“Memajukan Karya Terjemahan
dalam Industri Penerbitan:
sebuah Masa Depan bagi
Negeri Berkembang”
Salam sejahtera, dan
salam persahabatan!
Saya gembira dan merasa
terhormat hadir dalam seminar ini, mendapat kehormatan dan kesempatan
berhadapan dengan para ilmuwan, para pakar bahasa terkemuka, dan juga para
pengusaha penerbitan buku. Menghadapi hadirin yang serba terpelajar, saya
menjadi bertanya-tanya pada diri sendiri, “Apakah saya tidak sesat berada di
sini?”
Kerja saya memang bersentuhan dengan terjemahan buku dan juga menerbitkan
buku-buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun buku-buku terjemahan. Akan tetapi
saya harus akui, saya bukan penerjemah profesional, saya juga tidak mewakili
penerbit besar di Indonesia. Saya selalu mengatakan mengenai diri sendiri bahwa
saya adalah seorang jurnalis, sejak masa muda sampai lanjut usia seperti
sekarang ini saya tetap seorang jurnalis; walaupun sudah tidak punya surat
kabar lagi. Old journalists, never die! Oleh karena itu, apa yang saya
kemukakan di sini pun bertolak dari posisi sebagai seorang jurnalis.
Sekitar dua bulan yang
lalu, sungguh suatu kejutan bagi saya menerima undangan dari Profesor Ahmat
Adam. Reaksi saya pertama adalah tidak mungkin menolak undangan Prof. Ahmat
Adam, walaupun topik seminar yang dihadapkan kepada saya sebenarnya bukan
wilayah yang sehari-hari saya geluti. Sebagai wartawan saya kagumi Prof. Ahmat
Adam, oleh karena itu tidak mungkin saya tolak permintaan dari seorang yang
saya hormati dan kagumi.
Saya hanya dapat menduga-duga mengapa Prof Ahmat Adam mengudang saya. Hasta
Mitra pada beberapa tahun yang silam pernah menerjemahkan dan menerbitkan buku
Prof. Ahmat Adam yang penting bagi para pembaca Indonesia pada umumnya,
khususnya bagi para wartawan dan bagi penulisan sejarah pers Indonesia. Harus
segera saya jelaskan di sini bahwa saya bukan penerjemah buku Prof. Ahmat Adam
itu, saya terlibat hanya sebagai editor dan korektor. Bolehlah saya katakan di
sini hasil terjemahan buku itu sangat lumayan, tetapi yang paling berhak
menilai apakah terjemahan itu baik, kurang baik atau jelek, tentulah pembaca.
Bila saya katakan bahwa terjemahan itu cukup baik, maka ini disebabkan dua
faktor. Pertama, penerjemahnya berbeda dengan saya. Saya menguasai bahasa ibu
saya karena belajar – saya adalah produk anak didik kolonial yang menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Ketika Jepang menduduki
Indonesia dengan sendirinya bahasa Belanda dan semua bahasa asing lainnya
dilarang, maka mulailah saya belajar bahasa ibu saya sendiri. Akan tetapi
penerjemah buku Prof. Ahmat Adam adalah seseorang yang saya anggap memiliki DNA
bahasa Indonesia, Amarzan Lubis namanya. Dia seorang sastrawan, essayist,
penyair dan sekarang wartawan yang saya anggap indah sekali bahasa
Indonesianya. Tidak banyak orang berbahasa Indonesia dengan baik seperti dia –
Pramoedya saya anggap termasuk di antara orang Indonesia yang kecil jumlahnya
ber-DNA bahasa Indonesia.
Faktor kedua yang sangat membantu adalah, bahwa penulisnya sendiri, Prof.
Ahmat Adam bersedia memeriksa, bahkan memberikan saran-saran kepada penerjemah
karena beliau menguasai bahasa Indonesia. Buku itu beliau tulis dalam bahasa
Inggris, sebuah disertasi cemerlang yang merupakan sumbangan besar bagi
penulisan sejarah Indonesia, bagi negeri-negeri berkembang, dan pasti juga bagi
dunia limu pengetahuan pada umumnya. Bantuan langsung dari penulis seperti
halnya dengan buku Ahmat Adam, tentu tidak bisa kita harapkan bila kita
menerjemahkan misalnya karya Chomsky, apalagi menerjemahkan Gorki, Hemmingway,
para penulis lainnya yang sudah tiada. Dengan sedikit cerita tentang buku Prof
Ahmat Adam yang kami terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kita sebenarnya
mulai memasuki apa yang menjadi topik seminar ini.
Ada kritik
terlontar terhadap saya pribadi sebagai wartawan. Begini : mengapa kajian
tentang sejarah awal pers Indonesia dan peranannya dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia, tidak ditulis oleh seorang sejarawan Indonesia, atau oleh wartawan
Indonesia sendiri? Mengapa Hasta Mitra tidak mengusahakan topik menyangkut
Indonesia itu ditulis oleh seorang penulis Indonesia?
Saya mengakui bahwa kritik itu ada benarnya, akan tetapi saya tidak ragu
sama sekali menerjemahkan dan menerbitkan buku dengan topik apa pun apabila
topik yang dikaji belum ada dalam bahasa Indonesia, atau mungkin sudah ada akan
tetapi buku yang ditulis oleh penulis asing itu bermutu dan bisa menjadi
sumbangan dalam khasanah literatur Indonesia.
Kritik seperti ini merupakan suatu segment dalam masyarakat yang
beranggapan bahwa apabila ada orang Indonesia yang sudah mampu menulis – apa
pun topiknya, maka buku tulisan orang Indonesia itulah yang harus diterbitkan,
tidak usah ambil dari luar. Saya tidak termasuk dalam golongan yang berpendapat
demikian. Buku dalam bahasa asing apa pun dengan topik apa pun ingin sekali
saya terjemahkan dan terbitkan, bila buku itu saya anggap bemutu, mempunyai
nilai tambah yang memperkaya pengetahuan dan wawasan orang Indonesia. Itulah
kriteria satu-satunya yang saya pegang teguh. Saya masih mengatakan ingin
sekali menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku yang memenuhi kriteria yang saya
sebut di atas – sebenarnya suatu pernyataan dengan asumsi bahwa saya punya
akses pada sarana dan dana yang diperlukan. Padahal saya sadar betul bahwa saya
pribadi mau pun sebagai penerbit merupakan bagian dari apa yang disebut
“negeri-negeri berkembang”. Dan bila mulai menyebut-nyebut “negeri-negeri
berkembang” maka serta-merta penerbit menghadapi berbagai kendala dan bermacam
kesulitan yang khas secara umum dialami oleh usaha penerbitan di “negeri-negeri
berkembang” dalam merealisasi keinginan-keinginan dan rencana-rencananya.
Pendapat lain yang bersikap negatif terhadap karya terjemahan adalah suatu
segment di kalangan kaum terpelajar yang menganggap bahwa semua karya
terjemahan tidak ada yang baik. Orang-orang dalam golongan ini berpendapat
bahwa mempelajari sesuatu kajian, sebaiknya dibaca langsung dari bahasa
aslinya. Saya tolak pendapat seperti itu, pendapat ini – sadar atau tidak sadar
– mengandung keangkuhan intelektual, tidak peka terhadap realitas yang ada.
Orang-orang yang berbicara seperti itu mungkin pernah mendapat kesempatan
sehingga dapat meraih gelar B.A., M.A., (S-1, S- 2) bahkan mungkin sampai
mencapai gelar PhD di Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, atau
negeri-negeri maju lainnya. Tidak banyak, bahkan minim sekali yang mempunyai
kesempatan belajar di luar negeri seperti itu. Kenyataan yang ada sama sekali
tidak mendukung pendapat yang angkuh itu. Mahasiswa-mahasiswa kita – maksudnya
di Indonesia – yang belajar di univeristas-universitas dalam negeri, bergelar
S-1, S-2, bahkan sampai S-3 bergelar Doctor, umumnya masih kedodoran bahasa
Inggris mereka, apalagi bahasa Prancis, Jerman atau Belanda.
Kesimpulan: menghadapi pendapat-pendapat negatif tentang karya terjemahan
dengan tegas saya berpendapat: karya-karya terjemahan diperlukan, dan terus
diperlukan sekalipun “negeri-negeri berkembang” sudah mampu menghasilkan
barisan penulis sendiri yang canggih, dan sekali pun penguasaan berbagai bahasa
asing sudah meluas, sudah merata di dalam masyarakat. Contoh kongkret adalah
Belanda. Orang Belanda rata-rata paling kurang menguasai bahasa Inggris, di
samping Inggris itu banyak yang menguasai dua bahasa asing lain, Jerman atau
Prancis. Di negeri yang penduduknya rata-rata berbahasa Inggris dan
bahasa-bahasa asing Eropa lainnya, dan sudah memiliki ahli di segala bidang,
masih lebih dari 50% dari buku-buku yang diterbitkan merupakan karya
terjemahan. Literatur dunia ketiga misalnya dengan lahap menjadi agenda para
penerbit di Belanda dan di negeri-negeri maju lainnya. Pertimbangan para
penerbit di negeri-negeri maju pasti bukan semata-mata berorientasi profit,
akan tetapi karya terjemahan punya aspek kemanusiaan, interaksi-budaya
bangsa-bangsa yang menambah luas sudut-pandang dan wawasan.
Apabila para penerbit di negeri-negeri maju bersikap demikian, maka berlipat-ganda
perlu dilakukan oleh negeri-negeri berkembang atau lebih jelas negeri-negeri
yang masih terbelakang, sebab karya-karya terjemahan positif memperkaya gagasan
dan pemikiran yang lewat si penerjemah turun ke masyarakat pembacanya. Karya
terjemahan berperan membangkitkan kreativitas pada saat pembaca mendapatkan
kesempatan berkenalan dengan kebudayaan bangsa lain yang dalam banyak bidang –
bukan hanya teknologi misalnya – berada dalam peringkat yang lebih maju. Dalam
hal ini, penerjemah dan karya terjemahannya mengambil kedudukan penting. Bahasa
penerima pun akan berkembang karena terangsang untuk menemukan terus-menerus
dari khasanah perbendaharaan bahasanya sendiri kata dan ungkapan yang
padanannya setaraf bahasa sumbernya. Bahasa sebagai alat pemikir dan
komunikasi, termasuk bangsa pengguna bahasa itu, akan tetap terbelakang,
tersendat-sendat mencapai peringkat pendidikan yang lebih tinggi apabila tidak
berkenalan dengan bahasa dan budaya negeri-negeri yang dalam berbagai bidang
sudah jauh lebih maju. Dengan pernyataan-pernyataan seperti di atas, saya kira
tidak ada yang menarik kesimpulan bahwa menguasai bahasa Inggris dan
mempelajari bahasa asing lainnya, tidaklah perlu. Kesimpulan seperti itu jelas
keliru. Kesimpulan yang benar adalah bahwa penguasaan bahasa Inggris atau
bahasa asing lainnya sangat bermanfaat, namun karya terjemahan tetap diperlukan
sekarang dan diperlukan terus-menerus di masa datang, sejauh apa pun negeri
yang masih terbelakang sekarang ini mencapai kemajuan.
Yang menjadi masalah besar dari dulu sampai hari ini adalah bagaimana
meningkatkan mutu terjemahan. Apa dan bagaimana yang disebut terjemahan yang
baik? Meningkatkan terus-menerus mutu terjemahan adalah suatu tantangan
sekaligus kewajiban. Kita boleh bersikap toleran terhadap terjemahan yang
kurang baik, cukup banyak toleransi mungkin perlu diberikan kalau kita
berbicara dalam konteks berbagai persoalan yang dihadapi negeri-negeri yang
belum maju, asal saja selalu bisa kita lihat adanya prospek membaik, dari
kurang baik menjadi lebih baik. Belum waktunya kita menuntut kesempurnaan. Akan
tetapi kita sulit membenarkan penerbitan karya terjemahan yang jelek, keliru
dan rancu dalam tafsiran mengalihkan makna dan pesan dari bahasa sumber – sebab
terjemahan yang jelek dan penuh kesalahan seperti itu, sama artinya dengan
mengedarkan uang palsu.
Dalam seminar ini kita tentu hanya berbicara dalam garis besar, tidak
memasuki mendetail secara teknis bagaimana semestinya kalimat-kalimat yang baik
atau yang salah. Suatu loka-karya atau work-shop khusus dengan waktu pembahasan
yang cukup luas, diperlukan guna memasuki masalah-masalah teknis seperti itu.
Tetapi di sini saya coba hanya atas dasar pengalaman merumuskan apa yang
disebut terjemahan yang baik itu.
Penerjemahan naskah atau buku yang baik adalah mengalihkan – mereproduksi –
ke dalam bahasa penerima makna pesan yang terkandung dalam naskah dari bahasa
sumber, dan pengalihan itu dilakukan dengan menggunakan padanan kata-kata
maupun ungkapan yang paling dekat dengan bahasa sumber. Struktur dan gaya yang
terdapat dalam bahasa sumber harus menjadi perhatian oleh si penerjemah, akan
tetapi dia tidak terikat apabila struktur dan gaya itu tidak sesuai, apalagi
asing di dalam bahasa penerima. Pada saat suatu naskah sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa penerima, maka naskah itu sudah harus menjadi sebuah karya bahasa
penerima. Misalnya kalau suatu esai dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, maka “esai Inggris” itu sudah harus menjadi suatu “esai
indonesia” bukan lagi esai Inggris, akan tetapi makna pesan yang terdapat dalam
bahasa Inggris itu sepenuhnya dapat jelas ditangkap dan dimengerti oleh para
pembaca Indonesia.
Oleh karena itu, syarat
penting untuk suatu terjemahan yang baik adalah bahwa si penerjemah
pertama-tama dan terutama menguasai lebih dulu dengan baik bahasa-ibunya
sendiri. Penguasaan terhadap bahasa yang akan dialihkan tentulah penting,
tetapi tidak kurang pentingnya adalah penguasaan bahasa sendiri. Penerjemah
perlu berbekal pengetahuan umum yang cukup luas, atau memilik spesialisasi di
bidang-bidang tertentu, di samping menguasai bahasa-ibu sendiri.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa penerima pun mengalami perkembangan sesuai
dengan majunya zaman. Bila kita bandingkan karya-karya terjemahan yang lahir
dalam dekade pertama Indonesia merdeka dengan terjemahan yang ada sekarang,
kita bisa jelas melihat perubahan atau sebutlah kemajuan dalam bahasa
Indonesia. Kemajuan yang dimaksud adalah bahwa bahasa Indonesia sekarang sudah
menjadi lebih ekonomis, lebih hemat dan padat, banyak kata-kata mubazir sudah
bisa dikeluarkan. Gaya “ketiak ular”, bertele-tele dan berkepanjangan belum
sepenuhnya hilang, akan tetapi sudah banyak sekali berkurang. Kita juga melihat
sudah jauh berkurang, terjemahan yang berisi banyak anak-kalimat dalam satu
kalimat, sesuatu kebiasaan di dalam bahasa sumber terutama dalam Jerman dan
Belanda lama. Struktur kalimat seperti itu bila dipertahankan di dalam bahasa
penerima hanya membuat terjemahan menjadi kaku, bahkan tidak akan dimengerti
maknanya.
Dengan paper sederhana
ini saya mencoba me-response apa yang menjadi topik seminar ini, i.e.
“Memajukan Karya Terjemahan dalam Industri Penerbitan: sebuah Masa-depan bagi
Negeri-negeri Berkembang” (Promoting Translation in the Publishing Industry: A
Developing Country's Perspective").
Menafsirkan judul seperti itu saya cenderung menggaris-bawahi bahwa suburnya
penerbitan buku-buku terjemahan memegang peranan strategis yang penting bagi
negeri-negeri berkembang guna mencapai peringkat-hidup lebih tinggi bagi rakyatnya
– lebih tinggi dalam arti lebih baik sejahtera ekonomi maupun sejahtera
kultural. Mengeluarkan pernyataan seperti itu, saya pada saat yang sama sadar
bahwa kita bergelimang dalam dilema permasalahan yang khas dihadapi
negeri-negeri berkembang. Kita langsung berada dalam suatu lingkaran tak
berujung-pangkal menyangkut prioritas-prioritas. Yang mana didahulukan – beras,
sandang-pangan atau buku? Infra-struktur pembangunan ekonomi atau buku? Kita
bukan sedang menyelenggarakan seminar ekonomi, akan tetapi sebagai penerbit
saya menyatakan bahwa prioritas-prioritas itu erat korelasinya – yang satu
mendukung yang lainnya, oleh karena itu perlu ditangani sama pentingnya dan
bukan mempertentangkan prioritas-prioritas itu.
Tugas memajukan karya terjemahan memiliki dua sasaran pokok, pertama
terus-menerus memyempurnakan mutu terjemahan, kedua terus-menerus menambah
jumlah buku-buku terjemahan. Dengan sendirinya terdapat faktor-faktor penunjang
yang harus diurus dengan benar, seperti manajemen-usaha dan distribusi yang
baik,
Mengenai sasaran pertama, di atas sudah disinggung apa yang dapat dan harus
diusahakan dalam menghasilkan mutu terjemahan yang baik. Mengenai sasaran
kedua, bukanlah hanya semata-mata menjadi tugas penerbit melainkan juga
pihak-pihak lain dalam masyarakat, yaitu pertama-tama Pemerintah dan
lembaga-lembaga pendidikan, universitas negeri maupun swasta, begitu pun
mass-media.
Pemerintah di dalam kebijakan politiknya seyogianya membangun jurusan
penerjemahan di semua universitas/fakultas sastra, juga pendidikan tinggi
kejuruan khusus, seperti misalnya program diploma untuk menjadi ahli penerjemah
di peringkat akademi. Memajukan karya terjemahan dengan sendirinya membutuhkan
barisan penerjemah profesional yang berwenang, lembaga-lmbaga pendidikan tinggi
itulah berkewajiban melakukannya. Mass-media dapat ikut membantu dengan
menyediakan kolom-kolom kajian dan kritik mengenai buku-buku terjemahan yang
baru muncul di pasaran. Kita belum selesai mencapai tujuan, akan tetapi
kegiatan intensif oleh lembaga-lembaga di atas merupakan pemacu dalam
meningkatkan mutu buku-buku terjemahan.
Ada usaha lain yang mampu ikut memacu peningkatan mutu terjemahan, suatu
usaha yang sebenarnya sudah berjalan akan tetapi berjalan lesu, sunyi senyap
tidak diketahui publik pembaca, yaitu usaha dengan cara memberikan penghargaan
atau Award yang bergengsi bagi sang penerjemah dan/atau Penerbit yang
berprestasi menghasilkan karya terjemahan yang baik. Pemberian penghargaan
seperti ini harus lebih digalakkan, lebih teratur tiap tahun, dan yang
terpenting tersedianya rangsangan materi lebih besar yang cukup berarti bagi
pihak Penerima. Rangsangan yang menggiurkan menjadi pemicu untuk berlomba
menghasilkan terjemahan yang lebih baik di antara para penerjemah. Prakarsa
yang melibatkan dana cukup besar ini, ideal sekali ditangani Pemerintah bersama
dunia usaha swasta (big business) lewat suatu badan khusus.
Satu hal yang sepenuhnya menjadi wewenang Pemerintah, dalam hal ini para
penerbit sama sekali tak berdaya apa-apa, adalah masalah pajak. Mukadimah
konstitusi Indonesia jelas berbicara tentang tugas mencerdaskan bangsa, akan
tetapi buku yang menjadi salah satu wahana efektif untuk mencerdaskan bangsa masih relatif
sangat mahal, harga eceran buku produksi dalam-negeri apalagi buku impor. Mulai
kertas, impor maupun produksi dalam negeri, beaya cetak sampai transpor dan
harga eceran di toko buku, termasuk juga royalti penulis, pajak perusahaan,
semua itu adalah serangkaian pos-pos yang dikenakan pajak yang akhirnya harus
ditanggung pembaca. Pemerintah memang memerlukan pajak guna menjalankan roda
pemerintahan dan mengurus kesejahteraan rakyatnya, akan tetapi tugas
mencerdaskan menuntut kebijakan-kebijakan yang arif agar mengambil
langkah-langkah khusus dan selektif dalam policy pungutan pajak itu.
Satu masalah krusial yang dihadapi para penerbit negeri-negeri berkembang
adalah masalah hak-cipta, copyright, sebab itulah salah satu hambatan atau
kendala yang sangat memberatkan. Berbicara masalah copyright saya harus menahan
diri untuk tidak mendadak menjadi politician. Kita semua tahu bahwa hak patent
di berbagai bidang penemuan teknologi dan juga copyright untuk buku, berada
terutama di negeri-negeri maju, di tangan Barat, yang gemar menamakan diri “The
Free World”. Ada nilai sangat tinggi yang mereka miliki, yaitu “demokrasi” yang
dengan hati besar mau mereka berikan gratis kepada negeri-negeri berkembang,
bahkan mereka memaksa negeri-negri lain untuk menerimanya. Akan tetapi bila
jatuh gilirannya pada masalah copyright persoalannya menjadi lain. Itu bukan
barang gratis lagi, ada tarifnya tersendiri, atau sama sekali tidak bisa
diberikan apabila penerbit di negeri-negeri berkembang meminatinya. The Free
World tidak menganggap akses terhadap copyright sebagai bagian dari proses
demokratisasi, padahal kita tahu bahwa kemajuan dan kesejahteraan yang mereka
nikmati sekarang adalah juga bagian dari sumbangan kekayaan negeri-negeri
berkembang yang diangkut ke negeri-negeri The Free World itu berabad lamanya
sampai hari ini. (Maafkan saya ngelantur sejenak ke politik!)
Kalau saya tidak salah ingat, dalam pertemuan dalam rangka Konvensi Bern di
Stockholm tahun 1967 negeri-negri berkembang telah meminta mendapatkan konsesi
akses atas copyright yang dipegang negeri-negeri maju. Alasan permintaan itu
mempunyai dasar yang kuat dan masuk akal, akes atas informasi dan copyright
diperlukan untuk pendidikan massal rakyat-rakyat di negeri berkembang. Pada
prinsipnya permintaan negeri-negeri berkembang itu disetujui, akan tetapi baru
dalam pertemuan tahun 1971 di Paris kesepakatan itu dimasukkan sebagai appendix
Konvensi Bern. Dalam kenyataan, kesepakatan itu tidak berjalan dalam praktek
karena negeri-negeri maju secara nasional tidak memberlakukan kesepakatan itu
di negeri masing-masing.
Inilah pekerjaan rumah yang paling mendesak bagi semua
pemerintah-pemerintah negeri berkembang di forum internasional untuk memperjuangkan
akses atas copyright buku-buku yang diperlukan oleh negeri-negeri berkembang
tanpa macam-macam syarat yang memberatkan. Secara optimal kita harapkan agar
penerjemahan dan penerbitan buku dari negeri-negeri maju, tidak dianggap
sebagai pembajakan apabila penerbit lokal sudah memberitahukan kepada yang bersangkutan
dan sudah mencantumkan lengkap dalam buku yang dialihkan itu asal-usul
sumbernya, yaitu: nama penulis, nama penerbit dan tahun penerbitan. Birokrasi
perizinan copyright yang dikaitkan dengan tarif tertentu, hendaknya tidak lagi
menjadi kendala bagi penerbit-penerbit di negeri berkembang.
Negeri-negeri berkembang di dunia ketiga akan sulit mengejar ketertinggalannya
dari negeri-negeri maju bila masalah copyright ini tidak selesai tuntas. Jenis-jenis
buku apa saja yang dapat diakses dengan bebas tentulah dapat dirembukkan, akan
tetapi kita harap sebagai prinsip masalah copyright jangan lagi menjadi
hambatan bagi negeri-negeri berkembang dalam mengangkat martabat dan peringkat
hidup rakyatnya.
Joesoef
Isak
(Kinabalu,
2 Agustus 2005)