkatan ini ditolak oleh Joesoef dan dia tanpa pamit mengundurkan diri dari Merdeka.
        Setelah keluar tahanan tahun 1977, Joesoef beberapa kali menjumpai B.M. Diah, dan semua pertemuan itu penuh suasana persahabatan. Joesoef selalu menganggap B.M. Diah sebagai abang dan senior yang mendidik dan yang memberikan kesempatan kepadanya mengembangkan bakatnya sebagai wartawan. Sebelum B.M. Diah meninggal dunia, terjadi pertemuan yang menjernihkan segala masalah. B.M. Diah berkata kepada Joesoef, bahwa apa yang telah terjadi di masa lalu adalah suatu konflik politik. Konflik yang wajar dengan kondisi politik pada saat itu. Politis kondisi itu bergulir terus dan berubah. “Sekarang tidak ada konflik apa-apa aku sama kau. Ketika itu, kita berbeda pendapat. Itu wajar saja. Walaupun ada konflik, secara pribadi, kau tetap anak buah dan sahabat aku. Juga Zus Hera secara pribadi baik-baik saja terhadap kau, bukan? Apa kau sendiri tidak rasakan begitu?” tanya B.M. Diah kepada Joesoef.
     Joesoef sepenuhnya membenarkan kata-kata B.M. Diah, seorang yang selalu dia hormati sebagai abang, senior, guru dan dianggap oleh Joesoef sebagai salah seorang penulis editorial terbaik. Hubungan Joesoef dengan Herawati Diah sampai sekarang pun berlangsung baik. Dalam segala segi Joesoef hormat sekali pada Herawati Diah.
    Joesoef tetap tidak pernah bisa lepaskan emosinya sebagai orang Merdeka. The best years of my life saya jalani di Merdeka bersama Diah, katanya. Dia menyayangkan Merdeka sekarang sudah tidak ada.

2)    Memang betul dalam Hasta Mitra terjadi konflik intern. Dua kali ter­jadi konflik antara Pramoedya dan Hasjim Rachman –- mungkin tidak diketahui umum karena kedua pihak tidak mengumandangkannya keluar. Dengan Joesoef juga terjadi konflik pada tahun 2002. Joesoef mengatakan dia tidak ingin sama sekali berbicara tentang konflik Pramoedya dengan Hasjim maupun dengan dirinya sendiri. Joesoef menganggap sebagai sesuatu yang berada di bawah mar­tabatnya untuk berbicara tentang substansi konflik-konflik itu. Dia tidak peduli, apa pun pendapat orang lain. Kata Joesoef “versi saya tidak penting!” Kebenaran adalah kebenaran, biar kebenaran itu sendiri suatu waktu akan muncul. Lalu Joesoef berkata, “Saya ingin berbicara mengenai Pramoedya hanya sebagai sahabat politik yang seiring sejalan, sebagai budayawan dan novelis besar yang sangat saya kagumi. Peranannya yang penting dalam revolusi dan pencerahan pikiran. Sampai kapan pun saya akan bersikap demikian mengenai Pramoedya. Titik!”

Itu keterangan khas Joesoef yang memang sudah kami duga. Mengenai keadaan Hasta Mitra sebenarnya team redaksi tahu duduk soal. Oey Hay Djoen almarhum paling tahu dan pernah bercerita lengkap, juga percetakan dan distributor di Yogya tahu betul duduk soal, karena Joesoef dalam segala hal selalu bersikap transparan. Yang pasti konflik intern Hasta Mitra tidak menyangkut masalah politik atau literer. Menurut Joesoef tugas politiknya bersama Hasjim untuk menerbitkan semua buku Pramoedya produksi Pulau Buru sudah selesai. Mission accomplished! 
      Penerbitan karya-karya Pramoedya berikut urusan distribusi dan keuangan diurus oleh keluarganya sendiri oleh Joesoef dianggap hal yang paling baik –- ed. ***
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 2:50 AM

Amanat terakhir A.M. Hanafi, pejuang yang dilupakan...

Amanat terakhir A.M. Hanafi, pejuang yang dilupakan....

Joesoef Isak


Sebelum 1965 A.M. Hanafi sebagai Tokoh 45 mau pun sebagai Menteri saya kenal hanya formal saja dalam fungsi saya sebagai warta­wan. Kenal lebih dekat, bah­kan jadi saha­bat kental baru terjadi setelah sama-sama di­terpa badai ganas ke­­ku­­asaan Orde Baru Suharto. Seba­gai Dubes dia menjadi pelarian politik yang men­dapat asylum di Paris dan saya jadi (ex)-tapol. Pertama kali ber­jumpa dia di Paris 1978, Hanafi hidup dalam serba kekurangan, dia bahkan sang­gup dan berani menjadi “penjaga malam” untuk menghidupi ke­luar­­ganya. Tetapi dalam per­jumpaan ke­dua, dia sudah memiliki “Restaurant Jakarta-Bali” di Rue Vauvilliers, dekat sta­siun Metro Halles yang stra­tegis di tengah kota Paris. Modal bisa dia kum­pulkan setelah anak-anak­nya mulai mempu­nyai mata-­­pen­­­carian sendiri.
     Bung Hanafi memang biasa sekali-sekali menel­e­pon dari Paris, kadang-kadang pan­jang-lebar dia utarakan analisis poli­tiknya sebagai seorang yang me­­ngamati situasi internal Indonesia dari kejauhan, kadang-ka­dang dia bicara pen­dek saja untuk sekedar melam­piaskan uneg-uneg­nya. Seba­gai pe­mu­­da-peju­ang yang di tahun 1945 ikut aktif dalam pen­dirian Repu­blik Indonesia yang merdeka, dia kece­wa berat mengi­­kuti perkem­bangan di tanah-air.
      Pada hari Minggu 29 Fe­bruari –- ter­nyata dua hari kemudian dia mening­gal –- bung Hanafi menyam­paikan kepada saya, bahwa dia sedang menyiapkan bukunya yang ketiga. Buku per­­tama “Menteng 31” bisa terbit semasa Suharto masih ber­kuasa (1996) berkat ban­tu­an ang­gota Komnas HAM B.N. Marbun S.H. dan Aris­tides Katoppo dari Penerbit Sinar Harapan. Buku kedua ber­judul “Hanafi Menggugat” diterbitkan oleh penerbit fiktif Edition Montblanc, Lile-France 1998. Kedua buku itu sebenarnya semua dikerja­­kan di Jakarta oleh Hasta Mitra. Saya diperca­yakan oleh Bung Hanafi untuk meng-editnya. Buku ketiga belum rampung, tetapi sudah cukup banyak bahan terkumpul yang semua masih dikerjakan dengan mesin-tulis karena Bung Hanafi belum terbiasa meng­­gunakan komputer.
      “Bahan-bahannya sudah ter­lalu lama saya pendam. Saya akan buka semua, blak-blakan mengenai apa yang saya tahu dan alami sendiri di masa lalu.” Dia katakan: “Tidak peduli bakal banyak orang yang marah kepada saya. Rakyat perlu tahu, generasi muda perlu tahu. Saya tidak akan salah­kan siapa pun, kita semua ber­salah!”
     Untuk sementara dia cuma sam­pai­kan butir-butir tulis­annya lewat telepon. Nanti bila sudah ram­pung dia ber­niat menyam­pai­kannya ke­pada saya. Tolong edit, uang-cetak sudah disang­gupi oleh salah seorang keme­nakannya di Jakarta, demikian katanya. Saya tidak ingin dan juga tak ber­hak meng­ungkap semua butir-butir yang sudah disam­paikan kepada saya. Sebaik­nya kita menunggu tulisan asli­nya yang otentik. Copy­rightnya sekarang tentu ber­ada di tangan anak-anaknya sebagai para pewaris sah.
      Mengenang pejuang tua yang terlupakan atau senga­ja dilupa­kan itu, saya hanya kutip dua butir dari perca­­kapan telepon terakhir pada hari Minggu yang lalu itu.
     A.M. Hanafi: “Sehari se­be­lum berangkat ke tempat tugas di Havana-Kuba, aku jumpai Aidit di rumahnya di Tanah Tinggi. Aku bilang : Hati-hati kau! Lawan yang kau anggap macan kertas, bisa berubah punya gigi beneran. Habis kau nanti dikunyah-kunyah!”
     Lebih lanjut: “Saya me­mang dekat dengan Aidit, dekat de­ngan PKI, tetapi saya juga dekat dengan NU, dengan Murba, PNI, Nasu­tion, Achmad Yani, Badio-PSI. Nasakom! Itu Garis Bung Karno! Garis Bung Karno!” dia ulang-ulang dengan suara yang meninggi.
     Hanafi bertanya, kapan negeri kita berhenti ambu­radul? Aceh enggak selesai-selesai, korupsi menjadi-jadi, gontok-gontokan suku dan fanatisme agama enggak reda-reda. Cuma kaum elit hidup senang dan nyaman di Indonesia.
    “Bung catat ini!” katanya kepada saya, “tolong susun yang baik dan siarkan supaya semua orang di Indonesia membacanya,” Bung Hanafi sering kasih “instruksi” se­perti itu, seakan-akan saya wartawan yang masih punya koran. Instruksi seperti itu sebenarnya suatu refleksi jeritan hati, dia me­ngimbau-imbau kepingin sua­ranya di­dengar. Bung Hanafi mera­sa sekali bahwa ia sudah tidak masuk hitungan, diku­cilkan, dilupakan sama sekali.
     “Indonesia baru akan beres, hanya kalau Presiden­nya lebih dulu merehabilitasi Bung Karno. Jangankan ber­terimaksih dan menghor­­­ma­ti­­­­­nya, malah bapak bangsa dikhianati dan dihina. Semua kualat! Bagai­mana mau re­konsiliasi, ba­gai­mana mau rukun, bagai­mana mau urus kesejah­­teraan rakyat, kalau bapak bangsa yang memper­sembahkan kemerdekaan bangsa, mati se­ba­gai tahanan politik dan sampai hari ini tetap belum direhabilitasi. Yang saya maksud adalah rehabilitasi tuntas, tidak se­paroh-sepa­roh. Cabut semua TAP dan peraturan yang langsung atau tidak langsung merendahkan Soekarno.
       “Presiden yang berhasil membereskan Indonesia, hanyalah Presiden yang dalam langkah awalnya mereha­bilitasi Bung Karno dengan tuntas. Saya tidak peduli siapa yang akan ter­pilih jadi Presiden baru, Saya sepenuh­nya dukung Presiden baru yang akan me­rehabi­litasi Bung Karno. Saya harap, keme­nakan saya – demikian dia selalu menye­but Mega – berani dan punya kekuatan untuk mereha­bilitasi bapak­nya,” demikian Hanafi men­cu­­rahkan isi ha­tinya. “Kalau Mega tidak mau, biarlah rakyat pilih Pre­siden yang mampu dan bera­ni merealisir seruan saya ini.”
    “Ali Sadikin pernah minta saya pulang, tapi apalah daya saya yang sudah tua dan sakit-sakitan ini. Saya pun tak mungkin meninggalkan kekasih saya di sini.” De­ngan kekasih, Bung Hanafi maksudkan alm. istrinya Ibu Sukendah, yang makamnya berada di Paris. Biarlah ge­nerasi muda ymg menye­lesaikan perjuangan saya!” Demikian Hanafi.
     Saya sepenuhnya mengga­ris-bawahi seruan Bung Hanafi, sebab rehabilitasi Soekarno adalah suatu ke­arifan politik strategis untuk mulai membenahi berbagai ke­rancuan, dan menem­pat­kan kembali agenda refor­masi pada jalan yang benar.
     Rehabilitasi Bung Karno sama sekali bukan suatu nostalgi untuk kembali ke masa lalu. Malah sebalik­nya mau me­nempuh masa depan dengan bimbingan pemikiran Bung Karno yang visioner, justru dalam menghadapi era kolo­nialisme globalisasi se­karang ini wawasan Bung Karno men­jadi sangat rele­van sehingga mampu men­jadi senjata strategis paling ampuh.
Alm. A.M. Hanafi di Paris (1999) bersama Pramoedya Ananta Toer dan Joesoef Isak
      Pancasila, Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Trisakti adalah aset nasional cemer­lang yang diwariskan Bung Karno sebagai azas sekaligus program kerja membangun Re­publik kita yang kaya-raya tetapi dengan rakyat yang masih tetap miskin.
       Menutup kenangan pada pejuang yang dilupakan ini, perlu disampaikan di sini, bahwa juga A.M Hanafi harus direhabilitasi dan di­hormati sebagaimana wajar menjadi haknya.

***
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 9:15 PM

Revolusi Indonesia mandeg oleh Orde Baru

 Revolusi Indonesia mandeg oleh Orde Baru

Max Lane

Saya membaca Bumi Manusia pertama kali pada tahun 1980. Ketika itu aku berumur 29 tahun dan sedang bekerja sebagai Sekretaris Dua di Kedutaan Australia di Jakarta di bagian proyek-proyek bantuan pembangunan. Sebelumnya saya pernah menterjemahkan sandiwara politis W.S. Rendra, Kisah Perjuangan Suku Naga, sebuah terjemahan yang sudah diterbitkan di Australia dan Amerika dan juga sudah dipentaskan di berbagai negeri. Pada tahun 70an, suara sajak dan drama Rendra merupakan suara peloporan daripada perlawanan terhadap kediktatoran Suharto.
        Ketika membaca BUMI MANUSIA pada tahun 1980, pertama saya tenggelam dalam keasyikan ceriteranya, dengan berbagai perannya yang menarik -- Nyai Ontosoroh, Minke, Annelies, Darsam, dan semuanya. Tetapi bukan hanya itu. Dengan membaca BUMI MANUSIA saya tiba-tiba sadar bahwa saya sedang membaca sebuah karya sastra yang revolusioner. Revolusi, itu yang sedang dijelaskan oleh Pramoedya, yaitu revolusi Indonesia pada awal-awalnya. Membaca BUMI MANUSIA adalah pertama kali dalam hidup saya saya sungguh-sungguh mengerti bahwa revolusi terutama ialah sebuah proses kreatif.
      Yang dijelaskan dalam roman BUMI MANUISA ini ialah bagaimana sebentuk kepribadian, sebuah jenis manusia tak tak pernah berinjak kaki di atas bumi Indonesia mulai untuk pertama kali menginjak kakinya itu. Sebelum ada generasi Minke -- Tirto Adhisuryo dan Kartini -- yang namanya manusia Indonesia belum pernah keluar dari kandung seorang ibu. Sebelumnya ada manusia Jawa atau Minangkabau atau Tionghoa atau Aceh. Dan BUMI MANUSIA menggambarkan bahwa lahirnya manusia Indonesia ini bukan, sama sekali bukan hasil penggabungan nilai budaya dari berbagai etnis, tetapi justru sebuah proses yang menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Proses ini berdiri di atas pertentangan antar nilai-nilai pembebasan dan ilmu pengetahuan dengan sebuah bentuk kediktatoran yang bernama kolonialisme.
      Buat Pramoedya Ananta Toer, perempuan muda Jawa yang bernamam Kartini itu, yang tinggal sendiri di sebuah kompleks bupati, jauh dari pusat dinamisme dunia di Eropa, menemukan ide-ide dan nilai yang dengan sendirinya bertentangan dengan kediktatoran ala Barat yang bernama kolonailisme itu. Begitu juga Tirto Adhsiuryo yang belajar nilai itu dari seorang korban kerakusan Barat, Sanikem yang dijual pada pengusaha Belanda, yang beranjak melalui sebuah proses revolusi diri menjadi Nyai Ontosoroh, seorang perempuan yang teguh dan mampu.
      BUMI MANUSIA, apalagi novel-novel berikutnya ANAK SEMUA BANGSA, JEJAK LANGKAH, dan RUMAH KACA, harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Sastra revolusioner ini, yang penuh kemanusiaan maupun semangat pembebasan, harus bisa dibaca orang di luar Indonesia. Itu perasaan saya itu pada waktu itu. Saya merasa itu urgen pada saat itu, dan masih urgen pada tahun 2006. Bung Pramoedya dan kawan-kawan di Hasta Mitra, Joesoef Isak, dan Hasyim Rachman menyetujui. Saya mulai dan selesaikannya secepatnya. Kemudian diterbitkan oleh Penguin Australia dan United Kingdom. 10 tahun kemudian disusul oleh William Morrow dan Penguin Amerika.
     Sejak tahun 1980-81 sampai sekarang proses penterjemahan karya Pramoedtya itu lebih berpusat pada proses berusaha mengerti pikiran Pramoedya dan mengerti perjalanan revolusi nasional Indonesia. Menerjemahkan Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca bukan hanya atau terutama sebuah usaha bergulat dengan bahasa. Terutama ialah usaha bergulat dengan sejarah revolusi Indonesia dan revolusi Indonesia sekarang. Menerjemahkan ataupun membaca karya-karya Pramoedya yang dia tulis sejak tahun 1959 tak teropisah dari proses belajar mengerti soal hubungan antara revolsi dan Indonesia.
      Untuk banyak orang “revolusi” berarti kekerasan. Memang revolusi Indonesia penuh dengah kekerasas, terutama yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang. Tetapi kaum pemuda juga angkat senjata dan bambu runcing pada tahun 1945-49 juga. Tetapi bukan itu yang terutama. Revolsui berarti memutarbalikkan tatanan masyarakat sekaligus, dan ini juga syarat mutlak, sekaligus mencipatakan sesuatu yang baru. Dalam proses sejarah revolusi Indonesia kolonialisme diputarbalikkan dan lahirlah sebuah kreasi baru Indonesia, bangsa Indonesia, negeri Indonesia, dan manusia Indonesia.
  Indonesia adalah kreasi revolusi. Tetapi menurut Pramoedya proses ini belum selesai, belum tuntas, terhambat proses menuntaskannya oleh Orde Baru itu sendiri. Empat buku BUMI MANUSIA sampai RUMAH KACA sebenarnya baru menceriterakan asal-usul dari proses revolusi ini, belum revolusinya sendiri yang mulai dengan berdirinya Sarekat Islam, dengan sastra pembebasannya seperti novel-novel mas Marco, dan yang berkembang dengan muncul figur-figur seperti, Soekarno yang penuh dengan seribu ide, kemudian munculnya berbagai partai, sastra-sastra baru sebagai basis kebudayaan baru, revolusi fisik tahun 1945-49, kemudian berbagai pergulatan untuk selesaikan revolusi sesudah kemerdekaan.
        Tetapi empat buku yang ceritera sekedar asul-usulnya itu sedemikian kaya dengan kemanusiaan dan sejarah. Bangsa dan orang Indonesia dan orang luarpun bisa mulai sadar akan dinamisnya revolusi Indonesia dari tahun 1900 sampai dengan 1965, kemudian tersendat-sendat mulai bangkit lagi sedikit pada tahun 1970an zaman mahasiswa dan perjuangan suku Naga, kemudian tahun 1980an zaman Hasta Mitra dan kelompok diskusi dan tahun 1990an zaman aksi di jalan dan jatuhnya Suharto. Bahkan kita semua bisa mulai sadar bahwa revolusi Indonesia ini tidak kalau sebagai enersi pembebasan dibanding dengan revolusi dunia lain yang mengubah dunia, seperti revolusi Prancis atau revolusi Amerika.
      Hanya kesadaran ini baru mulai saja. Kurang banyak orang Indonesia sudah membaca karya-karya Pramoedya.
      Ini merupakan tantangan. Semua karya klasik Pramoedya, terutama 4 buku ini tetapi juga ARUS BALIK, AROK DEDES, MANGIR, HOKKIAU DI INDONESIA antara lain harus menjadi bacaan wajib di sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah dan universitas.
      Bahwa anak-anak sekolah tidak diberi kesempatan membaca dan serius mempelajarinya adalah dosa besar. Bayangkan kalau di Inggris, Shakespeare dan Charles Dickens tidak diajarkan di sekolah; atau Steinbeck dan Hemingway tidak diajarkan di sekolah-sekolah Amerika. Serius gila! Kriminalitas! Sastra adalah basisnya setiap kebudayaan nasion. Sebuah karya terbesar sebuah nasion harus menjadi bacaan wajib untuk dipelajari di sekolah. Setiap murid harus bisa pegang buku-bukunya dan memilikinya berdiri di rak bukunya di rumahnya, biar itu rumah mewah di Menteng atau gubuk kecil di desa pelosok. Setiap perpustakkan sekolah harus punya dan setiap perpustakaan umum. Dan bukan hanya buku Pramoedya, tetapi semua klasik, baik dari zaman kolonial, zaman penuntasan revolusi (1949-65), zaman penindasan revolusi (1965-73), atau zaman kebangkitan kembali (1974-98).
      Tetapi karya-karya Pram adalah sastra yang mulai kembalikan Indonesia pada bangsanya dengan kembalikan sejarah kekreatifan politiknya. Karena itu, karya Pramoedya ini harus jadi prioritas menjadi bacaan wajib sekolah, persis seperti disuarakan oleh Wakil Presiden Adam Malik sesudah dia membacanya tahun 1981. Adalah tugas wajib oleh semua kita pembaca Pramoedya untuk sekarang berdiri dan menuntut ini: jadikanlah buku-buku ini bacaan wajib di sekolah. Pakai surat, petisi, demo atau apapun: ini tantangan buat kita semua ini.
      Mau saya tambah juga sebuah komentar lain: jangan lagi bicara BUIRU QUARTET. Jangan lagi menulis bahwa karya terbesar Pramoedya adalah Buru Quartet, yaitu empat buku yang mulai dengan BUMI MANUSIA itu. Memang BUMI MANUSIA mempunyai hikayat sendiri di Pulau Buru, penjara konsentrasi buatan Orde Baru itu. Ketika para tahanan pada demoralisasi sesudah terjadi siksaan dan pembunuhan, Pramoedya ceriterakan kisah penculikan gadis berumur 14 tahun bernama Sanikem untuk dijadikan gundik seorang Belanda dan bagaimana dia berjuang beranjak menjadi orang lebih bermartabat dari sang penculiknya sendiri.
      Tetapi empat buku merupakan bagian daripada sebuah karya intellectual yang lebih besar. Sebenarnya kita seharusnya bicara bukan empat  karya Buru tetapi delapan. Di dalam tahanan, dengan ingat-ingat semua bacaan dan risetnya dari tahun 1958-65, Pramoedya berhasil menulis 8 karya yang semuanya merupakan sebuah kesatuan. Babak-babak penting dalam sejarah Indonesia dianalisa dan diceriterakan lewat fiksi buat bangsanya: AROK DEDES, ARUS BALIK, MATA PUSARAN (naskahnya hilang), MANGIR dan baru kemudian BUMI MANUSIA, ANAK SEMUA BANGSA, JEJAK LANGKAH, dan RUMAH KACA. Naskah-naskah ini menjadi sebuah kekayaan budaya dan politik milik bangsa Indonesia dan dunia yang tak ternilai harganya.
      Pada tahun-tahun terakhir ini saya juga sudah selesai terjemahkan HOKKIAU DI INDONESIA dan juga AROK DEDES. Sebentar lagi, saya berharap, saya akan mulai terjemahkan ARUS BALIK. Memang ini semua juga bicara pada orang di luar. Sebagai penerjemah BUMIA MANUSIA dan ketiga buku lainnya, sampai sekarang saya terima surat dari segala macam pembaca mengucapkan terima kasih. Berapa banyak pembaca asing jatuh cinta sama buku-buku ini. Mengapa? Karena kuat gemanya suara revolusi. Begitu banyak orang yang rindu untuk pergolakan yang membebaskan dan menciptakan yang akan membabat dari kehidupan dunia kontemporer ini semua ketidakadilan, kebodohan, kebosanan yang terciptakan oleh sebuah system masyarakat dunia yang mapan dan sudah sampai jalan buntunya.
      “Kita sudah melawan, Ma,” berkata Minke pada Nyai Ontosoroh. Semua karakter Pramoedya dalam hikayat Nusantaranya yang ditulisnya ini adalah orang yang melawan. “Hanya ada satu kata: lawan” berbunyi syair Wiji Thukul pada tahun 90an. Indonesia diciptakan oleh proses kreatif yang dimulai oleh perlawanan. Semua proses kreatif dalam sejarah mulai dengan perlawanan. Penerbitan buku-buku Pramoedya tahun 80an oleh pemberani-pemberani Hasta Mitra juga merupakan sebuah perlawanan. Mungkin sejarah sudah mulai kembali dengan berbagai perlawanan ini. Mungkin akan sesuatu yang baru sama sekali terciptakan. Apakah itu? Saya belum tahu. Tetapi Pramoedya berkali-kali berkata bahwa dalam sejarah Indonesia ada suatu kekeliruan yang harus dibetulkan. Menggunakan nama “INDONESIA” katanya keliru. Pertama, ini ciptaan orang Barat. Kedua, artinya “kepulauan India”, dan Indonesia tak ada hubungan dengan India, kata dia. Pakai saja nama yang berasal dari sejarah sendiri: Dipantara atau Nusantara. Apakah dengan pernyataan ini oleh Pramoedya dia juga sedang berseru untuk rakyat Indonesia bangkit dan memulai sebuah proses kreatif baru?

***
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 11:54 PM

Soekarno Korban Perang Dingin

"Bung Karno Korban Perang Dingin"

 Pengantar Penerbit

Ini adalah buku yang kesekian kali mengenai Bung Karno, tetapi inilah buku pertama yang cukup mendasar dan substansial mengkaji keterkaitan Perang Dingin dengan penggulingan Presiden Soekarno. Menarik dalam buku ini adalah penjabaran dari awal kekuatan dominan adikuasa USA dalam Perang Dingin semasa melawan komunisme Uni Sovyet, berlanjut dengan uraian bagaimana histeria anti-komunis Barat cq Amerika Serikat menggunakan kendaraan badan-badan intelligent menggerayangi urusan internal negeri-negeri Dunia Ketiga.
      Kita selalu berpendapat, semua kajian menyangkut peristiwa G30S cacat berat, malah àpriori gagal bila membahas peristiwa G30S lepas dari konteks Perang Dingin. Alasan: Perang Dingin bukan semata-mata faktor luar yang terdiri hanya dari agen-agen intel luar negeri, CIA, State Department, Pentagon, White House dan berbagai foundation  donor di luar negeri. Faktor luar betul sekali berperan sangat besar, tetapi pelaksana dan faktor paling menentukan di lapangan adalah agen-agen setia para aktor Perang Dingin di dalam negeri.
      Hal ini pada awalnya sesudah peristiwa ‘65 tidak disadari, karena public opinion sejak semula sudah dibelenggu pada satu versi tunggal yang wajib dipercayai sebagai kebenaran. Segera setelah pembantaian Gerakan 30 Sept.’65, tampillah terbuka aktor Perang Dingin di dalam negeri, ia mengejawantah sebagai Pemerintahan Rejim Orde Baru yang sangat otoriter. Sebelumnya sudah lama menjadi pengetahuan umum bahwa agenda pokok Perang Dingin untuk Indonesia adalah penghancuran PKI. Dan begitu Orde Baru berkuasa, seluruh mesin propagandaOtdr Baru intens mencekoki benak orang Indonesia, dewasa dan anak-anak, dengan versi tunggal itu: G30S pasti tidak bisa tidak gawè-nya PKI! Adagium politik kekuatan Perang Dingin ketika itu pun sudah jadi rahasia umum: PKI tidak bisa dihancurkan sebelum lebih dulu menyingkirkan Bung Karno. Maka orang awam dan segenap inteligensia kita mulailah menyanyi dalam paduan-suara satu lagu satu lirik itu-itu terus: PKI biang-keladi, Soekarno terlibat, tra-la-la, tra-la-la. Tigapuluh  tahun lagu yang sama dinyanyi-kan sampai menjadi aset ingatan kolektif bangsa untuk diwariskan terus ke generasi-generasi berikutnya.
      Dengan sendirinya proses pembodohan menjangkiti kerangka berpikir inteligensia kita – termasuk pimpinan ABRI dan dunia pendidikan kita. Mereka tidak perlu berpikir, penguasa akan berpikir untuk mereka. Issue pokok dan masalah sampingan, sebab–akibat, kenyataan dan rekayasa, gebyah-uyah dicampur-aduk, semua disimplifikasi ke satu sasaran: PKI biang keladi. Itulah “kebenaran” yang wajib dipercayai.
      Tetapi sejarah menggelinding tanpa bisa distop oleh kekuatan apa pun, pergolakan politik terus berproses. Monopoli “kebenaran” Orde Baru yang tadinya kedap-air mulai bocor. Kebenaran Yang Benar mengalir ke luar tetes demi tetes, sang waktu yang jaraknya terus menjauh dari kejadian perkara, juga berangsur menjauh dari produk-produk kebohongan Orde Baru. Lagi pula bagi banyak orang Indonesia, lakon pada pentas politik global memudahkan untuk memahami apa yang pernah dialami bangsa Indonesia pada akhir September 1965 itu. Jelas kita lihat aplikasi benang merah “konsep standar kudeta àla CIA” menjelujur ke Dunia Ketiga. Konsep standar intervensi CIA itu gemilang dilaksanakan dengan berhasil oleh para agen kekuatan di dalam negeri.
 
Mengutip sedikit Suar Suroso:

Yang terjadi, bukan hanya penggulingan Bung Karno. Mulai Jacobo Arbenz di Guatemala, Presiden hasil pemilu digulingkan dan digantikan kolonel Castillo Armaz, di­dikan akademi militer AS. Penggulingan dan pem­bunuh­an Lumumba di Konggo, digantikan Moise Tschombe kemudian Mobutu, agen CIA. Ber-ulangkali terjadi penggulingan pemerintah Vietnam Selatan, mulai Ngo Dinh Diem sampai ke Nguyen Khanh, antek AS dalam Perang Vietnam. Di Thailand ­Phibul Songram digantikan Sarit Thana­rath yang pro AS; Syngman Rhee di Korea Selatan digantikan Park Chunghi, penggulingan Karim Kasim di Irak, penggulingan Pangeran Norodom Sihanouk digantikan Lon Nol, kaki tangan AS. Semua ini serentetan operasi CIA, alat uta­ma Perang Dingin, dalam rangka realisasi strategi the Policy of Containment.

Kita tambahkan di sini kudeta di Chili 1973. Penggulingan dan pembunuh-an Pres. Allendé dan munculnya diktator Pinochet jelas gawè-nya CIA -- ini tidak perlu diperdebatkan lagi karena dokumen-dokumen deklasifikasi CIA sendiri membenarkannya. Bulat-bulat confirmed.
    Satu contoh lagi yang gamblang aktual. Aparat intel Amerika sudah menginformasikan kepada G.W.Bush, kali ini serangan teror akan terjadi di pekarangan Amerika. Tetapi Bush diam saja – serangan lantas terjadi: menara kembar WTC hancur, 3.000 jiwa melayang. G.W. Bush mengeluarkan air-mata buaya, tetapi malapetaka itu menjadi berkah besar bagi-nya. Dia dapat dalih paling bagus untuk menginvasi Irak, menyingkirkan Saddam Husein dan melaksanakan rencananya meng-ekspor konsep demokrasinya dan mengobrak-abrik “terorisme Islam”.
      Apakah belum cukup fakta-fakta sejarah di pentas politik global untuk mengerti apa yang terjadi pada 30 September 1965 di Indonesia?
      Suharto sudah dikasih tahu oleh kol.A.Latief akan adanya gerakan terhadap dewan jendral. Tetapi Suharto diam saja, tidak lapor apa-apa pada atasannya. Enam jendral -- jend.Yani dan rekan-rekannya -- ternyata dibantai dengan kejam. Suharto menitikkan air-mata buaya, tetapi gugurnya pimpinan teras angkatan darat menjadi berkah besar bagi-nya. Di atas tumpukan jenazah para pahlawan revolusi, ia mendapatkan tempat-pijak meraih kekuasan puncak tertinggi, dan mendapat dalih paling bagus menggeser Presiden Soekarno dan menghancurkan PKI demi menegakkan demokrasinya, “Demokrasi Pancasila à la Suharto”.  Jadi siapa sebenarnya berkepentingan dan paling diuntungkan jendral Yani berikut rekan-rekan jendral lainnya ditiadakan?
      Kita lihat jelas, pola standar intel CIA menjelujur ke mana-mana; kemarin, hari ini, besok, selama kekuatan itu masih dominan di dunia. Perbedaan cuma terjadi dalam mutasi musuh-utama -- dulu menumpas komunisme, sekarang menumpas “terorisme Islam”, musuh-utama yang baru. Satu tambahan catatan kecil: diktator jendral Pinochet mati dalam status sebagai penjahat kemanusiaan pelanggar HAM. Dia tidak dapat penghormatan pemakaman kenegaraan, karena di Chili telah terjadi perubahan watak-kekuasaan. Di Indonesia diktator jendral Suharto turun pentas, tetapi watak-kekuasaan tidak berubah.
     Buku ini “buku-bacaan” sekaligus “buku-pelajaran”. Sesuai pri-laku berdemokrasi dan prinsip kebebasan individu, kita hormati apa yang ditulis penulis -- apa pun pandangannya. Kita pun menghormati pendapat pembaca apa pun yang disimpulkan setelah membaca buku ini.
***

Kita di sini hanya ingin menambahkan sedikit komentar tentang Bung Karno. Tergulingnya Bung Karno adalah suatu peristiwa dahsyat dalam sejarah, bukan saja bagi sejarah politik Indonesia tetapi juga bagi dunia.
     Di Indonesia sejak Oktober 1965 telah terjadi perubahan watak-kekuasaan kualitatif. Indonesia Mandiri mendadak jadi Indonesia Tergantung, peta politik dunia pun berubah bagi keuntungan kekuat-an-kekuatan mapan reaksioner, the old established forces. Indonesia, rakyatnya dan Indonesia sebagai bangsa rugi besar. Kerugian ini akan berlipat-ganda, berkelanjutan ke Indonesia masa depan apabila generasi muda kita tidak menyadari hal ini.
      Kita mengimbau anak muda terutama generasi pasca-1965 untuk mempelajari dan mengenal betul Bung Karno dengan seluruh wawasan pemikirannya, bukan untuk mengkultuskannya tetapi untuk memungut kembali konsep-konsep Bung Karno yang mengandung nilai-nilai kebenaran sejati, tetapi dibuang ke keranjang sampah oleh rejim Orde Baru. Kibas habis konsep dan mentalitas ketergantungan pada kapital asing. Tegakkan kembali Bung Karno, tegakkan kembali berdikari dan kemandirian. Laksanakan Trisakti Bung Karno dalam menempuh dan membangun masa depan Indonesia adil sejahtera.
      Buku ini berikut kata-pengantarnya tidak bermaksud menghasut anti-Amerika. Kita pegang teguh wawasan Bung Karno: di dunia dan di Indonesia terdapat kekuatan the emerging forces (nefo) dan the old established forces (oldefo). Di Amerika pun terdapat kekuatan nefo  walau pun mereka belum menang. Mereka sahabat kita, sekutu kita, itulah yang kita idolakan dari Amerika -- tetapi di atas segalanya tegakkan dan menangkan lebih dulu persatuan dan kesatuan the new emerging forces Indonesia menjadi kekuatan mayoritas yang dominan. Gusur unsur-unsur Orde Baru, rejim the old established forces yang masih domi-nan menyelinap di pentas politik Indonesia sampai hari ini dengan ber-bagai jubah reformasi palsu.

Itulah pra-syarat, itulah agenda pokok reformasi guna meraih perubah-an kualitatif dalam watak-kekuasaan pemerintahan. Bebas dari ketergantungan pada kekuasaan asing mana pun, selalu mendahulukan kepentingan rakyat. Merdeka sosial politik ekonomi budaya, demi Indonesia Jaya Mandiri Berdemokrasi Adil Sejahtera! Untuk itu mutlak dikibas sebersih-bersihnya sisa-sisa kekuatan dan wawasan-wawasan golkarnya Suharto dari segala institusi formal-informal dan dari otak bangsa Indonesia.***
Joesoef Isak

______

Pengantar Penulis

Perang Dunia usai dengan kekalahan fasisme. Bersama negara-negara Sekutu, Uni Sovyet tampil sebagai pemenang perang. Lahirlah di Eropa dan Asia berbagai negara berhaluan sosialisme. Martabat sosialisme menanjak. Ini tidak berkenan di hati Harry Truman dan Winston Churchill yang mewakili kekuasaan kapitalisme dunia saat itu. Berkobarlah Pe­rang Dingin mengobrak-abrik kekuatan progresif dunia. Indonesia tak luput dari musibah yang dilahirkannya. Boleh dikatakan, semua peneliti Indonesia yang berpikir maju memantau perkem-bangan sejarah Indonesia sesudah Perang Dunia II tidak lepas dari hubungan pengaruh Perang Dingin. Mulai dari W.F.Wertheim, Ernst Utrecht, Jan Pluvier, Rex Mortimer, Peter Dale Scott, Pramoedya Ananta Toer, Asvi Warman Adam, Dr Soebandrio, Manai So­phiaan, dan banyak lainnya.
      Penggulingan Bung Karno adalah halaman hitam dalam sejarah mo­dern Indonesia. Ini terjadi pada masa memuncaknya Perang Di­ngin di Asia. Yang terjadi, bukan hanya penggulingan Bung Karno. Mulai dari Jacobo Arbenz di Guatemala, Presiden terpilih hasil pemilihan umum digulingkan dan digantikan kolonel Castillo Armaz hasil di­dikan akademi militer AS; sampai-sampai penggulingan dan pem­bunuh­an atas Patrice Lumumba di Konggo yang digantikan oleh Moise Tschombe dan kemudian Mobutu Sese Seko agen CIA. Dan berkali-kali berlangsung penggulingan pemerintah Vietnam Selatan, mulai dari penggulingan Ngo Dinh Diem sampai terbentuknya Peme­rintah Nguyen Khanh boneka antek Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Berlangsung penggulingan ­Phibul Songram digantikan Sarit Thana­rath yang pro Amerika di Thailand; penggulingan Syngman Rhee dan digantikan Park Chunghi di Korea Selatan, penggulingan Karim Kasim di Irak .... sampai-sampai penggulingan Pangeran Norodom Sihanouk dan digantikan oleh Lon Nol kaki tangan Amerika Serikat. Semua ini, adalah serentetan hasil operasi CIA, alat uta­ma Perang Dingin, dalam rangka realisasi strategi the Policy of ­containment.
     Dalam buku ini, Penulis berusaha memaparkan latar belakang, asal usul dan sejarah perkembangan Perang Dingin semenjak fasis Nazi tidak berhasil membasmi Uni Sovyet dalam Perang Dunia II.
      Puncak isi buku adalah penggulingan Bung Karno dan pembasmian PKI. Sebagai hasil studi kepustakaan, Penulis mengungkapkan bahwa dalang penggulingan Bung Karno dan pembasmian PKI di Indonesia tahun 1965 adalah Politbiro Perang Dingin, yaitu NSC Amerika Serikat. Eksekutornya adalah semua unsur aparat Perang Dingin yang sudah bercokol di Indonesia. Mulai dari alat-alat intelijen, agen-agen CIA, para perwira hasil didikan akademi-akademi militer AS, para cendekiawan atau pakar-pakar yang mendapat bimbingan dari ber­bagai lembaga riset dan lembaga ilmiah seperti Ford Foundation, Rockefeller Foundation yang disponsori atau dapat subsidi dari CIA. Mereka secara sadar atau tidak sadar, secara tertutup atau terang-terang­an sudah jadi pelaksana dari strategi the Policy of Containment. Berlangsunglah penggulingan Bung Karno dan pembasmian atas Sukarnois dan komunis, hingga Indonesia jadi berlumuran darah.
      Naskah buku ini selesai digarap pada tahun 2002, dengan judul Pe­rang Dingin sampai Penggulingan Bung Karno. Bab delapanbelas ada­lah sepenuh­nya isi tulisan Penulis berjudul Peristiwa Madiun, PKI Korban Perdana Perang Dingin yang pernah diterbitkan berupa bagian dari buku Berbagai Fakta dan Kesaksian Sekitar Peristiwa Ma­diun, yang telah diterbitkan oleh Pustaka “Pena” dan dimuat dalam buku PKI Korban Perang Dingin yang diterbitkan oleh “Era” Publisher. Kepada Pustaka “Pena”, Bung Koesalah Soebagjo Toer dan Bung Adi Purnomo saya ucapkan banyak te­rima kasih atas kesediaannya semenjak semula untuk mengusahakan pe­nerbitan buku ini. Tapi karena kandas dalam masalah dana, dan karena Pustaka “Pena” sudah tutup usaha, maka pe­nerbitan itu tak berhasil. Karena puncak isi buku ini adalah masalah penggulingan Bung Karno, judulnya Penulis ubah menjadi Bung Karno, Korban Pe­rang Dingin.

Penulis menghargai redaksi “Hasta Mitra” yang menyunting* naskah ini dan mencetaknya menjadi buku dan beredar di Indonesia dengan kata pe-ngantar Joesoef Isak.
      Semoga buku ini bermanfaat, menambah khazanah kepustakaan Indonesia, terutama menjadi bacaan bagi generasi muda yang masih anak-anak ketika peristiwa G30S terjadi, lebih-lebih bagi para aktivis muda yang lahir sesudah 1965. Belajar dari sejarah -- “jangan pernah tinggalkan sejarah!” Itulah kata-kata mutiara Bung Karno.***

_______
Biodata Penulis


Suar Suroso lahir di Padang, Sumatera Barat, 16 Mei 1930. Menyelesaikan SMP dan SMA di Padang dan Bukittingi,1950 kuliah di ITB Bandung jurusan elektro-tekhnik. Semasa revolusi bersenjata 1945-1949 menjadi anggota Batalyon Teras Lasykar Rakyat Padang Luar Kota (men-dapat Tanda Penghargaan dari Gubernur Militer Sumatera Tengah, Mr. Mohamad Nasroen), 1949 wk. Ketua IPPI Padang; 1951 anggota Consentrasi Mahasiswa Bandung (CMB), kemudian 1956 Sekretaris  DPD Pemuda Rakyat Jawa Barat.
      Sebagai aktivis organisasi pemuda, ia berkali-kali mewakili Indonesia dalam berbagai pertemuan pemuda

Suar Suroso
internasioanal, seperti a.l. di Beijing, Wina, Kairo, Santiago-Chili dan mewakili Pemuda Rakyat dalam Gerakan Pemuda Demo-kratik Sedunia dalam kapasitas sebagai wakil-presiden yang berkantor pusat di Budapest. Dalam kapasitas itu ia menghadiri berbagai kegiatan pemuda di India, Nepal, Sri Langka, Mesir, Maroko, Guinea, Mali, Senegal, Ghana, Jerman, Rumania, Denmark, Finlandia, Polandia, Albania, dan lain-lain. Mulai September 1961 melanjutkan studi di Fakultas Fisika Universitas Lomonosov, Moskow.
      Setelah Peristiwa 30 September 1965 pada bulan Agustus 1966 paspornya dicabut oleh KBRI Moskow; 1967 dinyatakan persona non-grata oleh Pemerintah Sovyet karena memprotes kerjasama Pemerintah Uni Sovyet dan rejim Soeharto. Sejak Februari 1967 meninggalkan Uni Sovyet dan bersama isteri dan dua anak bermukim di Tiongkok sampai sekarang.
      Dengan nama Nurdiana, sejumlah sajaknya dimuat dalam kumpulan sajak penyair eksil di Eropa Barat. Karya-karyanya yang sudah dibukukan: “Asal Usul Teori Sosialisme, Marxisme Sampai Komune Paris”; “ Bung Karno, Marxisme dan Pancasila”, “Peristiwa Madiun -- PKI Korban Perdana Perang Dingin” (Pustaka PENA). Yang belum diterbitkan “Marxisme Berkembang Maju”, uraian perkembangan Marxisme sampai awal abad XXI, sebuah bantahan terhadap pandangan bahwa Marxisme sudah ketinggalan zaman; selanjutnya “Kelas-kelas dan Perjuangan Kelas di Indonesia”, kajian historis tentang perjuangan kelas semenjak kerajaan-kerajaan tertua Nusantara sampai Perang Aceh.

***
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 10:50 PM

Draft "Biografi Joesoef Isak"

Draft "Biografi Joesoef Isak"

Kawan-kawan,
Cukup mengejutkan bagi saya ketika mendadak masuk ke email saya dari <bhineka@brd.de> draft naskah Biografi Joesoef Isak (yaitu mengenai diri saya); ditambah lagi dengan undangan mendiskusikan bersama dan terbuka naskah yang masih draft tersebut.
    Penulisan naskah tersebut adalah sepenuhnya atas prakarsa sdr. Hafis Azhari -- prinsip yang saya pegang dan konsisten saya pegang: setiap orang punya kebebasan menulis, dengan sendirinya juga sdr. Hafis Azhari yang saya tahu mempunyai maksud baik. Rupanya draft naskah itu dilempar ke forum publik, karena saya sendiri selalu berjanji akan membacanya, tetapi tidak pernah ada waktu untuk melakukannya. Sdr. Hafis Azhari rupanya tidak sabar menunggu sampai saya ada waktu. Karena tidak bisa menyediakan waktu, maka saya hanya berpesan (berkali-kali) kepadanya agar jangan sampai menyanjung saya karena saya anggap diri saya seorang non-person di tengah masyarakat yang setiap hari bisa membaca di koran tentang orang-orang yang memang menjadi tokoh penting. Sanjungan malah akan sangat embarassing sekali bagi saya.
    Banyak sahabat, termasuk kenalan dari kalangan univerties di Amerika, Australia dan Jepang, juga rekan-rekan di Indonesia sendiri mendesak-desak saya agar saya menulis memoire. Permintaan seperti itu terus mengejar-ngejar saya, dan saya rasakan sebagai beban berat seakan saya berutang  kepada banyak orang yang tidak saya bayar-bayar.
    Rasanya memang cukup bahan untuk diceritakan atau dijadikan buku, tetapi saya selalu bertarung dengan diri sendiri menyangkut isi, struktur, gaya, dan tidak kalah menganggu adalah mendapat waktu senggang di tengah kesibukan rutin yang tak henti-hentinya. Kalau pun saya menulis, maka niat saya bukan menulis biografi, melainkan semacam renungan, kumpulan corat-coret seorang journalist. Memang sudah cukup banyak saya lontarkan pengalaman saya kepada rekan-rekan wartawan dalam dan luar negeri, cuplikan-cuplikan sporadis pengalaman semasa era Bung Karno, sekitar peristiwa G30S, pengalaman pribadi dengan Nyoto, Aidit, Sudisman, pengalaman penjara dan pengalaman sebagai penerbit bersama Pramoedya dan Hasyim Rachman, dan banyak lagi yang lain-lain.
    Sebelum semua itu bisa saya kerjakan, sdr. Hafis Azhari datang kepada saya, dan meminta agar saya bercerita tentang pengalaman saya sebagai wartawan. Hafis Azhari memang mempunyai pengalaman-kerja dalam proyek oral-history menyangkaut masalah dan pengalaman tahanan politik. Sekali lagi saya tegaskan: tiap orang mempunyai kebebasan menulis.
    Sekarang rentetan interview yang dilakukan dengan saya dilempar ke publik -- dan saya tentu tidak punya hak dan juga tidak berniat melarang atau mencegah seseorang seperti Hafis Azhari untuk berkarya, dia saya kenal sebagai penulis muda yang produktif dan terutama sebagai seorang cendekia Islam yang maju, saya menganggapnya sebagai pembawa pikiran Islam renaissance.
    Saya -- ex-wartawan tetapi sekarang jadi editor dan penerbit Hasta Mitra -- hanya bisa berkomentar: masihkah draft tulisan tersebut akan menarik dijadikan buku bila sebelumnya sudah menjadi properti publik?

    Awal Oktober 2002 
Joesoef Isak

Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 9:46 AM

Novel Pramudya Ananta Tur "Gadis Pantai"

Novel Pramudya Ananta Tur "Gadis Pantai"

Catatan Penyunting (April 2000)

Gadis Pantai bersamaan dengan Sang Pemula, keduanya karya Pramoedya Ananta Toer terbitan Hasta Mitra, diberangus oleh Jaksa Agung rejim Orde Baru pada tahun 1987. Alasannya: buku-buku itu menyebar-luaskan marxisme-leninisme yang terlarang!
    Dulu tidak kami tanggapi keputusan Jaksa Agung itu karena Penulis, Penerbit, dan seluruh rakyat memang dibungkam untuk bersuara. Sekarang pun tidak ingin kami berpanjang-panjang menanggapi dagelan politik kekuasaan para jendral itu, karena bukan saja rakyat kita tetapi seluruh dunia –- termasuk negeri-negeri kapitalis yang paling anti komunis –- menter­tawakan alasan larangan oleh para pe­nguasa Orde Baru itu.
    Sang Pemula misalnya disebut sebagai novel, padahal buku itu adalah suatu karya-riset (non-fiksi),  sama sekali bukan novel. Terlalu kentara sekali di sini bahwa untuk memberangus Pramoedya, para penguasa rejim Orde Baru merasa sama sekali tidak perlu membaca lebih dulu isi bukunya. Di alam Era Baru Indonesia, praktek dagelan kekuasaan seperti itu kita harapkan tidak berulang.
Gadis Pantai kini kita hadirkan kembali dalam bentuk edisi baru dengan cover baru: Edisi Pembebasan.

Joesoef Isak, ed.

Catatan Penyunting (1987)

“This unfinished novel is one of Pramoedya’s best works surpassing (in my opinion) his classics, Perburuan, Keluarga Gerilya and Bukan Pasar Malam.” Demikian antara lain tulis Savitri Prastiti Sherer dalam thesis Ph.D.nya berjudul “From Culture to Politics –- The Writings of Pramoedya Ananta Toer, 1950-1965”, (Australian National University, July 1981), hlm. 238. Di lain bagian, promovenda bahkan berpendapat bahwa Gadis Pantai berada jauh di atas novel dan cerpen yang pernah ditulis Pramoedya, termasuk Bumi Manusia (yang tahun lalu terbit dalam bahasa Swedia di samping tujuh bahasa lainnya).
    Pengarang ketika menyampaikan naskah ini kepada penyun­ting, sedikit menjelaskan bahwa “kisah ini hasil imajinasi saya pribadi tentang nenek saya dari pihak ibu, nenek yang mandiri dan yang saya cintai.”  (lihat hal viii)
    Sebagaimana juga hampir semua novel dan cerpennya –- sekalipun fiksi atau imajinasi –- kisah dan tokoh-tokoh Pramoedya selalu berkait atau diangkat dari kenyataan dan pengalaman sejarah sosial-budaya manusia-manusia Indonesia. Dan khusus mengenai Gadis Pantai, ia berkait dengan keluarga pengarang sendiri, sehingga karenanya bisa disebut sebagai roman keluarga. Akan tetapi sayang sekali, kita tak dapat mengikuti kelanjutan dan akhir drama keluarga yang men­cengkam itu. Bagi pembaca Gadis Pantai merupakan suatu 'unfinished novel', kisah yang tidak selesai padahal Pramoedya sudah rampung menulis seluruh kisah. Dikatakan unfinished novel karena Gadis Pantai baru merupakan jilid pertama dari satu rangkaian trilogi, sedangkan naskah jilid ke-dua dan ke-tiga hilang-lenyap oleh vandalisme politik 1965 -– sampai sekarang tak dapat ditemukan dan dilacak kembali. Meskipun seluruh trilogi oleh Pramoedya sudah rampung ditulis di tahun 1962, tetapi baru naskah pertama saja, Gadis Pantai, sempat  diterbitkan sebagai  feuilleton, cerita bersambung dalam surat­kabar antara 1962-65.
     Tentang naskah dua buku terakhir yang hilang tak tentu rimbanya (jilid II dan III), dari pengarang didapat penjelasan bahwa bagian ke-dua meliput perjuangan kaum nasionalis, babak angkatan orang-­tuanya –- terjalin di dalamnya gemuruh isyu ko– dan non-kooperator terhadap kekuasaan kolonial; buku ke-tiga menyangkut perjuangan kemerdekaan, babak angkatan Pram sendiri. Jadi selain sebagai roman keluarga, trilogi itu  sekaligus juga merupakan roman perjuangan bangsa, roman sosial-politik, tetapi jelas “ …. jauh dari segala expressi propaganda politik” sebagaimana ditulis oleh promovenda Savitri Sherer dalam disertasinya tersebut di atas (hlm. 248).
     Penyunting cukup terkejut, ketika menerima naskah Gadis Pantai dalam bentuk fotokopi mikrofilm dari bagian doku­mentasi perpustakaan A.N.U., Australia. Penyiarannya dahulu dalam bentuk cerita-bersambung ternyata penuh dengan salah cetak, baris-baris yang hilang dan terputus begitu saja di tengah-tengah kalimat, sedangkan penempatan nomor-urutnya beberapa ada yang terbalik-balik. Dengan alasan itu, ditambah lagi repro­duksi mikrofilm yang sudah sulit terbaca, penyunting terpaksa di sana-sini memperbaharui dan menulis kembali bagian-bagian tertentu dari naskah ini demi kejelasan dan kesinambungan cerita. Tentu tanpa merubah sedikit pun isi, gaya dan semangat yang diekspresikan pengarang. Dari segi itu, segala kekurangan dan kelemahan edisi baru Gadis Pantai ini dengan sendirinya menjadi tanggungan penyunting.

Walaupun hanya bagian pertama saja, penerbitan kembali Gadis Pantai sekarang dalam bentuk buku terjilid, sudah lebih daripada berharga sebagai pendokumentasian salah satu mutiara kemilau dalam khazanah sastra Indonesia.

Jakarta, Mei 1987                                                   Joesoef Isak, ed.

                              

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih tertuju kepada bagian dokumentasi Australian National University Canbera, yang masih menyimpan naskah Gadis Pantai ini – dan Savitri P. Sherer yang mengirim kopinya kepada Pengarang – sehingga memungkinkan kisah ini diterbitkan di dalam bentuk buku, dan juga terimakasih kepada Arina Ananta Toer yang mengoreksi proefdruk sebelum naik percetakan – Penerbit.
Jakarta,  Mei 1987


Lanjutan kisah Gadis Pantai

Seperti ditulis dalam pengantar singkat penerbit pada edisi 1987, pengarang ketika menyampaikan naskah Gadis Pantai kepada penyun­ting, menjelaskan singkat bahwa “kisah ini hasil imajinasi saya pribadi tentang nenek saya dari pihak ibu, nenek yang mandiri dan yang saya cintai.”
Kisah keluarga yang sekaligus merupakan kisah gerakan nasionalisme Indonesia sudah rampung ditulis oleh Pengarang dalam tiga jilid (trilogi) di tahun 1962, akan tetapi hanya jilid pertama – Gadis Pantai – sempat beredar dalam bentuk cerita bersambung (1962-65) dalam LENTERA, lampiran kebudayaan suratkabar Bintang Timur. Jilid satu itulah yang terse­lamatkan dan bisa dibaca bangsa Indonesia maupun pembaca manca­negara mula-mula sebagai cerita-bersambung dan kemudian dibukukan, sedangkan di tahun 1965 jilid dua dan tiga musnah oleh vandalisme gerombolan yang kemudian menamakan diri Orde Baru. Walaupun hanya satu jilid, kisah Gadis Pantai merupakan suatu karya utuh – mengasyikkan sekali oleh mutu literernya yang tinggi, sambil memberikan gambaran sosial-budaya semasa yang menggugah nilai-nilai kemanusiaan  mengharukan bagi para pembaca. Namun pembaca wajar masih terus penasaran setelah menamatkan “unfinished novel”  ini.


GADIS PANTAI 

gadis kampung nelayan –- miskin, takberpendidikan –- mendadak hidup di kota jadi orang gedongan. Jadi Mas Nganten, nyonya bang­­sawan, berge­limang dalam keme­wahan dan ke­biasaan-kebiasaan yang tak pernah dialami sebelumnya.
     Anak laut yang tak pernah lihat intan laut, tahunya cuma bau amis ikan, hidup hanya bila sang bapak semalam suntuk menan­tang badai dan gelombang laut dan ikan-ikan terperangkap di dalam jala. Dulu cuma tahu jalankan perintah, sekarang mesti beri perintah kepada para sahaya, tetapi terhadap Bendoro suami ia tetap harus takluk mengabdi jalankan segala perintah.

Ah, bapak.
Bapak!
Aku tak butuhkan sesuatu
dari dunia kita ini.
Aku cuma butuhkan orang-orang tercinta,
hati-hati yang terbuka, senyum tawa
dan dunia tanpa duka, tanpa takut.

Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 10:18 PM

Buku Ruth Havelaar "Selamat Tinggal Indonesia"

Buku Ruth Havelaar "Selamat Tinggal Indonesia"

Kata Penutup
Suatu hari dalam tahun 1985 ia selesai dengan cerita pendeknya yang pertama: Despised Delight. Sementara membacanya, hatiku terharu dan sekaligus terguncang. Sudah sekitar lima tahun kami hidup berbagi nasib bersama, tidak pernah aku menyadari perihal itu. Bahwa se­sungguhnya ia pantas disebut sebagai pengarang. Walau sebelumnya ia pun memang pernah menerbitkan dua karangannya, yaitu De glooiende buik (Amsterdam, 1979) dan Nasi met Soesa (Jakarta 1985; Amsterdam 1986).
    Dalam pada itu suaminya, tanpa satu buku pun pernah ditulisnya, dikenal sementara orang sebagai penulis. Sepatah sebutan yang dengan sendiri membawa segala akibat-akibat yang bisa timbul dari sebutan itu. Yang paling buruk di antara segala akibat sebutan, yang ditopang di atas beberapa potong puisi, cerita pendek, dan esai yang terbit di sana-sini, ia harus dipenjarakan dan bahkan disingkirkan ke pulau pengasingan Buru. Anehnya lagi, justru karena itulah pula, maka sebutan pengarang yang sudah ganjil baginya itu, seperti mendapat pondasi pengu­kuhnya! Barangkali sekaligus inilah gambar ironi hidup, inti pesan yang dibisikkan di dalam kumpulan cerita-cerita pribadi Ruth Havelaar ini. Bahwa manusia hidup dan dihidupi oleh predikat-predikat, dan bukan oleh denyut jantungnya sendiri.
      Tentu sehubungan dengan itu juga jika di tengah masyarakat Indonesia sekarang, yang konon berpancasila, ada segolongan orang-orang yang dipandang seakan-akan berkasta paria. Mereka orang-orang yang turun-temurun dipandang sebagai bercemar politik sekaligus berpolitik cemar. Alasannya? Karena mereka bersanak-saudara de­ngan orang-orang yang, pada akhir tahun 60-an dan awal 70-an, oleh penguasa militer mendapat cap: ìterlibat kudeta G30S/PKIî tahun 1965. Betapakah akan jadinya orang-orang, dan keturunan mereka, yang mendapat cap hitam sepanjang sejarah itu? Mendengar dan melihat itu Ruth Havelaar tidak bisa tutup mulut.
     "I cannot remain silent about my experiences," tulisnya pada sahabat Australia. "It is so maddening that the military pervades the homes and minds of thousands families like our own, disturbing normal family life."1
      Akhirnya ia mempercayai saranku. Tapi kerendahan hatinya menuntut pengorbanan dirinya. Ia tetap bimbang. Benarkah Despised Delight sebuah cerita yang patut dibaca umum? Padahal ia sendiri sesungguhnya yang telah menjawab pertanyaan itu. Karena justru dialah yang telah mulai berbicara, tentang masalah yang telah sekian lama ditabukan itu. Ya, bukankah paria memang di luar caturwarna yang pantang disebut-sebut?

Seorang perempuan hendak memulai hidup baru, merintis jalan ke hari depan. Sesungguhnya ia, perempuan tokoh kisah Despised Delight ini, mempunyai cukup harapan bagi hari depan anaknya yang cerah. Tetapi sementara itu ia pun merasa masygul, jika membayangkan bencana yang setiap saat bisa mengancam hari depan angan-angannya itu.
      Gaya berceritanya lugas, tanpa basa-basi dan tanpa pretensi. Kisah pendek ini terbit pertama kali tahun 1988, oleh majalah berbahasa Inggris di Australia, Inside Indonesia. Kisahnya bukan sekedar karangan rekaan, melainkan sebuah laporan kejadian tentang akibat-akibat buruk, yang ditimpakan oleh kesewenang-wenangan pemerintah terhadap warga bangsanya sendiri. Sedangkan penulisnya pun bukan sekedar seorang penonton, yang berdiri di luar pentas kejadian. Ia sendiri salah seorang di antara mereka yang di-paria-kan, korban-korban yang tak terbilang jumlahnya itu.
       Penulis kisah ini Ruth Havelaar, nama pena Jitske Mulder, istri seorang eks-tapol. Ia seorang Belanda, baik menurut darah maupun menilik paspor. Karena itu, jika akal-sehat yang bicara, sesungguhnya tidak perlu ia harus termasuk salah seorang dari para paria masyarakat Indonesia. Tetapi, bukankah menjadi istri orang terlibat berarti sengaja melibatkan diri kepadanya? Memang, untuk menjadi istri paria, sesungguhnya keberanian diperlukan. Keberanian menetapkan pilihan. Pilihan ambil pihak.

Jitske lahir dan dibesarkan di Baambrugge, sebuah desa Kristen Calvijn tradisional, di provinsi Utrecht. Ia diasuh dalam buaian ranjang Tuhan Allah dan Alkitabnya. Dalam tahun-tahun terakhir umurnya banyak pahit getir hidup harus ditelannya, tetapi bersamaan dengan itu juga tidak sedikit butir-butir bernas bisa dicernanya. Di depan ma­tanya Gereja telah membikin orang-orang Alkitab yang hangat dan hidup menjadi tandus dan jauh. Namun seorang di antara mereka hadir di depannya sebagai wujud alter-ego pribadi. Dialah Ruth2. Perempuan yang telah berani menetapkan pilihan, termasuk pilihan menyerahkan segala-gala yang ada pada dirinya kepada Yang Asing.
     Untuk Ruth Havelaar Yang Asing itulah Indonesia.
     Tanahairnya, Nederland, ditinggalkan. Ia berangkat menuju Indonesia, untuk membangun hidup baru dan tinggal selama-lamanya di sana. Tidak lebih dari 12 kilogram bagasi yang dibawanya, tetapi dengan tekad dan keberanian yang tak tertakar. Ia kawin dengan seorang laki-laki eks-tapol di Jakarta. Mula-mula mereka tinggal di sebuah kampung di ibukota itu, dan belakangan pindah ke Bogor. Sekitar setahun sesudah perkawinan itu, lahirlah anak perempuan mereka. Cintanya pada anaknya inilah, di samping pada suaminya, sumber pertama inspirasi seluruh karangan yang dihimpun dalam buku ini.
      Ketika, oleh desakan banyak teman, ia akhirnya mau mengumumkan Despised Delight yang ditulisnya itu, seketika timbullah satu soal. Di bawah nama siapa karangan itu hendak beredar? Walau karangan itu akan terbit dalam sebuah majalah berbahasa Inggris pun, apakah penggunaan nama sendiri tidak akan membawa akibat bagi diri sendiri dan keluarganya? Bukankah tidak mustahil bahwa karenanya Sang Paria, suaminya, bisa kembali meringkuk di penjara? Dan bagaimana pula dia sendiri, dan anak kekasih itu? Benar ia masih tetap berkewarganegaraan Belanda. Tetapi perihalnya yang demikian itu, agaknya tidak akan banyak bisa membantunya, manakala suatu hari ìkesulitan politikî datang menerpanya. Politik ìhubungan baikî Belanda terhadap Indonesia niscayalah tidak akan dipertaruhkan untuk nasib satu keluarga Paria, bukan?
      Dengan nama samaran? Apakah nama samaran tempat berlindung yang sama sekali aman? Rasanya juga tidak. Despised Delight, walau ditulis untuk anak yang belum 5 tahun, bukanlah semacam dongeng petualangan ajaib atau sebuah nyanyian ninabobok. Lagi pula di sebuah kota kecil seperti Bogor, bagaimana bisa bersembunyi? Siapa yang tidak mengenalinya? Seorang perempuan Belanda, kawin dengan laki-laki pribumi eks-tapol, yang setiap bulan harus wajib lapor itu? Lebih dari itu mereka juga tidak termasuk golongan keluarga "orang-orang gedong­an". Mereka tinggal di sebuah kampung di belakang pabrik ban "Good Year", di mana pergaulan bertetangga lebih didekatkan melalui lembaga-lembaga yang dinamakan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Lembaga RT-RW, penerjemahan lembaga Tonarigumi dari jaman fasisme Jepang itu, sesungguhnya memang lebih berfungsi sarana kontrol ketimbang sarana administrasi. Tonarigumi-RT-RW ialah mata-mata dan telinga-telinga kekuasaan.
     Apakah Despised Delight harus disimpan dilaci selama-lamanya sampai hancur sendiri? Tidak. Barangsiapa bersampan-sampan di teluk sarang badai dan batu-batu karang pun mengancam, tetapi tidak berani mengayuh dayung, sesungguhnya ia tinggal menunggu saat tengge­lam saja. Jer basuki mawa beya, pepatah Jawa mengajar. Tidak ada sesuatu yang bisa diperoleh cuma-cuma dari hidup ini. Maka dengan segala resiko diumumkanlah Despised Delight, di bawah nama pena: Ruth Havelaar.
      Ruth oleh karena, seperti dikatakannya sendiri, itulah pribadi identifikasi dirinya: Perempuan Alkitab yang telah berani mengambil pilihan. Havelaar oleh karena, seperti tokoh kisah terkenal Eduard Douwes Dekker juga, ia ingin menyuarakan para Paria yang tertindas tapi tak boleh mengaduh sekalipun.
     Tujuannya tidak lain kecuali agar harkat kemanusiaan para Paria itu diakui seperti adanya. Baginya bukanlah kekuasaan tetapi kemandirian, itulah yang soal. Karena, bukankah kekuasaan selalu cenderung memborgol kemandirian, sebaliknya kemandirian selalu memberontak terhadap kekuasaan? Bagi Jitske Mulder nama Ruth Havelaar sama sekali bukanlah bangunan baja perlindungan, melainkan sebuah semboyan yang dengan sadar dikibarkan pada panji-panjinya.

Pada hari-hari pertama kami bertemu, berkisahlah ia antara lain tentang cerita perjalanan darat yang ditempuhnya, dari Sumatra ke Jawa. Ketika aku bertanya cenderung memrotes, mengapa cerita itu tidak ditulisnya, ia menja­wab: "Akh, aku bukan penulis. Lagi pula apa artinya untuk masyarakat umum?"
    Suatu hari di Jakarta Selatan, di rumah Direktur "Erasmus Huis" ketika itu, kami bertemu Margaretha Ferguson, Han Resink, dan Dick Hartoko. Ketika kisah perjalanan darat Jawa-Sumatra itu ikut muncul dalam pembicaraan, mereka pun bertanya setengah minta seperti halnya saya dulu. Tidak lama sesudah itu, ia memang sibuk menuturkan kisah perjalanannya pada mesin tulis. Selesai versi pertama. Tetapi segera disimpannya di laci. Tiba-tiba terjadilah peristiwa yang menyentuh kepekaan naluri kemandiriannya.
     Dalam tahun 1983 dilancarkanlah gerakan yang banyak dikicaukan: "Abri Masuk Desa". Semboyan yang dide­ngung-dengungkan riuh-rendah ini, ternyata memang bukan sekedar semboyan kosong. Menurut bunyi kata-kata­nya semboyan itu berarti, Abri datang di desa-desa dengan tugas memimpin pelaksanaan proyek-proyek pembangun­an, sesuai dengan yang telah ditetapkan pemerintah. Tetapi kenyataan praktiknya berarti, Abri bersibuk dengan urusan-urusan yang non-militer, demi mewujudkan doktrin pemerintah: "Dwifungsi Abri". Fungsi kemiliteran dan fungsi kesipilan. Dengan begitu maka kegiatan pengawasan militer atas sipil terpelihara, dan malahan terus-menerus semakin dipertajam.
    "Jika hari ini masuk desa", kataku suatu ketika, "Tinggal satu langkah lagi, besok mereka akan masuk dapur dan naik ke tempat tidur kita." Mendengar kata-kataku ia cepat-cepat membenarkan: "Tinggal satu langkah? Tidak! Sekarang ini pun, tanpa kita undang, mereka sudah duduk di ruang tamu kita."
      Barangkali ia teringat pada cerita kedua orangtuanya, tentang Baambrugge selama masa Perang Dunia II. Yaitu tentang keharusan penduduk sipil menjadi induk-semang bagi serdadu-serdadu Jerman. Dengan cara seperti ini Jerman bisa menguasai dua garis medan perang: garis depan dan garis belakang, sekaligus dua sisi situasi: situasi perang dan situasi "damai". Manuver ini tidak lain dan tidak bukan ialah penjabaran secara militer ajaran geopolitik Bluntschli3, yang kelak dikembangkan di dalam teori Lebensraum Hitler. Jalan dari teori ini menuju ideologi dan praktik "Dwifungsi Abri", kiranya jauh lebih pendek dari yang disangka orang. Dan demikianlah Ruth Havelaar memberi judul himpunan tulisannya ini The Quartering, atau Inkwartiering dalam versi Belanda.

Seperti berlomba dengan waktu ia menulis dan menulis, di sela-sela kesibukan hariannya. Sebagai guru, sebagai Ibu yang mencintai anaknya, dan sebagai istri eks-tapol yang nyaris tidak mempunyai kebebasan bergerak. Maka ia pun berjanji kepada dirinya sendiri: "Hersri, aku akan terus menulis. Aku belum mau mati sebelum buku ini selesai."
      Keinginannya mati di Indonesia, dan dikubur di bawah makam Ibu Mertuanya, ... "diselimuti sehelai kain batik, di bawah payung warna biru damai, di dalam pelukan tanah yang tenteram, dan di bawah kaki Ibu yang bijak dan tercinta" ..., sayang terpaksa harus ditanggalkannya. Setahun sebelum tutup umur ia kembali ke tanah kelahirannya. Tetapi keinginannya menyelesaikan tulisan-tulisannya sebelum mati, memang telah terpenuhi.
Dua puluh hari sebelum ia meninggal, yang sungguh terlalu cepat, pada 2 April 1989 di Kockengen, ditulisnya kata-kata terakhir kisahnya:

"Selamat tinggal Indonesia, kukirim bagimu harapanku, airmataku, dan cintaku ..."

      Di negeri asing pilihannya, Indonesia, Ruth Havelaar telah mendapati apa yang di sepanjang tahun-tahun hidupnya selalu dicarinya: kedamaian dan kebahagiaan. Tidak ada kedamaian setenteram di tengah perjuangan, tidak ada kebahagiaan semanis di dalam kepahitan. Dan semuanya itu ditemuinya di Indonesia. Persis seperti Ruth Alkitab Ruth Havelaar menghadapi dahsyatnya gelombang hidup yang tak kunjung reda. Namun delapan tahun terakhir di Indonesia, walau dengan segala ketegangan dan kesakitan, merupakan tahun-tahun paling berbahagia di sepanjang hidupnya. Suatu pagi di tahun 1985, di emper belakang rumah kami di Bogor, berkatalah ia: "... di sini aku merasa sangat berbahagia, Hersri. Seolah-olah aku sedang memulai dengan suatu kehidupan baru ..."
     Berkat kesediaannya merelativisasi segala sesuatu, maka ia pun dapat menikmati segala hal dan ihwal yang ada dan terjadi di sekelilingnya. Betapapun itu adanya! Maka, bahkan tentang tahun-tahun subur hidupnya pun, ia padatkan dalam baris-baris begini4:

              aku merasa seperti sebatang pohon
              kasar dan keras oleh angin dan badai
                  yang berkembang,
              terbang bunga-bunganya ditiup angin
              dan buah-buahnya pun terbuncang.

Kockengen, 1991                                                                                              Hersri


 ****
___________
1. "Tidak mungkin aku tutup mulut. Alangkah gilanya! Itu tentara Indonesia menyusupi kehidupan rumahtangga dan kehidupan batin beribu-ribu keluarga, juga keluarga kami. Itu mengganggu ketenangan hidup rumahtangga."
2. Alkitab; Lembaga Alkitab Indonesia 1979: 307-310.
3. Johan Kaspar Bluntschli (1808-1881), pakar hukum internasio­nal.
4. Mulder, Jitske. De glooiende buik, 179:38.


Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 7:56 PM