Akhir dari Paregreg Majapahit

  Akhir dari Paregreg Majapahit
Mbah subowo
1483 Saka.
     Dewan Negara Majapahit yang terdiri Panglima Pasukan Gajah, Infantri, Kavaleri, dan Pasukan Laut, para Adipati dari wilayah inti, serta Para Menteri beserta jajarannya. Mereka hadir mendampingi Ratu Majapahit dalam penghadapan tahunan para raja bawahan dari mancanegara (luar Pulau Jawa) di istana Wilwatikta. Tentu saja dalam penghadapan itu para raja bawahan Majapahit menyerahkan oleh-oleh upeti tahunan. Hasil upeti itu sebagian untuk biaya melakukan operasi perlindungan keamanan di seluruh bandar bawahan yang dilaksanakan oleh Armada-Armada kapal perang Pasukan Laut Majapahit.
     Tahun ini dan beberapa tahun sebelum ini selalu absen atas kehadirannya: Tumasik, Pahang, Kedah, Kelantan, Brunai, Mindanao. Beberapa raja wilayah bawahan Majapahit di Nusa Tenggara a.l. Lombok, Flores, Sumbawa memang hanya mewakilkan kehadirannya dengan alasan tertentu. Semua itu terjadi sejak berkecamuk perang Paregreg yang ditingkahi oleh kehadiran Armada Kebesaran Tiongkok pimpinan Cheng Ho. Armada Kebesaran itu selalu mengaku mengibarkan panji persahabatan dan perdamaian di setiap Bandar yang disinggahinya.
     Ratu Majapahit tidak membuka pokok mengenai hal di atas (mengenai absensi wilayah terjauh dan terluar atau wilayah perbatasan). Ratu menyatakan, “Para Yang Mulia, Kami membutuhkan jeda sepuluh tahun, dan untuk mengatasi persoalan kerajaan di wilayah kalian sendiri, saat ini Kami menyerahkan urusan sepenuhnya kepada kalian semua untuk menyelesaikannya.” Setelah menyabdakan itu Ratu pamit mengundurkan diri. Penghadapan itu dilanjutkan oleh para petinggi kerajaan untuk membahas dan mencatat berbagai persoalan apa saja yang kelak bisa diselesaikan setelah keadaan Majapahit pulih sebagian atau sepenuhnya.
     Kas Negara Majapahit yang nyaris terkuras oleh adanya Perang Paregreg, dan ditambah kerusakan besar pada Armada Satu, dan Armada Dua, dan pelemahan Armada Tiga akibat dari komandan Armada Malaleng yang berniat memboyong seluruh Armada ke Sulawesi. Malaleng yang masih berdarah raja Bugis ingin menjadi penguasa di sana, karena Majapahit begitu lemah tiada daya.
     Perairan sekitar Masalembo lokasi pertempuran Armada pendukung Wirabhumi melawan Armada Majapahit menjadi saksi bisu tatkala kapal besar Majapahit dari kedua pihak berlomba-lomba tenggelam ke dasar lautan. Pertempuran laut yang menumpas adidaya Selatan Khatulistiwa itu memaksa Ratu mengambil langkah strategis menggabungkan Armada Jawa dengan Armada Laut Kidul agar lebih focus menjaga Laut Jawa hingga jalur rempah di Kepulauan Maluku.
     Perkonomian Majapahit yang telah hancur tatkala perang dan terhenti sejauh ini, terutama bandar Gresik sepi dari kunjungan negeri jauh: Parsi, Atas Angin. Pertanian di wilayah inti Majapahit juga terbengkalai: kebun buah, sawah, tegal, tambak, dan ternak, hanya bergeliat saja menjelang akhir dari Paregreg.

     Armada Bajak yang mengganggu di perairan Natuna, Selat Malaka, dan hampir di seluruh Perairan Laut Cina Selatan telah tumpas oleh Armada Satu, Dua, Pasukan Laut Majapahit yang compang-camping. Dan selanjutnya dengan kehadiran Armada Kebesaran Tiongkok, maka tak ada lagi bajak dan perompak berani lagi muncul untuk selamanya. Jalur pelayaran yang aman dari bajak telah memungkinkan Bandar Gresik mulai ramai, akan tetapi masih belum sepenuhnya seperti biasanya. Sang Ratu menetapkan rempah-rempah dari Kepulauan Maluku harus dikumpulkan di Gresik. Para pedagang dari manapun hanya bisa membeli rempah tersebut dari Bandar Gresik.  Majapahit mulai menciptakan stabilitas keamanan juga di wilayah inti kerajaan (Pulau Jawa). Kini pelahan kawula Majapahit bisa bekerja mengurus kebutuhannya sehari-hari.
     Sekian untuk sekali ini.
*****
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 8:34 AM