Marxisme vs Kapitalisme
Francis
Fukuyama, pakar politik dan filsafat Amerika keturunan Jepang pada tahun 1992
menulis buku dengan thesis yang sensasional berjudul: “The End of History
and the Last Man”. Inilah antara lain inti thesisnya:
Yang kita saksikan sekarang bukanlah sekedar berakhirnya
Perang Dingin, atau berlalunya suatu kurun-waktu tertentu di masa pasca Perang
Dunia ke-II, akan tetapi tamatnya suatu peristiwa sejarah dalam arti kata, kita
sudah sampai pada titik akhir evolusi ideologi manusia di satu pihak – dan di
lain pihak terbuktinya keunggulan universalisasi Demokrasi Li-beral Barat
sebagai bentuk final Pemerintahan bagi manusia.
Jelas
yang dimaksudkan Fukuyama
adalah tamatnya riwayat Marxisme-Komunisme-Sosialisme, dan kiprahnya Demokrasi
Liberal Barat sebagai pemenang mutlak dalam pertarungan dua ideologi manusia
sejak Marx muncul di pertengahan abad-19. Juga seorang pakar politik Amerika
lainnya, Samuel P. Huntington dalam bukunya (1993-96) berjudul “Clash of
Civilisation – Remaking of World Order” menulis thesis senada dengan
Fukuyama. Cukup banyak para pendukung Kapitalisme menganggap thesis Fukuyama dan Huntington
benar sekali, karena menyaksikan sendiri runtuhnya ideologi komunisme di Soviet
Uni dan negeri-negeri Eropa Timur.
Sebenarnya semasa Marx masih hidup pun, sudah bermunculan
tulisan yang meramalkan kebangkrutan pemikiran Marx, tetapi pada saat bersamaan
pula muncul para pembela dan pendukung Marx yang menganggap Marxisme justru
sebagai harapan kesejahteraan dan keadilan umat manusia di masa depan. Sampai
hari ini pun, diskusi dan debat pro dan kontra Marxisme berkepanjangan tidak
henti-hentinya. Suar Suroso dalam bukunya ini berargumentasi luas dan mendalam
mengenai topik maha-besar ini. Kita mempersilakan para pembaca sebebas-bebasnya
menilai dan menafsirkan posisi dan sikap Penulis terhadap Marxisme tersebut.
Suar Suroso pun telah menulis Kata Pengantar gamblang dan terbuka yang
dapat menjelaskan di mana dia berdiri dan ke kubu mana dia berpihak.
Di
sini Penerbit tidak akan menulis Kata Pengantar lagi – tetapi lebih cenderung
mendampingi Penulis dengan sebuah renungan-singkat dan melihat debat ideologi
itu dari suatu jarak tertentu. Kami tidak melibatkan diri langsung dalam
pertarungan dua kubu itu – namun ini tidak berarti Penerbit netral tidak
berpihak. Penerbit jelas berpihak ideologi yang mengutamakan kesejahteraan dan
keadilan bagi rakyat, entah apa pun label politik yang mau dikenakan untuk
wawasan “kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat” tersebut.
Seperti kita tulis sebelumnya, para pendukung Kapitalisme
dan Pasar Bebas merasa yakin telah mendapatkan bukti kegagalan komunisme.
Faktanya: adikuasa Soviet Uni dan negeri-negeri Eropa Timur bubar-jalan –
sebaliknya kaum komunis tentu tidak mengakui kegagalan Marxisme sebagai ideologi,
melainkan hanya mempersalahkan praktek pengelolaan birokrasi yang keliru oleh
para birokrat Partai sebagai sumber “kegagalan” itu. Dalam pada itu, pada saat
Kapitalisme disanjung-sanjung sebagai ideologi yang paling unggul dan benar,
justru sekarang di tahun 2008-2009 setumpuk tahi-sapi paling bau dilempar ke
muka Fukuyama, Huntington dan semua pendukung Kapitalisme dan Pasar Bebas di
Amerika. Seantero penduduk adikuasa Amerika Serikat sekarang nyata-nyata
terpuruk parah sekali dalam krisis ekonomi-keuangan sampai ke titik paling
rendah. Apa lagi yang tersisa dari keunggulan mutlak Kapitalisme?
Mulai dari penduduk awam atau pegawai kecil negeri dan
swasta, sampai pada para CEO Korporasi raksasa mulai hidup dalam serba
kekurangan, mulai merasakan kesengsaraan kemiskinan. Cicilan sewa-beli rumah
dan mobil tidak mampu dibayar, asuransi pensiun di masa depan anjlok karena
terbawa-bawa menginvestasi tabung-an pada perusahaan saham yang bangkrut;
usaha-usaha kecil pada gulung-tikar. Selama ini rupanya tidak disadari, bahwa
keunggulan konsep Pasar Bebas kapitalisme dalam praktek dengan
sendirinya berarti juga Bebas Keserakahan. Satu prosen elit
kapitalis-besar sebebas-bebasnya mengantongi kekayaan 99 prosen penduduk dengan
berbagai praktek sistem finansial – menghimpun modal, memanipulasi saham,
menyalah-gunakan tabungan/asuransi pensiun para pencari nafkah, dsb, dsb.
Tetapi para elit kapital besar ini jelas tidak sesengsara seperti rakyat awam.
Bermilyar dolar masih di kantong mereka, sebaliknya bagi rakyat awam jatah yang
diterima dengan royal tidak lain adalah pengangguran massal.
Kita
di sini tidak berkepentingan menjatuhkan vonnis gagal terhadap Kapitalisme atau
pun terhadap Marxisme, Komunisme, Sosialisme. Tetapi karena tidak netral, kita
misalnya masih tetap mengharapkan “Sosialisme Tiongkok” di RRT yang masih
menganut Marxisme mampu menang dan mencapai garis final lebih dulu sebelum para
pesaingnya. Kita mendapatkan kesan kuat di Tiongkok Baru sekarang seakan kubu
MacDonald-Starbucks sedang berpacu dalam lomba-persahabatan dengan Marxisme dan
Sosialisme Tiongkok. Mungkin saja ada yang berkata, hal itu tidak perlu terlalu
dikhawa-tirkan karena ada kontrol ketat oleh Partai dan Pemerintah.
Mudah-mudahan demikianlah adanya.
Apa pun yang dikerjakan di sana, semua itu urusan mereka sendiri. Bagi
kita yang paling penting adalah mengkaji bagaimana dengan Indonesia dan
Rakyat kita sendiri yang ikut sengsara terseret-seret oleh krisis global kubu
yang dikatakan paling unggul sekarang ini.
Sejak
awal kita proklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945, Republik Indonesia
berikut kaum inteligensianya langsung terlibat arena pertarungan Perang Dingin
dua kubu besar itu. Mungkin berlaku di wilayah lain di dunia, tetapi bagi Indonesia tidak
benar Perang Dingin telah berakhir hanya karena Uni Soviet sudah bubar. Sampai
hari ini pun paradigma Perang Dingin sejak kita merdeka berkelanjutan
sambung-menyambung dan masih terus dibikin-bikin sebagai issue aktual yang
berbahaya. Ingat riwayat Pesindo dan macam-macam Front, lantas juga program
Re-Ra semasa revolusi bersenjata, Peristiwa Madiun 1948, Razia Agustus 1952,
dan puncaknya Peristiwa G30S-1965 berikut jatuhnya Presiden Soekarno –
butir-butir yang tragis dalam sejarah nasional kita, tetapi rentetan rekor
kemenangan bagi demokrasi Barat.
Elit politik kita yang sejak awal kemerdekaan berada di
dalam wilayah pengaruh sosial-demokrasi Barat ternyata dengan sadar mengendorse
paradigma Perang Dingin tersebut, dengan catatan mayoritas elit-politik kita
lebih banyak berpihak pada kubu Amerika atau Kapitalisme Pasar Bebas, bahkan
sejak 1965 mutlak berhasil menang gilang-gemilang memusnahkan tuntas kubu kiri
sebagai lawan sampai ke akar-akarnya.
Kita tentu bertanya, sudahkah makmur dan sejahtera Rakyat
kita yang selama masa jendral Suharto dan era reformasi dipimpin oleh
elit-politik yang anti Marxisme/Komunisme/Sosialisme? Sudahkah Rakyat
makmur-sejahtera setelah kubu kiri dikejar-kejar dan ditum-pas? Semua orang
yang jujur dan netral tanpa berpihak kubu mana pun, pasti dapat menjawab pertanyaan
sederhana itu.
Menarik mengkaji elit politik kita yang pro “demokrasi
Barat” dan sangat anti Marxisme/Komunisme/Sosialisme. Kita lihat betapa
positifnya perkembangan ABRI kita sekarang. Panglima ABRI baru saja
mengeluarkan pernyataan bahwa paradigma TNI yang dianut sekarang adalah: “Bersikap
netral. TNI tidak lagi terlibat dalam usaha dagang, tidak ikut aktif dalam
politik, tidak memihak partai politik mana pun”.
Berpolitik
dan memihak parpol mana pun tegas-tegas dilarang, akan tetapi memihak paradigma
Amerika yang anti Marxisme/Komunisme/Sosialisme rupanya sama sekali tidak
dilarang. Kita tahu bahwa ABRI kita diharuskan menjadi pengawal Pancasila,
tetapi rupanya siapa pun boleh-boleh saja menjadi agen sukarela kubu demokrasi
barat à la Amerika. Bukankah cukup sering kita men-dengar ucapan petinggi
aparat keamanan untuk tidak henti-hentinya menumpas kubu
Marxisme/Komunisme/Sosialisme, bahkan dianjurkan terus “mewaspadai anak-anak
PKI”.
Berprinsip azas demokrasi, kita pun mempersilakan para
pejabat yang merasa perlu terus mewaspadai anak-anak PKI dan juga kemungkinan
bangkitnya kembali PKI. Hal itu tentu bertujuan demi kesejahteraan Rakyat Indonesia.
Karena itu, biarlah para mantan pejabat Orde Baru Suharto – juga pejabat yang
sekarang masih aktif – bersama istri dan anak-anaknya sendiri, berikut cucu
anak-kemenakan turun-temurun, terus tidak henti-hentinya mewaspadai anak-anak
PKI sambil mencegah munculnya kembali bahaya PKI.
Tetapi kita tentu bertanya lagi, apakah Rakyat Indonesia sudah
dan akan makmur-sejahtera setelah elit kita setia turun-temurun berpihak pada
paradigma anti Marxisme berikut anti-PKI, setelah berhasil menumpas tuntas kubu
kiri?
Kita jawab positif: nihil! Semua nol besar!
Baik
kubu kiri yang selalu menjadi underdog dan tidak pernah punya kesempatan
berkuasa, mau pun kubu kanan yang permanen dominan dan selalu dalam posisi
berkuasa, tidak pernah berhasil memberikan keadilan dan kesejahteraan pada
Rakyat – lebih-lebih mulai jendral Suharto berkuasa mutlak sampai ke era
reformasi hari ini. Yang pa-ling berhasil dicapai rejim Suharto adalah
menjadikan sekumpulan elit kita menjadi multi-milyuner dolar. Lantas tugas
menumpas kubu kiri perlu sekali dipraktekkan terus-menerus, supaya para elit
milyu-ner dolar tidak terganggu dan dengan aman bisa terus berkuasa.
Bukankah
sudah waktunya kita bersama merenungkan apa sebab Rakyat kita tetap masih
sengsara walaupun elit penguasa sudah menumpas Marxisme/Komunisme/Sosialisme
dan sepanjang hayatnya sudah setia menganut Demokrasi & Pasar Bebas à la
Amerika?
Kesalahan berat kita dan paling utama adalah bahwa kita
selalu menjadi epigon, penggembira tukang hura-hura, pendukung babi-buta,
bahkan penyontek yang berorientasi pada kubu-kubu di luar kita, entah itu kubu
kiri atau kubu kanan. Sejak September 1965, rejim Suharto dengan sadar
melepaskan prinsip kemandirian dan berdikari, dan menjadikan Pancasila compatible
dengan Pasar Bebas Demokrasi Amerika. Elit politik kita sadar atau tidak sadar
dalam retorika memihak Rakyat, dalam praktek elit-politik atau pejabat tinggi
sibuk mengurus kantong sendiri. Dengan gemilang elit kita berhasil menjadikan
diri makmur-sejahtera, cukup banyak di antara mereka menjadi milyuner dolar di
tengah kemiskinan Rakyat. Kita lihat sendiri, di tengah-tengah Rakyat pada saat
ini hidup terpuruk, elit kita masih tetap mampu menggelindingkan berbagai
proyek tril-yunan, mulai dari shopping-mall mewah-mewah, berbagai proyek
TV/mass-media, program memenangkan pemilu, temasuk iklan politik untuk menjadi
Presiden. Semua itu dimungkinkan karena pasti ada uang trilyunan dalam kantong.
Penguasa
yang berazas Pancasila dan menganggapnya sejalan dengan “prinsip demokrasi
Barat” tidak henti-henti berjanji tentang kesejahteraan dan keadilan bagi
Rakyat; murah sandang-pangan, turun harga dan naiknya produksi BBM, menjadi
exportir beras dan sebagainya. Namun semua janji indah tidak pernah solid
terwujud, yang dicapai paling-paling hanya keberhasilan semu belaka atau sukses
sesaat saja, padahal Rakyat memang tidak membutuhkan janji-janji bagus
macam-macam.
Kesejahteraan dan Keadilan bisa menjadi kenyataan hanya bila
diusahakan oleh Rakyat sendiri. Penguasa/Pemerintah tidak perlumengobral janji,
yang penting dikerjakan adalah memberdayakan Rakyat mandiri agar Rakyat sendiri
bekerja dengan penuh inisiatif untuk menyejahterakan diri sendiri. Tugas
Pemerintah seyogianya lebih terfokus mengfasilitasi kemandirian Rakyat untuk
bisa berdikari dan mampu menjadi produktif.
Syarat utama dan mutlak untuk itu tentulah menegakkan
Prinsip Kemandirian lebih dulu – mandiri politik ideologis terhadap kubu mana
pun di luar Indonesia, sebab dengan sedih kita menyaksikan betapa prinsip
Mandiri Bung Karno sejak 1945, mulai September 1965 dibuang ke tong-sampah oleh
jendral Suharto sehingga Indonesia sekarang sepenuhnya tergantung pada
kapitalisme global dunia.
Untuk
mewujudkan Kesejahteraan dan Keadilan bagi Rakyat, kita mutlak membebaskan diri
dari ketergantungan pada ideologi mana pun dari luar, bebas dari paradigma
Perang Dingin – selanjutnya kembali mengangkat tinggi-tinggi ideologi
bermartabat mandiri dan berdikari di segala bidang, politik-ekonomi,
sosial-budaya, sebagaimana sudah dirumuskan dalam Pancasila 1 Juni 1945 dan
Trisakti Bung Karno. Kita tidak memihak parpol mana pun, juga tidak memihak
ideologi mana pun dari luar, apalagi mengkhayalkan “strong leadership”
gaya Suharto, jagonya Golkar di masa lalu yang sampai hari ini masih tetap
digendong-gendong terus. Strong leadership à la Suharto alias “kediktatoran
dengan senyum” yang cuma menguntungkan selapis elit dan para kroninya harus
ditolak keras – strong leadership tentu oké sekali tetapi hanya yang konsekuen
bermartabat mandiri dan mengutamakan Rakyat. Yang sangat diperlukan Rakyat kita
adalah keberpihakan dan mempraktekkan konsekuen prinsip Berdikari dan
Kemandirian Indonesia – itulah Kedaulatan Rakyat sejati yang kita dambakan
bersama.
Penutup Renungan
Selain
Kedaulatan Rakyat, juga Kedaulatan Hukum dalam kaitan keamanan negeri dan
individu setiap warganegara Indonesia tanpa kecuali harus ditegakkan dan
dipelihara. Sinyalemen-sinyalemen tentang bahaya apa pun, termasuk bahaya PKI
dan anak-anak PKI, harus serius diperhatikan dan ditindak-lanjuti sesuai hukum
yang berlaku.
Untuk itu, sebagai negara hukum kita memiliki aparat
Pengadil-an, Kepolisian dan Kejaksaan. Semua kasus dengan unsur pidana apa pun
– termasuk kriminalitas politik – harus diputuskan lewat Pengadilan. Vonnis
harus dijatuhkan sesuai kejahatan yang diperbuat.
Sinyalemen-sinyalemen yang dilontar ke publik tanpa
tindak-lanjut apa-apa akan menimbulkan keresahan. Benar-benar resah atau
keresahan pura-pura, bisa juga banyak orang jadi bosan – akhir-nya sinyalemen-sinyalemen
tanpa ujung-pangkal seperti itu dianggap sepi oleh masyarakat. Kosong, cuma
ramalan para prophets of doom, ocehan para dewa peramal kiamat, ramalan
mengerikan yang tidak kunjung tiba. Hanya yang mengucapkan sinyalemen tahu apa
motif latar-belakang dari segala ucapannya pada publik. Dari segi mukadimah UUD
yang ingin mencerdaskan bangsa, hal seperti itu sangat negatif. Masyarakat
tidak terdidik pada kenyataan yang ada, melainkan pada fakta semu yang
dijejal-jejal dan harus dianggap sebagai kenyataan. Padahal seluruh masyarakat
perlu bersikap realistik untuk menangani segala masalah sesuai fakta yang ada
– bukan realitas rekayasa hasil kutak-katik benak sendiri.
Berkali-kali kita ulangi di sini, Indonesia dan semua orang
Indonesia – tentu terutama sekali seluruh aparat keamanan dan pengadil-an –
harus konsekuen kukuh pada identitas Indonesia sendiri, bersikap Mandiri demi
kepentingan Indonesia dalam mengurus segala masalah: kesejahteraan ekonomi,
keadilan sosial, juga segala urusan dan kasus di bidang keamanan, politik dan
ideologi. Kita perlu betul-betul terbebas dari ideologi luar, bebas dari
paradigma Perang Dingin yang kontra-produktif bagi Rakyat dan Negeri.
Itulah renungan-singkat kita pada saat mengkaji mana yang
unggul antara Marxisme dan Kapitalisme; mana paling bermanfaat bagi Rakyat
kita.
Joesoef
Isak, ed.