Yo sanak
yo kadang,
malah yèn mati aku
sing kélangan
Presiden Soekarno
Saudara-saudara sekalian,
Merdeka!
(sambutan gemuruh "Merdeka!", tepuk tangan lama).
Saudara-saudara sekalian,
Pada permulaan
bulan Juli yang lalu, sdr. Aidit di ruangan Istana Negara menanya kepada
saya : "Bung Karno, sekarang ini sedang berjalan pelarangan
kegiatan politik. Apakah kiranya Partai Komunis Indonesia dalam waktu yang
singkat boleh mengadakan Kongres di Jakarta?"
Pada waktu itu saya berkata kepada saudara
Aidit, "Adakan kongres itu." (tepuk tangan dan sorak lama, terdengar pekik: "Hidup Bung
Karno!"). "Adakan Kongres itu lewat tanggal 1 Agustus
yang akan datang". Dan di dalam
pada akhir bulan Juli sebelum tanggal 1 Agustus, pada satu pagi saya memanggil
KMKB Jakarta Raya, Overste Umar, minum kopi dengan saya pagi-pagi (tawa). Dan saya berkata kepada Overste
Umar : "Overste Umar, nanti lewat tanggal 1 Agustus Partai Komunis
Indonesia akan mengadakan Kongres, jagalah agar supaya Kongres itu berjalan
baik, sebab Republik Indonesia adalah Republik Demokrasi." (tepuk tangan lama).
Saudara-saudara, maka sekarang telah terang
langsunglah Kongres itu. Dan sedianya saya, diminta oleh sdr. Aidit untuk
menghadiri salah satu sidang resepsi daripada Kongres ini pada tanggal 15
September atau sebelum 15 September. Tapi pada waktu itu saya berkata kepada
sdr. Aidit: "Sayang, maaf, sebelum tanggal 15 September tak mungkin saya
dapat menghadiri suatu resepsi oleh karena saya hendak mengadakan perjalanan
ke Aceh, ke Riau, ke Kalimantan, tetapi insya Allah, lewat 15 September saya
akan dapat menghadiri resepsi penutupan daripada Kongres PKI." Dan oleh
sdr. Aidit dijadikan resepsi penutupan Kongres itu terjadi pada tanggal
16 September. Dan, saudara-saudara, syukur alhamdullilah pada ini malam saya
hadir dikalangan saudara-saudara. (tepuk
tangan). Hadir dikalangan saudara-saudara, diterima oleh saudara-saudara
dengan rasa kawan, dengan rasa cinta, yang atasnya saya mengucapkan
banyak-banyak terimakasih. Diterima oleh saudara-saudara di dalam ruangan, yang
….. saya kira ini orang-orang Komunis yang membuat ruangan yang lebih indah, (tepuk tangan lama) dengan ruangan yang
indah dengan hiasan-hiasan yang indah dan dinamis.
Maka teringatlah kepada saya salah satu
Kongres PKI ….. hampir 40 tahun yang lalu, yaitu di Bandung kira-kira tahun
1922 atau 23. Saya tidak ingat lagi Kongres PKI yang nomor berapa, tapi yang
jauh daripada yang indah ini. Pada waktu itu Kongres diadakan disatu sekolah,
namanya sekolah partikulir di jalan Pungkur, Bandung. Sangat sederhana. Jumlah
Kongresis jauh lebih kurang daripada yang sekarang dan saya ingat di bagian pimpinan,
yang pada waktu itu dinamakan "Hoofdbestuur" ada berderet 15 kursi
tetapi 9 daripada kursi itu kosong oleh karena mereka yang harus duduk di situ
meringkuk di dalam penjara. Kongres itu, dus, hanya dipimpin oleh 6 orang
pemimpin saja. Jauh perbedaan dengan keadaan yang sekarang yang kita melihat
sdr. Aidit gagah perwira, (tepuk tangan
lama) sdr. Lukman, sdr. Nyoto, sdr. Sudisman, sdr. Sakirman, di sampingnya ada
kandidat Politbiro sdr. Nyono, dan kita melihat di sana ada dua orang wanita,
disana satu orang wanita, dan disana lagi dua orang wanita, berbedaan dengan
keadaan hampir 40 tahun yang lalu itu, saudara-saudara. Dan pada waktu itu saya
duduk nonton ikutserta dalam Kongres di Bandung itu yang setengah sebagai "penyelundup",
pemuda. (tawa dan tepuk tangan).
Berbeda dengan sekarang yang saya hadir didalam Kongres ini sebagai Presiden
Republik Indonesia. (tepuk tangan lama).
Ya, saudara-saudara, barangkali sayalah satu-satunya presiden suatu negara di
dunia ini, negara yang bukan dinamakan Sosialis, yang menghadiri satu Kongres
Partai Komunis (tepuktangan lama). Nah betapa tidak saudara-saudara!
Betapa tidak hendak saya hadiri, kan saudara-saudara orang Indonesia,
warganegara Indonesia, pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia, pejuang-pejuang menentang
imperialisme yang membela kemerdekaaan Indonesia ini. (tepuktangan gemuruh). Saudara-saudara adalah utusan daripaka
sebagian Rakyat Indonesia, saudara-saudara adalah sama-sama orang-orang bangsa Indonesia.
Malah saya akan berkata dalam bahasa Jawa, saudara-saudara itu, "Yo
kadang, yo sanak, malah yèn mati aku sing kélangan." (tepuktangan gemuruh lama).
Yah, saudara-saudara, demikianlah
keadaannya maka oleh karena itu pun saya merasa
bergembira sekali tatkala saya hendak datang di ruangan gedung ini, dari
muka Istana mula telah melewati barisan, barangkali pemuda-pemuda komunis, (tepuktangan) semua menyerukan satu yel: "Gotong-royong, gotong-royong …. Ho lopis kuntul baris, ho lopis kuntul
baris, ho lopis kuntul baris, gotong-royong …. Ho lopis kuntul baris, ho lopis
kuntul baris, ho lopis kuntul baris ….." (semua
hadirin bersama-sama menyerukan "Ho lopis kuntul baris"). Saya amat
gembira oleh karena, ya memang saudara-saudara jikalau kita hendak
menyelesaikan revolusi nasional kita ini, tidak ada jalan lain melainkan
gotong-royong dan ho lopis kuntul baris.(tepuktangan).
Di belakang ada ditulis, "Kongres Nasional ke-VI PKI Untuk
Demokrasi dan Kabinet Gotong-Royong". (tepuk tangan).
Saya dengan tegas berkata kepada saudara-saudara, Kabinet Gotong-Royong tetap menjadi cita-cita Bung Karno! (tepuktangan lama). Sebab sebagai tadi
saya katakan, menyelesaikan revolusi nasional kita, apalagi revolusi kita
setelah memasuki fase sosial-ekonominya untuk menyelenggarakan masyarakat adil
dan makmur sebagai amanat penderitaan Rakyat, tidak ada jalan lain melainkan
dengan gotong-royong dan ho lopis kuntul baris. Maka oleh karena itu, saudara-saudara saya tadi berkata, tetap saya
bercita-cita Kabinet Gotong Royong dan disamping itu, saudara-saudara melihat
bahwa saya telah membentuk Dewan Pertimbangan Agung atas dasar gotong-royong
dan insya Allah s.w.t., akan membentuk MPR – Majelis Permusyawaratan Rakyat
atas dasar gotong-royong pula. (tepuktangan
lama).
Saya bergembira terhadap PKI terutama sekali diwaktu
yang akhir-akhir ini, -- dan kata "akhir-akhir ini" -- bukan hanya
beberapa hari tapi telah beberapa tahun -- PKI dengan tegas menyatakan mutlak
perlunya persatuan nasional sebagaimana tadi diutarakan buat kesekian kalinya
lagi oleh sdr. D.N. Aidit. Cocok benar
dengan yang saya katakan, masih di jaman Jokyapun, kemudian beberapa kali saya
ulangi di Jakarta ini, bahwa meskipun sepanjang sejarah selalu ada perjuangan klas, selalu ada pertentangan klas, vide Manifesto
Komunis, jadi pertentangan klas, perjuangan klas itu selalu ada tetapi didalam sesuatu revolusi
nasional maka kita tidak meruncing-runcingkan pertentangan klas dan perjuangan
klas diantara bangsa sendiri (tepuktangan).
Sebaliknya, sebaliknya kita semua menggalang persatuan revolusioner, semua
tenaga revolusioner menjadi satu gelombang maha sakti yang menghantam remuk
redam terhadap kepada musuh kita yang utama, yaitu imperialisme-politik dan
imperialisme-ekonomi (tepuktangan lama).
Saudara-saudara, hal ini saya ucapkan dengan jelas didalam Manifesto Politik
saya pada tanggal 17 Agustus 1959 yang lalu. Dan tatkala saya mengadakan
perjalanana beberapa hari yang lalu ke Aceh, diikuti oleh beberapa dutabesar,
antara lain dutabesar Polandia yang duduk disana pakai dasi merah, dutabesar Uni-Sovyet
yang duduk disana dengan dasi kupu-kupu, dutabesar India yang duduk disana
dengan dasi putih kalau tidak salah, dan dutabesar-dutabesar lain, dengan
gembira saya melihat bahwa dimana-mana tempat, baik daerah Aceh maupun daerah
Riau, maupun di daerah Kalimantan, PKI-lah salahsatu tenaga yang menyambut
dengan baik (tepuktangan lama),
menyambut dengan baik dan konsekwen kembali kita kepada Undang-Undang Dasar 45,
dan menyambut dengan baik persatuan nasional, menyelenggarakan persatuan
nasional itu dengan sehebat-hebatnya (tepuktangan
gemuruh). Oleh karena itu saudara-saudara, pantas saya mengucapkan
penghargaan saya kepada Partai Komunis Indonesia didalam hal ini.
Di Kutaraja, tatkala saya membuka Fakultas
Ekonomi, Fakultas Ekonomi yang terdiri dari usaha gotong-royong daripada Rakyat
Aceh, dan saya melihat dutabesar-dutabesar dari negara-negara asing yang
mengikuti perjalanan saya itu, antara lain
dutabesar India, saya mensitir ucapan daripada pemimpin India, Sri
Yawaharlal Nehru. Sri Yawaharlal Nehru, kata saya pada waktu itu, jumlah total
jendral pernah masuk penjara 11 kali, ada yang lama ada yang sebentar. Sebelas
kali beliau masuk-keluar penjara, masuk-keluar, masuk-keluar, masuk-keluar …., sehingga
pada satu ketika beliau berkata merasa dirinya itu sebagai satu "shuttle-cock "
di dalam permainan badminton. In, out, in, out, …. in, out penjara. Beliau
berkata: "What a shuttle-cock I have become." "Saya ini
kok menjadi shuttle-cock begini?"
Tatkala saya ingat akan ucapan Sri Yawaharlal Nehru itu, saya ingat pada
diri saya sendiri. Nehru merasa dirinya sebagai "shuttle-cock", lha
saya ini merasa diri saya sebagai apa? Saya berkata dihadapan khalayak
ramai di Kutaraja itu, saya merasa diri saya sebagai sepotong kayu dalam satu
gundukan kayu api-unggun, sepotong dari ratusan atau ribuan potong kayu didalam
api unggun besar yang sedang menyala-nyala. Saya menyumbang sedikit kepada
nyalanya api unggun itu, tetapi sebaliknyapun saya dimakan oleh api-unggun itu,
saudara-saudara. Menyumbang kepada api-unggun, tetapi juga dimakan oleh api-unggun.
Tidakkah sebenarnya kita semua berasa demikian saudara-saudara?
Saudara-saudara, terutama sekali hai saudara
saudara dari PKI, saudara-saudara masing-masing menyumbang kepada api revolusi,
tetapi saudarapun dimakan oleh api revolusi itu. Dimakan dalam arti bahwa
saudara ikut serta dalam dinamikanya revolusi ini habis-habisan, bahwa saudara merasa
diri saudara mendapat impetus, mendapat kekuatan tenaga, mendapat penggerak
jiwa daripada revolusi yang apinya sekarang sedang berkobar-kobar dan
menyala-nyala itu. Kita semuanya harus merasa demikinan tanpa kecuali, baik saudara
Asmara Hadi yang duduk disitu, maupun Overste Umar yang duduk disana, maupun Zus
Ruslan Abdulgani yang duduk disana, maupun sdr. Suwiryo yang duduk disana,
maupun sdr. Sudiro yang duduk disana, maupun Pak Aruji Kartasasmita yang duduk
disini, maupun sdr. Sukarni yang duduk disitu, maupun sdr. Ruslan Abdulgani
yang duduk disitu, maupun saudara Aidit yang duduk disitu, maupun saya sendiri
yang berdiri dimuka mikrofon ini, harus merasa diri kita ini sebagai penyumbang
kepada revolusi dan dimakan oleh api-revolusi. Hanya dengan jalan demikianlah
saudara-saudara maka impetus menyelesaikan revolusi nasional dengan cara ho
lopis kuntul baris dan gotong royong dapat terlaksana Jangan diantara kita itu
ada yang merasa diri kita sebagai ….. hanya pemberi, penyumbang kepada revolusi
saja jangan diantarara kita itu ada yang merasa sebagai almarhum maharaja
diraja Hamurabi yang berkata: "Aku titisan daripada Aburamasda,
aku telah membuat air sungai mengalir di ladang-ladang dan memberi kesuburan
kepada ladang-ladang." Sewaktu air sungai pergi ke ladang dan memberi
kesuburan ke ladang-ladang itu dianggapnya sebagai perbuatannya sendiri,
menurut titahnya sendiri. Tidak boleh kita meskipun kita menjadi pemimpin besar
bagaimanapun saudara-saudara, mempunyai rasa yang demikian itu. Tetapi kita
semua harus merasa diri kita satu bagian daripada satu massa yang besar, bangsa
Indonesia yang 88 juta jumlahnya bahkan sebagian daripada umat manusia didunia
ini. Menyumbang kepada revolusi, bukan saja revolusi nasional, tapi juga
revolusi besar didunia ini, tetapi sebaliknyapun dimakan oleh revolusi itu.
Ya, sebagai yang
saya katakan didalam pidato saya 17 Agustus 59, kita sekarang ini mengalami
revolusi yang besar sekali, bukan saja di Indonesia, tetapi juga diluar
Indonesia. Saya berkata bahwa ¾ daripada umat manusia ini sekarang didalam
revolusi. Revolusi umat manusia untuk mengejar kemerdekaan. Revolusi umat
manusia yang dijalankan oleh lebih daripada 2000 juta manusia mengejar
kebebasan, mengejar persaudaraan dunia, mengejar hidup yang wajar, mengejar
masyarakat adil dan makmur dan lain sebagainya. Kita sebagai bagian daripada
revolusi besar itu saudara-saudara, mempunyai tugas menyelesaikan revolusi di
bumi Indonesia menurut kepribadian Indonesia
sendiri.
Saudara-saudara,
tadi sdr. Aidit habis-habisan memuji pada saya. Sebentar-sebentar Bung Karno,
Bung Karno, Bung Karno. Lho, sdr. Aidit
jangan lupa, saya ini hanya satu bagian daripada gelombang besar ini. Saya
bukan Hamurabi yang berkata : "Saya adalah titisan daripada
Aburamasda," saya bukan pembuat revolusi ini. Tidak ! Saya hanya
sekedar bagian daripada revolusi ini, saya
sekedar satu potong kayu didalam api-unggun yang besar ini dan saya
dimakan malahan oleh nyalanya api-unggun itu. (tepuk tangan)
Saudara-saudara,
nah, yang berdiri dihadapan saudara-saudara ini memang satu manusia yang dipandang
beberapa manusia adalah aneh. Saya sendiri telah mengakui, saya ini "campuran", saudara-saudara, campuran dari 3 sifat, ya nasionalis,
ya sosialis, ya muslimin. Tiga sifat ini tercampur dalam diri saya. Malahan
saudara-saudara, ada yang heran, bagaimana bisa saudara Sukarno ini muslimin
padahal beliau berkata, pernah berkata, bahwa beliau adalah seorang historis
materialis? Yah, saudara-saudara, buat sekian kalinya saya ulangi:
Saya memang seorang historis materialis. Lha kok bisa saya menjadi orang
muslimin? Yang percaya kepada Tuhan? Yang sembahyang? Yang
berpuasa? Dan lain-lain sebagainya.
Saudara-saudara,
saya adalah seorang historis materialis, tetapi saya bukan seorang wijsgerig
materialis, bukan seorang filosofis materialis. Saya terangkan kepada
Saudara-saudara bedanya. Seorang filosofis materialis atau wijsgerig materialis
berkata, fikiran itu adalah keluar daripada proses otak. Kalau tidak ada otak,
tidak ada fikiran. Maka seorang wijsgerig materialis berkata: "gedachte is phosphor". Fikiran itu adalah phosphor. Oleh karena
otak terbuat sebagian besar daripada phosphor, maka dia berkata "fikiran
adalah phosphor", "gedachte is phosphor". Ada juga dia
berkata, "rasa adalah jantung", oleh karena tanpa jantung tiada
rasa. Dicari terus …. roch, jiwa, sebenarnya tidak ada sebab yang dinamakan
roch dan jiwa itu adalah badan sebagaimana gedachte adalah phosphor, rasa
adalah jantung, jiwa atau roch adalah badan, molekul. Dan saya bukan yang
demikian itu saudara-saudara. Saya bukan filosofis materialis, --terus terang
saja supaya kita mengenal satu sama lain ! (tepuktangan). Saya bukan wijsgerig materialis. Tidak ! Saya
adalah seorang historis materialis ! Historis materialis adalah satu ilmu,
satu metode untuk mengerti sejarah. Satu metode analisa sejarah yang mengatakan
bahwa segenap alam-alam fikiran, ideologi dan lain sebagainya didalam periode
daripada sejarah ditentukan oleh perbandingan-perbandingan sosial-ekonomi pada
waktu itu. Sosial-ekonominya pada waktu itu demikian, ideologinya demikian,
sosial-ekonominya pada satu waktu hijau, ideologinya hijau, sosial-ekonominya
pada satu waktu hitam, ideologinya hitam, sosial-ekonominya pada satu waktu
merah, ideologinya merah. Ini adalah ilmu yang dinamakan historis materialisme
dan saya termasuk pengikut daripada teori ini, maka oleh karena itu saya adalah
seorang historis materialis. Yah, jikalau saudara mendengar dari saya bahwa
saya itu ya nasionalis, ya sosialis, ya muslimin maka untuk mengerti diri saya
yang kompleks itu saudara-saudara, ingatlah kepada historis materialisme ini.
Saya ini hasil daripada sejarah. Sebab saya nasionalis, betapa tidak
saudara-saudara ! Saya patriot, betapa tidak ! Oleh karena bangsa
saya beratus-ratus tahun dijajah orang, oleh karena bangsa saya beratus-ratus
tahun kehilangan kemerdekaan, oleh karena bangsa saya beratus-ratue tahun
dibelenggu, dihina, ditindas, oleh karena bangsa saya beratus-ratus tahun
bahkan lebih lama, bangsa yang menyebut namanya sendiri tidak boleh. Bangsa
yang demikian itu saudara-saudara, tidak boleh tidak tentu menghasilkan rasa patriotisme dan rasa
nasionalisme (tepuk tangan lama). Dan
saya lahir didalam bangsa yang demikian itu. Jadi nasionalisme saya boleh
saudara artikan dan bisa saudara artikan sebagai hasil daripada proses sejarah
dikalangan bangsa kita.
Sosuialisme saya
bagaimana ? (tawa). Ya, saya ini
putera, anak daripada bangsa yang terutama sekali ekonomi dihisap, ditindas
oleh imperialisme. Satu bangsa yang menurut perkataan Dr.Huender, ini
beratus-ratus kali saya katakan telah menjadi satu bangsa "natie van
koelies en koelies onder de naties", "nation of coolis and coolis
among nations", satu bangsa yang hidup daripada dua setengah sen satu
orang satu hari, satu bangsa yang makan sekarang tidak tahu bagaimana besok
akan makan, satu bangsa yang pakaiannya compang-camping, satu bangsa yang
gubugnya doyong, satu bangsa yang anaknya selalu menangis oleh karena
kelaparan, satu bangsa…… pendek kata yang hidup didalam kalangan kemiskinan dan
kemelaratan. Bangsa yang demikian itu mesti mempunya cita-cita sosialisme. Dan
saya adalah putera daripada bangsa yang demikian itu. Bangsa yang demikian itu
gandrung pada satu masyaratkat yang adil dan makmur, gandrung pada satu
masyarakat yang tiap-tiap orang bisa bahagia, gandrung pada satu masyarakat
yang tiap-tiap orang mempunyai prumahan yang layak, gandrung kepada sandang dan
pangan, gandrung kepada satu masyarakat adil dan makmur, toto-raharjo, bangsa
yang demikian itu saudara-saudara, adalah semestinya, historis semestinya, menjadi
satu bangsa yang bercita-citakan sosialis dan bangsa yang semacam kita ini
saudara-saudara tadinya banyak sekali diluar Indonesia. Maka oleh karena itu
sayapun tidak heran, bahwa didalam abad duapuluh dimana-mana timbul
negara-negara Sosialis (tepuktangan).
Wakil dari Polandia (yang dimaksudkan wakil Bulgaria – Red.) berkata bahwa
jumlah Rakyat negara Sosialis itu 900 juta. Saya kira salah hitung saudara,
bukan 900 juta, tetapi menurut perhitungan saya lebih dari 1000 juta manusia (tepuktangan lama). Malah seperti saya
katakan, inilah phenomen daripada abad ke-20. Salah satu phenomen, phenomen
yaitu … gejala, lebih dari gejala, satu pertandaan daripada abad ke-20.
Pertandaan yang pertama, phenomen yang pertama yalah didalam abad ke-20 ini
terjadi negara-negara merdeka di Asia dan Afrika. Phenomen yang kedua didalam
abad ke 20 ini yalah terjadinya negara-negara Sosialis, kalau tidak salah
jumlahnya sudah 15 buah sekarang ini dan rakyatnya telah lebih daripada 1000
juta. Phenomen ini terjadi sebagaimana tadi saya katakan saudara-saudara, oleh
karena bukan saja di Indonesia Rakyatnya hidup didalam kemiskinan dan
papa-sengsara, tetapinya, tetapi dinegeri-negeri lainpun demikian juga,
sehingga akhirnya timbullah gerakan-gerakan yang sekarang melahirkan negara-negara
sosialis 15 buah dengan Rakyat lebih daripada1000 juta.
Saudara lantas
bertanya kepada saya: "Lha musliminnya itu di mana?"
Ditinjau dari sudut kemasyarakatan, ditinjau dari histori, bangsa kita ini
adalah didalam tingkat yang dinamakan tingkat agraris, atau lebih tepat yang
sekarang sedang meninggalkan tingkat agraris tetapi beratus-ratus tahun,
mungkin beribu-ribu tahun, berada di tingkat argraris, tingkat terutama sekali
bercocok-tanam, dan historis, maka bangsa yang demikian itu tidak boleh tidak
saudara adalah bangsa yang religius,
bangsa yang percaya pada hal-hal yang gaib. Kaum buruh, saudara-saudara yang
hidup didalam pabrik-pabrik, mengetahui bahwa tenunan dihasilkan oleh mesin
ini. Kaum buruh di pabrik listrik dengan exact bisa mengetahui kalau generator
berjalan, tidak boleh tidak mesti keluar aliran listrik. Pasti keluar kain
daripada mesin tenun ini. Tapi seorang tani, si-petani saudara-saudara, ia
tanamkan ia punya bibit padi, sesudah tanamkan ia punya bibit padi tinggal
memohon, memohon agar supaya hujan turun menyuburkan tanaman padi ini, memohon
kepada yang gaib agar supaya tidak kering terik sehingga padinya nanti akan
mati; memohon kepada suatu zat yang dia tidak lihat agar supaya
tanamannya ini menjadi subur dan berhasil nantinya. Ini ditinjau dari sudut
masyarakat dan sudut historis. Bangsa yang demikian itu saudara-saudara tak
bisa lain daripada satu bangsa yang religius, ditinjau dari sudut masyarakat
dan histori itu. Meskipun ada juga peninjauan yang lebih dalam daripada itu.
Saudara lepaskan saja, misalnya, dari masyarakat dan histori lantas saudara
tinjau saja lebih dalam, kenapa Bung Karno percaya pada Tuhan ? Kanapa
Bung Karno itu muslimin ? Hal ini bolehlah bicara lain waktu. Tetapi
engkau saudara-saudaraku –maaf saya memakai perkataan "engkau" --
sebagai kaum historis materialis tentu mengerti bahwa rasa nasionalisme,
apalagi rasa sosialisme, rasa keigamaan adalah juga, saya katakan juga, hasil
daripada keadaan historis dan masyarakat. Oleh karena itu rasa nasinalisme dan
rasa keigamaan adalah hal-hal yang obyektif didalam masyarakat kita sekarang
ini. Maka saya berkata, siapa diantara saudara-saudara, siapa yang ada diantara
engkau –- maaf perkataan "engkau" karena kawan sama kawan (tawa semua) –- siapa di antara saudara-saudara
tidak mau menerima adanya nasionalisme di Indonesia, adanya rasa keigamaan di
Indonresia, saya berkata saudara bukan historis materialis, saudara bukan
Komunis ! Oleh karena rasa nasionalisme, rasa keigamaan adalah hal-hal
yang obyektif, maka oleh karena itulah saya gembira bahwa PKI diwaktu yang
akhir-akhir ini, atau beberapa tahun,
berdiri diatas dasar ini, bahwa ini adalah kenyataan-kenyataan yang riil,
obyektif riil, bahkan bahwa tenaga-tenaga ini bisa membangunkan juga alat-alat,
tenaga-tenaga yang progresif revolusioner dan didalam fase revolusi nasional
maka nasionalisme adalah satu faktor progresif-revolusioner. Bahwa ini rasa
keigamaanpun didalam fase kita sekarang ini adalah satu faktor yang mungkin,
yang bisa, bahkan yang pasti progresif-revolusioner. Dan bahwa tenaga-tenaga
ini, faktor-faktor obyektif itu digabungkan didalam suatu gabungan besar, satu
gelombang besar dalam perkataan saya, gabungan daripada segenap tenaga
revolusioner, adanya didalam tubuh bangsa Indonesia. PKI sesuai dengan kami
pemimpin-pemimpin yang lain berdiri diatas dasar itu. Oleh karena itu semboyan
PKI yalah tetap persatuan nasional dan Sdr.Aidit tadi berkata, berulang-ulang
berkata, kita tetap berdiri diatas usaha persatuan nasional (tepuktanghan). Memang hanya dengan
persatuan nasional kita bisa menyelesaikan revolusi nasional kita ini, mencapai
masyarakat adil dan makmur. Saya tadi berkata, didalam revolusi nasional
meskipun pertentangan klas, perjuangan klas laten, selalu ada sepanjang
sejarah, bahkan saya berkata vide Manifesto Komunis, kita tidak boleh
meruncing-runcingkan pertentangan klas diantara bangsa kita sendiri. Meskipun
kita berkata demikian itu tidak berarti kita tidak boleh membuat kaum buruh
atau kaum tani sedar akan klasnya, itu tidak berarti bahwa kita tidak boleh
membuat kaum buruh dan kaum tani klasse bewust. (tepuktangan).Tidak, samasekali tidak ! Kita harus malahan
membuat kaum buruh dan kaum tani klasse bewust, sadar akan klasnya (tepuktangan). Oleh karena justru
didalam penyelenggaraan masyarakat yang adil dan makmur kaum buruh dan kaum
tanilah yang harus menjadi motor (tepuktangan).
Kaum buruh dan kaum tani soko-guru, saudara-saudara, kaum buruh dan kaum tani
didalam masyarakat adil dan makmur, kaum buruh dan kaum tani yang jumlahnya
lebih daripada 90% daripada Rakyat Indonesia. Mereka ini soko-guru daripada
masyarakat adil dan makmur. Mereka ini soko-goro masyarakat sosialis a la
Indonesia. Maka oleh karena itu kita wajib membuat kaum buruh dan kaum tani
klasse bewust. Supaya mereka itu merasa, tiap mereka punya tugas historis,
supaya mereka itu sedar akan mereka punya historische taak, supaya mereka itu
merasa bahwa mereka adalah, sebagai tadi saya katakan, soko-guru daripada
penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur, dan soko-guru daripada masyarakat
sosialisme Indonesia.
Saudara-saudara,
maka jikalau saudara ingat uraian saya ini, saudara mengerti. Oo, Bung Karno
itu sekalipun dia seorang "campur-aduk", -- nasionalisme,
sosialisme, muslimin, meskipun dia campur-aduk dari tiga sifat, Bung Karno
selalu berdiri diatas dasar Gotong-Royong, diatas dasar ho lopis kiuntul baris (tepuk tangan lama). Dan sebagai tadi
saya katakan saudara-saudara, DPA, Dewan Pertimbangan Agung, telah,
alhamdullilah, saya bentuk atas dasar gotong-royong, Bapenas, Dewan Perancang
nasional, telah saya bentuk atas dasar gotong-royong, insya Allah kataku tadi,
MPR akan saya bentuk diatas dasar gotong-royong dan Kabinet Gotong-Royong tetap
menjadi cita-cita saya (tepuktangan lama). Maka, maka, apa yang sudah kita capai
sekarang ini, saudara-saudara sudah tentu belum memuaskan saya, tetapi kita
berjalan terus dan kita terus berjalan, meskipun kaum imperialis geger. Itulah
saya katakan, mari berjalan terus saudara-saudara menggalang kekuatan nasional
menjadi gelombang maha hebat. Maka oleh karena itupun didalam pidato saya 17
Agustus 1959, saya berkata, insya Allah nanti akan dibentuk satu Front
Nasional, (tepuk tangan) beda dengan
Front Nasional Pembebasan Irian Barat yang sudah saya jewer telinganya (tawa riuh, termasuk Bung Karno), satu Front Nasional baru penggalang dari
semua, segenap tenaga daripada bangsa Indonedsaia, penggalang daripada
persatuan revolusioner Indonesia, penggalang dari ho lopis kuntul baris
Indonesia (tepuk tangan lama dan
terdengar satu yel: "ho lopis kuntul baris")
Dewan
Pertimbangan Agung sekarang ini sudah mempunyai Panitia-Kecil, yang Panitia
Kecil Dewan Pertimbangan Agung ini saya beri tugas : -- coba pelajari soal
pembentukan Front Nasional dan nanti kalau sudah mempelajarinya buatlah satu rumusan
dan bawalah rumusan itu kepada Sudang Pleno Dewan Pertimbangan Agung. Maka akan
saya bicarakan didalam sidang Pleno, didalam Sidang Pleno Dewan Pertimbangan
Agung ini, rumusan atau isi rumusan daripada Panitia Kecil yang saya beri tugas
untuk meninjau tentang pembentukan Front Nasional ini. Dan saudara-saudara,
siapa yang saya jadikan ketua daripada Panitia Kecil Front Nasional ini ?
Beliau duduk dihadapan saya dan memandang lurus kepada saya, Sdr. Arudji
Kartawinata (tepuk tangan).
Jadi, kalau saudara
mempunyai ide-ide tentang Front-Nasional, kasih pada Pak Arudji, cekokkan
kepada Pak Arudji Kartawinata. Nanti Pak Arudji mengolahnya didalam Panitia
Kecil, Pak Arudji membawanya kepada Dewan Pleno Dewan Pertimbangan Agung.
Digodog didalam Sidang Pleno Dewan Pertimbangan Agung itu saudara-saudara, dan
bulatlah nanti menjadi pendirian daripada Dewan Pertimbangan Agung dan insya
Allah s.w.t ; akan saya, sebagai Presiden/Panglima Tertinggi/Perdana
Menteri, laksanakan apa yang diputuskan oleh Dewan Pertimbangan Agung itu (tepuktangan lama).
Saudara saudara,
baik Dewan Pertimbangan Agung, maupun Depernas, maupun MPR yang akan datang,
semuanya, seperti tadi saya katakan, berdiri diatas dasar gotong-royong, ho
lopis kuntul baris. Tinggal saya minta kepada PKI, sebagaimana saya minta juga
kepada PNI dan Nahdhatul Ulama dll, supaya didalam Dewan Pertimbangan Agung,
supaya didalam Depernas, supaya didalam MPR, bekerjasama satu sama lainnya,
se-erat-eratnya, bekerjasama diatas dasar dinamis revolusioner, menyelesaikan
revolusi nasional kita, menentang imperialis habis-habisan. (tepuktangan).
Jaman
perpecah-belahan saudara-saudara, jaman liberalisme sudah lalu, sejak 5 Juli
kita telah kembali kepada UUD 45. Marilah kita sekarang dengan jiwa baru,
dengan tenaga baru, dengan tekad baru, dengan roch baru, dengan elan baru
menyelenggarakan persatuan nasuional yang ber-holopis kuntul baris-lah dapat
menyelesaikan revolusi nasional dan mendirikan masyarakat yang adil dan makmur.
Sekian
saudara-saudara, amanat saya kepada saudara-saudara. (tepuktangan riuh lama semua berdiri)
* * *
___________
Pidato Presiden Soekarno yang diucapkan pada malam resepsi penutupan
Kongres Nasional Ke-VI PKI di Gedung Pertemuan Umum di Jakarta, pada tanggal 16
September 1959. (Majalah Bintang-Merah Nomor Istimewa Kongres Nasional ke-6
PKI, Tahun ke XV-September-Oktober 1959).
related post