Soekarno adalah Indonesia
Indonesia
adalah Soekarno
Soebadio Sastrosatomo
Sekitar puluhan tahun yang lalu, Bung Karno memperkenalkan
satu istilah baru. Marhaenisme. Terminologi ini diambil dari nama
seorang petani kecil di daerah Priangan, yaitu desa Cigereleng, di bagian
selatan dari Bandung.
Mengapa memakai nama Marhaenisme?
Bung Karno memakai nama itu setelah melalui penelitian yang lama dan
mendalam, beliau menemukan bahwa proses pemiskinan rakyat Indonesia adalah
akibat adanya berbagai sistem eksploitasi (penghisapan) yang dilakukan oleh
berbagai sistem kekuatan pula terhadap rakyat Indonesia. Dari studinya mengenai
sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia,
Bung Karno menemukan bahwa pada masa kerajaan-kerajaan berkuasa di negara kita,
sebagian besar rakyat Indonesia
dieksploatir oleh sistem feodalisme. Kemudian tatkala penjajah Eropa datang ke
negeri kita, maka merekalah yang melanjutkan penindasan atau pengeksploatasian
itu. Jika raja-raja mengeksploatir rakyat Indonesia
dengan sistem feodalisme, maka kaum penjajah mengeksploatir rakyat Indonesia
dengan apa yang kita kenal sebagai sistem imperialisme. Sistem imperialisme itu
sendiri lahir dari tatanan kapitalisme yang sejak abad ke-16 mulai berkembang
di Eropa. Begitulah hasil yang ditemukan Bung Karno tentang sebab-sebab
kemiskinan rakyat Indonesia,
melalui studi yang bertahun-tahun.
Sebagai lazimnya, suatu penelitian memerlukan metode analisa. Di sini
Bung Karno menggunakan ilmu pengetahuan Marxisme sebagai metode analisa, yang
dalam kata-kata Bung Karno disebut “pisau analisa”. Meskipun Bung Karno
mempelajari Marxisme, sehingga dapat menggunakan metode itu untuk menganalisa
keadaan yang ada di Indonesia, beliau bukanlah seorang komunis, sebab ilmu
Marxisme sebagaimana difahami oleh Bung Karno, tidak langsung beliau terapkan
di sini. Bung Karno terlebih dahulu mengamati, mempelajari susunan masyarakat,
terutama kultur Indonesia,
dan membandingkan dengan susunan masyarakat serta kultur masyarakat Eropa, di
mana Marxisme itu lahir. Jika di Eropa Marxisme itu melandaskan basis
perjuangannya pada kaum proletar, yakni kaum buruh yang tidak memiliki
modal; maka bagi Indonesia Bung Karno menjadikan rakyat Indonesia yang
dimelaratkan oleh sistem imperialisme tadi sebagai basis perjuangannya. Dan
mereka yang dimelaratkan oleh sistem imperialisme itu adalah orang-orang kecil.
Si Marhaen itu sendiri, seperti sering dituturkan oleh Bung Karno (juga
diuraikan oleh Cindy Adam dalam buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”)
adalah seorang petani kecil yang bernama Marhaen. Menurut Bung Karno, basis
kekuatan perjuangan rakyat Indonesia
melawan imperialisme itu, harus datang dari mereka yang dimelaratkan oleh
sistem tersebut. Semua golongan dalam masyarakat Indonesia yang dimelaratkan oleh
sistem imperialisme itulah yang dirumuskan Bung Karno sebagai kaum Marhaen.
Jadi marhaenisme adalah isme-nya kaum Marhaen. Marhaenisme merupakan doktrin
perjuangan yang menyatukan seluruh potensi rakyat Indonesia yang serba kecil itu,
untuk menumbangkan tatanan kapitalisme, yang melahirkan imperialisme dan
kolonialisme.
Perlu saya ulang kembali, bahwa Bung Karno menggunakan Marxisme hanya
sebagai pisau analisa untuk membedah problematik sosial. Ajaran Marhaenisme
yang diutarakan Bung Karno berbeda dengan Marxisme di Eropa yang menggunakan
proletariat sebagai basis gerakannya. Dengan kata lain, Marhaenisme dilahirkan
dalam suasana agraris, di mana masyarakatnya tertindas, dieksploatir oleh
imperialisme, sedangkan proletariat adalah produk budaya kapitalis, di mana
proses industrialisasi yang dimonopoli kaum modal mengeksploatir kaum pekerja.
Tegasnya, Marxisme membela kaum pekerja yang dieksploatir oleh kaum modal
(kapitalis), sedangkan Marhaenisme membela si Marhaen yang dimiskinkan akibat
adanya hubungan pergaulan yang imperialistik. Oleh karena itu, jika kaum Marxis
menyerukan “Hai kaum proletar bersatulah, engkau tidak akan kehilangan sesuatu
apa pun kecuali rantai belenggumu!”, maka Bung Karno menyerukan “Hai seluruh
rakyat Indonesia
bersatulah dan berjuanglah untuk memperoleh kemerdekaan!”
Mengapa persatuan seluruh rakyat Indonesia yang dijadikan
landasan utama oleh Bung Karno untuk memperjuangkan kemerdekaan?
Hal ini berdasarkan pengetahuan Bung Karno pada sejarah pergerakan
bangsa Indonesia,
bahwa berbagai perlawanan yang sifatnya sporadis, terpisah-pisah dan
kedaerahan, selalu berhasil dipatahkan oleh Belanda. Di sini tampak bagaimana
pentingnya penggunaan analisis pengetahuan modern untuk melawan imperialisme.
Dalam hal ini Bung Karno berhasil melakukan dengan baik, hingga tepat jika beliau
menyatakan dirinya sebagai “Penyambung Lidah Rakyat”.
Mengapa Bung Karno mampu menjadi penyambung lidah rakyat?
Kita tahu, Bung Karno selain memahami ilmu pengatahuan modern untuk
menyusun kekuatan dan menggunakan kekuatan itu, maka beliau juga memahami sejarah
dan sosio-kultural Indonesia.
Berbeda dengan Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta yang lama bersekolah di luar
negeri, yang menyebabkan pengenalan mereka terhadap sosio-kultural Indonesia
agak kurang, maka Bung Karno memahami benar sosio-Kultural rakyat Indonesia.
Misalnya beliau sering – dalam kampanye membangkitkan kesadaran politik rakyat
– menyebut-nyebut ramalan Joyoboyo, demikian juga penguasaan dan penafsirannya
dengan pasti tentang tamsil Ratu Adil. Apalagi Bung Karno juga menguasai cerita
pewayangan sehingga juga memahami betul karakteristik rakyat Indonesia.
Itulah sebabnya mengapa Bung Karno mengatakan supaya perjuangan kita hendaknya
“memikul dan terpikul oleh natuur”, oleh alam Indonesia.
Ini berbeda dengan kaum intelektual lain, yang pada saat itu lebih
cenderung menguasai ilmu pengetahuan modern (Barat) semata, sementara mereka
kurang menguasai sejarah dan sosio–kultural bangsanya sendiri. Akibatnya
banyak pemikiran dari kaum intelektual ini yang kurang dimengerti oleh rakyat.
Hal-hal itulah yang menimbulkan kesalah-fahaman, baik dalam visi maupun dalam
praktek di lapangan. Beruntunglah kita, karena pemikiran rasional Mohammad
Hatta dan Sutan Sjahrir, dalam paduan yang isi-mengisi, bersuasana
ke-Indonesian yang khas. Hal itu bisa terwujud karena mereka semua adalah
orang-orang yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air yang sangat
mereka cintai.
Pemikiran Bung Karno yang bertolak dari ilmu pengetahuan modern, yang
berpadu dengan karakteristik Indonesia dan mewujud pada satu doktrin
perjuangan, menyebabkan saya berpendapat bahwa Soekarno adalah Indonesia
dan Indonesia adalah Soekarno. Sebab doktrin perjuangan yang
diformulasikan Bung Karno itu mencerminkan karakteristik bangsa kita, yang
memikul dan terpikul oleh natuur Indonesia.
Sebagai seorang pejuang dan pemimpin yang rasional, Bung Karno telah
berhasil merumuskan satu doktrin perjuangan, yang beliau namakan Marhaenisme.
Paham ini nyata mampu menyatukan segenap potensi rakyat Indonesia dalam
menumbangkan imperialisme. Pengenalannya sebagai pemimpin terhadap
karakteristik Indonesia
sedemikian besar, sehingga Bung Karno dapat menumbuhkan mitos yang dipercaya
oleh masyarakat bahwa “orang cebol hanya seumur jagung datang di tanah Jawa”.
Orang cebol itu jelas merujuk pada kekuasaan Jepang. Di samping kepercayaan
masyarakat seperti itu, Bung Karno juga melakukan studi ke depan, dan
berkesimpulan, bahwa bila terjadi perang di Lautan Teduh, kekuatan Jepang tidak
sebanding dengan kekuatan lawan-lawannya. Jadi mitos di kalangan orang Jawa,
yang percaya bahwa Jepang hanya tahan seumur jagung, serta pandangan futuristik
visioner yang menyimpulkan kekuatan Jepang tidak sebanding dengan lawannya,
menyebabkan Bung Karno melakukan siasat bekerja sama dengan Jepang.
Menurut pendapat kalangan intelektual yang telah menimba pengetahuan
dari Barat, mitos atau kepercayaan semacam itu tidak rasional, dan sedikitpun
tidak bermanfaat bila kita mempercayai dan menggunakannya. Oleh karena itu,
tatkala Bung Karno-Bung Hatta dan Sutan Sjahrir mengadakan musyawarah segera
setelah Jepang menduduki Indonesia untuk menyusun siasat menghadapi Jepang,
Sutan Sjahrir sebagai orang rasional berpendidikan Barat berikut beberapa
pengikutnya – di antaranya saya – tidak mau bekerja sama dengan Jepang. Kami
lebih setuju melakukan perlawanan terhadap Jepang sebagai penjajah dengan
berjuang di bawah tanah. Berjuang di bawah tanah dengan sendirinya tidak
kelihatan di permukaan dan juga tidak dikenal oleh masyarakat. Akibatnya dalam
kancah perjuangan yang menentukan nasib bangsa itu, Sutan Sjahrir dan
kelompoknya kurang dikenal rakyat. Sebaliknya Bung Karno dan Bung Hatta, yang
memilih taktik dan siasat bekerja sama dengan Jepang bukan sekedar dikenal oleh
rakyat, malah mereka diakui rakyat sebagai pimpinan. Itu adalah karena kecerdikan
Bung Karno dan Bung Hatta dalam memanfaatkan segala sarana yang disediakan
Jepang untuk mendidik rakyat, terutama generasi muda agar mereka memiliki
kesadaran politik. Bung Karno dan Bung Hatta sanggup memanfaatkan fasilitas
Jepang itu untuk menggembleng ribuan pemuda Indonesia di bidang keprajuritan,
seperti antara lain dilakukan di lingkungan PETA.
Memang taktik dan siasat untuk bekerja sama dengan Jepang itu membuat
pihak musuh (Barat) menganggap Bung Karno dan para pemimpin lain dalam PUTERA (Pusat
Tenaga Rakyat) adalah boneka Jepang. Tuduhan seperti itu sebenarnya tidak
seberapa hina dibanding dengan kenyataan atau keuntungan yang diperoleh bangsa Indonesia.
Sebab dengan taktik dan siasat tadi, Bung Karno berhasil menyiapkan beberapa
persyaratan yang sangat vital untuk menyongsong kemerdekaan. Dan memang,
kenyataan membuktikan bahwa ramalan dengan tamsil “orang cebol hanya seumur
jagung menguasai tanah Jawa”, menjadi peristiwa yang konkret pada tahun 1945,
setelah Amerika Serikat yang tergabung dalam pasukan sekutu, menjatuhkan bom
atom di Horoshima dan Nagasaki. Tidak pernah diduga, bahwa Amerika akan
menjatuhkan bom atom di Jepang. Bagaimana pun, ledakan bom atom itu telah
menyebabkan Kaisar Hirohoto mengeluarkan pengumuman menyerah tanpa syarat
kepada sekutu. Pengumuman menyerah oleh Kaisar Hirohito pada 15 Agustus 1945
yang sedemikian tiba-tiba, telah menyebabkan keterkejutan pada balatentara
Jepang terutama di Indonesia.
Pihak sekutu menetapkan bahwa untuk wilayah Indonesia, pasukan Inggrislah
yang akan mengurus pelaksanaan penyerahan Jepang itu. Ini membuka vacuum of
power, kekosongan kekuasaan di Indonesia, karena pasukan Inggris yang terdekat
dengan Indonesia berada di India atau Australia, sehingga diperlukan waktu
lebih satu bulan untuk mengirimkan pasukannya itu ke wilayah Indonesia. Suasana
vakum kekuasaan lebih satu bulan itu dengan amat efisien dimanfaatkan oleh Bung
Karno dan Bung Hatta serta para pimpinan Indonesia lainnya untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia yang dilangsungkan pada 17 Agustus 1945.
Dalam persiapan dan pelaksanaan proklamasi itu, Bung Karno-Bung Hatta dibantu
sepenuhnya oleh semua potensi yang ikut berjuang waktu itu, baik yang
terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi.
Hari-hari pertama berdirinya negara Republik Indonesia, diwarnai dengan
suasana dinamika perjuangan yang sangat tinggi. Berbagai aksi pemuda
bermunculan di mana-mana, termasuk penghimpunan senjata dan penyusunan pasukan,
dan juga penghimpunan massa. Para pemuda dengan semangat yang meluap-luap dan
tidak sabar, mendesak Soekarno-Hatta secepatnya mengambil alih kekuasaan dari
Jepang. Salah satu inisiatif pemuda ketika itu adalah rapat raksasa 19
September 1945 di lapangan Ikada-Gambir (lapangan Monas sekarang) yang
dimaksudkan sebagai manifestasi eksistensi Republik Indonesia yang baru berdiri
guna mempercepat pengalihan kekuasaan.
Ternyata Bung Karno mampu menyalurkan semangat pemuda tanpa harus
menimbulkan konflik yang tidak perlu dengan Jepang. Beliau datang dan tampil
berpidato di lapangan Ikada, di depan ratusan ribu massa yang semangatnya
nyaris tak terkendali. Bung Karno minta supaya rakyat mendukung dan taat kepada
pemerintah Republik Indonesia yang baru terbentuk itu. Dan sebagai konsekwensi
untuk mentaati pemerintah, Bung Karno menyuruh massa dengan tenang kembali ke
rumah masing-masing. Hanya beberapa kalimat yang diucapkan oleh Bung Karno,
pidato tidak lebih dari 5 menit, tetapi nyatanya rakyat puas mematuhi perintah
Bung Karno yang pada saat itu pertama kali tampil di depan umum dalam
kedudukannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Namun kebijaksanaan Bung Karno untuk menghindarkan konflik dengan
tentara Jepang yang masih menguasai senjata, mengundang prasangka dari kalangan
generasi muda. Ada yang menuduh Bung Karno tidak revolusioner menghadapi
Jepang, namun belakangan baru kita sadar, bahwa pendapat Bung Karno benar bahwa
pasukan Jepang yang sudah kalah perang tidak perlu dihadapi dengan aksi
kekerasan. Pasukan itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena semangatnya sudah
loyo. Sikap dan kebijaksanaan Bung Karno seperti itulah yang mampu menuntun
perjuangan Indonesia ke masa selanjutnya.
Pada bulan-bulan pertama kemerdekaan, situasi semakin menyulitkan posisi
Bung Karno. Pada bulan Oktober 1945 pasukan Inggris mendarat di Jakarta dan Surabaya,
diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Pasukan-pasukan
Inggris sebagai pasukan sekutu resminya tidak campur-tangan dengan urusan
kemerdekaan Indonesia, namun karena diikuti oleh pasukan NICA, maka di
sana-sini terjadi insiden. Lebih sulit lagi bagi Bung Karno, karena pasukan
sekutu yang di Surabaya menimbulkan insiden sampai menyulut terjadinya
peristiwa gugurnya Jendral Mallaby, peristiwa mana menyulut ledakan pertempuran
besar-besaran di Surabaya. Sementara kebijaksanaan Presiden yang mengeluarkan
dekrit pada tanggal 23 Agustus 1945 untuk segera membentuk Badan Keamanan
Rakyat, Partai Nasional Indonesia sebagai partai negara dan Komite Nasional
Indonesia, tidak berjalan baik. Apalagi pada bulan Oktober itu juga muncul Maklumat
Wakil Presiden No. x yang mengajurkan berdirinya banyak partai sesuai tatanan
demokrasi li–beral. Suasana seperti itu menyebabkan Sutan Sjahrir akhirnya
tampil ke permukaan.
Dengan restu Bung Karno, akhirnya Sjahrir menjadi Perdana Menteri.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, Sjahrir dan kelompok intelektual
lainnya membantu Bung Karno berjuang mengisi kemerdekaan yang telah sama-sama
kita raih. Tampilnya Sjahrir dan kelompok intelektual lainnya membantu Bung
Karno berjuang mengisi kemerdekaan yang telah sama-sama kita raih. Tampilnya
Sjahrir dan kelompok intelektual yang dianggap cukup dekat dengan Barat, sudah
barang tentu mengubah pandangan orang-orang Eropa dan Amerika terhadap
Indonesia. Oleh karena itu perjuangan kemerdekaan Indonesia pun mendapatkan
support atau paling tidak dukungan spirit dari negara-negara Barat.
Suasana di Jakarta semakin panas, ketika Belanda dan antek-anteknya
memberikan uang kepada beberapa orang pembunuh-bayaran untuk membunuh Bung
Karno. Setelah lebih dahulu menteror dengan berbagai mana cara, akhirnya pada
penghujung bulan Januari 1946 Bung Karno dan Bung Hatta beserta keluarganya
hijrah ke Yogyakarta untuk menghindari bencana yang tidak perlu. Dan bersamaan
dengan itu pula diumumkan ibukota Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke
Yogyakarta, sehingga semua kementerian RI juga pindah ke ibukota yang baru itu.
Sejak itu perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia diteruskan dari ibukota
revolusi ini.
Ternyata perjuangan bangsa Indonesia masih menempuh perjalanan yang
panjang. Munculnya banyak partai dalam tatanan demokrasi liberal, menimbulkan
suasana gontok-gontokan di antara kita. Padahal di hadapan hidung nyata-nyata
ada pasukan Belanda yang menjadi musuh bersama. Selanjutnya pada saat bersamaan
pula di sana-sini muncul berbagai aksi-aksi politik yang sudah bersifat
pemberontak terhadap pemerintah dan negara. Maka secara logika saja, dalam
keadaan seperti itu mustahil Republik Indonesia yang baru berdiri menjalankan
tugas pembangunan untuk mengisi kemerdekaan.
Sekarang setelah lebih 50 tahun berlalu, kita dapat banyak belajar dari
pengalaman sejarah bangsa kita sendiri. Saya kira ucapan Bung Karno “Jangan
Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, pada pidato 17 Agustus 1966 adalah untuk
mengingatkan kita sebagai bangsa, bahwa sejarah adalah sangat penting dan
berguna; di dalamnya tersimpul hukum-hukum kehidupan. Dari sini kemudian saya
menilai bahwa apa yang terjadi di Eropa Timur belakangan ini, sebenarnya sudah
pernah terjadi di Indonesia, dalam satu dasawarsa lebih sesudah proklamasi.
Lalu sejauh manakah relevansinya pemikiran dan gagasan Bung Karno dalam
kurun waktu sekarang ini? Saya melihat masih banyak pemikiran dan gagasan Bung
Karno yang cukup relevan dalam menjawab problematik sosial yang dihadapi bangsa
Indonesia sekarang ini, seperti misalnya pemikiran mengenai tiga hal yang perlu
dimiliki oleh sebuah bangsa. Yaitu : berdaulat di bidang politik, berdikari
di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan”.
Hanya dengan mengetahui ilmu pengetahuan modern dan mengerti sejarah dan
kebudayaan Indonesia, baru kita bisa memahami apa yang disebut Bung Karno
dengan TRISAKTI itu. Tanpa memahami dan menguasai kedua faktor tersebut –- ilmu
pengetahuan modern dan sejarah serta kebudayaan Indonesia -– penilaian kita atas
pemikiran Bung Karno menjadi menyimpang. Jangan-jangan kita hanya menilai
pemikiran dan gagasan Bung Karno itu sebagai slogan-slogan kosong yang tidak
berarti apa-apa.
Tapi cobalah kita amati dan teliti, apa yang dimaksud Bung Karno dengan
TRISAKTI itu! Bukankah dengan pemikiran TRISAKTI itu, kita dapat menyusun
kekuatan dan pembangunan bangsa, sekaligus mewujudkan character-building?
Bahkan bukan itu saja, kita pun dapat bergaul di kancah dunia internasional
dengan penuh harga diri dan saling menghormati kedaulatan negara masing-masing.
Kita juga bisa menyusun pola kerja sama ekonomi dengan negara-negara industri
besar lainnya dengan penuh kepercayaan dan saling menguntungkan. Tidak seperti
sekarang ini, pola kerja sama ekonomi dengan negara-negara donor dirasakan
sangat merugikan pihak Indonesia. Maka saya menilai pemikiran dan gagasan Bung
Karno itu masih banyak yang relevan sekarang ini dan dapat memecahkan
problematik sosial bangsa kita.
Bung Karno dengan Keyakinan
dan Takdirnya
Pada usia 12 tahun
sewaktu saya menjadi murid HIS kelas VI tahun 1932 di Klaten, pertama kali saya
melihat dan mendengarkan Bung Karno pidato dalam rapat propaganda Partindo yang
dipimpin oleh Mr Soejoedi di sebuah penginapan di kota tersebut. Sebagai anak
yang masih di bawah umur sebenarnya saya tidak dibolehkan masuk ruang rapat dan
mendengarkannya. Oleh karena itu dengan seizin pemilik hotel saya masuk
bersembunyi dalam salah satu kamar dan dari situlah saya mendengar pidato Bung
Karno. Sehabis rapat, saya sempat bertemu muka dengan Bung Karno sejenak. Sejak
kejadian itu, bagi saya Bung Karno merupakan seorang pendekar dan pahlawan
Indonesia kedua sesudah Pangeran Diponegoro.
Untuk kedua kalinya saya bertemu muka dengan Bung Karno 10 tahun
kemudian yakni di bulan Agustus 1942, sesaat setelah Bung Karno kembali dari
pengasingannya di Bengkulu. Saat itu di Deurches Haus (di Jalan Merdeka Barat
sekarang) untuk pertama kalinya Soekarno dan Hatta mengadakan pertemuan dengan
masyarakat Indonesia di Jakarta, termasuk pemuda dan mahasiswa.
Di depan masyarakat banyak ini, Soekarno dan Hatta secara demonstratif
bergandengan tangan dan Soekarno berbicara atas nama kedua pemimpin. Soekarno
menyatakan “kalau dulu ada perbedaan faham antara kedua pemimpin, maka
sekarang kedua pemimpin bermufakat dan bersatu untuk memimpin perjuangan”.
Pidato Bung Karno yang disudahi dengan berjabatan tangan dengan Hatta disambut
dengan tepuk tangan meriah sekali oleh hadirin. Kejadian ini bagi saya sangat
terkesan, sehingga menegakkan bulu roma saya.
Sesudah itu saya sebagai salah seorang pemimpin BAPERPI yang diketuai
saudara Soepomo sering berkunjung ke rumah Bung Karno yang pada waktu itu
bersama Ibu Inggit tinggal di Jalan Diponegoro 13. Saya mulai mengenal Soekarno
sebagai manusia biasa, sebagai suami, sebagai kepala rumah tangga. Soekarno
adalah seorang yang ramah, penuh perhatian terhadap lawan bicaranya sekaligus
menawan.
Dengan kerja-samanya Soekarno-Hatta dengan Jepang, seluruh pergerakan
kebangsaan waktu itu boleh dikatakan bekerja-sama juga dengan Jepang termasuk
kami pemuda dan mahasiswa. Kerjasama ini terutama ditujukan kepada usaha
memenangkan pihak Jepang dalam perang Pasifik. Kerjasama ini secara fisik
antara lain dilakukan Soekarno langsung dengan memimpin kerja bakti (kinrohoshi)
membuat lapangan terbang Curug Serpong, suatu pekerjaan kuli batu. Semua yang
ikut kerja bakti, tidur dalam bedeng-bedeng dengan makan nasi merah bersama
ikan asin yang lebih berupa terasi.
Dalam pada itu di masyarakat, tindak-tanduk militer Jepang, terutama
prajurit-prajuritnya memperlakukan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang lebih
rendah daripada bangsa Jepang dan mereka menuntut dihormati secara berlebihan
dari siapapun juga bangsa Indonesia.
Perlakuan penghinaan dan penindasan
itu, pada kami pemuda dan mahasiswa menimbulkan rasa perlawanan yang makin hari
makin meningkat. Dalam perlawanan ini, terutama pemuda dan mahasiswa tidak
mendapatkan pembelaan dari Bung Karno, apalagi memimpin rasa perlawanan yang
meningkat itu. Segala kebesaran dan kepemimpinan Bung Karno dirasakan sebagai
hanya dimanfaatkan oleh Jepang, kurang dirasakan untuk membela masyarakat.
Hal-hal di atas selalu kami bicarakan terbuka dan langsung dengan Bung Karno
dan pada tiap kali bertemu Bung Karno menunjukkan pengertian akan hal-hal itu.
Tetapi sebaliknya Bung Karno meminta kepercayaan sepenuhnya kepada
kepemimpinannya dan kebenaran kerja samanya dengan Jepang.
Kekaguman dan kepercayaan pada pimpinan Bung Karno yang pada permulaan
pendudukan Jepang tidak terbatas dan tanpa reserve, dengan kejadian – kejadian
yang dialami sendiri oleh masyarakat terutama oleh mahasiswa kedokteran Ika
Daigaku yang mengadakan pemogokan dan perlawanan terhadap perlakuan
sewenang-wenang oleh Jepang hingga mengakibatkan ditangkapnya sejumlah pemimpin
mahasiswa, telah menimbulkan kesangsian terhadap kepemimpinan Bung Karno dan
kepada kebenaran kerjasama Bung Karno dengan Jepang.
Pada permulaan tahun 1944, sesudah beberapa pemimpin mahasiswa
dibebaskan dari tahanan untuk seterusnya tidak diperbolehkan melanjutkan
kuliahnya, antara lain Soedjatmoko, Soedarpo dan saya, kami kemudian bertiga
menemui Soekarno yang telah pindah ke Pegangsaan Timur 56 yang waktu itu telah
beristrikan Fatmawati. Dalam pertemuan itu kami menyatakan pada Bung Karno
bahwa kami mengagumi dan menghargai Bung Karno sebagai pemimpin, tetapi
kerjasama dengan Jepang tak dapat dibenarkan. Kami menunjukkan argumentasi
bahwa Perang Pasifik adalah perang antara demokrasi melawan fasisme dan kami
berkeyakinan bahwa pihak demokrasi pada akhirnya akan menang. Bahkan
Soedjatmoko menambahkan bahwa sebagai sosialis pun dalam perang demokrasi
melawan fasisme ini kita bersedia untuk bekerjasama dengan finans-kapital
melawan fasisme. Bung Karno tidak menanggapi argumentasi itu, tetapi meyakinkan
kami bahwa dengan kerjasama dengan Jepang itu, ia sebagai pemimpin akan membawa
Indonesia ke alam merdeka. Lalu kami menanyakan kepadanya apakah hal itu
berarti ia yakin bahwa Jepang akan menang? Ia mengelakkan persoalannya, bahkan
ia berani bertaruh bahwa ia akan membawa Indonesia ke alam Indonesia Merdeka
dalam waktu lima tahun. Sebaliknya kami menyatakan bahwa Indonesia Merdeka akan
datang sebagai hasil kemenangan demokrasi lawan fasisme. Dan perlawanan
terhadap Jepang adalah perjuangan untuk kemerdekaan. Pertemuan itu berlangsung
dari jam 5.00 sore sampai kira-kira jam 08.00 malam. Kita berpisah dengan
menyatakan bahwa kita bersama-sama menuju kepada Indonesia merdeka dengan
berlainan jalan.
Kesan saya dari pembicaraan ini ialah bahwa Bung Karno sangat yakin
terhadap dirinya bahkan lebih dari itu, ia merasa ditakdirkan atau ditugaskan
untuk menjadi pemimpin Indonesia yang membawa Indonesia ke alam merdeka dengan
tidak mesti berpegang kepada sesuatu ideologi, fahan atau ajaran dan
teori-teori. Bahkan ia pernah mengatakan bangga lahir di bawah bintang Gemini,
yang sifatnya bermuka dua – sifat-sifat penting sekali dalam berpolitik bagi
politikus.
Keyakinan dan takdirnya ini kelihatan dalam tindak-tanduk Bung Karno
selanjutnya. Keyakinan ini biasanya ia rumuskan dengan ungkapan kata-kata bahwa
ia adalah “penyambung lidah rakyat”. Rumusannya ini sederhana sekali tetapi
maknanya untuk Bung Karno dan untuk Bangsa Indonesia terutama dari Pulau Jawa
berarti bahwa Bung Karno adalah tumpuan harapan, cita-cita kebangkitan dan
kebesaran bangsa Indonesia. Apalagi sesudah pembicaraan mengenai dasar-dasar UUD
yang kemudian dikenal dengan PANCASILA dalam pidatonya yang diucapkannya pada 1
Juni 1945. Pidato itu mencerminkan, menyinarkan dan menjiwai pribadi Soekarno
yang sekaligus jiwa bangsa Indonesia. Keyakinan ini dengan sepenuhnya ada pada
diri Bung Karno.
Soekarno mampu memanfaatkan kepercayaan ini dengan menjadi jurubicara
rakyat dan bangsa Indonesia untuk membawa rakyat Indonesia menuju kebesaran dan
kejayaan. Soekarno jadinya lebih berbicara kepada harapan, cita-cita tentang
kebangkitan bangsa Indoensia dengan menuju kebesaran dan kejayaan, kalau perlu
dengan menengok ke sejarah masa lampau pada saat bangsa Indonesia pernah besar
dan jaya. Soekarno dan kebangkitan bangsa Indonesia adalah identik dan tidak
bisa dipisahkan.
Kerjasama dengan Jepang ia manfaatkan betul untuk menimbulkan citra
tentang dirinya sebagai kebangkitan bangsa Indonesia untuk merdeka menuju
kejayaan. Siapa pun, pihak mana pun yang mau berhubungan dengan bangsa
Indonesia harus berhubungan dengan Soekarno. Ini akan terbukti selanjutnya
dalam perkembangan sejarah Indonesia seterusnya. Sjahrir yang zaman Jepang
tidak bekerjasama dengan Jepang melainkan menyusun kekuatan demokrasi
mengadakan perlawanan terhadap Jepang dan dengan begitu mempersiapkan kekuatan
demokrasi untuk Indonesia Merdeka, pada waktu tiba saatnya untuk
memproklamasikan kemerdekaan ia harus berhubungan dengan Soekarno-Hatta
terutama Soekarno.
Demikian pula pemuda dan mahasiswa yang merasa ada kekuatan dan dukungan
luas untuk melaksanakan “pernyataan kemerdekaan” dalam kenyataan harus juga
berhubungan dengan Soekarno. Sjahrir tidak berhasil meyakinkan Soekarno untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tidak dalam kedudukannya sebagai Ketua
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Tidak ada alasan menyatakan
kemerdekaan sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia bikinan
Jepang, karena Jepang sudah menyerah kepada sekutu.
Setelah mengetahui bahwa Jepang sudah menyerah, pemuda dan mahasiswa
berkumpul tanggal 15 Agustus 1945 di Eykman Institut, lalu mengirim delegasi
yang diketuai saudara Wikana didampingi oleh saudara Surot Kunto dan saya. Kami
pergi menemui Bung Karno di Pegangsaan Timur untuk meyakinkan Soekarno bahwa
Jepang telah menyerah dan sudah waktunya memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Sekali lagi Bung Karno tidak bersedia menyatakan proklamasi
kemerdekaan. Oleh sebab itu pada malam harinya Soekarno-Hatta diculik dan
dibawa pemuda ke Rengkas Dengklok. Pada akhirnya Soekarno-Hatta kembali ke
Jakarta dan berkat bantuan Laksamana Maeda dirumuskanlah teks proklamasi di
rumah Laksamana Maeda pada dini harinya. Kira-kira jam 10 pagi pada tanggal 17
Agustus 1945, Bung Karno membacakan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan
Timur 56.
Pada bulan Oktober 1945, keadaan tidak menentu dan keamanan di Jakarta
tidak terjamin sedangkan desas-desus tersiar luas bahwa atas desakan Belanda
sekutu akan menangkap Soekarno-Hatta. Dalam keadaan yang serba tidak menentu
itu, Mr Soebardjo berhasil membujuk Soekarno untuk membuat testamen politik
yang isinya antara lain menyebutkan “apabila Soekarno-Hatta ditangkap atau
dilumpuhkan oleh sekutu, maka Tan Malaka akan menggantikan Soekarno-Hatta”.
Testamen politik ini kemudian atas pertimbangan Hatta diubah. (Baca: Harry
Poeze, hal.216).
Menurut Hatta, Soekarno-Hatta hendaknya jangan diganti oleh satu orang
melainkan oleh empat orang yang mewakili golongan pergerakan yang ada waktu
itu. Yaitu : Tan Malaka, Sjahrir, Wongsonegoro dan Iwa Kusumasumantri. Dalam
pada itu telah diadakan pertemuan antara Van Mook dengan Soekarno, tetapi
pemerintah Belanda mendesavuirnya atau tidak membenarkan Van Mook
mengadakan perundingan dengan Soekarno.
Setelah Sjahrir mendengar dari Hatta tentang testamen politik ini, maka
pada rapat Badan Pekerja KNIP tanggal 12 Nopember 1945 dengan tidak
menyebut-nyebut testament tersebut, dibicarakan soal pimpinan negara. Rapat
BK-KNIP memutuskan tetap mempertahankan Soekarno sebagai Presiden dan Hatta
sebagai Wakil Presiden RI. Rapat mengusulkan diadakan “Kabinet Parlementer”
yang bertanggung jawab kepada KNIP. Sjahrir diusulkan sebagai formatur kabinet
sekaligus menjadi Perdana Menterinya. Usul ini diterima oleh Soekarno-Hatta,
maka terbentuklah Kabinet Sjahrir pertama. Terbentuknya Kabinet Sjahrir adalah
untuk mempertahankan Soekarno-Hatta dan mengadakan perundingan dengan Belanda
oleh Kabinet Sjahrir. Dengan pindahnya Soekarno-Hatta ke Yogyakarta, maka
persoalan di sekitar testaman politik dengan sendirinya selesai, tidak ada lagi
testamen yang mencadangkan penggantian kepemimpinan Soekarno-Hatta.
Maka jelaslah bahwa Indonesia merdeka dan Republik Indonesia tidak akan
ada jika Presidennya bukan Soekarno. Dengan ini sekali lgi dibuktikan bahwa
Soekarno adalah identik dengan bangsa Indonesia dan Republik Indonesia.
Sebelum rapat pleno KNIP di Malang bulan Maret 1947, Presiden Soekarno
memperluas susunan KNIP yang ditentang oleh BP KNIP. Dalam pidato Hatta atas
nama Soekarno-Hatta, KNIP dipersilakan untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden yang memperluas keanggotaan KNIP. Akhirnya KNIP menerima perluasan
tersebut dan dengan begitu KNIP tetap menerima kepemimpinan Soekarno-Hatta.
Rapat KNIP ini pun membenarkan kebijaksanaan Kabinet Sjahrir dan membenarkan
“Perjanjian Linggajati”.
Kepemimpinan Soekarno-Hatta ini digoyangkan oleh adanya proklamasi
Republik Sovyet di Madium September 1948 di bawah pimpinan Muso. Soekarno dalam
pidatonya kepada rakyat dan angkatan Perang RI menawarkan pilihan “pilih
Soekarno-Hatta atau Muso”. Ternyata bangsa Indonesia tetap memilih
Soekarno-Hatta.
Sesudah Aksi Militer Belanda ke-II,
Soekarno-Hatta ditangkap dan diasingkan ke Bangka dan Republik Indoemsia
dipimpin oleh Pemerintah Darurat RI yang diketuai oleh Syafruddin Prawiranegara
di Sumatra. Sesudahnya ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang memutuskan
penghentian peperangan dan dimulainya lagi perundingan antara Belanda dan
Indonesia, ternyata Komisi Tiga Negara tidak menghubungi PDRI melainkan
langsung menghubungi Soekarno-Hatta. Selanjutnya Soekarno-Hatta menunjuk Mr.
Moh. Roem untuk mengadakan perundingan dengan pihak Belanda. Oleh karena itu
“Pernyataan Roem-Royen” adalah suatu pernyataan pemerintah Soekarno-Hatta,
bukan pernyataan PDRI.
Dengan diterimanya KMB, maka terbentuklah Republik Indonesia Serikat.
Pada tanggal 16 Desember 1949 Soekarno dipilih menjadi Presiden RIS oleh
negara-negara bagian RIS.
Melalui segala pergolakan antara 1950 sampai 1959, antara lain peristiwa
17 Oktober 1952, pengunduran diri Hatta sebagai Wakil Presiden, adanya
PRRI-Permesta awal tahun 1958, adanya Konsepsi Presiden, dibubarkannya
Konstituante dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali pada UUD 1945,
Soekarno mengukuhkan dirinya sebagai Kepala Negara, kepala pemerintahan,
Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, sejalan dengan pandangan dan
keyakinan bahwa ia ditakdirkan dan terpanggil untuk itu.
Dari perjalanan sejauh itu jelas bahwa
takdir dan mission inilah yang jadi pegangan utama bagi Soekarno. Segala
ideologi, ajaran, faham, teori dikalahkan dan ditundukkan oleh takdir dan
mission Soekarno.
Pusat
Dokumentasi Politik “Guntur 49”