Anugerah
Fukuoka
Sambutan
Pramoedya Ananta Toer,
pemenang
utama Fukuoka Asian Gultural Prize 2000
Yang terhormat perwakilan Fukuoka ,
Yang terhormat staf Pusat
Kebudayaan Jepang,
Yang terhormat seluruh dan
semua hadirin,
Yang terhormat wakil penerbit
Hasta Mitra.
Hari ini adalah haribesar yang
ke sekian kalinya bagi saya pribadi sehubungan dengan pengumuman resmi dan
terbuka tentang dianugerahkannya Grand Prize Fukuoka di bidang sastra kepada
saya.
Terimakasih
pada Dewan Juri Anugerah Fukuoka dan warga Fukuoka yang ikut menentukan pilihan
tersebut.
Grand
Prize di bidang sastra! Justru karena itu pada kesempatan ini saya tidak akan
bicara tentang sastra. Grand Prize sastra itu sendiri sedikit‑banyak sudah
menerangkan bahwa di bidang sastra sudah ada penilaian adanya titik final. Jadi
pada kesempatan ini saya akan bicara soal lain, soal perjalanan hidup saya
pribadi dalam hubungannya dengan Jepang.
Sudah sejak di SD saya mengenal
Jepang melalui kehidupan praktis. Saya mengenal Jepang dengan laku‑perbuatan
yang mengalahkan armada Rusia pada 1904, yang berakibat di Hindia Jepang diakui
sederajat dengan orang Eropa, dan pada gilirannya membangkitkan nasionalisme
Tiongkok. Kelanjutannya lagi: kebangkitan nasionalisme Indonesia .
Sebaliknya
juga sesudah sejak di sekolah dasar kami biasa mendengar ejekan tentang Jepang:
tidak ada originalitas, bangsa penjiplak Barat. Dan apa nyatanya? Waktu tahun
30an dunia dilanda krisis, malaise, kata orang waktu itu, atau jaman meleset, orang-orang
pergerakan menamainya, Jepang justru mengeksport ke Indonesia bahan pakaian yang
terjangkau oleh lapisan rakyat bawah: 71/2 sen per elo, sedang bahan tekstil import dari
Eropa, terutama Belanda: 23 sen per elo.
Kebangkitan
Jepang di bidang industri dengan mendasarkan pada kerajinan rumahtangga, dengan
hasil gemilang telah menarik perhatian para tokoh pergerakan Indonesia .
E.F.E. Douwes Dekker, bapak kepartaian Indonesia memerlukan berkunjung ke
Jepang dan menyebarkan bahasa Jepang melalui Ksatrian Instituut di Bandung.
Juga Drs. M. Hatta yang di Jepang malah mendapatkan gelar “Gandhi of Java”.
Tokoh besar gerakan sosial, Dr. Soetomo, di Jepang benar‑benar terpukau oleh
kemajuan, yang dalam kesederhanaannya mampu menandingi Barat di bidang apapun,
sehingga ia terbitkan rekaman kunjungannya ke Jepang.
Juga
sejak di SD sudah saya ketahui adanya sassus ramalan Jayabaya, bahwa penjajahan
Belanda akan dihalau oleh cebol (dibandingkan dengan postur orang Barat)
berkulit kuning bermata sipit, dan sassus itu tanpa memberi kemungkinan lain
langsung menunjuk Jepang. Suatu keberuntungan bahwa semasa di SD itu saya
mendapat kesempatan membaca sendiri kitab Jangka Jayabaya dalam
bahasa Jawa, bahasa Jawa baru, yang tidak menggunakan bahasa Jawa kuno sepatah
kata pun. Padahal dalam matapelajaran sejarah diterangkan bahwa Jayabaya, Raja
Panjalu, memerintah dari tahun 1057‑1079 Saka atau 1135‑1157 Masehi. Didorong
oleh harapan adanya pergantian kekuasaan, orang cenderung mempercayai ramalan
tersebut. Apalagi menurut ramalan tersebut penguasa baru dari utara itu hanya
seumur jagung atau tiga setengah bulan memerintah.
Memasuki
usia dewasa sekali lagi saya mendapat keberuntungan membaca karya India tentang
pembagian jaman dan ciri‑cirinya. Nampaknya Jangka Jayabaya merupakan
adaptasi belaka dari pikiran India
ini. Dan mengapa dipergunakan nama Jayabaya? Jawahannya mudah: Ia adalah raja dalam sejarah Jawa yang
terutama masyhur karena memerintahkan suatu kelompok penyair untuk menyusun
kakawin (syair) Bharatayudha, sedang penyelesaiannya dilakukan oleh Mpu Sedah. Dalam sastra Jawa
Bharatayudha, kisah perang terakhir dan terbesar antara Pandawa dan Kurawa,
terutama sebagai epos pewayangan.
Ternyata
ramalan seumur jagung kekuasaan Jepang bukan tiga setengah bulan tetapi tiga
setengah tahun. Ramalan tentang terhalaunya kekuasaan Belanda oleh Jepang dalam
buku Jangka Jayabaya ini kemudian saya anggap sebagai karya inteligen dalam membantu
mempersiapkan perang Asia Timur Raya atau Dai Tooa no Senso. Hanya suatu
anggapan lho!
Tanpa
disadari dunia pergerakan Indonesia
yang sudah jenuh dengan penjajahan Barat/Belanda, mulai memperhatikan Jepang,
apalagi setelah Jepang membuka tangannya menerima para pelajar Indonesia .
Dengan pecahnya Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya suasana politik di Indonesia
berubah cepat. Orang melihat Jepang sebagai kekuatan baru yang bakal menghalau
penjajahan Barat dari bumi Indonesia .
Dan itu bukanlah tinggal jadi fantasi. Dengan perbuatan nyata Jepang memang
menghalau penjajahan Barat dari Asia Tenggara. Sebagian politisi meragukan
kekuasaan Jepang akan lebih baik daripada Barat. Dalam pembuangannya di Banda
Neira Hatta memberi pernyataan, lebih baik mati berdiri daripada di bawah
Jepang. Sjahrir dalam pembuangan yang sama juga mengeluarkan pernyataan senada
itu. Juga Bung Karno dalam pernyataannya di pembuangan di Bengkulu. Hatta dan
Sjahrir kontan dibebaskan dari Banda Neira dan dipindahkan ke Sukabumi, Jawa.
Dan Bung Karno? Kalau dia tidak, sergah Pemerintah Agung Hindia Belanda atau
Raad van Indië. Jadi balatentara Jepang yang menyerbu Sumatra ,
yang membebaskan Bung Karno dari pembuangannya di Bengkulu, dan membawanya ke
Jawa.
Sampai
sekarang belum diketahui perjanjian kerja sama antara Bung Karno dengan
pemerintah pendudukan Jepang, sedang kita tahu sebelum invasi Jepang Bung Karno
juga anti militeris‑fasis Jepang. Namun dari kenyataan yang hidup dapat
diketahui, kerjasama itu dipergunakan oleh Bung Karno untuk melancarkan
pendidikan politik anti‑imperialisme Barat pada rakyat Indonesia . Dan
tanpa menyebut sumbernya ia kutip ramalan masyhur itu: bahwa di mana matarantai
imperialisme internasional itu putus, di sanalah negeri jajahan itu bisa
merdeka.
Memang
banyak kerusakan akibat pendudukan militer Jepang, karena semua negeri yang
didudukinya diharuskan ikut membiayai perangnya. Setiap ada rapat raksasa di Jakarta waktu Bung Karno
memberikan pendidikan politik saya selalu hadir. Kemudian ternyata pendidikan
politik itu memudahkan proses waktu matarantai imperialisme internasional putus
di Indonesia, dan pekik merdeka bergema‑gema di seluruh tanahair.
Menjelang
kekalahan Jepang pihak Jepang menjanjikan kemerdekaan pada Indonesia “di
kelak kemudian hari” (ini kata‑kata dalam bahasa Indonesia dari pihak Jepang
sendiri). Banyak kaum intelektual Indonesia angkat hidung secara
sinis. Apa nyatanya kemudian? Pihak Angkatan Laut Jepang, di sini diwakili oleh
Laksamana Muda Maeda yang turun tangan membuka jalan untuk terlaksananya
pengucapan Proklamasi Kemerdekaan oleh Soekarno‑Hatta.
Bukan
sampai di situ saja perbuatan nyata Jepang. Tiga bulan setelah Proklamasi
Kaigun, Angkatan Laut Kerajan Jepang menyerahkan persenjataan dengan langsung
dan melalui pertempuran semu kepada para pemuda di Surabaya sehingga memperlancar revolusi
bersenjata menghadapi imperialisme Belanda‑Inggris dengan tentara bayarannya
Gurkha dan Sikh. Selama kemerdekaan nasional kita Jepang praktis selalu
mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan pada saat mengalami kesulitan,
terutama dalam musibah bencana alam.
Saya percaya hubungan antara Jepang dan Indonesia dapat lebih mesra dan
manusiawi sesuai dengan harkat kita semua sebagai manusia.
Masih
ada satu lagi tindakan nyata Jepang semasa pendudukannya di Indonesia yakni
pelarangan penggunaan bahasa musuh‑musuhnya, Belanda dan Inggris. Untuk
membantu menyediakan kata ganti dan semua istilah di semua bidang bahasa
Inggris dan Belanda Jepang membikin Komisi Istilah yang memiliki kewibawaan
dari payungan kekuasaan militer. Pada masa ini bahasa Indonesia berkembang
sesuai yang diharapkan, dan hanya selama pendudukan militer Jepang. Begitu
Jepang pergi bahasa Indonesia merosot kembali pada keadaan tahun 20‑an dan 30‑an,
dan begitu terus sampai sekarang. Praktis saya memang ikut menghayati hubungan
Jepang-Indonesia, kecuali yang berlangsung dalam kurun 30 tahun awal abad 20.
Pada kesempatan ini saya perlu
menyatakan kegembiraan saya yang luarbiasa. Dan bukan tanpa alasan. Nasion dan
Negara Jepang terutama untuk saya pribadi adalah sumber inspirasi yang tak
kunjung kering. Laku, perbuatan, amal, yang jadi sumbernya. Karenanya Grand
Prize yang akan dianugerahkan oleh Fukuoka Asian Culture Prize Committee kepada
saya terasa sebagai anugerah yang pas, yang sewajarnya, seakan Jepang dan
Komite Fukuoka memahami pandangan saya, literer maupun politik.
Terimakasih.
*****