Sabdo Palon Lengkap

Sabdo Palon, "Kerusakan ekosistem/lingkungan hidup di Nusantara"
Salah satu ajaran Sabdo Palon ialah penghormatan terhadap bumi, sebagai sumber penghidupan dan kehidupan bagi manusia itu sendiri. Berkat teknologi modern di jaman modern, maka manusia modern dapat hidup dengan cara serba modern. Kenikmatan hidup di jaman modern itu tidak diimbangi dengan upaya dalam menjaga keseimbangan ekosistem di daratan. Antara lain melestarikan hutan dan gunung sebagai sumber utama air dan oksigen yang sangat penting bagi makhluk hidup. Di samping itu juga manusia yang sangat manusiawi itu memanfaatkan alam tak kenal batas, kebutuhan hidup bertambah seiring dengan terus meningkatnya pertumbuhan penduduk. Gunung digunduli, sumber air dirusak, dan berbagai hewan predator dimusnahkan antara lain ular sawah, burung hantu yang memakan tikus. Dan juga burung pemakan serangga dibunuh atau ditangkap untuk diperdagangkan. Segala macam ulah itu akan mendatangkan bencana dahsyat yang mengancam kehidupan manusia itu sendiri.
        Nusantara yang subur dan kaya raya sumber alam dan tambangnya konon di masa silam berkat ajaran dalam salah satu agama besar yang melarang membunuh dan menyiksa hewan maupun merusak tumbuhan, maka alam tetap terjaga dengan baik. Tentu saja di masa silam itu belum terlanda teknologi modern dalam mengeruk kekayaan bahan tambang yang selalu merusak lingkungan itu. Sabdo Palon pada akhir abad keempat belas sudah menyatakan segala yang terjadi di masa depan Nusantara sebagai berikut:

Bumi ilang berkatira,
Ama kathah kang ndhatengi,
Kayu kathah ingkang ilang,
Cinolong dening sujanmi,
 Pan risaknya nglangkungi,
 Karana rebut rinebut,
 Risak tataning janma,
 Yen dalu grimis keh maling,
 Yen rina-wa kathah tetiyang ambegal.

Kelak Bumi akan berkurang hasilnya bagi penghidupan manusia. Bumi yang tidak punya keseimbangan lagi itu akan mendapat serangan dari berbagai hama. Pohon di hutan terus berkurang dan hilang karena ditebang/dicuri orang. Kebutuhan kayu orang banyak yang saling berebutan untuk membikin rumah mengakibatkan timbulnya kerusakan hebat pada hutan. Agama yang diharapkan pun tidak mampu membendung rusak moral manusia. Bila hujan gerimis orang berlomba memasuki hutan untuk maling kayu hutan.

****
Sabdo Palon, "Kejayaan Islam di Nusantara."

Limaratus tahun sejak masa keruntuhan kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Brawijaya, rejim Orde Baru berkuasa penuh di bumi Nusantara. Seiring kejayaan Orde Baru juga diiringi Islam berkembang sangat pesat dalam segala hal. Berbagai aliran atau mazhab dalam Islam atau apapun istilahnya ramai-ramai menunjang kejayaan Islam di bumi Pertiwi. Persatuan dan kesatuan umat Islam berjalan sangat baik sekali di masa Orde Baru yang otoriter. Tempat peribadatan bagi kaum muslim mendapatkan prioritas pembangunan tidak hanya di dalam negeri, akan tetapi juga sampai ke Bosnia Herzegovina. Majelis Ulama bertindak dan bersuara sesuai dengan keinginan penguasa Orba.
       Hampir tidak ada perseturuan berarti antara Islam fundamentalis melawan Islam Pluralis, Islam Syiah, Aliran Ahmadiyah, Khadiriyah, dan seterusnya. Pada waktu itu memang ada gerakan untuk mendirikan Negara Islam di Nusantara yang kemudian bermetamorfosa menjadi gerakan mendirikan kekhalifaan Islam atau lainnya. Yang dimaksud dengan Islam fundamentalis atau garis keras di atas secara awam ialah yang murni menjalankan Syareat Islam berdasarkan Al-Qur'anul Karim dan Hadist Nabi Muhammad s.a.w.
      Sabdo Palon, seorang penasihat spiritual Raja Majapahit terakhir, Brawijaya, sudah mengatakan tentang dia akan muncul kembali di masa kejayaan Islam di Nusantara 500 tahun sejak 1478, yakni saat beliau yang konon adalah Dang Hyang Tanah Jawi, atau pepunden Nusantara akan muncul kembali untuk menyebarkan ajaran beliau yang disebut "kawruh budi". Kemunculan Sabdo Palon tersebut tentu tidak tepat jika terjadi di masa kehancuran Islam, malahan sebaliknya, yakni di masa kebesaran Islam, karena Islam tidak mungkin hancur sendiri tanpa sebab-akibat sesaat tatkala Sabdo Palon sedang atau baru muncul kembali setelah menghilang selama 500 tahun.
      Maka tatkala Orde Baru sedang mengalami era keemasan, dan Islam juga sedang mendulang kejayaan, menjadi saat yang tepat bagi Sabdo Palon turun dari alam gaib (mayapada) kembali ke Bumi, ke alam marcapada. Hal tersebut sudah diucapkan Sabdo Palon di era Majapahit sebagai berikut:
Jangkep gangsal atus tahun,
Wit ing dinten punika,
Kula gantos kang agami,
Gama Buda kula sebar tanah Jawa.
Sinten tan purun nganggeya,
Yekti kula rusak sami,
Sun sajekken putu kula,
Berkasakan rupi-rupi,
Dereng lega kang ati,
Yen durung lebur atempur.

Kelak di masa depan limaratus tahun sejak hari ini saya akan mengubah agama negara Nusantara dengan kawruh budi dengan menyebarkan ke seluruh tanah Jawa. Barang siapa yang menghalangi usaha saya itu, maka siapa pun akan saya hancurkan menjadi santapan jin, setan, dan makhluk halus lainnya. Niat saya itu lurus dan belum lega hati saya jika mereka belum musnah dan hancur lebur.

Apa yang sudah menjadi titah Sabdo Palon tersebut kini (2011) mulai tampak dengan jelas, bahwa kaum jin dan setan sedang bekerja keras merasuki tubuh-tubuh para teroris, para fundamentalis, dan para lainnya. Mereka kesetanan membunuh sesama dan sesaudara kaum muslimin. Dan juga mereka yang kerasukan itu menyebarkan teror ke mana-mana, dan bahkan membikin negara tandingan yang tidak masuk akal, ditambah lagi membikin semacam fatwa lebay yang tidak sesuai lagi dengan progressif jaman atau hukum perkembangan sejarah sehingga berbeda dengan inti atau saripati daripada Hadist Rasulullah yang Agung. Mengenai hal ini Bung Karno mengatakan, "Ambillah api daripada ajaran Islam itu, dan bukan mengambil abunya." Barangsiapa berbeda faham sedikit  apalagi banyak dengan si manusia yang sedang kerasukan seperti itu berarti cari perkara atau musuh.  Dan perkara yang paling besar ialah segala tindakan yang mengatasnamakan agama itu kelak akan menjadi bumerang bagi diri sendiri yang ibarat menggali lubang kubur sendiri. Kejayaan Islam di Nusantara yang diharapkan berlangsung sepanjang jaman itu mulai pudar digerogoti tindakan anarkis demi kepentingan kelompok tertentu yang ingin berkuasa  atau  merebut kuasa politik, dan tentu saja sebagai akibatnya menjadi sasaran empuk bagi serangan dari para setan dan makhluk halus lainnya yang selalu membantu manusia yang berkeinginan jahat.
      Kejayaan Islam di Nusantara saat ini tidak terbantahkan lagi, mulai dari rakyat jelata hingga kaum akademisi yang bergelar doktor ramai-ramai pata cengke berfikir seragam dan sepakat untuk terus melanggengkan keagungan Islam. Juga segala macam media massa dan multimedia menunjukkan hal yang seragam dan serupa untuk terus menjaga masa keemasan Islam di Nusantara.
        Di sisi lain Sabdo Palon yang tengah membangkitkan dari kubur dan kemudian mengerahkan mereka para makhluk halus, mulai dari jin, setan, genderuwo, wewe gombel, wedon, iblis, leak, kuntilanak, dan lain-lain untuk "menghancurkan manusia siapa pun tanpa kecuali yang tidak mau tunduk", apalagi menolak "kawruh budi" yang baik. 
      Manakah yang lebih unggul kelak dalam pertarungan ini: Islam yang sedang jaya atau Kawruh Budi yang baik? Jawabannya tentu dapat diketahui kelak seiring perjalanan dalam ruang dan waktu ke masa depan.

****

Sabdo Palon, "Hancurnya negeri agraris Nusantara."


Seiring waktu berjalan pertumbuhan penduduk pulau Jawa yang tidak sebanding dengan luas lahan pertanian yang tersedia, ditambah rusaknya lingkungan hidup sudah dititahkan oleh Sabdo Palon pada menjelang abad kelimabelas sebagai berikut, "Tanah Jawa rusak akibat ulah manusia yang membahayakan lingkungan hidup. Akibatnya kerja mandiri mengolah tanah tidak lagi mencukupi hasilnya untuk hidup. Para priyayi bertanah luas merasa sedih juga.. Pedagang hasil bumi seringkali menderita kerugian. Pekerjaan buruh dan tukang tidak lagi dapat diandalkan untuk hidup. Petani tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Semuanya itu terjadi akibat musnahnya hutan sumber penghidupan."

Warna-warna kang bebaya,
Angrusaken Tanah Jawi,
Sagung tiyang nambut karya,
Pamedal boten nyekapi,
Priyayi keh beranti,
Sudagar tuna sadarum,
Wong glidhik ora mingsra,
Wong tani ora nyukupi,
Pametune akeh sirna aneng wana.

Bagi kaum Tani nyawa kehidupan mereka berada di tanah yang tidak seberapa dapat mereka miliki secara turun-temurun maupun hasil keringat sendiri. Tanah ladang, tegalan, dan sawah menjadi tumpuan hidup dan pekerjaan utama sehari-hari, mereka mengolah dan menanaminya berbagai macam tumbuhan buah dan bahan makanan. Di masa silam kehidupan rakyat di Jawa sehari-hari cukup makmur dengan penghidupan seperti itu.
      Akan tetapi di masa modern ini pola kehidupan agraris tersebut di atas tidak lagi dimungkinkan karena tingkat kesuburan tanah sudah jauh berbeda karena lingkungan hidup rusak parah akibat maraknya pembabatan hutan besar-besaran yang merusak mata air, maupun penyempitan lahan untuk pembangunan sarana perumahan. Ditambah lagi pencemaran udara dari mesin-mesin kendaraan berbahan bakar fosil.
      Jawa dan Nusantara selama berabad yang silam merupakan negeri agraris dan sampai jaman modern ini belum berubah menjadi negeri industri modern kecuali dalam menambang kekayaan alam berupa emas, minyak bumi, tembaga uranium, timah dan lain-lainnya. Itupun dilakukan oleh maskapai asing seperti Freeport, Newmont, Caltex, Chrysler, Shell dan seterusnya di samping itu juga dikelolah oleh BUMN. Konon menurut hasil survei asing yang diam-diam dan mereka rahasiakan di Borneo memang terdapat harta karun melimpah berupa bahan tambang yang belum dieksplorasi antara lain emas, uranium, intan, minyak bumi, dan lain-lainnya. Sehingga wacana untuk memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Kalimantan yang dicetuskan oleh Bung Karno bukan tanpa alasan yang masuk akal. Bangsa Indonesia dapat mengeksplorasi sendiri secara berdikari dan mandiri dalam menggali harta karun Kalimantan tersebut  untuk membikin rakyat Nusantara hidup "gemah ripah loh jinawi". Dan tidak sekalipun menyerahkan pengelolaan harta karun Kalimantan kepada pihak asing.
      Syarat sebagai negeri agraris yang makmur sebenarnya sudah mencukupi karena Nusantara berada di sabuk Khatulistiwa yang subur dan cuma mengenal musim hujan dan kemarau. Segala tumbuhan tropis dapat hidup dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan bagi penduduknya. Lingkungan hidup yang masih baik itu terjadi di masa silam dan telah musnah di masa modern ini. 

****
Sabdo Palon, "Masa paling sengsara di Nusantara"


Begitu orde reformasi giliran menggantikan orde baru tatkala itulah rakyat di gunung-gunung seluruh Nusantara mulai ngamuk menebang habis pohon di hutan untuk dijadikan ladang jagung, singkong dan lainnya tergantung pada tingkat kesuburan tanah di areal hutan setempat. Di Jawa Timur sekitar petilasan keraton Sri Aji Joyoboyo yakni bukit Klotok dan pegunungan Wilis keadaan lebih parah lagi. Bukit klotok langsung gundul dan hutan di kaki dan punggung gunung Wilis hanya dalam beberapa tahun saja sudah berubah menjadi ladang jagung. Untuk membuka ladang jagung tersebut pohon-pohon langka yang hidup di bukit Klotok dan gunung Wilis ditebang habis, dan akibatnya tanah pegunungan melalui perantaraan akar-akar pohon tua yang berusia ratusan tahun tidak mampu lagi menyerap air hujan. Dan tidak dalam jangka panjang telah dapat mendatangkan banjir besar yang melanda wilayah dataran rendah wilayah Banyakan, kabupaten Kediri yang berada dalam radius beberapa kilometer dari gunung Wilis maupun bukit Klotok.
    Demikian pula keadaan di daerah Lodoyo, Blitar Selatan hutan yang sudah kurus menjadi gundul dan tampak dari kejauhan sebagai bukit gersang. Contoh kecil di atas bisa dibuatkan daftar panjang jika mencakup seluruh wilayah hutan di Nusantara.
    "Siapa cepat membabat hutan, maka dialah yang menjadi pemilik ladang baru." demikian ucapan penduduk setempat yang serentak merasa bebas menjarah hutan bersama lengsernya bapak pembangunan Jenderal Besar Soeharto yang sangat ditakuti oleh rakyat hingga jauh ke pelosok gunung-gunung, sehingga amanlah hutan untuk sementara waktu selama orde baru berkuasa.
    Aparat kehutanan setempat menciut nyalinya menghadapi kegarangan penduduk yang secara serentak bergerak menjarah hutan, mereka menyelamatkan diri melindungi ekornya sendiri.
    Keadaan alam di pojok Jawa yang dapat menggambarkan Nusantara secara keseluruhan tersebut sudah menjadi Titah Sabdo Palon pada abad kelimabelas, yang berbunyi sebagai berikut:

Sanget-sangeting sangsara
Kang tuwuh ing tanah Jawi
Sinengkalan tahunira
Lawon Sapta Ngesthi Aji
Upami nyabarang kali
Prapteng tengah-tengahipun
Kaline banjir bandhang
Jeronne ngelebna jalmi
Katahah sirna manungsa prapteng pralaya.

Kelak akan terjadi masa paling sengsara di Jawa/Nusantara pada tahun "lawon sapta ngesti aji". Pada waktu itu seseorang yang hendak menyeberang sungai tatkala tiba di tengah-tengah sungai tiba-tiba arus sungai mendadak berubah sangat deras akibat banjir bandang, maka sungai itu pun meluap ke wilayah sekitarnya. Banjir besar (banjir bandang) itu akan terus terjadi dan memakan/menelan korban yang berjatuhan di mana-mana.
    Gunung Klotok yang masyhur dengan Goa Selomangleng dan dekat keraton Kediri di masa lampau disebut Gunung Emas Kumambang menjadi sumber penghidupan bagi rakyat setempat yang berada di sekitar wilayah keraton Sri Aji Joyoboyo pada abad kesebelas. Semua tersedia melimpah di bukit Emas Kumambang, kayu bakar, hewan perburuan, tanaman obat-obatan, pakan ternak, dan lainnya. Di masa kolonialis Belanda bukit Emas Kumambang berubah nama diganti oleh penduduk menjadi bukit Klotok, bukit yang penuh kolo atau hewan berupa hama dan serangga.
    Tahun lawon sapta ngesthi aji masih menghadang di masa depan, kapankah itu? Masa itu akan datang bersamaan rusaknya ekosistem yang paling menyengsarakan rakyat Nusantara ialah kurangnya sumber air bersih, dan ini berarti terjadinya di daerah gersang. Banjir yang terus-menerus akan mengikis lapisan tanah yang subur di daerah subur dan selanjutnya menjadi tanah gersang tak menghasilkan apapun. Dan pada gilirannya lenyaplah sumber atau mata air bersih. Begitulah lingkaran setan yang bakal terjadi tanpa dapat dicegah atau diatasi oleh negara sekalipun!

****
 
Sabdo Palon, "Sebarkan agama kawruh budi....!"

 
Dinasti Sanjaya pemeluk Hindu dan dinasti Syailendra pemeluk Buddha bergantian menguasai daerah selingkaran gunung Merapi. Pada 775 Rakai Panangkaran jadi bawahan Syailendra mendirikan candi Kalasan atas perintah sang atasan. Giliran pada 850 Rakai Pikatan raja dinasti Sanjaya mengambil alih seluruh wilayah dinasti Syailendra pimpinan Balaputradewa. Yang disebut belakangan ini memindahkan kekuasaannya dari pulau Jawa sekaligus mengambil alih pimpinan kerajaan Sriwijaya di Sumatera.
    Dinasti Sanjaya yang diibaratkan "ayam jago" dan dinasti Syailendra sebagai "gemak putih" pada suatu kali pernah bertempur satu sama lain di wilayah gunung Merapi, tentu perseteruan kedua kerajaan ini sekaligus perseteruan antar umat beragama yang menggegerkan sekaligus mengundang danghyang tanah Jawa waktu itu Ismoyo turun tangan melerai pertikaian di atas. Jalan keluarnya ialah mengadu secara terbuka gemak putih dan ayam jago dari masing-masing kerajaan.
    "Barangsiapa yang kalah dalam pertandingan ini maka akibatnya kelak ditanggung oleh anak-cucu sendiri," kata Ismoyo. Pertandingan pun berlangsung terbuka disaksikan para petinggi kedua kerajaan. Ayam jago dari wilayah Barat melawan gemak putih dari Selatan dengan pasaran tinggi tentu berada di tangan si ayam jago pilihan dan juara kerajaan. Gemak putih yang kecil dan tidak mungkin menang melawan seekor ayam yang berukuran jauh lebih besar itu tidak mendapat tempat dan tidak diunggulkan sama sekali.
    Tidak diduga oleh siapapun yang keluar sebagai pemenang adalah si gemak putih itu. Dan sejak itu pula Ismoyo membikin jejak pada bibir kawah gunung Merapi di bagian Barat Daya sebagai batas antara dua kerajaan dan tempat mengalir lahar panas, lahar dingin, dan awan panas untuk sepanjang jaman. Sebelum ada perseteruan tersebut sampai turunnya Ismoyo ke bumi arah daripada letusan Merapi tidak ke Barat Daya melainkan mengarah ke segenap penjuru dan menyuburkan seluruh wilayah. Berkah Merapi tetap dapat dinikmati oleh seluruh penduduk sekeliling Merapi dengan aliran-aliran sungai yang memutari wilayah Barat, Selatan, Timur dan Utara.     
    Ismoyo pun beberapa kali berganti wadag kasarnya atau bereinkarnasi dan di masa akhir kerajaan Majapahit beliau menyebut diri dengan nama baru Sabdo Palon. Sebagai pendamping Prabu Brawijaya yang sudah meninggalkan agama leluhur kemudian memeluk Islam maka pada 1478 Sabdo Palon bertitah di hadapan si momongannya. Titah Sabdo Palon bukanlah sebuah ramalan akan tetapi sebuah ucapan yang pasti terjadi sebagai berikut, "Yang Mulia harap mengingat kelak 500 tahun mendatang saya akan menyebarkan agama "kawruh budi" ke seluruh tanah Jawa. Bila saya dihalangi oleh pihak-pihak tertentu selama saya menyebarkan agama tersebut, maka akan saya hancurkan pihak tersebut menjadi makanan lelembut dan lain-lainnya. Saya belum merasa hati lega selama mereka belum hancur-lebur. Sebagai tanda titah saya ini akan berlaku kelak gunung Merapi meletus dibarengi memuntahkan lahar panas, lahar dingin, dan awan panas yang mengalir ke arah Barat Daya yang berbau menyengat. Saat itulah awal kehadiran saya dan memulai menyebarkan agama "kawruh budi". Menggelegarnya Merapi sudah menjadi takdir Sang Hyang Wenangin Jagad. Siklus bintang ialah siklus pergantian yang tidak bisa diubah lagi."

****
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 8:05 AM