Ramalan Jayabaya tentang penistaan
agama
mbah subowo.
Pasca runtuhnya
Syiwa-Buddha Majapahit (1478) dan berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa,
Demak (1511). Dalam siar agama Islam khususnya di Pulau Jawa, para ulama di
bawah naungan Kerajaan Demak sejumlah sembilan “Walisongo” merasa dirusuhi, direcoki, dan ditingkahi
oleh seorang Syech Siti Jenar.
Yang disebut
belakangan ini disikapi oleh Walisongo sebagai sosok yang melakukan
penyimpangan terhadap ajaran Islam.
Boleh dikatakan itulah
untuk pertama kalinya telah terjadi “penistaan Agama” secara riel atau nyata di
Jawa. Secara gaib terdapat kisah-kisah Walisongo dalam menghadapi tantangan tatkala
melaksanakan siar agama Islam. Kisah lain semasa runtuhnya Majapahit ini bisa
dikatakan lebih mendekati semacam dongeng karena menyangkut makhluk tak kasat
mata. Dalam “Serat Darmo Gandul”
terdapat berbagai kisah antara walisongo melawan makhluk gaib yang
mempertahankan wilayahnya sendiri tatkala masuknya ajaran Islam.
Begitupun kisah perjuangan Pangeran Diponegoro (1825) dalam jihad perang melawan pemerintah Hindia-Belanda
yang sarat nuansa menegakkan panji agama Islam khususnya di Jawa. Dalam hal ini
Hindia-Belanda juga telah melakukan “penistaan terhadap Pangeran Diponegoro” dan para pengikutnya yang memeluk ajaran Islam. Inilah perang besar melanda dan melibatkan seluruh Jawa, maka disebut "Perang Jawa".
Di masa selanjutnya
Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda demi “menyiasati” perlawanan yang bernuansa
“menegakkan panji-panji agama Islam” di Nusantara-Belanda, Gubernur Jenderal periode itu telah mengutus, mengamanatkan seorang sarjana Belanda totok, Dr. Snouck
Hurgronje, untuk mempelajari agama Islam secara amat-sangat mendalam, hingga sang Profesor-Doctor ini bertahun-tahun menetap di tanah suci Mekkah,
Saudi Arabia.
Dr. Snouck bertugas
memberi nasihat berupa “siasat perang” bagi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang tengah
gencar berusaha mempersatukan Nusantara Hindia-Belanda dengan cara menundukkan serta menaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Perlawanan yang
paling sengit dihadapi Pemerintah Kolonial berasal dari Aceh (1873), sehingga
membutuhkan waktu hampir tigapuluh tahun untuk memadamkan perlawanan rakyat
Aceh yang dipimpin pejuang dan alim ulama.
Kembali pada judul di atas, “penistaan agama”
terkini terjadi sejak mantan DKI satu “salah bicara” (2017) ditambah lagi
keadaan dalam kondisi kalah pada pilgub
DKI, sehingga yang bersangkutan “berhasil” dimasukkan ke penjara.
Tampaknya masih
muncul kembali mereka yang “salah bicara” dan selanjutnya menghadapi tuduhan
melakukan “penistaan agama”.
Sebagai referensi
berikut ini satu bait syair dalam ramalan Jayabaya tentang hal yang terjadi di
atas:
Agama akeh sing
nantang (Jayabaya, 1100-an)
Kelak di masa depan
tatkala memasuki jaman Jayabaya – jaman serba terbalik, wolak-walik ing jaman.
Akan terjadi suatu massa munculnya hal yang mengganggu kehidupan masyarakat
karena terdapat manusia-manusia yang melawan ajaran agama tertentu baik sengaja maupun tanpa sengaja.
Di samping melakukan
penistaan atas suatu ajaran agama tertentu, mereka ada juga yang melakukan penistaan terhadap para utusan-Nya.
Sekian untuk sekali
ini.
*****