mbah subowo
Sejak orang Belanda
VOC menguasai Nusantara pada akhir abad ke enambelas (1500-an) peran wanita
Nusantara kembali ke jaman prasejarah. Merosotnya kerajaan-kerajaan Nusantara
oleh pendatang Eropa dengan sendirinya kaum wanita semakin pudar perannya
dibandingkan awal sejarah: Ratu Shima, Ratu Tribuwana, dan seterusnya.
Orde Baru berganti
Orde Reformasi, itulah tonggak baru kebebasan berekspresi dan berpikir.
“Mengapa tidak menyetir sendiri?” demikianlah kira-kira tatkala booming
kendaraan roda dua dan roda empat dengan teknologi baru CDI, Timing Valve, dan
Fuel Injection dengan computerized disematkan pada tunggangan kuda besi. Ditambah lagi
munculnya mesin hybrid dan munculnya kendaraan listrik modern di masa mendatang,
tentunya lebih minim perawatan lagi. Dan semua itu tentu memudahkan bagi
pengendara wanita.
Dengan berbagai
kecanggihan teknologi sebagai di atas, pengendara wanita tidak perlu was-was
lagi terjadi gangguan mesin. Bandingkan dengan model system pengapian platina
model lawas. Tiap saat mesin bisa mogok secara mendadak, entah karena platina
tipis, busi kotor, dan karburator yang mampet. Semua itu menjadi kenangan masa
silam.
Munculnya teknologi
transmisi otomatis berbagai varian: matic lama, maupun yang baru, serta matic cvt, dan gabungan matic-manual, semakin nyaman berkendara di tengah kemacetan kota besar.
Sri Aji Jayabaya delapan
abad silam telah memprediksi emansipasi wanita yang akan mengendarai sendiri
tunggangannya di jalan raya.
Wong wadon nunggang
jaran (Jayabaya, 1100-an)
Kelak di masa depan wanita
akan memiliki kesempatan sama dengan kaum pria untuk melakukan traveling dengan
menunggangi kendaraan sendiri ke manapun ia memiliki tujuan. Kaum wanita tak
kalah dalam peluang dan kesempatan menjajarkan diri dengan kaum pria dalam hal mengendarai kuda (kendaraan).
Sekian untuk sekali
ini.