Buku Pramoedya Ananta Toer dibajak "angkatan muda" Yogyakarta
Pramoedya Ananta Toer: Ha... itu anak-anak Yogya yang mbongkar pembajakan buku saya. Wah... mbajak sampai tiga kali cetak, nampaknya itu. Sebenarnya dia membayar, tapi.... (Pram Melawan 2011:300)
Dari cuplikan kecil wawancara Pramoedya Ananta Toer di atas dalam buku PM yang terbit pada 2011 menjadi terang-benderang dan membuktikan adanya gerakan "main hakim sendiri" yang dilakukan oleh sekelompok pemuda yang didukung oleh Pramoedya sendiri pada akhir 2002 atau tepat sembilan tahun yang silam. Fakta di atas itu menjadi jawaban atas pertanyaan, "Siapa sebenarnya yang membajak buku karya Pramoedya Ananta Toer yang selama dua puluh tahun terakhir diterbitkan oleh Hasta Mitra?"
Hasta Mitra tatkala itu posisinya masih sebagai penerbit buku Pramoedya yang sah telah menerima kuasa penuh dari Pramoedya. Tulisan ini sebuah upaya menguak dan mengungkap rahasia kejadian di atas, dalam bentuk sebuah cerita yang berusaha membeberkan misteri tersebut berdasarkan kisah nyata, saksi hidup, dan bukti tertulis tentang sebenarnya siapa dalang di balik pembajakan buku terbitan Hasta Mitra yang selama ini dianggap "ikon perlawanan" musuh Orde Baru..
Hasta Mitra tatkala itu posisinya masih sebagai penerbit buku Pramoedya yang sah telah menerima kuasa penuh dari Pramoedya. Tulisan ini sebuah upaya menguak dan mengungkap rahasia kejadian di atas, dalam bentuk sebuah cerita yang berusaha membeberkan misteri tersebut berdasarkan kisah nyata, saksi hidup, dan bukti tertulis tentang sebenarnya siapa dalang di balik pembajakan buku terbitan Hasta Mitra yang selama ini dianggap "ikon perlawanan" musuh Orde Baru..
Penerbit Hasta Mitra memiliki ciri khas sebagai badan penerbitan yang tidak pernah bernegosiasi dengan tujuan menguasai ataupun mengambil-alih hak cipta/copyright yang menjadi hak penulis -- mulai dikenal luas sejak 1980 di dalam/luar negeri sebagai penerbit buku Pramoedya Ananta Toer khususnya di negeri-negeri yang menggunakan bahasa Indonesia: Indonesia dan Malaysia (yang notabene bahasa asli yang dipergunakan dalam tulisan Pramoedya). Walaupun Hasta Mitra memiliki ciri khas sebagaimana yang disebutkan di atas, masih didapati seorang penulis yang kebetulan berdomisili di negeri asing menyerahkan secara sukarela seluruh hak cipta dari semua tulisannya yang telah dan akan diterbitkan oleh Hasta Mitra. Konsistensi pada ciri khasnya maka © Hasta Mitra tidak pernah tercantum pada kolofon/halaman Romawi puluhan buku terbitan Hasta Mitra sejak 1980-2012.
Bandingkan bedanya antara Hasta Mitra dengan penerbit besar lainnya dalam soal yang satu itu.
Hubungan kerjasama sesama musuh Orde Baru itu mendadak-sontak putus sejak akhir tahun 2002, atau sekitar sembilan tahun yang silam penyebabnya hingga hari ini masih tetap misteri. Selama ini yang muncul ke permukaan publik dan telah menjadi memori publik ialah pernyataan bahwa Pramoedya memutuskan hubungan dengan Hasta Mitra di hadapan konferensi pers di Yogyakarta yang kemudian dimuat di suratkabar lokal, selanjutnya menyebar luas dan dikutip media lainnya. Misteri dan gosip apa yang menjadi penyebab Pram berlaku sebagai itu terhadap kompanyon sendiri dalam 20 tahun merebak sejak itu hingga hari ini tak terdamaikan dan berlarut-larut hingga diwarisi generasi berikutnya.
Merunut awal kejadian tatkala itu Pramoedya Ananta Toer sekeluarga setelah lebaran 2002 menempuh perjalanan ke Yogyakarta yang tatkala itu menjadi pusat produksi pencetakan buku karyanya, untuk mendapatkan fakta dan bukti benar tidaknya bukunya (PAT) dibajak oleh AMM yang menjadi distributor sekaligus percetakan di bawah bendera Adipura dan Jalasutra. AMM tatkala masih berusia sekitar seperempat abad, penampilannya handsome, ia seorang pemuda seberang.
Tindakan Pramoedya pada penghujung 2002 dipicu dan atas dasar laporan sahabat muda yang baru dikenalnya MU, yang juga merupakan seorang sahabat AMM. Sebuah sumber menyebutkan telah terjadi konflik pribadi antara AMM dengan (Mu) yang sama-sama menjadi pekerja intern pada distributor Adipura dan Jalasutra, Yogya. MU tatkala itu posisinya di perusahaan tersebut sebagai agen penjual dan pengedar buku Pramoedya khusus wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek).
Tidak sia-sia langkah yang dilakukan Pramoedya dengan mengecek langsung ke hulu produsen bukunya yakni distributor dan pencetak bukunya di Yogyakarta yang disebut di atas, di tempat kejadian perkara (tkp) Pramoedya yang diiringi oleh keluarganya memperoleh bukti "awal" yang sebenarnya terlalu dini baginya untuk dapat membuat kesimpulan apalagi mengambil keputusan sepihak dengan bicara kepada pers telah terjadi pembajakan pada satu judul bukunya -- tuduhan itu kemudian berkembang pada seri tetralogi yang berjumlah empat judul buku.
Tuduhan yang kemudian dilansir oleh media berdasarkan bukti "kwitansi percetakan" yang dibeberkan oleh MU di hadapan Pramoedya mengenai penggelembungan dari 3000 menjadi 5000 itu adalah tuduhan yang masih sumir! Apalagi yang dijadikan tertuduh hanya AMM saja tidak cukup, karena tuduhan selanjutnya tanpa alasan jelas tiba-tiba menyeret pada nama penerbit Hasta Mitra yang dianggap sebagai dalangnya. AMM yang menjadi tertuduh dan telah menerima vonis bersalah itu dapat terjadi tanpa pernah melalui proses pengadilan, betapa ia merasakan begitu dahsyatnya serangan fajar yang dilakukan angkatan muda Yogyakarta yang dimotori oleh anak buahnya sendiri. Konon mereka yang menyerang itu telah mengobrak-abrik kantor AMM sekaligus mengangkati mesin-mesin penyimpanan data penting, yang mereka incar adalah file milik Hasta Mitra yang isinya buku Pramoedya. File digitalisasi buku Pramoedya itu berasal dari kiriman Hasta Mitra untuk keperluan pencetakan buku yang telah diserahkan kepada AMM. AMM sendiri tatkala kejadian sempat diteriaki "...aling-...aling" oleh para penyerangnya. Akibat peristiwa tersebut menimbulkan trauma sehingga selama beberapa tahun AMM "bertapa" di sebuah kota lain yang cukup jauh dari Yogyakarta untuk mendapatkan siraman rohani dari "orang berilmu".
Hasta Mitra yang dikomandoi Joesoef Isak yang sekaligus editor handal Pramoedya itu mendadak sontak tercampak bagai gombal amoh akibat pemberitaan pers yang tanpa dasar hukum, dan sekaligus namanya juga tercoreng begitu saja seperti ampas tebu habis manis sepah dibuang. Joesoef Isak tidak pernah merasa menyesal telah "berbakti" tanpa pamrih kepada penulis besar itu. Dalam bentuk pepatah di bawah ini yang yang bisa melukiskan apa yang telah diamalkan oleh Joesoef, "Jangan pernah menyesal telah melakukan suatu amal-kebajikan..." Ada daftar panjang yang telah dilakukan oleh Joesoef Isak bagi Pramoedya mulai sejak Hasta Mitra berdiri 1980 hingga akhir 2002: Karya Pramoedya yang tidak sempurna sebagai Tetralogi, Gadis Pantai, dan naskah lainnya masing-masing memiliki tingkat kadar sebagai tulisan mentah yang harus diolah, dan di tangan Joesoef Isak yang tekun mengeditnya sedemikian rupa maka naskah itu berubah total. Naskah Pramoedya yang telah melalui tahap editing Joesoef dan selanjutnya masuk percetakan, lantas beredar telah diakui seluruh dunia sebagai karya sastra bernilai tinggi yang adigang, adigung, dan adiguna alias nyohor dan masyhur yang dinikmati dan disuguhkan kepada pembaca di seluruh jagad raya, padahal karya Pramoedya itu bentuk aslinya banyak mengandung berbagai macam kesalahan data, kesalahan logika sejarah, kesalahan dalam menerapkan praktek hukum (kolonial), dan kekurangsempurnaan lainnya. Walaupun demikian hal semacam itu memang lumrah dan wajar saja untuk suatu manuscript baru yang hendak diterbitkan menjadi buku.
Pramoedya Ananta Toer sebagai sastrawan memang tidak diragukan lagi kemampuannya yang terbukti menerima berbagai penghargaan tingkat nasional pra-tragedi September 1965. Begitu pula Joesoef Isak, tidak diragukan lagi kemampuannya sebagai wartawan senior dalam memimpin "Merdeka" pra-1965. Semasa "Merdeka" masih dipimpin B.M. Diah atasannya langsung, secara diam-diam Joesoef Isak sering menerima perintah atasannya menulis tajuk rencana atas nama B.M. Diah. Joesoef Isak sendiri mengakui B.M. Diah adalah gurunya yang terbaik, dan masa-masa hidupnya di "Merdeka" menjadi kenangan terindah dalam seluruh hidupnya.
Tatkala B.M. Diah diangkat sebagai Duta Besar R.I. di London, dengan sendirinya Joesoef Isak tampil menggantikan B.M. Diah.
Bung Karno sempat bertanya kepada Diah sewaktu melantiknya menjadi Dubes, "Bung, siapa yang bung serahi "Merdeka" sepeninggal bung menjalani tugas negara?"
"Joesoef," jawab Diah kepada Bung Karno.
Joesoef pun dipangging ke istana, dan Bung Karno menyampaikan amanatnya, "Saya ingin kau bawa "Merdeka" menjadi progresif revolusioner!"
Kembali kepada fasal manuscript Pramoedya di atas: Pramoedya memiliki kebiasaan antimembaca ulang tulisan sendiri, dan malas untuk mengedit tulisannya sendiri, ia sering berhenti di tengah jalan, dan itu terjadi tatkala mengedit karyanya "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu" dan meletakkan di meja Joesoef Isak. Pramoedya tatkala menyerahkan editing "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu" pada 1996 kepada Joesoef Isak mengatakan dengan nada datar, "Bung teruskan, ya. Terserah bung sajalah."
Sedikit menyinggung kiprah Joesoef Isak pasca putusnya "hubungan dengan Pramoedya" justru memperoleh penghargaan dari berbagai negeri asing sebagai bentuk kepercayaan dan dukungan kawan-kawannya di luar negeri yang tak terpengaruh oleh adanya berita dan isu miring terhadap seorang Joesoef Isak yakni sebagai berikut: pada April 2004 terpilih sebagai pemenang "The Jeri Laber Internasional Freedom to Publish Award" dari PEN America & Asosiasi Penerbit Amerika Serikat. Pada 2005 terpilih sebagai pemenang "Wertheim Award" dari Belanda, dan juga terpilih sebagai pemenang "PEN Australia--Keneally Award" di tahun yang sama. Ditambah lagi setahun kemudian dari pemerintah Prancis mendapatkan medali "Ksatria dalam sastra seni". Dalam kurun sekitar masa itu dengan bendera Hasta Mitra Joesoef menerbitkan "Memoire Ibarruri anak sulung D.N. Aidit", "Marxisme sebuah Kajian" dan lainnya.
Meminjam pisau analisis "javanisme", dalam memilih seorang sahabat, sebagai contoh Joesoef Isak, Pramoedya yang dapat dikategorikan secara umum oleh orang Jawa sebagai "condongan". Dan watak dari orang yang condongan ini ialah sikapnya luarbiasa baik selama tidak terjadi benturan apapun. Akan tetapi sebaliknya jika telah terjadi benturan kecil atau merasa dirugikan oleh sahabatnya, maka ia akan "ingut-inguten" dan menganggap sahabatnya itu telah menjadi musuh besarnya. Orang yang "condongan" begini biasanya mudah dipengaruhi oleh orang-orang terdekat, dan orang yang telah dekat kepadanya. Itulah sedikit mengenai Javanisme, yang ditentang oleh Pramoedya seperti yang tampak jelas diulang-ulangnya sebagai topik favorit setiap kali mengingat kebudayaan Jawa.
Dalam kondisi sebagai itu dengan sendirinya Pramoedya sangat membutuhkan orang kepercayaan dalam hal ini editor handal sekelas Joesoef Isak. Maka dapat disimpulkan dari hasil perbandingan naskah asli dan yang beredar di publik bahwa karya Pramoedya yang dibaca oleh seluruh dunia itu sebenarnya dengan hitungan rata-rata terdapat 25 persen adalah hasil kerjabakti Joesoef Isak selama dua dasawarsa, dan sebagai imbalan yang diberikan kepada sang editor adalah sebakul kotoran yang baunya tercium selama bertahun-tahun! Apakah tuduhan penggelapan uang 270 juta rupiah tertuju kepada Joesoef Isak itu yang pada realitasnya adalah "slander" bisa dipergunakan mencukupi kebutuhan untuk membayar dua dasawarsa kerjabakti sang editor kepada si penulis?
Kembali ke masalah pembajakan buku yang terjadi di Yogyakarta, berdasarkan bukti tertulis yang didapat dari sebuah sumber istimewa sebagian besar dari jumlah 5000 itu merupakan buku mentah, belum ada cover atau sampul buku, karena designer sampul OHW mengerjakan sampul tetralogi itu membutuhkan waktu 6 bulan!! Dengan sendirinya cetakan bodyteks buku lebih dulu selesai daripada cover buku. Tentu saja buku telanjang tanpa sampul itu secara wajar stutusnya cetakan buku yang belum selesai, dan lagi pula masih menumpuk di gudang tidak mungkin dapat terjual! Apakah buku yang belum siap diedarkan itu harus dibayarkan royaltinya? Perbedaan waktu selesainya body buku dan sampul itulah yang disebut sebagai penggelembungan buku. Memang buku sudah beredar di pasaran sewaktu penggerebekan itu, akan tetapi yang beredar di pasar itu hanya sebagian saja yakni cetakan susulan, sedangkan cetakan awal belum ada cover, dan itu tidak bisa digebyah-uyah dengan sebutan penggelembungan alias pembajakan!! Dan begitu pula tuduhan lain yang tidak perlu disebutkan satu persatu di sini adalah tuduhan yang direkayasa dan sarat dengan misi peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto, eh, keliru dari Hasta Mitra kepada Lentera Dipantara. Dan Pramoedya tidak terbantahkan lagi seorang masterpiece dalam mendesign rekayasa adegan pemeran kisah sebagai itu.
Adipura sebagai Lisensor, sebutan lain dari distributor buku Pram berpusat di Yogya dipimpin oleh AMM. AMM memang telah diberi kepercayaan penuh oleh penerbit Hasta Mitra untuk mencetak, dan mendistribusikan buku PAT. Dan di antara Hasta Mitra dengan distributor AD terjadi dua arah hubungan atau kemitraan di satu pihak Joesoef Isak mewakili Hasta Mitra dan AMM mewakili Adipura. Patut dicatat belum lama berselang dalam skala nasional merebak swepping buku kiri oleh kelompok AntiKomunis, sehingga berakibat toko-toko buku yang biasa memajang karya Pramoedya yang dikenal sebagai kiri tampak kosong-melompong, dan AMM melihat peluang pasar yang segera perlu diisi segera menggenjot produksi buku Pramoedya.
AMM diketahui selain mengelola distributor Adipura juga mengelola langsung penerbit Jalasutra. Pimpinan Hasta Mitra Joesoef Isak sebagai penerbit yang dipercaya oleh dunia dan telah mendapat kepercayaan dari Pramoedya sejak 1980. Dalam kurun waktu yang panjang itu Hasta Mitra telah menerbitkan sebagian besar buku PAT. Dengan sendirinya porsi Hasta Mitra yang paling banyak diberi hak oleh penulis untuk mencetak dan mendistribusikan karya PAT, serta menangani urusan lainnya misalnya korespondesi dengan mitra berbahasa asing.
Di antara 1999-2002 disebabkan adanya keterbatasan kemampuan marketing sejak wafatnya salah satu pendiri Hasta Mitra, Hasjim Rachman, dalam kenyataan oleh Joesoef Isak yang pegang komando estafet Hasta Mitra menyerahkan urusan pencetakan buku sekaligus pendistribusiaannya kepada AMM yang mewakili Adipura/Jalasutra. Perjanjian antara Hasta Mitra dan Adipura dilakukan terbuka dan berlangsung atas persetujuan Pramoedya Ananta Toer sendiri (an sich)!
Apa inti dasar kerjasama Joesoef Isak yang mantan jurnalis kesayangan Bung Karno itu dengan mitra Adipura pimpinan AMM yang berkaitan dengan pendistribusian buku PAT? Joesoef yang pernah menikmati hotel prodeo Orde Baru selama 10 tahun itu mengatakan, "Kerjasama kita yang terutama adalah kerjasama dalam politik. Untuk sisi bisnis anda sebagai distributor wajib membayar royalti langsung kepada penulis (PAT) 15 % dari total nilai jual buku tepat setelah judul buku itu selesai cetak. Untuk perhitungan lain-lain, silakan membuat hitungan dan rincian sendiri!"
Joesoef Isak adalah seorang mantan Pemimpin Redaksi harian "Merdeka" dalam kapasitasnya sebagai pemimpin sekaligus editor, dan juga penulis pengantar buku-buku Pram dan buku lainnya yang diterbitkan oleh Hasta Mitra maupun atas permintaan penulis/penerbit lain secara terang-terangan selalu mengatakan kepada semua sahabat yang datang ke kantornya di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan, "Saya tidak pandai cari duit, akan tetapi sangat pandai menghabiskan duit." Jelas ia bukan seorang businessman akan tetapi lebih mendekati seorang "paranormal" politik. Sebagai mantan diplomat (ketua asosiasi wartawan Asia-Afrika) dalam arti sesungguhnya Joesoef Isak yang dalam bermimpi pun menggunakan bahasa Hollandia itu sehari-hari sibuk luarbiasa melayani tamu, yang datang dari ujung Eropa, Amerika, juga para aktivis lokal dan para kuli laptop dari segala jenis media nasional. Dan juga orang-orang yang asyik hanya ingin mendengarkan isi dari tutur katanya yang menawan dan memicu rasa ingin tahu para pendengarnya. Suasana itu tidak berubah sama sekali baik sebelum putus dengan Pramoedya maupun setelahnya. Untuk urusan Pramoedya sejak kejadian 2002 akhir itu Joesoef Isak cuma memberikan alamat dan nomor telepon yang mewakili Pramoedya. Dan kepada para tamu yan kadang minta diantarkan mewawancarai Pramoedya ia terus terang tidak mau berurusan lagi dengan soal itu. Sebagai mantan Ketua PWI Jakarta era Soekarno yang kekuasaannya melebihi PWI Pusat Joesoef Isak tampak piawai menghadapi kuli kamera, kuli tape recorder, maupun kuli laptop. Tidak pernah sekalipun ia membela diri dari tuduhan-tuduhan miring terhadap dirinya dalam soal Pramoedya. Sama seperti Bung Karno atau Prabu Siliwangi yang memilih untuk menjadikan diri hancur daripada Indonesia, maupun kerajaan Pajajaran hancur, maka bagi Joesoef Isak yang terpenting adalah Hasta Mitra harus tetap menjadi simbol sebagai musuh Orde Baru.
Peristiwa "sidak" keluarga Pram di tempat bukunya dicetak oleh penanggung jawabnya, AMM, di Yogya berbuah hasil. Pramoedya sekeluarga telah menemukan penyimpangan dalam pencetakan karyanya seperti yang dilaporkan oleh MU, dan Pram merasa sangat marah kepada Joesoef Isak. Saat itu juga langsung PAT sekeluarga menginterogasi AMM, dan mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan tersebut. Dalam keadaan kepepet AMM menghindar dan berdalih, kemudian berkata, "Ya, penyimpangan dalam mencetak yang selanjutnya berarti juga penyimpangan hitungan royalti memang perbuatan saya yang ilegal tetapi semua atas perintah Bapak Joesoef Isak."
Berdasarkan data tertulis yang dapat dilacak dari korespondensi Joesoef Isak ditemukan bahwa dalam kejadian tersebut yang ada sebenarnya perintah cetak lebih yang disebut penggelembungan itu tidak pernah ada dalam benak Hasta Mitra maupun Adipura, dan tentu saja tidak pernah datang dari Joesoef/Hasta Mitra. Itu cuma proses antarwaktu antara peredaran buku di toko buku dan timing pembayaran royalti kepada penulis (Pramoedya). Momentum itulah yang dimanfaatkan oleh cecunguk untuk bikin sensasi yang berakibat fatal nasib orang lain.
"Dengan cara seperti itu naskah bisa ditarik sekaligus dari HM. Dia punya wadah dan uang. Lalu apalagi?" ujar AMM yang baru membaca sebagian isi buku "Pram Melawan" via situs internet. "Sudah berulang kali saya dibujuk untuk hijrah. Tapi, saya bilang tidak. Bodoh benar saya ini, begitu kata mereka." Itulah ungkapan jujur AMM yang lebih memilih tetap setia walau harus tumbang bersama Hasta Mitra. Adakah AMM pernah menyesali pilihannya itu? Tentu tidak, karena andaipun ia memilih hijrah tentu masih ada "bea" khusus dan istimewa untuk pilihannya itu yang harus diberikan AMM kepada "dia" atau "mereka".
AMM tetap mengagumi Pramoedya sampai detik ini, karena ia menganggap Pram tidak mengetahui secara langsung maupun tidak langsung peristiwa dan kejadian apapun terutama soal proses pencetakan dan distribusi semua karyanya. AMM sangat yakin bahwa semua informasi yang diterima Pramoedya berasal dari teman AMM sendiri, "Tentang PAT, informasi yang sampai itu melalui mereka. Merekalah yang mengada-ada," demikian ujar AMM dengan mantap dan penuh keyakinan.
Sebuah bukti tertulis dari seorang mentor/pembina Pram yang diakui resmi dalam struktur rahasia organisasi sebuah partai sekawan (yang bekerja sel demi sel) berisi upaya damai dan rekonsiliasi antara Pram dan Joesoef. Simak ucapan Pram berikut yang mendidik orang Jawa tidak lagi jadi Jawa melainkan melawan atasan sendiri, melawan orang yang lebih tua dan seterusnya, "Ha, sikap saya memang begitu. Jangankan dia: sama guru-guru saya aja putus! (yang dimaksudkan ialah HB Jassin -ed)." [Pram Melawan 2011:302].
Upaya rekonsiliasi itu gagal di samping sikap Pram yang belum bisa bersikap gentleman, dan juga karena memang ada pihak yang berusaha menelikungnya dengan alasan Pramoedya adalah "tambang berlian" menurut yang bersangkutan bahkan kedipan mata Pram berarti uang, tiap napasnya juga uang, ada tamu mewawancarai Pram berarti juga uang, apalagi wartawan yang dari luar negeri berarti dollar, yen, poundsterling, yuan, rubbel dan seterusnya. Pendeknya siapapun yang menjadi promotor Pramoedya bisa dianggap atau dianalisis serampangan atau diambil generalisasi dia akan jadi jutawan. Memang benar begitu, akan tetapi kejadian sebagai mimpi itu hanya ada di negara maju, yang semuanya serba kontrak tertulis. Untuk jadi tukang sapu pun harus ada kontrak tertulis. Apalagi seorang literary agent sekelas Joesoef Isak....
Joesoef Isak menurut sumber terdekat tipe seorang manusia yang "tidak pernah menilai segala sesuatu dengan uang", baginya tabu bicara uang jika ada sedikit saja unsur politik dalam sebuah business. Joesoef tidak pernah mau pasang tarif atau mematok harga untuk bantuan yang diminta oleh orang lain, terutama yang bersifat melibatkan diri dan penerbitannya. Malahan seringkali mengorbankan waktu dan tenaga, juga dana, jika Joesoef merasa klop dan enjoy dengan apa yang dikerjakannya. Para kawan-kawan dekatnya sering memarahi Joesoef Isak, mereka senada mengatakan, "Bung jangan kerja bakti terus. Orang minta tolong sesuatu yang ada hubungan dengan penerbitan dan membutuhkan kemampuan Bung harus diminta biaya sesuai proposal yang sebelumnya Bung majukan atau usulkan, tentu dengan perhitungan business yang teliti dan profesional."
Di seluruh dunia tidak pernah ada deal semacam yang dituntut Pramoedya dan disetujui oleh Joesoef Isak, yakni buku baru turun dari percetakan harus langsung in advance bayar lunas hitungan royalti dari nilai output total dari mesin cetak.
Di kemudian hari AMM yang sangat dipercaya oleh Hasta Mitra / Joesoef Isak mulai insyaf dan sadar atas kekhilafannya, lantas berusaha untuk memperbaiki dan meminta maaf atas kesalahannya langsung di depan PAT dan juga Joesoef Isak. Dia telah datang dan secara ksatria -- mengakui jujur bahwa ucapannya tempo hari yang melemparkan kesalahan sendiri menjadi tanggung jawab Joesoef Isak adalah tidak benar -- tatkala berhadapan langsung dengan Pramoedya berikut keluarganya bahwa ia merasa sangat menyesal telah membuat kesalahan dalam bentuk gelembungkan cetakan dan tidak memberikan informasi akurat pada waktunya dalam pembayaran royalti kepada penulis. Untuk itu dia sanggup membayar semua kerugian yang diderita oleh Pramoedya Ananta Toer sekeluarga.
Pada kesempatan lain di kemudian hari AMM mengakui bahwa alasan dia membuat kesalahan yang, antara lain, menggelembungkan jumlah cetak dari judul buku tertentu karena alasan finansial antara lain buku lama masih menumpuk di gudang dan belum sempat terjual habis. Dia tidak berniat untuk menipu tentang pembayaran royalti kepada penulis, untuk menebus kesalahan itu ia akan membayar royalti pada saat keuangan perusahaan sudah longgar. Pada intinya dalam kasus tersebut AMM berada di bawah tekanan yakni menghadapi kesulitan keuangan yang bersifat sementara (menunggu penghasilan dari hasil penjualan buku PAT yang masih menumpuk di gudang).
Dan pada suatu kesempatan AMM bertemu Joesoef mengatakan, "Antara PAT dan saya telah didapat kesepakatan bersama yakni PAT bersedia untuk menerima pembayaran semua hutang royalti yang menjadi tanggungan saya dengan sistem angsuran." Berdasarkan informasi tertulis yang dapat ditemukan dapat diketahui AMM telah melunasi seluruh hutangnya kepada Pram pada 11 Januari 2002. AMM bahkan dengan alasan tertentu dan khusus sempat menginap di kediaman Pramoedya, sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Yogyakarta.
Dari segi bisnis, hutang-piutang bisa dianggap lumrah saja. Ada nilai lebih dari AMM yakni mengakui kesalahan sendiri dan meminta maaf secara langsung. Salut kepada AMM. PAT bersama putrinya AAT, dan MMD mengetahui duduk perkaranya, akan tetapi tak peduli pada fakta yang konkret, bahkan lebih jauh lagi sengaja menyebar "slander"
kepada publik terhadap orang yang notabene selama duapuluh tahun lebih telah membantunya tanpa reserve.
Berikut ini kutipan dari tulisan MMD yang berisi
"slander" keji dan "character asassination" terhadap Joesoef Isak, tidak diperlukan analisis mendalam menilai isi tulisan tanpa bukti alias hoax inilah yang jadi rujukan para penulis gosip dan para pembuat sassus dari berbagai media selama ini:
Dan posisi Pram ini adalah posisi yang pasif. Menunggu dan menunggu.
Seluruh akses penerbit luar negeri dan penerimaan honorarium penulis harus lewat satu pintu. Dan pintu itu adalah di rumah Joesoef Isak di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pram memendam kecewa setelah tahu honorarium buku-bukunya dipotong di Duren Tiga tanpa ada keterangan apa pun. Tapi Pram mendiamkan saja. Karena tak mau berurusan hanya soal uang dengan sahabatnya. (http://suplemenibuku.blogspot.com/2009/00/mesin-mesin-pram.html)
Dan posisi Pram ini adalah posisi yang pasif. Menunggu dan menunggu.
Seluruh akses penerbit luar negeri dan penerimaan honorarium penulis harus lewat satu pintu. Dan pintu itu adalah di rumah Joesoef Isak di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Pram memendam kecewa setelah tahu honorarium buku-bukunya dipotong di Duren Tiga tanpa ada keterangan apa pun. Tapi Pram mendiamkan saja. Karena tak mau berurusan hanya soal uang dengan sahabatnya. (http://suplemenibuku.blogspot.com/2009/00/mesin-mesin-pram.html)
Dari kronologis peristiwa "Desember Kelabu 2002" tersebut dengan aktor utama AMM yang telah mendapat ampun atas kesalahan masa lalu bahwa semestinya Pramoedya bisa mengubah pandangan atas kejadian di Yogyakarta itu, dan juga dengan sendirinya Hasta Mitra / Joesoef Isak bebas dari semua tuduhan apapun seperti: tuduhan pembajakan terhadap buku PAT dengan penggelembungan oplag, dan tuduhan penggelapan atas royalti yang adalah hak PAT.
"Nasi telah menjadi tinja....!" demikian sebagai jawaban dari Dr. HC Pramoedya Ananta Toer.
Pada kenyataannya kemudian akibat peristiwa itu di antara Hasta Mitra / Joesoef Isak dan Pramoedya Ananta Toer hubungan tidak lagi normal sebagai sebelum kejadian "Peristiwa Yogya Desember 2002" itu. Bahkan mengisap pipa perdamaian ala suku Indian Amerika tidak pernah dilakukan lagi hingga keduanya berpulang ke rahmatullah. Oleh sebab itu di masa selanjutnya tidaklah mengherankan jika berbagai awak media dan penulis gosip mencoba menggali cerita-cerita isapan jempol terutama dari sumber terdekat PAT sendiri.
Tuduhan tanpa dasar dalam bentuk gosip tertulis yang beredar selama ini tidak didasarkan pada bukti apapun, terutama dalam wawancara sepihak yang misinya melakukan
"character asassination" atau tuduhan miring yang ditujukan kepada alm. Joesoef Isak, hal itu terus berlangsung hingga hari ini merupakan bentuk terselubung dalam kategori
"slander" berupa ucapan yang tertulis,
"slander" yang sejenis terhadap alm. Joesoef Isak juga menyangkut isu-isu lain seperti uang honor Pramoedya, uang blabla Pramoedya dan uang-uang lainnya yang tidak ada hubungannya dengan buku; yang dalam soal buku memang sah diterbitkan oleh Hasta Mitra atas persetujuan langsung dari si penulis (PAT). Ketidaktahuan para sassus dan penggosip memang patut dimaklumi, jika kemudian mereka mau meralat kesalahannya dalam bentuk koreksi tulisan. Akan tetapi bagi pihak yang terus mengumbar "slander" terhadap Hasta Mitra/Joesoef Isak perlu diberitahu sebuah fakta bahwa memang ada bukti dalam bentuk tertulis dan juga saksi-saksi hidup yang mengindikasikan semua tuduhan miring tertuju pada Alm. Joesoef Isak/Hasta Mitra adalah "slander"!!! Apakah pihak tertentu mau bukti jenis atau bentuk baru lainnya??
Mengenai pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para sassus, "Apakah Pramoedya tanpa Hasta Mitra tidak ada apa-apanya?" Ini pertanyaan post-factum yang terlambat duapuluh tahun, dan lagi pula pertanyaan ini keliru, seharusnya pertanyaan itu berbunyi begini, "Apakah Pramoedya tanpa mendirikan Hasta Mitra tidak ada apa-apanya?" Jawabannya, Pramoedya sebelum ikut mendirikan Hasta Mitra bersama dua orang sahabatnya, yakni tatkala begitu dibebaskan dari kamp Pulau Buru pada 1979 status Pramoedya di mata pemerintah adalah warga kelas dua yang masih berstatus tahanan kota dan dikenakan wajib lapor, ia benar-benar warga paria di hadapan pemerintah fasis Orde Baru. Sama persis jika dengan apa yang dialami warga Yahudi di masa Nazi berkuasa di Jermannya fasis Hitler antara 1933-1944.
Nasib Pramoedya tidak jauh berbeda dengan yang dialami Joesoef Isak yang dibebaskan dari penjara Salemba pada 1978, bedanya ia mampu mengelabuhi Orde Baru yang beringas dengan cara langsung melakukan perjalanan jauh yakni menyelinap ke Eropa, dan sesampainya di Negeri Belanda bahkan berhasil berpidato dalam forum tertutup di hadapan parlemen Belanda menjelaskan status dirinya yang belum bebas sepenuhnya walaupun berada di luar penjara Orde Baru, dan dalam arti sebenarnya ia masih diawasi dan wajib melaporkan diri ke pihak yang berwajib. Tatkala itu Belanda melalui IGGI merupakan pemberi bantuan dana terbesar bagi restorasi pembangunan yang tengah dijalankan Orde Baru, tentu tidak mau negeri yang dibantunya itu pemerintahnya masih melanggar Hak Asasi Manusia. Di samping itu dalam kesempatan itu Joesoef Isak tentu saja berusaha membangun kembali jaringan kawan-kawannya yang sebagian besar terdiri dari orang Indonesia yang keblangsak akibat paspornya dicabut Orde Baru sehingga status kewarganegaraannya menjadi stateless alias manusia tanpa memiliki kewarganegaraan apapun lagi.
Sepulang dari daratan Eropa Joesoef Isak melangkah lebih jauh lagi mendirikan agen tunggal untuk sebuah merek kendaraan bermotor buatan Eropa, hal itu berlangsung sebelum kemudian ikut terjun berkonsentrasi penuh setelah pada April 1980 mendirikan Hasta Mitra bersama Pramoedya, dan Hasjim Rachman yang berkantor di kediaman Joesoef Isak di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan.
Satu persoalan yang sering dianggap masalah intern adalah masalah keuangan Hasta Mitra yang kacau, misalnya mengenai gaji pegawai yang kecil, dan lain sebagainya. Untuk itu, sebagai penjelasan mengenai betapa amburadulnya sistem administrasi Hasta Mitra adalah bahwa dengan terjadinya pemberangusan bertubi-tubi terhadap buku Pramoedya terbitan Hasta Mitra yang berlangsung terus-menerus, maka mengakibatkan modal usaha tidak bisa balik lagi, akibatnya tidak ada solusi atau dapat menemukan cara lain agar dapat menata/melancarkan cashflow maupun memanajemen keuangan perusahaan dengan baik! Dari sini dalam upaya untuk survive satu-satunya pilihan adalah mencegah agar tidak terjadi overhead biaya produksi, maka pilihan yang tersedia antara lain menekan gaji karyawan, keadaan dan suasana lingkup perusahaan sebagai itu yang pada akhirnya membuat begitu bersahajanya hidup para karyawan dan pimpinan Hasta Mitra. Secara ringkas minimnya laba yang dapat dibukukan Hasta Mitra terjadi sebagai akibat dari pelanggaran hak usaha warganegara dalam memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani yang dilakukan oleh negara.
Sementara di satu sisi Hasta Mitra mengalami tekanan dari negara, pada saat yang sama di sisi lainnya kompensasi apapun akibat kerugian itu tidak diberikan oleh penulis buku yang diberangus itu, dengan kata lain buku yang disita negara itu harus tetap dibayar royaltinya kepada sang penulis (Pramoedya). Hasjim Rachman yang mengalami langsung diponggal-panggil Kejaksaan juga telah ludes satu rumahnya tatkala mengelola Hasta Mitra sejak 1980-1998. Dan Pramoedya yang tidak ikut menanggung rugi akibat pemberangusan bertubi itu dengan entengnya mengatakan, "Pemberangusan terhadap karya saya merupakan anugerah bintang tanda jasa bagi saya."
Mengenai pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para sassus, "Apakah Pramoedya tanpa Hasta Mitra tidak ada apa-apanya?" Ini pertanyaan post-factum yang terlambat duapuluh tahun, dan lagi pula pertanyaan ini keliru, seharusnya pertanyaan itu berbunyi begini, "Apakah Pramoedya tanpa mendirikan Hasta Mitra tidak ada apa-apanya?" Jawabannya, Pramoedya sebelum ikut mendirikan Hasta Mitra bersama dua orang sahabatnya, yakni tatkala begitu dibebaskan dari kamp Pulau Buru pada 1979 status Pramoedya di mata pemerintah adalah warga kelas dua yang masih berstatus tahanan kota dan dikenakan wajib lapor, ia benar-benar warga paria di hadapan pemerintah fasis Orde Baru. Sama persis jika dengan apa yang dialami warga Yahudi di masa Nazi berkuasa di Jermannya fasis Hitler antara 1933-1944.
Nasib Pramoedya tidak jauh berbeda dengan yang dialami Joesoef Isak yang dibebaskan dari penjara Salemba pada 1978, bedanya ia mampu mengelabuhi Orde Baru yang beringas dengan cara langsung melakukan perjalanan jauh yakni menyelinap ke Eropa, dan sesampainya di Negeri Belanda bahkan berhasil berpidato dalam forum tertutup di hadapan parlemen Belanda menjelaskan status dirinya yang belum bebas sepenuhnya walaupun berada di luar penjara Orde Baru, dan dalam arti sebenarnya ia masih diawasi dan wajib melaporkan diri ke pihak yang berwajib. Tatkala itu Belanda melalui IGGI merupakan pemberi bantuan dana terbesar bagi restorasi pembangunan yang tengah dijalankan Orde Baru, tentu tidak mau negeri yang dibantunya itu pemerintahnya masih melanggar Hak Asasi Manusia. Di samping itu dalam kesempatan itu Joesoef Isak tentu saja berusaha membangun kembali jaringan kawan-kawannya yang sebagian besar terdiri dari orang Indonesia yang keblangsak akibat paspornya dicabut Orde Baru sehingga status kewarganegaraannya menjadi stateless alias manusia tanpa memiliki kewarganegaraan apapun lagi.
Sepulang dari daratan Eropa Joesoef Isak melangkah lebih jauh lagi mendirikan agen tunggal untuk sebuah merek kendaraan bermotor buatan Eropa, hal itu berlangsung sebelum kemudian ikut terjun berkonsentrasi penuh setelah pada April 1980 mendirikan Hasta Mitra bersama Pramoedya, dan Hasjim Rachman yang berkantor di kediaman Joesoef Isak di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan.
Satu persoalan yang sering dianggap masalah intern adalah masalah keuangan Hasta Mitra yang kacau, misalnya mengenai gaji pegawai yang kecil, dan lain sebagainya. Untuk itu, sebagai penjelasan mengenai betapa amburadulnya sistem administrasi Hasta Mitra adalah bahwa dengan terjadinya pemberangusan bertubi-tubi terhadap buku Pramoedya terbitan Hasta Mitra yang berlangsung terus-menerus, maka mengakibatkan modal usaha tidak bisa balik lagi, akibatnya tidak ada solusi atau dapat menemukan cara lain agar dapat menata/melancarkan cashflow maupun memanajemen keuangan perusahaan dengan baik! Dari sini dalam upaya untuk survive satu-satunya pilihan adalah mencegah agar tidak terjadi overhead biaya produksi, maka pilihan yang tersedia antara lain menekan gaji karyawan, keadaan dan suasana lingkup perusahaan sebagai itu yang pada akhirnya membuat begitu bersahajanya hidup para karyawan dan pimpinan Hasta Mitra. Secara ringkas minimnya laba yang dapat dibukukan Hasta Mitra terjadi sebagai akibat dari pelanggaran hak usaha warganegara dalam memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani yang dilakukan oleh negara.
Sementara di satu sisi Hasta Mitra mengalami tekanan dari negara, pada saat yang sama di sisi lainnya kompensasi apapun akibat kerugian itu tidak diberikan oleh penulis buku yang diberangus itu, dengan kata lain buku yang disita negara itu harus tetap dibayar royaltinya kepada sang penulis (Pramoedya). Hasjim Rachman yang mengalami langsung diponggal-panggil Kejaksaan juga telah ludes satu rumahnya tatkala mengelola Hasta Mitra sejak 1980-1998. Dan Pramoedya yang tidak ikut menanggung rugi akibat pemberangusan bertubi itu dengan entengnya mengatakan, "Pemberangusan terhadap karya saya merupakan anugerah bintang tanda jasa bagi saya."
Sebagai contoh sebuah pernyataan yang gegabah seperti yang terjadi di Yogya pada akhir Desember 2002 keluarga Pram dengan lugas tanpa disaring lebih dulu langsung berbicara di depan pers lokal yakni membuat pernyataan bahwa Joesoef Isak telah memerintahkan pembajakan buku Pram dan sebagainya. Dan "slander" terhadap Joesoef Isak tiba-tiba muncul kembali di beberapa media setelah Joesoef Isak wafat, antara lain, dalam "Tempo" mingguan dan dalam buku "Pram Melawan". Apakah narasumber yang tidak bertanggung jawab itu jadi rujukan utama yang tentu menghasilkan tulisan tidak imbang dan berujung pada motif "slander" atau tidak benar? Joesoef Isak sendiri semasa hidupnya tidak mau membela diri karena yakin bahwa kelak akan terbukti yang benar adalah benar, seiring perjalanan sang kala.
Perilaku aneh dan menyimpang Pram sudah lama diidentifikasi oleh SW. pada 1990 sebagai sesama kawan tapol Pramoedya di Pulau Buru, SW yang adalah orang dekat selingkaran D.N. Aidit mengatakan, "Jika dan andai saja PKI yang menang dalam perebutan kekuasaan pada 1965, maka saya yakin Bung Pram akan memusuhi PKI...!"
"Nggak bisa begitu, dong. ADA penerbit yang telah bekerja keras untuk mempromosikan agar buku Bung Pram beredar luas," komentar S.W. setelah membaca mingguan Tempo 1990 yang mewawancarai Pramoedya isinya, "Saya tidak membutuhkan penerbit bagi karya-karya saya yang merupakan anak rohani saya, mereka itu akan mampu menempuh jalannya sendiri."
Pada waktu menerima Magsaysay Award 1995 di Manila, Philipina, Pramoedya dengan alasan politik tidak bisa keluar negeri, maka mengirimkan wakilnya untuk menerima langsung hadiah tersebut. Tiga orang berangkat ke Manila: zus Maemunah, Astuti Ananta Toer, dan Mar. K, seorang penulis yang berhasil menggondol Award Writer se Asia Tenggara.
Apa yang kemudian terjadi? Sementara di luar sana Mochtar Lubis melancarkan protes ingin mengembalikan hadiah Magsaysay yang diterimanya beberapa tahun yang silam kepada panitia di Manila. Sikap Mochtar Lubis itu berpokok pangkal dipicu oleh pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya, menurut pendapat Mochtar Lubis yang dibarengi berbagai alasan politis maka hadiah prestisius tersebut tidak tepat diberikan kepada Pramoedya; di sisi lain dalam kalangan internal Pramoedya sendiri terjadi berikut ini:
Apa yang kemudian terjadi? Sementara di luar sana Mochtar Lubis melancarkan protes ingin mengembalikan hadiah Magsaysay yang diterimanya beberapa tahun yang silam kepada panitia di Manila. Sikap Mochtar Lubis itu berpokok pangkal dipicu oleh pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya, menurut pendapat Mochtar Lubis yang dibarengi berbagai alasan politis maka hadiah prestisius tersebut tidak tepat diberikan kepada Pramoedya; di sisi lain dalam kalangan internal Pramoedya sendiri terjadi berikut ini:
"Saya kapok-pok-pok sejak saat ini, dan untuk selanjutnya tidak sudi lagi berhubungan dengan 'mereka'," kata Mar. K. tatkala melaporkan perjalanannya sepulang dari Manila kepada Joesoef Isak yang sejak awal berkorespondensi langsung dengan Panitia Magsaysay Award mewakili Pramoedya. Mengapa? Sepertinya telah terjadi bentrok di antara mereka dan tidak jelas penyebabnya, entah itu soal hadiah 50.000 dollar atau persoalan lainnya. Sebagai penulis kaliber internasional tentu Mar. K. tidak sudi disepelekan perannya tampil dalam even seprestisius itu.
Selanjutnya Pram meningkat lebih tinggi lagi kadar "eksentriknya" setelah kembali dari Amerika Serikat pada 1999, mungkin untuk itu dapat ditelusuri melalui berbagai jalan antara lain karya tulisnya berikut ini. Menyimak karya Pramoedya, Arok Dedes, salah seorang tokoh yang dipercaya oleh Arok mengelola tambang emas si Hayam yang pada suatu hari dituduh menggelapkan hasil emas untuk memperkaya diri sendiri, maka kemudian diusir begitu saja dari jabatannya sebagai salah satu komandan pasukan Arok tanpa dihukum apapun dengan pertimbangan persahabatan. Arok sendiri dalam kisah itu beristri dua, si Umang, dan Dedes, sama dengan perjalanan hidup si penulis.
Pernyataan dalam wawancara di bawah ini patut diragukan kebenarannya. Berdasarkan seorang saksi hidup yang menyatakan bahwa dirinya pada kwarter pertama 2000 pernah menerima surat kuasa langsung yang ditandatangani Pramoedya Ananta Toer untuk mengecek di sebuah Bank asing Axx-Amxx transfer uang dari Amerika sejumlah beberapa puluh ribu dollar. Pramoedya tampak antusias dan berharap sekali uang itu segera dapat diterimanya langsung. Sang jurnalis "Pram Melawan" tidak jeli dan mampu membedakan yang disebut "NYFA Award" tidak serupa atau sama dengan misalnya "Magsaysay Award" yang memang suatu pemberian hadiah secara langsung kepada "awardee" tanpa embel-embel apapun, NYFA memberikan "award" kepada seniman/lembaga yang mengajukan permintaan dana untuk sebuah proyek seni yang digagas dan akan dikerjakan oleh yang bersangkutan. NYFA mencatat tiap keluarnya uang/dana "award" itu untuk seniman mana dan proyek seni apa saja yang akan/harus dikerjakannya. Menurut sumber langsung dari donatur eksentrik itu bahwa Pramoedya menerima NYFA Award itu cuma akal-akalan sebagai sarana jalan pintas agar sang dermawan Yahudi baik hati itu kesampaian tujuannya dalam menyalurkan bantuannya kepada penerbit HM dan juga kepada Pramoedya. Pada wawancara Pramoedya lainnya, di buku yang sama [Pram Melawan] seolah-olah dilukiskan ia sedang berusaha mengembalikan uang hadiah dari seorang jutawan Yahudi-Amerika bernama MK. Tentu patut diragukan sekali pernyataannya dalam wawancara itu tentang keinginannya menolak uang itu.
Apalagi hal penolakan hadiah uang itu sangat bertolak belakang dengan pernyataan wawancara putrinya dalam Pram Melawan yakni AAT yang notabene orang yang disuruh oleh Pram untuk mengembalikan uang tersebut melalui sebuah bank. AAT malah mempertanyakan kekurangan sejumlah tertentu yang diterima oleh Pram, melalui ucapan yang datang seolah bersumber dari ucapan Pram kepada dirinya: "Setengahnya pun tidak. Nduk, ke mana uang ini..."
Langsung ke tkp mengenai kutipan Pram Melawan:
Pramoedya Ananta Toer: Belakangan ini, dalam acara keliling Amerika saya berkenalan dengan seorang perempuan. Awalnya, dia terus mengikuti saya. Orang Yahudi, dia simpatik pada saya. Lantas dia menjanjikan akan membantu penerbitan saya sebesar 150.000 dollar Amerika. Setelah datang ke Indonesia, betul dia kirimkan 80.000 dollar. Dari jumlah ini untuk saya sendiri dia kirimkan 30.000 dollar melalui The New York Foundation for The Arts (NYFA). Ya, untuk saya pribadi aja katanya, nggak perlu ada perhitungan. Tapi nggak kepada saya dikirim, sebab saya itu nggak pegang uang. [Pram Melawan 2011:62]Langsung ke tkp mengenai kutipan Pram Melawan:
Astuti Ananta Toer: Tak lama kemudian ada award dari New York [New York Foundation of the Arts -- tahun 2000]. Papi dapat uangnya banyak. Ternyata, menurut Papi yang ia terima tidak segitu. "Setengahnya pun tidak. Nduk, ke mana uang ini..." [Pram Melawan 2011:494]
Kini beralih lagi menelusuri keeksentrikan Pramoedya. Menyimak karya Pramoedya, Arus Balik, yang menjadi tokoh utama si Wiranggaleng, pada klimaks cerita ia tidak mau menjadi penguasa Tuban akan tetapi malah mengundurkan diri dari hiruk-pikuk dunia selebritis dan kembali ke hutan, setelah sebelumnya menyerahkan secara resmi tampuk pimpinan negeri dan prajurit Tuban kepada empat orang pimpinan militer Tuban sendiri. Anak kandung resmi Wiranggaleng yang bukan darah dagingnya, yang jelas anak Idayu, istrinya, tidak diajak hidup bersama mereka dengan tenang di hutan akan tetapi malah dibiarkan hidup mengembara.
Menyimak Bumi Manusia pada tokoh Nyai Ontosoroh, yang tak kenal takut, bahkan terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda sekalipun, si Nyai dalam mengambil keputusan dalam bertindak sangat berkesan terlalu menonjolkan kemauan dan kekerasan hati diri sendiri kadang membabi-buta.
Dalam Mata Pusaran, Pramoedya, yang menjadi tokoh utama Sri Maharatu Dewi Suhita yang bersuamikan Aji Ratna Pangkaya dari negeri Melayu. Oleh Suhita Aji Ratna Pangkaya pada akhirnya diusir dari istana Majapahit sebagai hukuman terhadap ketidaksetiaan kepada sang Ratu, suami maharatu itu telah melakukan persekongkolan jahat dengan pihak asing dan musuh Majapahit yang tentu saja sangat merugikan Majapahit dan merendahkan wibawa Sri Maharatu Suhita.
Fakta yang ada saat ini (2011) dalam masalah "slander dan pencemaran nama baik Joesoef Isak" ialah Joesoef dan Pram sudah wafat dan sejak beberapa tahun yang silam yang menerbitkan buku-buku Pramoedya dilakukan oleh salah seorang putri Pram sendiri dengan bendera penerbit Lentera D. Artikel "Memilih Berpisah" dalam "Tempo" tidak tegas menyebutkan apapun sebagai sumber beritanya kecuali wawancara tanpa bukti yang tidak jelas/kompeten. Dalam buku "Pram Melawan" salah satu narasumbernya adalah Astuti Ananta Toer.
Pada era 2000-an pasca lengsernya Soeharto, tak dapat dipungkiri lagi bahwa karya Pramoedya Ananta Toer menjadi ajang rebutan sejumlah pihak, mulai dari penerbit besar hingga penerbit biasa saja. Buku Pramoedya sempat dicekal di toko buku besar, sebagai respon mode memberangus buku kiri. Waktu itu juga tengah marak aliansi-aliansi antikiri yang berusaha membendung penyebaran karya Pram. Semua itu terakumulasi menjadi satu yakni pecahnya kongsi pendiri Hasta Mitra, yang tentu saja menguntungkan siapa saja yang merasa kecewa lantas dendam karena gagal dalam merebut kue hak menerbitkan karya Pramoedya. Meminjam jargon Orde Baru, "Patut diduga, tidak bisa tidak, baik secara langsung maupun tidak langsung ada konspirasi bisnis maupun politik dari dalam maupun luar negeri di balik peristiwa lenyapnya peran Hasta Mitra dalam mengedarkan buku Pramoedya."
Semua orang memahami bahwa Hasta Mitra adalah penerbit yang bandel dan keras kepala, tidak mengindahkan represif rezim Orde Baru atau larangan pemerintah yang berulang-kali untuk tidak lagi menerbitkan buku-buku Pramoedya, begitu Soeharto lengser bahkan Hasta Mitra segera meluncurkan seri edisi pembebasan dari judul-judul buku yang sudah diberangus oleh Kejaksaan Agung antara 1981-1995. Berbagai kalangan dan aktivis prodemokrasi malah menggelari "ikon perlawanan". Hal yang mengherankan adalah reaksi terhadap berbagai tuduhan miring terhadap Hasta Mitra maupun AMM terus berlangsung hingga hari ini, sementara yang bersangkutan terus diam sampai akhir hayatnya dan tidak mau membela diri. Mengapa? Sangat jelas Joesoef dan AMM dengan membela diri pun dan kebenaran terungkap hak penerbitan karya Pramoedya tidak akan dapat diraih kembali baik oleh distributor yang dipimpin AMM maupun penerbit Hasta Mitra! Mengenai kediamannya itu menurut keterangan langsung dari Joesoef Isak semasa beliau masih hidup, "Saya pikir Pramoedya selamanya tetap sebagai teman dan tetap dalam kubu yang sama dalam tujuan politik."
Dalam beberapa tahun terakhir terlihat jelas dari halaman kolofon pada beberapa judul buku terbitan Hasta Mitra yang dikomandoi Joesoef Isak tetap menjalin hubungan baik dengan AMM dalam urusan mencetak dan mendistribusikan buku-buku Hasta Mitra non-Pram. Hubungan yang sempat vakum beberapa tahun sejak 2003 itu ternyata dapat kembali normal bahkan berlangsung hingga Joesoef Isak meninggal dunia pada bulan pertengahan Juli 2009.
Sebagai penutup tulisan ini memang sudah seharusnya diakui hak Pramoedya bebas untuk mengungkapkan perasaannya kepada siapapun dan mengenai mengenai masalah apapun. Termasuk juga isi perasaannya yang bisa dianggap sebagai "character asassination" terhadap Joesoef Isak. Dan Joesoef Isak sendiri telah mempersiapkan jawaban baku untuk masalah yang itu juga, "Joesoef mengatakan dia tidak ingin sama sekali berbicara tentang konflik Pramoedya dengan Hasjim maupun dengan dirinya sendiri. Joesoef menganggap sebagai sesuatu yang berada di bawah martabatnya untuk berbicara tentang substansi konflik-konflik itu. Dia tidak peduli, apa pun pendapat orang lain. Kata Joesoef “versi saya tidak penting!” Kebenaran adalah kebenaran, biar kebenaran itu sendiri suatu waktu akan muncul." (Joesoef Isak 80 tahun, sebuah Liber Amicorum 2008).
****