Amanat terakhir A.M. Hanafi, pejuang yang dilupakan...

Amanat terakhir A.M. Hanafi, pejuang yang dilupakan....

Joesoef Isak


Sebelum 1965 A.M. Hanafi sebagai Tokoh 45 mau pun sebagai Menteri saya kenal hanya formal saja dalam fungsi saya sebagai warta­wan. Kenal lebih dekat, bah­kan jadi saha­bat kental baru terjadi setelah sama-sama di­terpa badai ganas ke­­ku­­asaan Orde Baru Suharto. Seba­gai Dubes dia menjadi pelarian politik yang men­dapat asylum di Paris dan saya jadi (ex)-tapol. Pertama kali ber­jumpa dia di Paris 1978, Hanafi hidup dalam serba kekurangan, dia bahkan sang­gup dan berani menjadi “penjaga malam” untuk menghidupi ke­luar­­ganya. Tetapi dalam per­jumpaan ke­dua, dia sudah memiliki “Restaurant Jakarta-Bali” di Rue Vauvilliers, dekat sta­siun Metro Halles yang stra­tegis di tengah kota Paris. Modal bisa dia kum­pulkan setelah anak-anak­nya mulai mempu­nyai mata-­­pen­­­carian sendiri.
     Bung Hanafi memang biasa sekali-sekali menel­e­pon dari Paris, kadang-kadang pan­jang-lebar dia utarakan analisis poli­tiknya sebagai seorang yang me­­ngamati situasi internal Indonesia dari kejauhan, kadang-ka­dang dia bicara pen­dek saja untuk sekedar melam­piaskan uneg-uneg­nya. Seba­gai pe­mu­­da-peju­ang yang di tahun 1945 ikut aktif dalam pen­dirian Repu­blik Indonesia yang merdeka, dia kece­wa berat mengi­­kuti perkem­bangan di tanah-air.
      Pada hari Minggu 29 Fe­bruari –- ter­nyata dua hari kemudian dia mening­gal –- bung Hanafi menyam­paikan kepada saya, bahwa dia sedang menyiapkan bukunya yang ketiga. Buku per­­tama “Menteng 31” bisa terbit semasa Suharto masih ber­kuasa (1996) berkat ban­tu­an ang­gota Komnas HAM B.N. Marbun S.H. dan Aris­tides Katoppo dari Penerbit Sinar Harapan. Buku kedua ber­judul “Hanafi Menggugat” diterbitkan oleh penerbit fiktif Edition Montblanc, Lile-France 1998. Kedua buku itu sebenarnya semua dikerja­­kan di Jakarta oleh Hasta Mitra. Saya diperca­yakan oleh Bung Hanafi untuk meng-editnya. Buku ketiga belum rampung, tetapi sudah cukup banyak bahan terkumpul yang semua masih dikerjakan dengan mesin-tulis karena Bung Hanafi belum terbiasa meng­­gunakan komputer.
      “Bahan-bahannya sudah ter­lalu lama saya pendam. Saya akan buka semua, blak-blakan mengenai apa yang saya tahu dan alami sendiri di masa lalu.” Dia katakan: “Tidak peduli bakal banyak orang yang marah kepada saya. Rakyat perlu tahu, generasi muda perlu tahu. Saya tidak akan salah­kan siapa pun, kita semua ber­salah!”
     Untuk sementara dia cuma sam­pai­kan butir-butir tulis­annya lewat telepon. Nanti bila sudah ram­pung dia ber­niat menyam­pai­kannya ke­pada saya. Tolong edit, uang-cetak sudah disang­gupi oleh salah seorang keme­nakannya di Jakarta, demikian katanya. Saya tidak ingin dan juga tak ber­hak meng­ungkap semua butir-butir yang sudah disam­paikan kepada saya. Sebaik­nya kita menunggu tulisan asli­nya yang otentik. Copy­rightnya sekarang tentu ber­ada di tangan anak-anaknya sebagai para pewaris sah.
      Mengenang pejuang tua yang terlupakan atau senga­ja dilupa­kan itu, saya hanya kutip dua butir dari perca­­kapan telepon terakhir pada hari Minggu yang lalu itu.
     A.M. Hanafi: “Sehari se­be­lum berangkat ke tempat tugas di Havana-Kuba, aku jumpai Aidit di rumahnya di Tanah Tinggi. Aku bilang : Hati-hati kau! Lawan yang kau anggap macan kertas, bisa berubah punya gigi beneran. Habis kau nanti dikunyah-kunyah!”
     Lebih lanjut: “Saya me­mang dekat dengan Aidit, dekat de­ngan PKI, tetapi saya juga dekat dengan NU, dengan Murba, PNI, Nasu­tion, Achmad Yani, Badio-PSI. Nasakom! Itu Garis Bung Karno! Garis Bung Karno!” dia ulang-ulang dengan suara yang meninggi.
     Hanafi bertanya, kapan negeri kita berhenti ambu­radul? Aceh enggak selesai-selesai, korupsi menjadi-jadi, gontok-gontokan suku dan fanatisme agama enggak reda-reda. Cuma kaum elit hidup senang dan nyaman di Indonesia.
    “Bung catat ini!” katanya kepada saya, “tolong susun yang baik dan siarkan supaya semua orang di Indonesia membacanya,” Bung Hanafi sering kasih “instruksi” se­perti itu, seakan-akan saya wartawan yang masih punya koran. Instruksi seperti itu sebenarnya suatu refleksi jeritan hati, dia me­ngimbau-imbau kepingin sua­ranya di­dengar. Bung Hanafi mera­sa sekali bahwa ia sudah tidak masuk hitungan, diku­cilkan, dilupakan sama sekali.
     “Indonesia baru akan beres, hanya kalau Presiden­nya lebih dulu merehabilitasi Bung Karno. Jangankan ber­terimaksih dan menghor­­­ma­ti­­­­­nya, malah bapak bangsa dikhianati dan dihina. Semua kualat! Bagai­mana mau re­konsiliasi, ba­gai­mana mau rukun, bagai­mana mau urus kesejah­­teraan rakyat, kalau bapak bangsa yang memper­sembahkan kemerdekaan bangsa, mati se­ba­gai tahanan politik dan sampai hari ini tetap belum direhabilitasi. Yang saya maksud adalah rehabilitasi tuntas, tidak se­paroh-sepa­roh. Cabut semua TAP dan peraturan yang langsung atau tidak langsung merendahkan Soekarno.
       “Presiden yang berhasil membereskan Indonesia, hanyalah Presiden yang dalam langkah awalnya mereha­bilitasi Bung Karno dengan tuntas. Saya tidak peduli siapa yang akan ter­pilih jadi Presiden baru, Saya sepenuh­nya dukung Presiden baru yang akan me­rehabi­litasi Bung Karno. Saya harap, keme­nakan saya – demikian dia selalu menye­but Mega – berani dan punya kekuatan untuk mereha­bilitasi bapak­nya,” demikian Hanafi men­cu­­rahkan isi ha­tinya. “Kalau Mega tidak mau, biarlah rakyat pilih Pre­siden yang mampu dan bera­ni merealisir seruan saya ini.”
    “Ali Sadikin pernah minta saya pulang, tapi apalah daya saya yang sudah tua dan sakit-sakitan ini. Saya pun tak mungkin meninggalkan kekasih saya di sini.” De­ngan kekasih, Bung Hanafi maksudkan alm. istrinya Ibu Sukendah, yang makamnya berada di Paris. Biarlah ge­nerasi muda ymg menye­lesaikan perjuangan saya!” Demikian Hanafi.
     Saya sepenuhnya mengga­ris-bawahi seruan Bung Hanafi, sebab rehabilitasi Soekarno adalah suatu ke­arifan politik strategis untuk mulai membenahi berbagai ke­rancuan, dan menem­pat­kan kembali agenda refor­masi pada jalan yang benar.
     Rehabilitasi Bung Karno sama sekali bukan suatu nostalgi untuk kembali ke masa lalu. Malah sebalik­nya mau me­nempuh masa depan dengan bimbingan pemikiran Bung Karno yang visioner, justru dalam menghadapi era kolo­nialisme globalisasi se­karang ini wawasan Bung Karno men­jadi sangat rele­van sehingga mampu men­jadi senjata strategis paling ampuh.
Alm. A.M. Hanafi di Paris (1999) bersama Pramoedya Ananta Toer dan Joesoef Isak
      Pancasila, Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Trisakti adalah aset nasional cemer­lang yang diwariskan Bung Karno sebagai azas sekaligus program kerja membangun Re­publik kita yang kaya-raya tetapi dengan rakyat yang masih tetap miskin.
       Menutup kenangan pada pejuang yang dilupakan ini, perlu disampaikan di sini, bahwa juga A.M Hanafi harus direhabilitasi dan di­hormati sebagaimana wajar menjadi haknya.

***
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 9:15 PM