Membangun Kekuasaan, kembali Membangun Bangsa

Dari membangun kekuasaan,
kembali membangun bangsa

Untuk menghormati mentor dan perintis Indonesianis Amerika terkemuka, George McTurnan Kahin, sekelompok alumni Universitas Cornell masing-masing dengan topik berbeda telah menulis sepuluh kajian tentang kelahiran Indonesia modern berkaitan dengan berbagai masalah yang dihadapinya sebagai Republik yang baru berdiri. Para penyumbang tulisan terdiri dari Ruth McVey (dua artikel), Benedict R. O’G. Anderson, Rudolf Mrázek – scholar Czeko bukan alumnus Cornell tetapi akrab ilmiah dengan George Kahin, Barbara S. Harvey, Mary Somers Heidhues, Geoffrey Robinson, Daniel S. Lev, Takashi Shiraishi dan Fred Bunnel.
    Himpunan kajian di-edit oleh Daniel S. Lev bersama Ruth McVey dalam buku berjudul Making of Indonesia (Menjadikan Indonesia). Untuk edisi Indonesia kita berikan judul tambahan:“dari membangun bangsa menjadi membangun kekuasaan”, sub-judul yang cocok sebagai penyimpulan akhir perjalanan Indonesia modern selama 32 tahun dibawah rejim Suharto. Dan PROLOG ini merehabilitasinya menjadi “Dari Membangun Kekuasaan – kembali Membangun Bangsa”, Character and Nation Building Bung Karno.
    Walau pun pendapat bisa berbeda, kita sambut opini para alumni Cornell dengan pemikiran positif, karena para penulis itu masing-masing kita tandai sebagai pakar Indonesianis dengan integritas tinggi; mereka memiliki kepedulian serius terhadap Indonesia, jelas bukan penulis murahan. Hal yang sama tidak bisa kita katakan mengenai banyak penulis asing lain yang berpretensi menulis tentang negeri dan bangsa kita – para penulis asing yang berpamrih ilmiah, bersikap maha tahu mengenai Indonesia, bahkan lebih tahu daripada orang-orang Indonesia sendiri yang menjadi sasaran pembahasan mereka. Contoh: mereka lebih tahu tentang Soekarno daripada Soekarno sendiri mengenai dirinya. Segera kita sebut di sini tiga nama para penulis gombal itu: Antonie C.A. Dake, Lambert J. Giebels dan Victor Miroslav Fic.
    Ketiga penulis asing itu telah mengangkat satu topik yang sangat penting. Mengkaji Indonesia modern memang tidak akan lengkap bila tidak membahas mendalam peristiwa G-30-S; satu peristiwa sensasional 1965 yang mendasar telah mengubah tuntas peta politik Indonesia, bahkan peta politik dunia. Topik itu patut masuk dalam kumpulan tulisan buku bermutu seperti Making Indonesia ini; tetapi cepat-cepat wajib kita nyatakan, bagi buku ketiga penulis tadi tempatnya paling tepat di keranjang sampah. Isi buku-buku itu jelas sheer nonsense, atau dalam bahasa tuan-tuan Antonie Dake dan Lambert Giebels: klinkklare onzin – semurni-murninya omong-kosong. “Fakta” dan “informasi” yang 100% produk abstraksi hasil rekayasa benak isi kepala mereka sendiri, mereka anggap, nyatakan dan perlakukan sebagai 100% konkret, nyata dan serba benar.
    Kita akan ikut-ikutan memerosotkan diri serendah telapak kaki bila menyediakan waktu di sini membahas isapan-jempol itu. Kebebasan menerbitkan buku apa pun dan oleh siapa pun kita selalu hormati, tetapi kita bertanya-tanya apakah maksud di balik pengedaran buku-buku seperti itu? Motif politik apa yang mau dicapai oleh penerbit bersangkutan? Kehadiran buku-buku itu memberi sumbangan besar pada kekisruhan penulisan sejarah, merusak kerangka berpikir (mind setting) inteligensia muda kita –- termasuk para jendral ABRI kita –- yang memang sudah selama tigapuluh tahun lebih dicekoki keseragaman berpikir sesuai kepentingan penguasa otoriter semata-mata. Buku-buku itu muncul ibarat paduan-suara, terencana diterbitkan berbarengan justru pada saat seluruh masyarakat era reformasi sedang keras menuntut “pelurusan penulisan sejarah”. Suatu usaha yang ngotot mau menerus-neruskan warisan manipulasi sejarah oleh jendral Suharto bersama sejarawan Orde Barunya, Nugroho Notosusanto.
     Kembali pada buku terbitan Cornell. Kita maklumi, himpunan sepuluh esai itu tidak akan dapat mencakup semua permasalahan penting yang dihadapi Indonesia, apalagi esai-esai itu diterbitkan 10 tahun yang lalu. Gus Dur misalnya melihat satu gap sebagai topik terlupakan apabila kita agak komprehensif mau menggambarkan konfigurasi politik Indonesia masa kini. Yang dimaksud Gus Dur, saham para pejuang kemerdekaan dari golongan Islam – secara khusus: para pemuda santri yang lewat berbagai badan dan lembaga membentuk barisan Hizbullah, suatu fenomena proses pembentukan organisasi militer di luar kelompok nasional. Tidak ada deskripsi yang mendalami persoalan sangat penting itu pada awal sejarah pembentukan Republik kita; apalagi menghasilkan penyelesaian yang bisa mewadahi konflik antara kaum santri-militer dan kaum militer non-santri. Akibatnya menjadi berkepanjangan sampai hari ini. Sekarang boleh dikatakan semua ormas dan parpol Indonesia punya barisan keamanan sendiri, walaupun resmi tidak memiliki senjata api akan tetapi barisan keamanan itu siap terorganisasi mampu mempraktekkan keterampilan militer. Masalah ini mutlak urusan dan tanggung-jawab Indonesia, tentu tidak kita tunggu para Indonesianis asing untuk membahasnya dan menawarkan penyelesaian problema yang sampai hari ini masih terlalu sering menimbulkan ledakan-ledakan kekerasan berdarah.
     Kita coba cari penyebab terjadinya kekurangan, kelemahan, bahkan sebutlah “kerancuan” dalam kebanyakan analisis tentang konfigurasi Indonesian politics, walau pun yang kita bahas di sini tidak langsung menyangkut sepuluh kajian dalam buku Making Indonesia ini.
    Titik berat kritik kita tidak tertuju pada para Indonesianis asing. Mereka tidak mesti kita anggap à priori salah, akan tetapi tesis-tesis mereka bisa berubah menjadi salah besar pada saat para intelektual kita menelan mentah-mentah tesis yang mereka konsumsi dari luar itu. Sungguh satu tragedi bagi bangsa, bahwa mayoritas intelektual kita semasa rejim Suharto tanpa kemandirian sedikit pun menjadikan uraian para pakar asing itu sebagai miliknya sendiri, dan menyebar-nyebarkannya lebih lanjut dalam kajian imajinasinya sebagai ilmiah dan kebenaran; padahal cukup banyak tesis para pakar asing itu tidak selalu akurat, atau bebas dari titipan konsep anti-komunis dalam perang-dingin yang sedang merajalela di dunia barat. Kerancuan dimulai dengan warisan pemikiran para ilmuwan Belanda-kolonial, misalnya bahwa Kebangkitan Kesadaran Nasionalisme Indonesia diawali oleh berdirinya gerakan sosial-budaya Jawa Boedi Oetomo 1908; bahwa Sarekat Dagang Islam berdiri karena sentimen anti-Cina. Dari sejarah Indonesia yang ditulis Belanda, peranan golongan muslim Indonesia terdorong ke belakang. Tidak tergambar sumbangan gerakan Islam yang melawan penindasan kolonial yang sebenarnya dalam beberapaa hal lebih dulu memulai daripada golongan nasionalis. Dalam penulisan sejarah, para ilmuwan kolonial sengaja menutupi kebangkitan kesadaran azas anti-kolonialisme yang digerakkan aktivis golongan Islam progresif. Mereka sampai-sampai dicap “Islam komunis”. Sumbangan golongan Islam ini berlangsung sepanjang sejarah kolonial modern, kemudian bersama gerakan kaum nasionalis bahu-membahu  memperjuangkan kemerdekaan tanah-air. Kerancuan “ilmiah” itu lantas menjadi-jadi setelah Republik kita berdiri berbarengan dengan awal pecahnya perang-dunia ideologi atau yang dikenal sebagai Perang Dingin.
    Tesis-tesis para ilmuwan barat telah ikut aktif membentuk kaum cendikia Indonesia. Dalam sejarah, kita melihat banyak inteligensia kita yang berada dalam naungan wilayah pengaruh barat, larut ke wawasan sosial-demokrasi yang sedang “in”. Hal itu wajar-wajar saja, tetapi sangat disayangkan mereka melebur diri dalam satu paket dengan politisi barat yang dalam konflik perang-dingan bersikap sangat anti-komunis. Dengan lembut sebutlah kubu itu “kelompok moderat konservatif” atau untuk mempertajam dan lebih gampang mengenalinya: kubu kanan Indonesia yang pro barat. Pihak barat Amerika-Inggris yang menamakan diri “kubu demokrasi” memberikan label kepada lawannya -– Sovyet Uni dkk –- sebagai kekuatan otoriter kubu komunis. Kubu kanan Indonesia yang cenderung pro barat lantas berlebih-lebihan mengendorse dan mengindentifikasi diri sebagai epigon-epigon loyal pada majikan dan idolanya. Situasi konfrontasi ideologi seperti itu merefleksi dan terus meruncing tajam dalam konfigurasi politik intern Indonesia modern, dengan catatan kubu kanan masih selalu dominan ketimbang kubu kiri.
     Mengamatinya dengan seksama, historis kita lihat ilmuwan barat yang umum berangkat dari lingkungan tradisi sosial-demokrasi telah meninggalkan jejak yang dalam pada lingkaran intelektual Indonesia. Wawasan sosial-demokrasi lingkaran universitas barat, konservatif maupun yang liberal –- dengan sendirinya juga para pendukung anti-komunis dalam perang-dingin –- menggarap Indonesia sebagai lahan subur untuk melahirkan, membesarkan dan mendukung kekuatan sejenisnya di kalangan inteligensia Indonesia. George Kahin sendiri pada saat menulis disertasinya –- sebuah karya standar semasa revolusi di Yogya 1948-1949 –- mengakui, bahwa sebenarnya telah terjadi ketimpangan, berat-sebelah, karena untuk nara-sumber dia terutama hanya berhubungan dengan “tokoh-tokoh PSI-Masjumi”, seperti Sjahrir, Soedjatmoko, Asaat, T.B. Simatupang, Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap. Sebagai ilmuwan jujur dan rendah hati, dia menyayangkan tidak sempat lebih luas menanggap pemikiran versi para pengikut Muso, Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, jend. Sudirman; kelompok Persatuan Perjuangan, para anggota partai Front Demokrasi Rakyat dll. lagi.
    Seperti sudah disinggung di atas, tesis serentetan Indonesianis barat itu tidak perlu à priori kita anggap salah. Tetapi celaka sekali kebanyakan cendikia Indonesia tidak kritis mengkonsumsi tesis dan analisis para Indonesianis itu, mereka malah menjadi epigon-epigon yang sangat menyedihkan. Kita semua tahu, ciri watak khas epigon di mana pun di dunia sangatlah lazim bila mereka menjadi pendukung fanatik, irasional, selalu manut overdosis kepada sikap politik “bos”nya.
    Kita tahu pasti ilmuwan seperti George Kahin berikut banyak siswa-didiknya tidak mempermasalahkan komunisme, para ilmuwan itu tidak memerlukan jadi anti-komunis atau pro-ideologi mana pun. Tetapi ciri khas epigon kubu kanan Indonesia mencolok sekali tanpa kecuali bersikap kebangetan anti-komunisnya, lantas juga otomatis kerdil, arogan menganggap diri paling pintar. Sebagai epigon, mereka menjadi lebih MacCarthy daripada MacCarthy sendiri.
    Begitulah gambaran umum inteligensia Indonesia berikut keba-nyakan perwira tinggi Angkatan Darat yang berat dipengaruhi pemikiran sosial-demokrasi konservatif, dan juga sangat parah terkontaminasi
MacCarthyism Suharto.
     Tesis klasik kaum Indonesianis tradisi sosial-demokrasi barat yang diterima umum, adalah ketika mereka melakukan periodisasi sejarah politik republik kita di kurun waktu 1945–1965. Banyak cendikia kita latah mengunyah-ngunyah kembali pola periodisasi itu sebagai kebenaran. Periode Soekarno mereka bagi dalam dua kategori: babak pertama periode demokrasi, tulen demokratis sesuai kriteria tradisi sosial-demokrasi barat berkat pemilu paling demokratis 1955. Babak kedua periode otoriter kediktaturan Soekarno gara-gara Bung Karno melancarkan konsep Demokrasi Terpimpin.
    Boleh-boleh sajalah. Analisis seperti itu tidak perlu dianggap keliru, akan tetapi kita anggap dangkal karena terlalu menyederhanakan dinamika intern Indonesia semasa. Analisis itu tidak menukik dalam sampai ke watak dan mekanisme kekuasaan yang sesungguhnya berjalan dalam kurun-waktu yang penuh gejolak itu. Di kurun-waktu itu beberapa kekuatan masyarakat bermain di atas pentas politik, tetapi tidak tajam diteliti siapa aktor sebenarnya yang efektif paling dominan pegang kekuasaan. Siapa berkuasa sesungguhnya? Analisis tajam akan menemukan jawabannya: Angkatan Daratnya Nasuton! Bukan Soekarno yang tanpa senjata cuma singkat berkuasa formal; bukan juga PKI, besar di atas kertas –- juga tidak bersenjata.
    Daniel S. Lev adalah seorang dari sedikit Indonesianis yang melihat kurun waktu Soekarno berbeda dari opini main stream yang berlaku. Minat Dan Lev pada Indonesia terutama terfokus pada tatanan hukum dan masalah-masalah militer yang dengan sendirinya mencakup issue Demokrasi Terpimpin. Pada intinya dia berpendapat bahwa Demokrasi Terpimpin sesungguhnya adalah konsep ABRI kreasi lihay jendral Nasution. Tesis Dan Lev itu ada titik-temunya dengan pendapat kita yang lebih cenderung merumuskan, bahwa di masa enam tahun terakhir Soekarno “berkuasa”, jelas terdapat dua konsep Demokrasi Terpimpin: konsep Nasution dan konsep Soekarno.
    Yang efektif berjalan dalam praktek adalah konsep Angkatan Darat Nasution. Dengan senjata di tangan, Angkatan Darat menjadi kekuatan sentral yang mampu mengendalikan kegiatan politik dan ekonomi Indonesia. Konsep Soekarno yang hanya presiden formal merupakan minoritas dalam perimbangan kekuatan politik konkret. Konsep Soekarno tidak pernah terlaksana sebagaimana yang direncana-kan oleh penggagasnya. Dia sudah ditumpas dengan kekerasan berdarah dalam masa embrionya berikut sekaligus konseptornya, sehingga tidak pernah ada kesempatan membuktikan bahwa konsep Demokrasi Terpimpin B.K. itu bermanfaat dan pada akhirnya akan menguntungkan rakyat. Sebaliknya konsep Demokrasi Terpimpin Nasution setelah pembantaian massal 1965, kiprah berpraktek sejadi-jadinya tanpa halangan apa pun, berkelanjutan dalam full swing di masa Suharto berkuasa, walaupun yang dipakai adalah label “Demokrasi Pancasila”. Begitulah Membangun Bangsa konsep Soekarno menjadi Membangun Kekuasaan konsep Suharto. Namun –- benar atau tidak benar –- analisis “periodisasi” oleh scholars barat itu menjadi berkah besar bagi kubu kanan Indonesia untuk memaki-maki Soekarno sebagai diktator dan menghujat kaum progresif sebagai komunis kaki-tangan PKI. 
Cornell Paper
    Butir lain tentang kajian politik intern Indonesia – ini kali tulisan seorang Indonesianis Australia –- adalah tulisan Herb Feith dari Monash University. Dia membedakan pimpinan politik Indonesia dalam dua kategori: the solidarity makers dan the administrators. Kita kenal Herb Feith sebagai ilmuwan jujur, sahabat baik Indonesia –- dia juga tidak usah dianggap salah. Yang lagi-lagi celaka, kubu kanan Indonesia memperlakukan tesis Herb Feith itu sebagai primbon kebenaran mutlak. Imajinasi mereka lantas menempatkan Soekarno dalam kategori the solidarity makers, type pemimpin agitator radikal yang cuma bisa berkoar-koar di rapat-rapat umum, mutlak bukan intelektual. Dalam kategori the administrators muncul citra Hatta dan Sjahrir, intelektual, moderat, rasional, nuchter, duduk di meja-tulis dengan tingkat-tingkat rak penuh buku di latar-belakang. Non-intelektual kontra intelektual sejati. Itu semua imajinasi realitas fiktif (zero!), tetapi mengejawantah dalam berbagai kebijakan politik Orde Baru dan analisis mass-media untuk mempengarahui opini publik mendesukarnoisasi Soekarno dari pentas politik Indonesia.  
    Kita sebaliknya yakin, Soekarno outspoken seorang intelektual!
    Tanpa ragu kita mengatakan Soekarno tidak kurang membaca buku, mungkin lebih banyak daripada Hatta dan Sjahrir bersama.Selain bergelimang dalam politik, Soekarno malahan juga seorang matematikus insinyur teknik, dan seorang pemikir filsafat Islam. Kelebihannya sebagai intelektual dinamis, dia bersedia aktif turun ke jalan dan tidak semata-mata berkontemplasi di belakang meja tulis. Walaupum dia sarat diilhami idea-idea Aufklärung barat, Soekarno sepenuhnya berdiri kukuh dengan kedua kakinya di bumi tanah-airnya. (Kutipan kata-kata Soebadio Sastrosatomo-ed).Bila kita kemukakan hal-hal ini, tidak sedetik pun kita melècèhkan Hatta-Sjahrir, sebab kita tegas menolak maneuver pecah-belah yang dipraktekkan kubu kanan Indonesia yang serius kejangkitan sukuisme tersembunyi.
    Kita juga tolak periodisasi kajian ilmuwan tradisi sosial-demokrasi barat tentang masa “demokrasi” dan masa “otoriter” di zaman Soekarno, sebab bagi kita kategori dua periode bukanlah “demokrasi” beralih ke “otoriterisme”. Betul ada dua periode tetapi sama sekali beda: pada awalnya Indonesia bebas mandiri, lantas Indonesia beralih penuh ke ketergantungan. Suharto sukses gemilang memulihkan kembali Indonesia menjadi negeri (setengah) jajahan.
    Kita pun menepis diskripsi stereotipikal pemimpin-pemimpin Indonesia, sebab tesis Herb Feith itu oleh kubu kanan dipakai hanya semata-mata untuk melècèhkan Soekarno dan mengkultuskan Hatta-Sjahrir. Dengan sendirinya kekuatan barat dalam perang-dingin yang sangat berkepentingan menjatuhkan Soekarno & PKI, aktif mendukung sikap kubu kanan Indonesia seperti itu. Pembedaan type pimpinan dan kekuatan politik Indonesia, bagi kita bukanlah antara the solidarity makers dan the administrators, bukan antara Soekarno dan Hatta-Sjahrir, melainkan antara the new emerging forces (nefo) dan the old established forces (oldefo). Walau pun saling beda pendapat – dan itu sangat wajar –- tanpa ragu kita melihat Sukarno-Hatta-Sjahrir-Tan Malaka-Aidit, tokoh-tokoh pendiri bangs yang sudah tiada, sebagai unsur-unsur the new emerging forces. Hatta-Sjahrir jelas menolak komunisme, tetapi kedua tokoh itu sekurang-kurangnya dalam satu butir penting sejalan dengan rekan-rekan politik lainnya: mandiri menolak ketergantungan ekonomi kepada kekuatan kapital imperialisme. Sebenarnya melècèhkan Soekarno dan menyanjung-nyanjung Hatta sangat merugikan perjuangan dan cita-cita Bung Hatta sendiri. Kita masih ingat bagaimana kubu kanan sering memun-culkan metafora Hatta yang dalam biduk kecil dengan arif-bijaksana mendayung antara batu-batu karang dan dua gelombang besar adikuasa ya, begitulah klaim sebagai penggagas politik bebas-aktif. Padahal Indonesia sedang berada sekapal sepelayaran dengan kekuatan reaksioner barat, sang pemenang perang-dingin. Juga kontinu digambarkan betapa Konsep Koperasi Hatta merupakan konsep ekonomi paling jitu, sehingga seluruh rakyat hidup senang serba sejahtera, padahal konsep koperasi Hatta itu nihil. Sampai detik ini pun konsep Hatta tidak berwujud sama sekali sebagai system masyarakat –- yang jelas dalam kenyataan adalah kiprahnya konsep para ekonom Indonesia jebolan Berkeley.
    Kerancuan persepsi politik seperti itu berakar pada kebiasaan kubu kanan berpikir ilusif. Kubu kanan lelap dalam mimpi hidup di wilayah “das sollen” bukan “das sein”, mereka berhasil dengan konsep koperasi Hatta mewujudkan masyarakat adil makmur melimpah ruah bagi seluruh rakyat dalam imajinasi. Akibatnya kubu kanan tidak memperjuangkan realisasi konsep politik bebas-aktif dan konsep koperasi Bung Hatta. Yang gigih memperjuangkannya malah kubu kiri Soekarno – tetapi kubu kanan menilai Soekarno selalu di wilayah “das sein”, bukan “das sollen”, suatu cara berpikir yang sudah sirna sense of realitynya.
    Sekarang dapat dibayangkan betapa mereka muskil menghadapi dilema besar –- apakah konsekuen tetap militan anti-komunis sesuai kepentingan “majikan yang sangat cinta demokrasi”? Apakah juga konsekuen mengikuti Bush, Rumsfeld, Condoleeza Rice memburu terorisme ke segala penjuru dunia? Seporsi kebingungan bagi orang-orang yang tidak punya sikap mandiri.
     Bagi kita mengkaji Indonesia modern seobjektif mungkin di bidang apa pun, tidak bisa dilakukan tanpa lebih dulu mengoreksi kerancuan kerangka berpikir; kita harus berangkat dari kerangka berpikir yang benar. Tidak bisa tanpa membebaskan diri dari ideologi-ideologi perang-dingin karena kedua pihak pada hakekatnya mewakili the old established forces. Tidak bisa juga tanpa bersikap mandiri berdiri kukuh dengan kedua kaki di bumi tanah-air, dan mutlak hanya ber-orientasi kepada kepentingan rakyat Indonesia sendiri.
    Di pentas politik masa kini, kelompok mayoritas oldefo membaur dengan tokoh-tokoh nefo minoritas. Kita perlu meminjam mikroskop canggih untuk memilah-milih mengenali dengan tajam mana nefo sejati, mana oldefo berjubah baru, karena bekerja bagi kepentingan rakyat mutlak harus kita bersekutu, memobilisasi dan membangun persatuan antar sesama kekuatan the new emerging forces.Catatan khusus perlu dikemukakan tentang perlunya kita melihat jeli siapa-siapa berdiri di samping depan-belakang kita di dalam “era reformasi” sekarang ini. Tegas dan prinsipiil kita hujat rejim Orde Baru Golkarnya Suharto, karena rejimnya telah mengobrak-abrik fondasi nilai-nilai Indonesia sepanjang dia berkuasa. Apa yang sering kita dengar tentang “jangan melupakan jasa-jasa yang telah disumbangkan Suharto”, semua itu sirna, ludes, oleh keserakahan tak kenal batas: sumber kekayaan dan kebebasan Indonesia tidak kepalang-tanggung sudah digadai demi kantongnya sendiri berikut para kroninya. Namun harus dikatakan di sini, jangan berpikir lamban, statis, beku.Situasi harus selalu dilihat dalam proses yang terus bergerak, tidak mandek. Jangan anggap kelompok, organisasi, perorangan yang pernah menyandang label “progresif-revolusioner”, otomatis masih tergolong the emerging forces. Sejarah sebagai proses selalu juga membawa mutasi-mutasi sosial. Kemarin revolusioner, tidak otomatis hari ini revolusioner.  Sebalik-nya Orde Baru Suharto sebagai wawasan, sebagai institusi, semasa Angkatan Darat berpolitik praktis menguasai negara, itu prinsipiil salah, tetapi perorangan Orde Baru dan ABRI jangan gebyah-uyah dicap “kontrev” atau dikenakan label-label lain semacamnya. Jangan otomatis dianggap musuh yang semua harus disingkirkan. Seluruh hidup kemasyarakatan terlibat proses gerak, dengan sendirinya juga di kubu itu terjadi proses mutasi-mutasi sosial. Kita tidak berbicara kuantitas di sini, tetapi pasti ada unsur-unsur di dalam kubu Orde Baru, terutama generasi mudanya, sudah ada yang sadar politik, matang dan sadar mendistantasi diri dari wawasan Orde Baru. Pernyataan ini juga berlaku dalam penilaian kita pada ABRI. Mungkin saja masih  minoritas kecil, tetapi pasti ada perwira-perwira  ABRI/Angkatan Darat pintar dan cerdas yang juga sudah lama bangkit kesadaran politiknya dan menjauh dari wawasan pseudo-demokrasi Orde Baru.
    Generasi muda yang meninggalkan perilaku dan wawasan Orde Baru, unsur-unsur ABRI/Polisi yang terbuka atau diam-diam menjauhi dosa-dosa politik Orde Baru, itulah yang kita maksudkan dengan sekutu. Kita akan melakukan kesalahan fatal bila menganggap mereka musuh permanen yang harus dilawan. Malahan justru dengan unsur-unsur itulah perlu dibangun kubu persatuan the new emerging forces. Ini perlu dan penting, bila serius mau dalam front kebersamaan mereform masyarakat mencapai perubahan sosial-politik yang berarti. Maka tugas awal melaksanakan semua itu: tinjau ulang penilaian lama. Semua pihak, orpol, ormas, militer, aparat sipil benahi kerangka berpikir! 
    Buku Menjadikan Indonesia menuntut kita berpikir dialektis, mengasah otak. Menyadarkan kita terus-menerus tetap tegak pada realitas yang ada, menjauhkan diri dari berpikir idealisme ilusif, mawas-diri think and rethink pada kekeliruan masa lalu. Kehadiran minoritas kiri dan mayoritas kanan, akan otomatis berimbas pada kebijakan ekonomi-keuangan negara yang pada ujung-ujungnya bisa menjadi keberuntungan yang membawa bahagia, atau sebaliknya menjadi beban berat bagi rakyat. Eksistensi nefo-kiri dan oldefo-kanan akan terus menantang kita menjatuhkan pilihan yang benar.
    Situasi politik tanah-air masih amburadul, tetapi kita tidak di jalan buntu tanpa arah. Bung Karno, founding father, bapak pendiri bangsa, mewariskan pusaka sakti, asset bangsa tiada tara nilainya: aktif berpolitik-bebas tetapi selalu memihak kepentingan rakyat; kukuh melaksanakan ekonomi-berdikari berazas koperasi agar membiasakan pemerintah Indonesia mana pun tidak menjadi pengemis utang; tampil berpribadi mandiri, anggun bermartabat dalam pergaulan antar-bangsa.  
    “Dari Membangun Bangsa menjadi Membangun Kekuasaan. Dari Kemandirian ke Ketergantungan” ; begitulah prestasi Suharto bersama supporters politiknya selama 32 tahun. Tugas kita sekarang Kembali Membangun Bangsa, berdikari lepas dari ketergantungan!  
    UUD 1945, Pancasila, Trisakti, menjadi instrumen ampuh yang tersedia untuk berjaya sebagai negeri adil-sejahtera bagi seluruh rakyat. Tetapi perangkat wawasan sosial-politik yang dahsyat itu akan sia-sia dan cuma menjadi fosil tidak berdaya, apabila motor penggeraknya tidak dibimbing kecerdasan ilmiah dinamis dan kreatif, mampu mengantisipasi setiap perkembangan baru berazas semangat nefo yang tinggi. Di atas segalanya: mandiri berdiri di pihak yang benar, dinamis merespons sikon aktual –- internal & global –- dalam usaha implementasi wawasan sosial-politik para pendiri bangsa kita. Terus mandiri berorientasi ke masa depan. Revolusi Belum Selesai.
    Tidak gampang meraihnya, tetapi pintu keberhasilan akan terbuka asal jangan berilusi. Jangan pernah henti berusaha mewujudkan ke-adilan dan kesejahteraan bagi rakyat, sebab berjuang bagi kepentingan rakyat tidak pernah ada akhirnya.  
    Sebagai penutup ingin kita kembali ke buku “Making Indonesia”,persem-bahan para penyumbang tulisan kepada mentor mereka George McT Kahin demi menghormati jasa-jasa peninggalannya yang tak ternilai. Mengenal pribadi profesor Kahin, kita pun hormat menundukkan kepala bagi ilmuwan Amerika ini yang melahirkan pakar-pakar Indonesianis cerminan ciri-ciri dirinya: bermartabat intelektual sejati, ilmuwan dengan komitmen tinggi pada keadilan; mengerti nasionalisme Indonesia dan aspirasi revolusi 1945 yang kuat mendambakan merdeka dan mandiri.
    Kahin dan para ilmuwan pengikut jejak-langkahnya, seperti dising-gung sebelumnya, tidak merasa perlu menjadi anti-komunis atau pro ideologi apa pun, tetapi dia tidak bungkam pada saat pemerintahnya sendiri melakukan ketidakadilan dan kebrutalan politik. Tidak seperti intelektual Indonesia yang kebanyakan pada tiarap saat di negerinya rejim Orde Baru melancarkan pembantaian dan pemenjaraan massal.
    George Kahin juga terkenal semasa masih ilmuwan muda sudah gigih membela warga Amerika keturunan Jepang yang secara kejam dinternir oleh pemerintah Amerika di awal perang dunia kedua; dia juga sejak semula terbuka menentang pemerintahnya melibatakan diri dan meng-akselerasi perang Vietnam. Selain disertasinya mengenai revolusi Indonesia, Kahin menulis buku berjudul “Subversion as Foreign Policy”, membongkar keterlibatan politik luar negeri Amerika mengaduk-aduk urusan intern Indonesia semasa Soekarno.
     Ideal sekali bila inteligensia kita, politisi, wartawan, sastrawan, polisi dan ABRI kita, menteladani moral dan tindak-laku ilmuwan sejati ini yang mengabdi penuh pada ilmu, tetapi tidak steril bila sudah berurusan dengan keadilan yang diinjak-injak aparat kekuasaan.


****
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 7:58 PM