Penggulingan Presiden Soekarno
Joesoef Isak
"Bung Karno Korban Perang Dingin" adalah buku yang kesekian
kali mengenai Bung Karno, tetapi inilah buku pertama yang cukup mendasar dan
substansial mengkaji keterkaitan Perang Dingin dengan penggulingan Presiden
Soekarno. Menarik dalam buku ini adalah penjabaran dari awal kekuatan dominan
adikuasa USA
dalam Perang Dingin semasa melawan komunisme Uni Sovyet, berlanjut dengan
uraian bagaimana histeria anti-komunis Barat cq Amerika Serikat menggunakan
kendaraan badan-badan intelligent menggerayangi urusan internal negeri-negeri
Dunia Ketiga.
Kita
selalu berpendapat, semua kajian menyangkut peristiwa G30S cacat berat, malah
àpriori gagal bila membahas peristiwa G30S lepas dari konteks Perang Dingin.
Alasan: Perang Dingin bukan semata-mata faktor luar yang terdiri hanya dari
agen-agen intel luar negeri, CIA, State Department, Pentagon, White House dan berbagai foundation donor di luar negeri. Faktor luar betul
sekali berperan sangat besar, tetapi pelaksana dan faktor paling menentukan di
lapangan adalah agen-agen setia para aktor Perang Dingin di dalam negeri.
Hal
ini pada awalnya sesudah peristiwa ‘65 tidak disadari, karena public opinion
sejak semula sudah dibelenggu pada satu versi tunggal yang wajib dipercayai
sebagai kebenaran. Segera setelah pembantaian Gerakan 30 Sept.’65, tampillah
terbuka aktor Perang Dingin di dalam negeri, ia mengejawantah sebagai
Pemerintahan Rejim Orde Baru yang sangat otoriter. Sebelumnya sudah lama
menjadi pengetahuan umum bahwa agenda pokok Perang Dingin untuk Indonesia
adalah penghancuran PKI. Dan begitu Orde Baru berkuasa, seluruh mesin
propaganda Orde Baru intens mencekoki benak orang Indonesia, dewasa dan anak-anak,
dengan versi tunggal itu: G30S pasti tidak bisa tidak gawè-nya PKI! Adagium
politik kekuatan Perang Dingin ketika itu pun sudah jadi rahasia umum: PKI
tidak bisa dihancurkan sebelum lebih dulu menyingkirkan Bung Karno. Maka orang
awam dan segenap inteligensia kita mulailah menyanyi dalam paduan-suara satu
lagu satu lirik itu-itu terus: PKI biang-keladi, Soekarno terlibat, tra-la-la,
tra-la-la. Tigapuluh tahun lagu yang
sama dinyanyikan sampai menjadi aset
ingatan kolektif bangsa untuk
diwariskan terus ke generasi-generasi berikutnya.
Dengan
sendirinya proses pembodohan menjangkiti kerangka berpikir inteligensia kita -–
termasuk pimpinan ABRI dan dunia pendidikan kita. Mereka tidak perlu berpikir,
penguasa akan berpikir untuk mereka.
Issue pokok dan masalah sampingan,
sebab-akibat, kenyataan dan rekayasa, gebyah-uyah dicampur-aduk, semua
disimplifikasi ke satu sasaran: PKI biang keladi. Itulah “kebenaran” yang wajib
dipercayai.
Tetapi
sejarah menggelinding tanpa bisa distop oleh kekuatan apa pun, pergolakan
politik terus berproses. Monopoli “kebenaran” Orde Baru yang tadinya kedap-air
mulai bocor. Kebenaran Yang Benar mengalir ke luar tetes demi tetes, sang waktu
yang jaraknya terus menjauh dari kejadian perkara, juga berangsur menjauh dari
produk-produk kebohongan Orde Baru. Lagi pula bagi banyak orang Indonesia, lakon pada pentas politik global
memudahkan untuk memahami apa yang pernah dialami bangsa Indonesia pada
akhir September 1965 itu. Jelas kita lihat aplikasi benang merah “konsep
standar kudeta àla CIA” menjelujur ke Dunia Ketiga. Konsep standar intervensi
CIA itu gemilang dilaksanakan dengan berhasil oleh para agen kekuatan di dalam
negeri.
Mengutip
sedikit Suar Suroso:
Yang terjadi, bukan hanya
penggulingan Bung Karno. Mulai Jacobo Arbenz di Guatemala, Presiden hasil
pemilu digulingkan dan digantikan kolonel Castillo Armaz, didikan akademi
militer AS. Penggulingan dan pembunuhan Lumumba di Konggo, digantikan Moise
Tschombe kemudian Mobutu, agen CIA. Berulangkali terjadi penggulingan
pemerintah Vietnam Selatan, mulai Ngo Dinh Diem sampai ke Nguyen Khanh, antek
AS dalam Perang Vietnam.
Di Thailand Phibul Songram digantikan Sarit Thanarath yang pro AS; Syngman
Rhee di Korea Selatan digantikan Park Chunghi, penggulingan Karim Kasim di
Irak, penggulingan Pangeran Norodom Sihanouk digantikan Lon Nol, kaki tangan
AS. Semua ini serentetan operasi CIA, alat utama Perang Dingin, dalam rangka
realisasi strategi the Policy of Containment.
Kita tambahkan di sini kudeta
di Chili 1973. Penggulingan dan pembunuh-an Pres. Allendé dan munculnya
diktator Pinochet jelas gawè-nya CIA –- ini tidak perlu diperdebatkan lagi
karena dokumen-dokumen deklasifikasi CIA sendiri membenarkannya. Bulat-bulat confirmed.
Satu
contoh lagi yang gamblang aktual. Aparat intel Amerika sudah menginformasikan
kepada G.W.Bush, kali ini serangan teror akan terjadi di pekarangan Amerika.
Tetapi Bush diam saja – serangan lantas terjadi: menara kembar WTC hancur,
3.000 jiwa melayang. G.W. Bush mengeluarkan air-mata buaya, tetapi malapetaka
itu menjadi berkah besar bagi-nya. Dia dapat dalih paling bagus untuk
menginvasi Irak, menyingkirkan Saddam Husein dan melaksanakan rencananya
meng-ekspor konsep demokrasinya dan mengobrak-abrik “terorisme Islam”.
Apakah
belum cukup fakta-fakta sejarah di pentas politik global untuk mengerti apa
yang terjadi pada 30 September 1965 di Indonesia?
Suharto
sudah dikasih tahu oleh kol.A.Latief akan adanya gerakan terhadap dewan
jendral. Tetapi Suharto diam saja, tidak lapor apa-apa pada atasannya. Enam
jendral – jend.Yani dan rekan-rekannya – ternyata dibantai dengan kejam.
Suharto menitikkan air-mata buaya, tetapi gugurnya pimpinan teras angkatan
darat menjadi berkah besar baginya. Di atas tumpukan jenazah para pahlawan
revolusi, ia mendapatkan tempat-pijak meraih kekuasan puncak tertinggi, dan
mendapat dalih paling bagus menggeser Presiden Soekarno dan menghancurkan PKI
demi menegakkan demokrasinya, “Demokrasi Pancasila à la Suharto”. Jadi siapa sebenarnya berkepentingan dan paling
diuntungkan jendral Yani berikut rekan-rekan jendral lainnya ditiadakan?
Kita
lihat jelas, pola standar intel CIA menjelujur ke mana-mana; kemarin, hari ini,
besok, selama kekuatan itu masih dominan di dunia. Perbedaan cuma terjadi dalam
mutasi musuh-utama –- dulu menum-pas komunisme, sekarang menumpas “terorisme
Islam”, musuh-utama yang baru. Satu tambahan catatan kecil: diktator jendral
Pinochet mati dalam status sebagai penjahat kemanusiaan pelanggar HAM. Dia
tidak dapat penghormatan pemakaman kenegaraan, karena di Chili telah terjadi perubahan watak-kekuasaan. Di
Indonesia diktator jendral Suharto turun pentas, tetapi watak-kekuasaan tidak
berubah.
Buku
ini “buku-bacaan” sekaligus “buku-pelajaran”. Sesuai prilaku berdemokrasi dan
prinsip kebebasan individu, kita hormati apa yang ditulis penulis – apa pun
pandangannya. Kita pun menghormati pendapat pembaca apa pun yang disimpulkan
setelah membaca buku ini.
***
Kita di sini hanya ingin
menambahkan sedikit komentar tentang Bung Karno. Tergulingnya Bung Karno adalah
suatu peristiwa dahsyat dalam sejarah, bukan saja bagi sejarah politik Indonesia
tetapi juga bagi dunia.
Di
Indonesia sejak Oktober 1965 telah terjadi perubahan watak-kekuasaan
kualitatif. Indonesia Mandiri mendadak jadi Indonesia
Tergantung, peta politik dunia pun
berubah bagi keuntungan kekuatan-kekuatan mapan reaksioner, the old established forces. Indonesia, rakyatnya dan Indonesia
sebagai bangsa rugi besar. Kerugian ini akan berlipat-ganda, berkelanjutan ke Indonesia masa
depan apabila generasi muda kita tidak menyadari hal ini.
Kita
mengimbau anak muda terutama generasi pasca-1965 untuk mempelajari dan mengenal
betul Bung Karno dengan seluruh wawasan pemikirannya, bukan untuk
mengkultuskannya tetapi untuk memungut kembali konsep-konsep Bung Karno yang
mengandung nilai-nilai kebenaran sejati, tetapi dibuang ke keranjang sampah
oleh rejim Orde Baru. Kibas habis konsep dan mentalitas ketergantungan pada
kapital asing. Tegakkan kembali Bung Karno, tegakkan kembali berdikari dan
kemandirian. Laksanakan Trisakti Bung Karno dalam menempuh dan membangun masa
depan Indonesia adil sejahtera.
Buku
ini berikut kata-pengantarnya tidak bermaksud menghasut anti-Amerika. Kita
pegang teguh wawasan Bung Karno: di dunia dan di Indonesia terdapat kekuatan the emerging forces
(nefo) dan the old established forces (oldefo). Di Amerika pun terdapat kekuatan nefo walau pun mereka belum menang. Mereka sahabat
kita, sekutu kita, itulah yang kita idolakan dari Amerika –- tetapi di atas
segalanya tegakkan dan menangkan lebih dulu persatuan dan kesatuan the new emerging forces Indonesia
menjadi kekuatan mayoritas yang dominan. Gusur unsur-unsur Orde Baru, rejim the old established forces yang
masih dominan menyelinap di pentas politik Indonesia sampai hari ini dengan
berbagai jubah reformasi palsu.
Itulah pra-syarat, itulah
agenda pokok reformasi guna meraih perubahan kualitatif dalam watak-kekuasaan
pemerintahan. Bebas dari ketergantungan pada kekuasaan asing mana pun, selalu
mendahulukan kepentingan rakyat. Merdeka sosial politik ekonomi budaya, demi
Indonesia Jaya Mandiri Berdemokrasi Adil Sejahtera! Untuk itu mutlak dikibas
sebersih-bersihnya sisa-sisa kekuatan dan wawasan-wawasan golkarnya Suharto
dari segala institusi formal-informal dan dari otak bangsa Indonesia.
****
related post