Presiden Jimmy Carter tentang Joesoef Isak 1978

Mantan Presiden Jimmy Carter
tentang Joesoef Isak

Kisah-kisah sebagai ex-Tapol

Dari rekan-rekan yang pernah dan masih bekerja untuk Hasta Mitra, juga dari para pelarian politik teman-teman Joesoef yang sampai sekarang masih bermukim di Eropa, redaksi mengumpulkan kisah-kisah berserakan tentang Joesoef Isak sebagai ex-tapol. Joesoef sendiri sebagai nara-sumber kita minta melengkapi bagian-bagian lowong yang memerlukan penjelasan.
      Mungkin satu sumbangan kecil saja yang tidak diketahui masyarakat, juga tidak diketahui para tapol sebagai pihak yang paling langsung bersangkutan. Joesoef di akhir tahun tujuh-puluhan pada saat penjara-penjara di seluruh Indonesia masih penuh sesak dengan tahanan politik, mendapat kesempatan berperan dalam penyelesaian masalah tahanan politik.
      Pada akhir 1978, di Kedutaan Amerika Serikat dia bertemu Patricia Derien, perutusan pribadi Presiden Jimmy Carter yang ditugaskan ke Jakarta menangani masalah hak-hak azasi manusia dan urusan tahanan-politik. Pertemuan tertutup itu agaknya membawa hasil: pembebasan massal para tahanan politik Indonesia yang terus ditunda-tunda akhirnya mulai dilaksanakan, dan juga Pulau Buru sebagai tempat pembuangan orang-orang politik dibubarkan.
      Kalau tidak kebetulan dibaca oleh sang cucu, Joesoef mungkin tidak pernah akan tahu namanya disebut-sebut dalam sebuah tulisan oleh Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat. Rupanya mantan Presiden Jimmy Carter pernah pidato pada tahun 2004 di Jakarta, kemudian pidato itu dimuat sebagai kata pengantar dalam buku tahun 2005 berjudul “Indonesia in the Soeharto’s Years –- Issues, Incidents and Images”, terbitan bersama Lontar Foundation, NUS Press Singapore dan KITLV, Leiden. Di buku itulah Jimmy Carter menyebut nama Joesoef Isak (Joesoef Isak 80 tahun 2008: xiv).
    Kejadiannya dengan Tashra, sang cucu berlangsung kurang-lebih dua-tiga bulan yang lalu. Sang cucu yang kebetulan membaca buku tersebut di atas, bertanya kepada mama-nya apakah nama Joesoef Isak yang terte­ra dalam tulisan Pre­siden Jimmy Carter adalah opa kita? Setelah ikut membaca, ibunya membenarkan bahwa betul,  itu memang opa.
      Seluruh cerita ber­awal tigapuluh tahun yang lalu pada bulan-bulan akhir 1978. Setelah sepuluh tahun mendekam di Penjara Salemba Ja­kar­ta, Joesoef “di­be­baskan” lewat pro­­se­dur dua tahun men­jalani tahanan ru­­mah dan selan­jut­nya tanpa batas berstatus sebagai tahanan kota. Mula-mula dua kali se­minggu wajib-lapor ke Markas CPM Guntur, kemudian berangsur-angsur seminggu se­ka­li dan akhirnya sebulan sekali, dengan KTP berstigma ET selama 15 tahun lebih.
      Dalam status tahanan kota di tahun 1978, Joesoef menerima sepucuk surat lewat pos dari Markas Kopkamtib, Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Isinya meminta kesediaannya sebagai bekas tahanan politik menerima empat wartawan Amerika untuk berwawancara. Tidak disebut siapa-siapa empat wartawan itu, juga tidak nama-nama suratkabarnya, tetapi jelas ditentukan tanggal dan tempat pertemuan -– Kopkamtib minta pertemuan berlangsung di rumah Joesoef di Jalan Duren Tiga.
      Joesoef merasa mendapat kesempatan baik bisa membuka mulut yang selama ini dibungkam, tetapi bertanya-tanya apakah para wartawan Amerika itu akan didampingi pejabat Deppen atau Kopkamtib? Apakah kehadiran pejabat pemerintah masih memungkinkan bicara bebas? Karena enggan menghubungi Kopkamtib, Joesoef langsung mendatangi Kedutaan Amerika Serikat di Merdeka Selatan. Rasanya seakan petualangan nekat -– ex-tapol dengan label ET -– PKI/komunis mendatangi Kedutaan Amerika Serikat.
      Sejak 1955 seusia 27 tahun, Joesoef tidak pernah lagi punya hubungan dengan Kedutaan AS, padahal Direktur USIS ketika itu -– Dr Hanna -– telah memilihnya sebagai wartawan s.k. Merdeka untuk menerima beasiswa penuh belajar jurnalistik di universitas Harvard, Boston. Semua formalitas sudah dipenuhi tetapi rencana belajar ke Amerika mendadak dibatalkan. Penyebab pembatalan: pada paspor Joesoef sudah terlebih dulu ada stempel Soviet Uni, Jerman Timur, Cekoslovakia dan negeri-negeri Eropa Timur lainnya. Begitulah konsekuensi dari politik Amerika yang ketika itu sedang didominasi politik anti-komunis McCarthy. Semenjak itu Joesoef boleh dibilang menjadi persona non grata bagi Amerika.
      Namun di tahun 1978 Joesoef memaksakan diri masuk ke gedung yang biasanya tabu didekati orang-orang “kiri”, hanya gara-gara penasaran mau tahu siapa empat wartawan Amerika tadi. Joesoef ingin menyarankan supaya para wartawan itu datang menemuinya langsung tanpa pengantar pejabat pemerintah. Dari meja ke meja tidak ada satu pun pegawai USIS yang bisa menjawab. Direktur USIS yang kebetulan ke luar kamar-kerjanya melihat pegawainya yang saling tanya-menanya. Dia hampiri Joesoef dan bertanya, “Apa pasal?” Dia menatap dan mencermati surat Kopkamtib itu, berpikir sejenak lalu berkata: pada tanggal ini tidak ada tercatat wartawan Amerika akan datang ke Indonesia. Yang akan datang pada tanggal ini perutusan pribadi Presiden Jimmy Carter untuk bertemu Presiden Suharto -– agenda kunjungan memang mengenai masalah penyelesaian tahanan-politik. Direktur USIS itu kemudian mengundang Joesoef masuk ke kamar-kerjanya. Joesoef sudah lupa namanya tetapi via-via, redaksi mendapatkan informasi bahwa nama direktur USIS yang jumpa Joesoef mestinya Fred Coffey.
***

Sebuah kamar-kerja besar, meja-tulis pun besar, pada dinding di belakang kursi menjuntai bendera Amerika; meja panjang yang merapat di dinding dilengkapi komputer dengan monitor besar, laserjet-printer, beberapa pesawat telepon berikut mesin fax. Mula-mula duduk formal berhadap-hadapan dipisah daun meja-tulis yang lebar, kemudian dengan santai duduk di sofa besar. Direktur USIS Fred Coffey menjelaskan, yang akan datang adalah pejabat tinggi, perutusan pribadi Presiden Carter bernama nyonya Patricia Derien, jabatan resminya Deputy Secretary of State khusus urusan Hak-hak Azasi Manusia. Dia diutus oleh Presiden Carter ke berbagai tempat di dunia, antara lain Moskow dan negeri-negeri Eropa Timur, di mana Amerika anggap telah terjadi pelanggaran hak-hak azasi manusia. Tugas dari Presiden Carter ke Indonesia adalah mendesak pemerintah Suharto agar segera menyelesaikan masalah tahanan-politik yang beratusribu masih mendekam di berbagai penjara di seluruh Indonesia.
      Pembicaraan dengan direktur USIS yang dimulai siang sekitar pk. 15.00 baru berakhir sore hari; kantor sudah tutup, semua pegawai sudah pulang. Pembicaraan menjadi panjang, karena sang direktur banyak bertanya, dia mau tahu apa saja dialami Joesoef semasa masih jadi tahanan, kemudian juga dalam status “bebas” sebagai bekas tahanan politik. Dua kali Joesoef permisi pamit minta pulang karena merasa sudah cukup banyak bercerita, tetapi sang direktur menahannya. Tidak henti-henti dia bertanya seakan belum puas dari apa yang sudah dia dengar. Joesoef  ingat betul sikap direktur USIS yang ramah, kadang-kadang dia tampak terharu. “Saya dapat memahami situasi anda dan perasaan keluarga anda,” katanya. “Saya dan istri saya sendiri tahu dan mengalami kelakuan pemerintahan yang opresif dan otoriter. Istri saya berasal dari Cekoslovakia, orang tuanya sampai sekarang masih tinggal di Praha, tetapi mereka tidak bisa bertemu, komunikasi telepon pun tidak bisa, visa kunjungan tidak pernah bisa didapat. Hubungan hanya lewat kartu pos kecil yang baris-barisnya kadang-kadang ada coretan tinta hitam sensor.” Suasana di kamar kerja terasa santai bersahabat, tidak ada kekakuan resmi pejabat apalagi sikap pertentangan politik.
      Direktur USIS itu berkata lagi, “Nanti kalau anda bertemu mrs. Patricia Derien, jangan sampai ada yang kelewatan diceritakan. Apa yang saya dengar hari ini, harus juga lengkap didengar oleh Patricia Derien. Semua itu akan menjadi masukan berharga untuk membantu Indonesia menyelesaikan masalah tapol. Sambil senyum, dia masih katakan jangan lupa ceritakan ukuran sel penjara anda yang sebesar meja-tulis saya ini... dihuni tiga orang. Pertemuan keluarga yang cuma 10 menit setahun sekali. Malnutrisi karena saban hari bertahun-tahun makan nasi busuk etc, etc, etc....”
      Sore itu juga direktur USIS langsung menjumpai Dubes Amerika Serikat, Edward Masters di kediamannya di Taman Surapati. Dia bermaksud melaporkan seluruh pembicaraan yang telah berlangsung di kamar kerjanya dan akan ditanyakan kapan pertemuan Patricia Derien–Joesoef bisa berlangsung. Dia berjanji pada malam harinya akan kasih kabar.
      Pukul 21.00 malam datang kurir ke Jalan Duren Tiga membawa surat. Isinya: Dubes mengusulkan pertemuan dengan Patricia Derien berlangsung di Kedutaan Merdeka Selatan, karena kunjungannya ke Indonesia terlalu singkat untuk sempat berkunjung ke tempat-tempat lain; pertemuan ditentukan pada hari Sabtu. Joesoef tidak ingat persis tanggal berapa tetapi pasti hari Sabtu, karena ketika itu kantor kedutaan tutup. Dengan didampingi direktur USIS, Joesoef diminta menunggu di kantor USIS sekitar pk.11.00,  sedangkan Patricia Derien dijadwalkan pada hari Sabtu yang sama pk. 10.00–11.00 pagi akan diantar oleh Dubes Edward Masters menjumpai Presiden Suharto di Istana Merdeka.
      Pada Hari H semua berjalan sesuai rencana. Patricia Derien sepulang jumpa Presiden Suharto di Istana Merdeka, bertemu Joesoef di kantor USIS -– orangnya tinggi kurus dan ketika bersalaman genggamnya keras seperti olah-ragawan berotot. Kata-kata pertama yang keluar spontan: “You tell me everything! There is nothing to hide. In fact I know all what happened here....” Ketika Joesoef mau mengulurkan tangan pada Dubes Edward Masters, dia berkata, “Anda tidak perlu perkenalkan diri anda, saya tahu siapa anda!” -– dia kepalkan tinju lalu mengacungkannya ke atas, lantas berseru, “Ganyang Amerika Serikat!” Semua tertawa karena jelas Dubes Edward Masters sedang dalam mood bercanda.
      Dubes Edward Masters menjelaskan sebelum tahun 1965 dia menjabat attaché politik di Kedutaan AS Jakarta, pernah menghadiri rapat di Istora Senayan. Pada suatu hari dia hadir di rapat-umum dan mendengar pidato-pidato wakil Sobsi, pemuda, wartawan PWI–PWAA, dan Bung Karno. “Saya hadir dan mendengar anda pidato ganyang imperialis­me Amerika Serikat,” katanya. Joesoef bukannya tidak tahu tetapi sama sekali sudah tidak memikirkan kejadian yang sudah lama berlalu itu.
      Satu setengah jam lebih Patricia Derien dan Edward Masters mendengarkan cerita Joesoef sambil menulis catatan. Menarik adalah peranan Direktur USIS, sebentar-sebentar dia bisikkan Joesoef... topik ini... topik itu... belum anda ceritakan.
      Mengenai satu butir Joesoef jelas masih ingat apa yang dia sampaikan kepada perutusan Presiden Carter itu.
      Paling tragis di Indonesia, semua pejabat, ya polisi, ya jenderal, menteri, politikus parpol, para cendikia sampai pada para wartawan mass-media, tidak merasa telah melanggar hak-hak azasi manusia. Pembantaian, penangkapan, menuduh/fitnah, tindak pidana politik apa pun, tidaklah melanggar hukum karena semua dilakukan berdasar undang-undang dan peraturan sah. Untuk semua “tindakan pelanggaran hak azasi”, resmi tersedia legitimasinya, ada peraturannya, jadi semua serba konstitusional. Azas impunitas pun dinikmati semua pejabat di semua bidang kegiatan.
      Patricia Derien merespons dengan singkat, tidak ada standar ganda dalam menegakkan hak-hak azasi manusia. Joesoef bertanya, apakah ketika jumpa Suharto tidak terpikir untuk mengusulkan suatu amnesti umum -– kan sekali pukul selesai tuntas segala persoalan. Patricia Derien menjawab: sebenarnya idee amnesti umum sudah gelantungan di bibirnya, rasanya mau dia usulkan pada Presiden Suharto tetapi dia menahan diri. “Kalau saya ucapkan dan dia tidak setuju, hubungan Amerika-Indonesia bisa jadi tegang. Saya kemudian merumuskannya dengan kata-kata lain, akan tetapi substansinya jelas bermaksud amnesti umum. Mestinya Suharto menangkap message saya, walaupun diuraikan tidak langsung, melingkar berpanjang-panjang, katanya.
      Dubes Edward Masters menambahkan, sudah berkali-kali Presiden Suharto dan aparat keamanannya berjanji akan menyelesaikan masalah tahanan-politik, tetapi semua janji berkali-kali kosong. Janji kepada wapres Walter Mondale pun tidak dipenuhi. Ini kali Pemerintah Ame­rika bersungguh-sungguh. Bila janji masih juga tidak dipenuhi, maka akan ada konsekuensinya. Dubes Edward Masters lalu menyebut tiga jenis paket bantuan Amerika, United States Aid, semua paket bantuan rupanya punya nomor kode. Nomor yang mana dia sudah tidak ingat, tetapi Joesoef ingat impor beras akan ditahan kalau janji tidak dipenuhi. Patricia Derien menjelaskan lagi, pelanggaran hak-hak azasi manusia merugikan semua pihak. Bagaimana mau mengatur ekonomi, bagaima­na mau investasi modal guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bagaimana tegakkan demokrasi dan keadilan kalau di penjara-penjara masih mendekam ratusan-ribu tahanan politik?
      Kisah penutup pertemuan di kedutaan Amerika tidak kurang menariknya. Dubes Edward Masters merobek secarik kertas kecil, menuliskan tiga nomor telepon. Yang pertama nomor telepon kantor, kedua telepon sekretarisnya, ketiga nomor telepon pribadinya. “Kasih kertas ini pada istri anda. Kalau anda mengalami kesulitan, istri anda jangan ragu telepon saya, kapan saja, jam berapa saja, sekalipun di tengah malam buta.” Patricia Derien bertanya, “Apakah anda dibuntuti polisi ketika masuk ke kedutaan ini?” Joesoef angkat bahu. Patricia Derien lalu mengusulkan agar Joesoef bersedia ikut di mobilnya, duduk di bawah di samping lututnya supaya tidak kelihatan dari luar. “Nanti saya ajak anda keliling-keliling kota. Di suatu tempat, nanti saya drop anda keluar.”
      Ini sudah konspirasi sungguhan. Joesoef merasa Patricia Derien tidak berbasa-basi, rupanya dia serius mau menolong Joesoef menghilangkan jejak. Tetapi Joesoef berterimakasih, tidak perlulah sejauh itu. Indonesia di bawah Suharto memang negeri polisi.  “Intel dan militer tahu alamat saya, tahu segala gerak-gerik saya. Lagi pula tidak ada yang perlu disembunyikan,” demikian Joesoef.
      Dalam penerbitan buku “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” pada ulang Pramoedya ke-70, 6 Februari 1995, Joesoef menulis kata pengantar yang menyinggung keterlibatan aktif Presiden Carter dalam pembebasan massal tapol Indonesia. Harus diakui, Pulau Buru bubar sebagai tempat pembuangan tahanan politik adalah berkat jasa intervensi Presiden Carter. Padahal Suharto dan Kopkamtib tidak pernah punya rencana membubarkan Pulau Buru. Para tapol Buru suatu hari boleh bebas, akan tetapi terus menetap di Buru, tidak akan dipulangkan ke Jawa. Administrasi Amerika Serikat ketika itu sungguh-sungguh mengingini ratusan-ribu tahanan-politik golongan kiri dan komunis dibebaskan. Amerika berkepentingan sekali mau memulai investasi modal di Indonesia, akan tetapi sulit mempertanggung-jawabkan kepada rakyatnya sendiri bila modalnya bekerja di negeri yang penjara-penjaranya penuh-sesak beratus-ribu orang yang berbeda pendapat dengan pemerintahnya.

Inilah kutipan beberapa alinea dari tulisan Jimmy Carter.
“When I became president, almost all the countries in South America were dictatorships. My administration pressed firmly for a basic hu­man rights policy, and now every country in South America is a de­mo­cracy. Though not all are patterned after ours, they now have freedom and democracy in their own way. This is very important to us.
The same is true in Indonesia. In May-1978, 1 asked Vice President Walter Mondale to visit President Soeharto so that he could link the release of political prisoners with the sale of aircraft. I also sent Patricia Derien, my personal envoy, on another trip to Jakarta to underscore the United States’ commitment to human rights. She met directly with President Soeharto, along with Joesoef Isak (koreksi: bukan along with, tetapi afterwards also with Joesoef Isak – ed.), a respected publisher who represented himself and thousands of other political prisoners, many of whom had been imprisoned since the mid-1960s, never having had a trial. According to Joesoef and other former detainees, because of the efforts of our administration and the efforts of groups like Amnesty International, over 35,000 political prisoners were freed between 1977 and 1980 from the penal island of Buru and other prisons throughout the archipelago.
As the people in the United States and Indonesia well know, administrations come and go; history fluctuates sometimes on a cycle of a decade or a quarter of a century or even more, but the basic underlying principles of a great nation are the same as those that characterize a great human being – that is, concern about one another and the desire to live in peace, to choose one’s own leaders, to assuage the afflictions of the poor and the needy, and to live in an environment that is pure and clean.

Sebenarnya baris-baris di atas merupakan cuplikan dari pidato Jimmy Carter di hadapan komunitas warga Amerika di Jakarta, ketika dia pada tahun 2004 berkunjung ke Indonesia sebagai peninjau pemilu era pasca-Suharto. Pidatonya menunjukkan kepeduliannya pada per­kem­bangan demokrasi di Indonesia, lebih-lebih karena pada 2004 Indonesia menyelenggarakan untuk pertama kali dalam sejarahnya sistem pemilihan Presiden secara langsung.
Joesoef tidak menyangka, laporan Patricia Derien mengenai pem­bicaraan di kedutaan Amerika Jakarta, setelah 26 tahun masih mendapat tanggapan Presiden Carter. Dalam pada itu, Joesoef sendiri menganggap dirinya sampai detik ini masih sebagai tahanan-politik – tahanan di luar penjara – karena tidak pernah hak-hak sipilnya direhabiliatasi, berbagai restriksi yang dikenakan padanya belum dicabut, KTP-nya pun sampai hari ini masih dibedakan dari warganegara Indonesia lainnya yang bebas.

Masih status tahanan-kota klandestin ke Eropa
Pramoedya cukup sering berkunjung ke rumah di Jalan Duren Tiga, tetapi beberapa kali pernah tidak menjumpai Joesoef karena dia sedang di luar negeri. Itu terjadi di tahun-tahun 1978–1984. Ketika itu meninggalkan Indonesia bisa disebut kunjungan gelap, klandestin, karena bagi ex-tapol yang sudah berada di luar penjara berlaku larangan permanen berkunjung ke luar negeri, kecuali naik haji dengan izin khusus Kopkamtib seperti yang terjadi pada Hasjim Rachman, salah seorang rekan pendiri Hasta Mitra.
      Pada saat itu, Pram dan Joesoef, sama-sama berstatus tahanan kota, jadi sama-sama tidak bisa ke luar negeri. Sugeng, staf urusan distribusi Hasta Mitra, menceritakan keheranan Pramoedya tentang Joesoef. “Kok berani sekali? Kan masih berlaku larangan ke luar negeri. Ke luar kota saja harus minta izin....” Sugeng pun tahu betul, yang memohon izin tidak bakal tahu hasilnya, karena permohonan apa pun tidak pernah dijawab.
      Dalam status tahanan kota, Joesoef empat kali berkunjung ke Eropa. KTP yang ber-ET dia hapus dengan tippex. Permohonan mendapatkan paspor dan exit-permit dari kantor imigrasi dia lakukan dengan membawa fotokopi KTP yang sudah bersih dari kode ET. Bagi Joesoef itu bukan soal berani, bukan juga klandestin. Apa perlunya pemerintah bikin larangan? Macam-macam peraturan Pemerintah yang mubasir, itulah yang melahirkan “keberanian” dan menyebabkan berbagai tindakan ilegal.
      Ke Eropa sebenarnya tidak lain mau berbisnis terbuka, semua serba legal, tidak ada urusan gerpol, tidak ada urusan mendirikan “PKI malam” atau macam-macam “rencana gelap” lain yang kosong. Hasta Mitra mau mencari penerjemah dan menemukan penerbit di Belanda yang berminat menerbitkan buku-buku Pramoedya. Itu semua pekerjaan terbuka, tidak memerlukan keberanian dan tidak perlu klandestin alias serba sembunyi-sembunyi. Pemerintah sendiri yang cari penyakit, bikin soal yang sama sekali tidak perlu jadi soal.
      Dalam kunjungan ke Eropa -– Belanda, Jerman, Prancis –- dengan sendirinya Joesoef bertemu banyak rekan dan sahabatnya yang mendadak jadi “eksil”, pelarian politik berstatus “stateless”. Hidup di luar negeri seperti itu bukan pilihan mereka, akan tetapi karena Pemerintah Orde Baru mencabut paspor mereka dengan alasan patut diduga, tidak-bisa-tidak, langsung-atau-tidak-langsung terlibat G30S/PKI –- Titik! Di antara rekan-rekan lama yang dijumpai antara lain terdapat Djawoto (mantan pemimpin redaksi Antara/Dubes RI di Beijing)‚ Suraedi Tahsin (mantan pemimpin redaksi Bintang Timur/Dubes RI di Bamako, Mali), selanjutnya Umar Said di Prancis, Supeno, Ibrahim Isa, Suryono dan Francisca Fangidaej di Belanda, dan banyak lagi teman lainnya.
      Tahsin bersama Suardi Tasrif (belakangan Pemred Abadi dan ketua Peradin) pernah menjadi senior Joesoef di harian Berita Indonesia tahun 45-an. Tahsinlah yang menganjurkan Joesoef agar pada kesempatan berada di Belanda, bertemu juga dengan fraksi-fraksi partai politik Belanda dengan maksud memberikan masukan mengenai situasi hak-hak azasi manusia dan kondisi para tahanan politik.

Berkunjung ke Het Binnenhof
Selama empat kali ke Belanda, Joesoef dua kali berkunjung ke Het Binnenhof, Haagse Plein di pusat Den Haag, kompleks perkantoran Tweede Kamer (parlemen Belanda) di mana semua fraksi partai politik mendapatkan ruang kerja masing-masing. Tahsin mengantar Joesoef, dia tidak ikut bicara karena sebagai refugee politik dia tidak alami kejadian 1965 di Indonesia. Bertemu wakil-wakil fraksi parpol Belanda, Joesoef menjelaskan bahwa dia berbicara atas nama pribadi, tidak mewakili para tapol atau LSM mana pun, karena memang tidak pegang mandat apa pun. Jadi semacam “diplomasi perorangan”. Wakil Belanda di Parlemen Eropa di Strassbourgh, nyonya V. d. Heuvel, juga dijumpai Joesoef.
      Kepada seorang wakil VVD, Joesoef memulai keterangannya dengan kata-kata “Ik kom hier geen klikspaan spelen...,” saya datang ke mari bukan jadi tukang-ngadu, walaupun orang brengsek sedang berkuasa di Indonesia –- Joesoef malahan sebaliknya meng­gu­gat sikap pemerintah dan politisi Belanda yang banyak menyusahkan Indonesia dan rakyat Indonesia. Pada tahun 45-an Belanda menghitam-hitamkan Soekarno sebagai kolaborator Jepang dan mengadu-domba pemimpin-pemimpin Indonesia, memecah-belah Soekarno-Hatta-Sjahrir, mengangkat bo­ne­ka-boneka jadi pemimpin negara-negara federal. Di tahun 1965, politisi Belanda berikut seluruh mesin mass-medianya mengacau lagi dengan cara mendukung kekuasaan militeris-fasis. Pemerintah Suharto dianggap demokratis, pemerintah dan pers Belanda gembira sekali Soekarno dijatuhkan. Tahsin mendengarkan bagaimana Joesoef menuntut pada politisi Belanda untuk tidak menggunakan standar ganda dalam penerapan prinsip-prinsip demokrasi maupun dalam persoalan hak-hak azasi manusia.
      Joesoef juga menganggap politisi, pers dan pemerintah Be­landa bodoh, karena melepaskan kesempatan memelihara dan meningkatkan hubungan baik Indonesia-Belanda yang secara historis sebenarnya sudah ada sejak lama. Tentu bukan lagi hubungan antara yang menjajah dan yang dijajah, tetapi hubungan setaraf antara dua negeri merdeka yang bisa saling menguntungkan. Tetapi Belanda dengan menlu Luns-nya ngotot mau menguasai Irian Barat, tidak henti-henti pers Belanda mencaci-maki Soekarno. Hubungan historis Indonesia-Belanda retak untuk selama-lamanya, generasi muda Indonesia sekarang sudah beralih orientasi ke negeri-negeri berbahasa Inggris, tidak lagi ke Belanda. Kebanyakan mahasiswa generasi baru Indonesia masakini menempuh gelar akademis S1 - S2 - S3 di universitas-universitas Amerika, Australia, ke negeri-negeri bahasa Inggris atau negeri-negeri lain tetapi bukan Belanda. Joesoef mengutip kata-kata wartawan J. de Kadt: Tragedie der gemiste kansen. Bencana menyedihkan terjadi hanya gara-gara tidak tahu menggunakan kesempatan baik yang sebenarnya tersedia.
     Joesoef sendiri masih berbahasa Belanda dengan para politisi Belanda, juga ketika bertemu beberapa pengarang Belanda, seperti Hella Haase. Prof. Henk Maier pernah mengatakan bahwa bahasa Belanda Joesoef “sedap” didengar, karena zaman sekarang orang Belanda sudah tidak bicara begitu lagi. Joesoef tahu yang dimaksud “sedap” sebenarnya bahasa Belanda arkais, kuno, kadang-kadang kecampuran Indisch, bahasa orang Indo. Banyak kata-kata di Be­landa sendiri sudah tidak dipakai lagi, banyak istilah-istilah lama dianggap terlalu resmi berbasa-basi, formeel dan te deftig. Wartawan wanita Belanda Willy van Rooijen pernah mengatakan itu bukan kesalahan, slechts kleine charmante schoonheidsfouten, katanya. Cuma kesalahan kecil yang memancing senyum orang yang mendengarnya.

Novib – Hivos
Selain pertemuan di Het Binnenhof, Den Haag, Joesoef juga bertemu pimpinan Novib dan Hivos, dua LSM besar Belanda yang dengan subsidi Pemerintah dan sokongan dunia usaha industri menyantuni berbagai proyek di negeri-negeri dunia ketiga. Sejak Indonesia mulai mengadakan pembebasan tapol, Novib dan Hivos mulai juga memfokuskan kegiatannya di Indonesia. Kepada Joesoef ditanyakan, “Apa yang kami bisa lakukan bagi para ex-tapol?” Joesoef mengucapkan terimakasih atas sikap kepedulian itu, tetapi menganjurkan agar jangan hanya membantu ex-tapol 1965, jangan sampai timbul kesan ex-tapol 1965 dimanjakan. Yang hidup susah dan tertindas bukan saja ex-tapol ‘65, tetapi seluruh rakyat kecil Indonesia. Kalau mau memberikan bantuan, berikanlah pada rakyat, para ex-tapol dengan sendirinya akan ikut terbantu. Selanjutnya segmen-segmen masyarakat lain, seperti LSM-LSM Islam berikut tapolnya sebaiknya mendapatkan perhatian yang sama.
      Pada prinsipnya Joesoef berpendapat ex-tapol sedapat-dapatnya berusaha bersikap mandiri, tidak tergantung pada bantuan, baik dalam maupun luar negeri. Para lembaga donor luar negeri kadang-kadang punya pretensi, bantuan yang mereka berikan akan mensejahterakan si penerima bantuan; dana bantuan dibayangkan akan revolving, berakumulasi, padahal apa yang diberikan cuma setetes air dalam samudera.
 
Kemandirian
Joesoef tidak berkeberatan para ex-tapol menuntut persamaan hak, rekonsiliasi, rehabilitasi, kompensasi kepada Pemerintah –- semua itu monggo saja –- tetapi Joesoef sendiri tidak akan ikut menuntut-nuntut. Ia tidak punya ilusi Mahkamah Agung, MPR/DPR, dan Pemerintah sekarang yang masih kental menggendong watak-kekuasan Orde Baru Suharto akan meluluskan segala macam tututan itu. Persamaan hak sesama warganegara hanya akan bisa menjadi kenyataan kalau watak-kekuasaan berubah, berubah menjadi memihak dan memprioritaskan kepentingan rakyat. Bisakah dari Pemerintah sekarang diharapkan berubah watak-kekuasaannya?
      Bagi Joesoef, hak azasi manusia dan hak-hak individu bukanlah nilai-nilai untuk diminta-minta melainkan harus ditegakkan sendiri, diperjuangkan dan direbut. Hasta Mitra, Hasjim-Pram-Joesoef,  sendiri bekerja konsisten pada prinsip mandiri itu pada saat Suharto sedang sekuasa-kuasanya. Tidak pernah Hasta Mitra meminta-minta kepada Pemerintah atau kepada Kejaksaan Agung agar menghormati hak-hak azasi, agar memberikan kebebasan dan kelonggaran menerbitkan buku-buku. Rebut dan tegakkan sendiri hak-hak sah warganegara itu –- buku-buku terus dan tetap terbitkan, tidak pernah berhenti walaupun setiap kali terbit dibredel. Sampai hari ini pun prinsip itu dipegang teguh.
    Ironisnya empat Award yang diterima Joesoef, kesemuanya justru berasal dari “negeri-negeri imperialis”, Amerika, Australia, Belanda, dan Prancis dengan diktum yang menyatakan: “... menghargai keberanian dan sikap kukuh dalam membela hak menyatakan pendapat dengan bebas –- walaupun berisiko tinggi –- sehingga memungkinkan seluruh dunia ikut membaca karya literer yang bermutu”. Joesoef dalam sambutan penerimaan penghargaan dengan singkat berkata:  “Dunia bebas”, the free world, dengan cepat mendetect diktator-diktator seperti Soekarno dan Saddam Hussein, tetapi menganggap diktator kejam Suharto dan Pinochet sebagai sahabat-sahabat demokrasi. “Penghargaan ini saya anggap sebagai koreksi terhadap kerancuan itu!” ***
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 12:16 PM