Ramalan Jayabaya tentang
penghidupan modern
mbah subowo
Era tujuhpuluhan
penduduk pedesaan mencukupi penghidupan dari hasil sawah, ladang, dan kebun.
Sepuluh tahun kemudian sejak itu hingga hari ini berduyun orang dari wilayah
pedalaman membanjiri kota besar. Di daerah asal mereka tidak bisa lagi menggantungkan mata pencaharian sebagaimana generasi sebelumnya dan sebelumnya lagi.
Lahan sawah, ladang, dan
kebun tidak tersedia lagi untuk mencukupi penghidupan keluarga baru. Generasi baru yang
berlipat jumlahnya tentu tidak berbanding lurus dengan kepemilikan lahan untuk
berkebun dan bercocok tanam. Alhasil mereka harus berganti haluan dalam memilih
lapangan pekerjaan. Terutama di kota besar ragam pekerjaan lebih beraneka dan
melimpah dibanding di tempat asal pelosok.
Kemajuan jaman semakin gencar industrialisasi, dan juga modernisasi dalam sektor produksi barang dan jasa tentu
saja semakin jauh meninggalkan gaya penghidupan generasi lama, seratus persen
agraris. Hal ini sudah diprediksi oleh nujum masyhur se-Nusantara delapan abad
silam, dalam satu bait syairnya:
Wong golek pangan
koyo gabah diinteri (Jayabaya, 1100-an)
Kelak di masa depan orang Jawa/Nusantara akan mencari penghidupan dengan siklus terus-menerus menempuh perjalanan berputar-putar sepanjang hari. Pagi hari berangkat kerja dan sore hari pulang ke rumah untuk beristirahat, dilanjutkan esok hari, dan demikian seterusnya tiada henti. Walhasil jarak yang ditempuh terkadang bagaikan putaran tampah berisi beras dan padi yang terus-menerus mengumpul pada bagian pusat lingkaran terdapat gabah (padi). Sedangkan bagian beras menyebar di sekeliling berkumpulnya padi pada titik tengah tampah terbuat dari anyaman bambu tersebut. Begitulah ibaratnya gabah adalah pekerja berkedudukan lebih tinggi dibanding beras pada posisi di bawahnya dalam suatu hierarkie perusahaan.
Sekian untuk sekali
ini.