Ramalan Ronggowarsito "Satrio Lelono Tapa Ngrame"
mbah subowo bin sukaris
Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Presiden Republik Indonesia keempat adalah Satrio Piningit keempat "Satrio Lelono Tapa Ngrame" daripada tujuh Satrio Piningit yang kelak memimpin Nusantara sebagaimana telah diramalkan pada abad kedelapanbelas oleh R. Ng. Ronggowarsito -- seorang pujangga Jawa klasik terakhir dari Keraton Surakarta Hadiningrat atau Pujangga yang diangkat resmi oleh Kasunanan Surakarta.
Konon Gus Dur terpilih menjadi Presiden berkat dukungan klandestin badan intelijen asing yang wilayah negaranya seperenam Pulau Jawa. Dan konon Gusdur dijungkalkan dari jabatannya karena mulai memberantas korupsi (cq Jaksa Agung terakhir dalam masa satu tahun pemerintahannya) terhadap siapa saja, tanpa pandang bulu, bahkan juga berniat menyeret ke pengadilan mantan Presiden Soeharto, keluarganya, dan juga kroninya.
Patut dicatat bahwa Gus Dur atas nama warga NU meminta maaf kepada khalayak golongan kiri atas keterlibatan dalam perang saudara pada sekitar 1965. Lebih jauh lagi Gus Dur ingin mencabut Tap MPR 26 tentang pelarangan ajaran Marxisme, dan juga berniat untuk membubarkan sebuah Partai besar yang menjadi pilar Orde Baru. Lawan politik dan pesaing Gus Dur tentu sangat jengah dan khawatir terhadap segala macam ucapan dan tindakan Gus Dur selama menjabat sebagai orang nomor satu RI. Gus Dur mengundang para sahabatnya dari berbagai kalangan, kiri, kanan, tengah, pribumi, non-pribumi dan sebagainya ke istana Negara, salah satunya ialah seorang sastrawan yang dikagumi oleh Gus Dur yakni Pramoedya Ananta Toer cs yang menganggap dirinya musuh Orde Baru, karena Orde Baru telah memberangus hampir semua buku yang ditulisnya semasa dalam kamp tahanan Pulau Buru. Golongan kiri yang adalah bekas tahanan politik rejim Orde Baru itu memang bukan warganegara biasa, mereka warganegara kelas dua yang dikenakan berbagai larangan untuk bekerja di sektor pendidikan, mass media dan perusahaan vital milik negara.
Sebagai seorang Satrio Lelono, Gus Dur dalam kurun setahun memegang tampuk kepemimpinan itu telah menyempatkan diri melanglang buana, selain bersilaturahmi dengan para kepala negara lain, Gus Dur juga menyempatkan diri bertemu dengan para exile, refugee, atau warganegara Republik Indonesia yang tersangkut di luar negeri karena dicabut haknya sebagai warganegara RI oleh rejim Orba. Mereka yang tidak bisa pulang ke tanah air tercintanya itu tersebar di benua Eropa, antara lain di Belanda, Prancis, Swedia, Jerman, dan lainnya. Di samping itu masih banyak warga Indonesia yang tidak bisa pulang terpaksa tinggal di Rusia dan Republik Rakyat Tiongkok. Semua pelarian politik itu dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965 dan atau tidak mendukung Jenderal Soeharto yang marak sebagai orang nomor satu menggantikan Bung Karno. Gus Dur sempat menemui mereka semua dan secara lisan mengajak bicara dan menyilakan mereka pulang ke tanah air. Sebagian dari para pelarian politik Indonesia tersebut telah mendapatkan suaka di negara tujuan dan melalui proses selanjutnya mereka berhak mendapatkan kewarganegaraan baru, dan bagi golongan ini tentu mereka menikmati segala macam jaminan sosial dan kesehatan yang berlimpah, dan mengingat usia mereka yang sudah lanjut tentu saja khawatir seandainya kembali ke tanah air Indonesia, yang tak ada jaminan kesehatan sebaik di negara Eropa tempat mereka bermukim sekarang.
Gus Dur sebagai Satrio Tapa Ngrame adalah ulama Islam lulusan Universitas Baghdad, dan menjadi pemuka organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdatul Ulama. Beliau juga konon mewarisi trah Majapahit dan memiliki sedikit darah Tionghoa. Seperti dalam ucapan Bung Karno mengenai Islam, "Pelajarilah ilmu agama Islam itu ambillah apinya dan bukan mengambil abunya." Maka ucapan Bung Karno tersebut benar-benar dilaksanakan oleh seorang Gus Dur yang kemudian menjelma menjadi tokoh pluralis, dan dijuluki Guru Bangsa, bandingkan dengan Bung Karno yang dikenal sebagai Bapak Bangsa, Bapak Indonesia Merdeka, dan Soeharto yang mendapat gelar Bapak Pembangunan.
Sebagai Guru Bangsa yang seorang Satrio Tapa Ngrame dan juga seorang rohaniawan Islam terbaik memang sebuah tugas sejarah bagi K.H. Abdurrahman Wahid, yang telah berusaha mengajari bangsanya untuk berjiwa besar dan mengajarkan berpikir tidak seragam lagi atau bebas berpikir dari belenggu serba seragam ala Orde Baru. Gus Dur bukan seorang politikus yang phobia terhadap ideologi marxisme, dengan mengatakan sebagai ini, "Das Kapital ini bukan berisi ajaran setan...!" sewaktu beliau ikut serta selaku pembicara utama dalam peluncuran buku babon kaum marxist tersebut dalam terjemahan bahasa Indonesia.