Peristiwa Madiun 1948
(Pemberontakan PKI Musso?)
“Peristiwa Madiun” pada
hakekatnya bukan konflik antara Soekarno dan Soemarsono-Amir Sjarifuddin,
melainkan merupakan gelanggang pertunjukan aplikasi paradigma perang-dingin:
adikuasa anti-komunis dengan darah dan kekuatan senjata menumpas kubu kaum
kiri....
Dia seorang tokoh kontroversial. Begitulah tanggapan yang bisa kita dengar
dari pihak lawan maupun kawan Soemarsono sendiri. Dia sendiri tidak pernah
menutup-nutupi, malah terbuka di hadapan publik mengatakan bahwa dia Kristen
sekaligus Komunis, anggota PKI. Bersama seluruh keluarga, istri dan
anak-anaknya dia taat pada kekristenannya dan berkunjung ke gereja. Secara
pribadi Soemarsono loyal dan sepenuh hati mengabdi pada tanah air Indonesia dan
kepada Partainya, sedangkan keluarganya sama sekali tidak berurusan dengan PKI.
Sosoknya berkepribadian mandiri, kuat
sikap kebebasan individualnya. Sesuai watak jawatimuran, dia terbiasa
ceplas-ceplos menggunakan kata-kata keras terhadap lawan bicaranya. Dia berbicara
lantang tanpa basa-basi terhadap Suharto, tetapi sekaligus juga tanpa tedeng
aling-aling mengkritik pimpinan partai, bahkan menuding kawan partainya sendiri
sebagai pengkhianat. Sikap seperti itu boleh saja dianggap subjektif, tetapi
begitulah konsekuensi seorang yang mandiri, seorang yang sudah terbiasa
menggunakan kebebasan individunya tanpa niat bersikap tidak etis. Untuk itu dia
sanggup dan bersedia mempertanggung-jawabkan pendapat dan segala ucapannya
dalam forum apa pun.
Kita angkat topi menghormati sikap Komisi
Tulisan Soemarsono, sebuah Team di Eropa yang teliti mencatat segala ucapan
Soemarsono tanpa mencampuri apalagi memanipulasi substansi apa yang diuraikan.
Dengan menjunjung tinggi prinsip demokrasi, Team tersebut mengakui hak
Soemarsono untuk bebas mempunyai pendapat dan bebas bersuara, dulu maupun
sekarang. Penerbit Hasta Mitra pun menghormati pendapat Soemarsono dan mengendorse
sepenuhnya sikap “Komisi Tulisan Soemarsono” di Eropa itu. Bebas
berpendapat dan bebas bicara kita akui sebagai hak azasi manusia yang harus
berlaku bagi segenap warganegara Indonesia tanpa kecuali. Yang tidak kita akui
adalah hak monopoli berbicara, hak memonopoli kebenaran, apalagi hak
menggunakan kekerasan untuk memberangus pihak-pihak lain yang berbeda pendapat.
Sudah terlalu lama – lima-puluh tahun lebih – Soemarsono dibungkam tanpa diberi
kesempatan membuka mulut atau menangkis segala fitnah dan tuduhan sepihak yang
dilempar ke kepalanya.
Ini kali Soemarsono bebas berbicara.
***
“Sejarah ditulis oleh Pihak Yang Menang”, oleh Pihak Yang Berkuasa.
Adagium ini berjalan dalam praktek, walaupun sebenarnya tidak harus mutlak
demikian. Seperti misalnya semasa Periode Bung Karno, dalam era Demokrasi
Terpimpin yang serba mandiri, pihak yang kalah pun bisa ikut menulis sejarah,
paling kurang masih bisa buka mulut. Contoh: “Peristiwa Madiun 1948”.
Semasa Bung Karno, PKI sebagai pihak
yang kalah, diwakili D.N. Aidit sebagai Ketua, bahkan bisa buka suara
mempertahankan kebenaran menurut versinya sendiri di forum resmi DPR, juga
terbuka berargumentasi di mass-media dan menerbitkan Buku Putih. Sudah tentu,
versi pihak yang menang bagaimana pun tetap dominan menguasai opini publik, dan
prilaku masyarakat biasanya melahap versi resmi pemerintah sebagai versi yang
benar. Itu tidak jadi soal, selama tidak berlaku kekerasan pembungkaman
sepihak.
Contoh sebaliknya: semasa rejim Golkar
Suharto – adagium “Sejarah ditulis oleh Pihak Yang Menang” menjadi
hukum-besi. Versi sejarah yang ditulis rejim Golkarnya Suharto sebagai pihak
pemenang menjadi kebenaran mutlak satu-satunya yang wajib dipercaya, wajib
diterima-baik oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali. Kita semua mengalami
sendiri, hukum-besi jendral Suharto berlaku bagi versi “Peristiwa G30S/PKI”
dalam buku-buku pelajaran maupun dalam versi filmnya, begitu pula mengenai
versi “Peristiwa Madiun” sampai-sampai termasuk versi kisah heroik “Serangan
Yogya”, dan berbagai legenda kepahlawanan kreasi benak sang pemenang sendiri.
Berpikiran lain daripada pendapat Yang Berkuasa akan menghadapi risiko
diberangus atau dipenjara. Pendapat berbeda disumbat sebungkam-bungkamnya,
tidak ada tolerasi polemik bagi pemikiran lain, titik! Begitulah
tatatertib jaman orbanya Golkar.
Penyeragaman berpikir menjadi kebijakan
sistematis yang diterapkan pada anak-anak bangsa meliputi dua generasi.
Pembodohan dilegitimasi dengan undang-undang yang berlaku selama tigapuluh
tahun lebih dan berlanjut sampai hari ini. Sekarang ini dalam “era-reformasi”
pun, Penguasa tetap mendominasi opini publik dan mendikte apa yang boleh apa
yang tidak boleh dibaca oleh anak-anak sekolah kita bila soalnya menyangkut
sejarah. Proses membodohkan bangsa berjalan terus, anak-anak sekolah tidak
perlu dilatih membiasakan berpikir kritis dan mandiri, Pemerintahlah yang akan
berpikir untuk seluruh warganegara, terutama bagi kawula muda bangsa. Dalam
urusan sejarah di era reformasi sekarang ini, banyak pejabat eksekutif,
legislatif dan yudikatif, dengan dukungan aparat kejaksaan tetap memberlakukan hukum-besi
Suharto. Konsep hidup berdemokrasi, semangat reform, wawasan pencerahan untuk
kemajuan, bertoleransi menghormati kebebasan individu, sikap mandiri dan
kritis, tidak tembus ke benak kebanyakan pejabat meski Suharto sudah lama
lengser. Lebih-lebih parah lagi, mind-set yang rancu itu juga
menjangkiti bagian besar kaum intelektual kita. Warisan Suharto masih tetap
digendong-gendong terus. Benar sekali bila dikatakan bahwa aparat pemerintahan
era pasca-Suharto – era yang katanya “era reformasi” – pada hakekatnya hanya
kelanjutan era Orde Baru Golkar Suharto dengan jubah baru.
Kita tahu bahwa Soemarsono dikenal sebagai Tokoh Peristiwa Madiun, tetapi
dalam buku ini dia berbicara mengenai berbagai topik selain Peristiwa Madiun,
antara lain pengalaman sekitar 10 November 1945 di Surabaya, penilaiannya
terhadap Suharto berikut aparat Orde Baru, juga tidak luput kritiknya terhadap
pimpinan PKI maupun beberapa anggota Partainya sendiri.
Team Penyusun telah berusaha optimal memelihara otentikitas uraian Soemarsono yang
kesemuanya dikemukakan dalam bentuk uraian lisan selama lawatannya di Eropa.
Editing oleh Team Penyusun dilakukan sangat minim sekedar mengubah
bahasa lisan agar tidak terlalu jauh menyimpang dari kaedah bahasa tulisan.
Mengenal pribadinya dengan baik, penerbit yakin Soemarsono tanpa ragu bersedia
terbuka dalam forum apapun mempertanggung-jawabkan apa yang diucapkan maupun
mengenai keterlibatannya dalam semua kejadian. Sebaliknya kita juga mengakui
hak semua pembaca untuk bebas menilai apa yang dikatakan Soemarsono atau siapa
pun yang mau ikut berkomentar. Keadilan sejarah harus berlaku bagi semua orang
termasuk bagi seorang Soemarsono yang selama ini tidak berkesempatan
mengemukakan pendapat dengan terbuka dan bebas.
***
Kita mencatat dua argumentasi paling pokok dalam pertanggungan-jawab
Soemarsono.
Argumentasi pertama dan argumentasi
kedua bisa dibedakan akan tetapi tidak bisa dipisahkan, karena dua argumentasi
itu jelas kait-mengait. Soemarsono menolak keras segala tuduhan bahwa dia telah
melakukan perebutan kekuasaan di Madiun. Tegas dia menyatakan tidak ada coup
d’etat di Madiun dalam bentuk apa pun. Coup d’etat tidak, coup de
la ville – perebutan kekuasaan kota – pun tidak! Soemarsono menganggap
perebutan kekuasaan negara, pembangkangan atas kekuasaan pemerintahan pusat,
atau merebut kekuasaan pada tingkat kelurahan sekalipun, pada prinsipnya adalah
perbuatan makar, dan justru itu yang tidak dia lakukan.
Apa yang sungguh-sungguh dia lakukan
adalah membela diri terhadap serangan dari luar. Itulah argumentasinya yang
pertama; sedangkan argumentasi kedua menjelaskan bahwa yang terjadi di Madiun
sebenarnya adalah akibat – dia
berlawan untuk bela diri – karena ada sebab
yang dimulai lebih dulu dari Solo. Yang dia maksudkan dengan sebab atau pemicu adalah
kejadian-kejadian di Solo ketika unsur-unsur kekuatan kanan menangkapi kekuatan
kiri. Soemarsono sendiri sampai hari ini pun seperti sudah kita kemukakan di
atas, tidak pernah menutup-nutupi diri bahwa dia komunis – dan dengan
sendirinya dia bersikap solider dan membela sesama kawan-kawan politiknya yang
diperlakukan tidak adil oleh siapa pun. Pidato Bung Karno terkenal “Pilih
PKI-Muso atau pilih Soekarno-Hatta” yang disusul pengerahan pasukan TNI ke
Madiun, juga oleh Soemarsono dikatakan sebagai penyebab atau pemicu yang mengakibatkan dia angkat senjata untuk membela diri. Semua
akibat terjadi karena ada sebab – dan menurut Soemarsono fakta
berbagai kejadian yang menjadi sebab
– dan berbagai kejadian yang menjadi akibat
jangan hendaknya sampai diputar-balik.
Soemarsono, sebagai seorang pelaku,
menjelaskan semua itu sampai ke detail, tetapi di sini kita saripatikan hanya
yang menyangkut isi pokok pembelaan Soemarsono saja. Wajar saja bila banyak
pihak mendukung, sebaliknya juga banyak tidak membenarkan versi Soemarsono.
Entah membenarkan, entah menyalahkan, fakta rieel yang ada adalah bahwa versi
pihak yang menang menguasai opini publik. Betul sekali adagium yang mengatakan,
pihak yang menang mendikte penulisan sejarah.
Pengantar penerbit ini tidak bermaksud meninjau terbatas hanya pada persoalan
Madiun, melainkan ingin menjangkau scope yang jauh lebih luas. Kita tidak
mengkaji siapa benar siapa salah dalam Peristiwa Madiun saja. Fokus kita
terpenting adalah mencari inti sebab-musabab pecahnya berbagai konflik
nasional yang dialami dalam sejarah modern bangsa, kita ingin menelusuri
pengalaman bangsa sejak mulai memperjuangkan kemerdekaan melawan kolonialisme
di tahun 20-an sampai hari ini. Fokus utama Hasta Mitra adalah meneliti dan
mencari akar-masalah tragedi konflik nasional di masa lalu yang sampai detik
ini masih kita gendong-gendong terus.
Dalam rangka itu, kita mantap
berkesimpulan bahwa: inti akar-masalah adalah produk konflik yang merupakan
komoditi impor dari luar yang sadar atau tidak sadar dioper oleh kaum
intelektual kita menjadi milik nasional; dan sangat tragis sampai hari ini pun
produk impor itu permanen hadir di tengah-tengah kita dan berkesinambungan dari
waktu ke waktu meledakkan bencana antar sesama bangsa kita. Yang kita maksudkan
dengan produk konflik impor, tidak lain adalah kubu anti-komunis yang tidak
mentolerir sama sekali eksisnya kubu komunis. Kubu anti-komunis yang
mengklaim berazas demokrasi justru memperkosa demokrasi dengan cara membenarkan
menggunakan kekerasan senjata – fisik dan mental – untuk membasmi punah
pihak-pihak yang berpendapat lain. Dua kubu itu latent hadir dalam kehidupan
manusia, di dunia mana pun termasuk juga Indonesia yang ikut-ikutan menjadikan
konflik permanen itu menjadi miliknya sendiri, dan diwarisinya dari generasi ke
generasi berikutnya.
Konflik dua kubu yang tidak saling
mentolerir berjalan visa-versa, tetapi di dalam praktek tentu kubu yang dominan
yang mendikté situasi dan mampu mempunahkan lawannya.
Apakah yang disebut dua kubu itu?
Macam-macam nama dapat diberikan – gampangnya untuk entity berpasangan itu kita
menyebutnya: kubu kanan – kubu kiri. Varian lain: kapitalis – komunis,
reaksioner – progresif, konservatif – liberal, dogma-agama – sekuler, moderat –
radikal, kontrev – revolusioner, elitis – populis, kaya – miskin, dst. Dua
kubu itu hadir dalam seluruh strata kehidupan kita, sampai-sampai orang awam
pun bisa mengenali koruptor–patriot, penguasa otoriter – penguasa demokratis.
Begitulah perjalanan sejarah modern
dunia yang lebih jelas wujud bentuknya sejak muncul Aufklärung,
wawasan-wawasan pencerahan, kemudian berpolarisasi lebih tajam setelah tampil
Marx. Sejarah mutakhir Indonesia pun demikian adanya, konfrontasi antagonistik
berkelanjutan tidak henti-hentinya. Lantas fakta apa yang dihasilkan
konfrontasi dua kubu itu? Pada umumnya sampai hari ini kubu pertama, yaitu kubu
kanan the old established forces masih selalu menang alias dominan atas
kubu kiri – the new emerging forces. Di dunia begitu, di Indonesia pun
begitu.
Peristiwa Madiun pun pada hakekatnya
adalah konflik dua kubu tersebut – dan karena kubu kanan yang menang dengan
sendirinya versi pemenanglah menguasai opini publik. Idem dito Peristiwa G30S,
“pemberontakan 1926”, peristiwa Tanjung Priok, Poso, Ambon, Lampung, peristiwa
HAM/kampus Trisakti, BLBI, kasus Lumpur panas Lapindo, pendeknya di seluruh
strata kehidupan masyarakat sosial-politik-budaya; versi yang berkuasa yang
identik dengan kubu kanan adalah versi yang diterima sah oleh masyarakat dan
mass media.
***
Menghadapi dan mengharapkan suatu masa depan yang lebih baik, dengan
dibimbing positive thinking, kita berusaha optimal mengubah yang negatif
menjadi positif, segala musibah menjadi hikmah, mempositifkan tragedi menjadi
keuntungan bagi terutama rakyat dan negeri. Semua konflik berdarah pada
hakekatnya merupakan ulah elite politik, rakyat jadi instrumen adu-domba bagi
elite yang semata-mata mengejar kepentingan sendiri berjargon bekerja demi
kepentingan rakyat. Ujung-ujungnya selalu rakyat yang menderita, yang memikul
seluruh beaya tinggi dari tragedi satu ke tragedi lain. Akibatnya: bumi Indonesia yang memiliki melimpah-ruah kekayaan alam dan
potensi tenaga kerja, memiliki rakyat miskin yang jumlahnya besar di dunia, dan
ironisnya Indonesia yang mayoritas rakyatnya miskin, ternyata paling banyak
memiliki milyuner dolar! Tanpa keluar keringat mereka korupsi dalam skala
besar-besaran, mereka menjadi multi-milyuner dolar gelap dengan lindungan Penguasa.
The very selective few atau elite pilihan itu dalam konflik apa pun
tidak pernah tersentuh badannya, tidak kecubit secuil pun kulitnya, harta dan
kekayaan mereka tetap utuh, nasibnya cuma bisa terus bertambah-tambah kaya dan
nyaman saja. Elit itu pula yang menguasai trilyunan rupiah maju lagi dalam
pemilu berikutnya.
Sudah waktunya walaupun sudah sangat
terlambat, segenap rakyat menyadari fakta keras tersebut. Fakta elite yang
sukarela menjadi perpanjangan kekuatan asing, membuat negeri dalam status
ketergantungan pada kapitalisme global, terjun dan main politik untuk
kepentingan diri sendiri. Ini tidak berarti bahwa kita anjurkan rakyat agar
jangan main-main politik, supaya takut politik, atau tidak berideologi. Justru
sebaliknya, rakyat harus berideologi, sadar politik setinggi-tingginya agar
mampu membaca situasi apa yang sebenarnya sedang, sudah dan akan terjadi.
Jangan serahkan politik hanya kepada kaum elite
Cobalah pakai kalkulator menghitung-hitung matematis fondasi ekonomi negeri
kita. Berandai-andailah elite-politik kita mengurangi korupsinya 10% saja,
apalagi sampai sebesar 25% – bersih dari korupsi cuma khayalan –, rakyat
Indonesia yang sudah “merdeka” 60 tahun lebih dan memiliki bumi tanah-air yang
kaya melimpah ruah, hari ini pastilah sudah hidup jauh lebih sejahtera
ketimbang peringkat kemakmuran penduduk Singapura, tetangga kecil kita yang
tidak punya sumber kekayaan seperti Indonesia. Yang mereka miliki cuma
kebiasaan bekerja keras, berdisiplin tinggi di segala bidang dan minim
mengkorup kekayaan negara.
Sampai hari ini era-reformasi yang berumur 10 tahun seakan berjalan di
tempat, tidak tahu konsep mana yang benar, tidak tahu kerja apa harus
diprioritaskan, tidak juga tahu bagaimana dan dari mana harus memulai menembus
kebuntuan dan membenahi situasi amburadul saat ini. Apa jadinya kalau
kepentingan pribadi para elite politik diidentikkan sebagai kepentingan rakyat?
Apa jadinya kalau maling besar justru paling keras berteriak “awas maling”. Perekonomian
dikatakan maju padahal rakyat kecil paling merasakan makna “kiprah kemajuan
ekonomi” dengan terus membumbungnya harga kebutuhan sehari-hari. Perlu dan
pentingnya rakyat sadar politik dan berideologi, justru guna tepat mengdiagnosa
penyakit dan menemukan terapinya.
Lantas berpolitik dan berideologi yang
bagaimana? Jelas bukan ideologi Golkar, rakyat serba manut diperintah dari
atas, melainkan berideologi persatuan dan kesatuan, berideologi jijik korupsi,
berideologi keadilan demi kesejahteraan rakyat, berideologi mengutamakan
kepentingan rakyat, dan di atas segalanya ideologi nasionalisme modern, mandiri
dalam semua aspek kehidupan politik. Dengan singkat-padat: berideologi Trisakti
Bung Karno!!! Pancasila jangan sebatas wawasan saja, tetapi harus menjadi
ideologi aksi dalam praktek.
Dengan kesadaran politik tinggi kita
ubah langkah dan segala pemikiran yang negatif menjadi positif, kemubasiran di
masa lalu yang sia-sia menjadi kelebihan melimpah-limpah menguntungkan. Tragedi
ke tragedi yang kontra-produktif ke kerja produktif sebagai bekal masa depan.
Jelas merealisasi segala yang indah itu tidaklah segampang mengucapkannya,
pasti berat dan banyak rintangan, akan tetapi bukannya tidak mungkin.
Uraian Soemarsono, memancing kesan kuat bahwa dalam sejarah perjuangan kita
telah terjadi kemubasiran yang sia-sia, kerugian maha besar – tiada lain cuma
kemunduran bagi rakyat dan negeri. Oleh karena itu kita ingin dan harus bisa
menarik pesan politik dan moral dari semua fenomena kemubasiran
itu. Walaupun pengalaman yang serba pahit, kita jangan sekali-kali melupakan
sejarah. Sangat penting kita tetap pelajari sejarah, bukan untuk melulu
menggugat atau menyesali kesalahan para pemimpin kita di masa lalu, apalagi
menjadikan konflik-konflik itu menjadi aktual kembali sebagai bahan diskusi
pertengkaran politik hari ini. Justru sebaliknya kita jangan sampai mengulang
berbagai kemubasiran serba negatif itu, karena kita sedang menghadapi tantangan
masa-depan. Itulah isi kredo kata-kata “jangan melupakan sejarah” pada
saat membaca versi penulisan sejarah apa pun.
Dari generasi masa kini dituntut harus
mampu menangani tugas – tugas masa depan dengan lebih baik, lebih pintar dan
lebih kreatif. Generasi masa kini sudah pada waktunya sadar jangan jadi
instrumen elit politik berjubah ideologi pseudo bela rakyat. Generasi masa kini
perlu kematangan politik, supaya bisa aktif mencegah segala bentuk kemubasiran
sosial ekonomi-politik. Galanglah kebersamaan barisan progresif guna
menegakkan kembali ideologi mandiri di segala bidang. Negeri harus keluar dari
situasi amburadul – berpisah dari semua warisan Golkarnya Suharto dan terbebas
dari segala bentuk ketergantungan.
“Peristiwa Madiun” pada hakekatnya bukanlah konflik Soekarno di satu pihak
dan Soemarsono-Amir Sjarifuddin di lain pihak, melainkan merupakan gelanggang
pertunjukan aplikasi paradigma perang-dingin: adikuasa anti-komunis
menumpas dengan darah dan kekuatan senjata kubu kaum kiri (kemudian menyusul
kubu Islam dan selanjutnya semua pihak yang berpikiran lain).
Sudah waktunya politisi dan kaum
intelektual Indonesia mengoreksi mind-set mereka selama ini, bebaskan
diri dari distorsi alam pemikiran politik yang merugikan dan memecah potensi
bangsa.
Kembalilah pada Trisakti Bung Karno,
bersikaplah mandiri untuk selalu
mendahulukan dan menguntungkan kepentingan rakyat – bebas dari ketergantungan
bangsa dan negeri lain.
Terimakasih kepada “Team Penyusun”
di Eropa dan penghargaan setinggi-tingginya untuk Pengantar bung Wilson,
sejarawan muda alumnus Universitas Indonesia, yang jernih, tajam dan
komprihensif menjabarkan bagi kita sejarah sebenarnya dari apa yang dinamakan
“Peristiwa Madiun”.
Joesoef
Isak