Awas, bahaya latent PKI!
Kami gembira Ibarruri Putri Alam, anak sulung D.N.Aidit,
yang kini bermukim sebagai refugee-politik di Paris mempercayakan pengalaman
pribadinya dibukukan dan diterbitkan oleh Hasta Mitra -– terlebih-lebih kami
gembira dan sangat menghargai rekan Goenawan Mohamad bersedia menulis pengantar
untuk “roman biografis” ini.
Tentulah naif dan dangkal, bila menganggap mengedarkan
tulisan anak Aidit dengan sambutan Goenawan Mohamad ini sebagai sikap
bersimpati atau mendukung komunisme, apalagi sebagai usaha menghidupkan kembali
PKI. Juga sama saja
kerdil dan pertanda kemandulan berpikir, bila menafsirkan usul pencabutan TAP MPRS XXV/1966 yang pernah
diprakarsai oleh Presiden Gus Dur beberapa tahun yang lalu sebagai usaha
membuka kesempatan bangkitnya kembali PKI.
Mereka yang masih berpikir sehat tentu sadar, bahwa
beredarnya buku Ibarruri seperti ini dan sikap-sikap seperti yang diekspresikan
oleh Goenawan Mohamad dan Gus Dur sedetik pun tidak ada urusan dengan PKI. Sikap seperti itu
semata-mata sekedar suatu pernyataan kejernihan berpikir, bebas total dari
kontaminasi kerancuan dan penyeragaman berpikir konsep-konsep Orde Baru
jendral Suharto yang sudah berjalan empat windu lamanya. Sikap-sikap itu
sekedar menyatakan ketegasan keberpihakan pada kebenaran, menghormati kebebasan
individu, mendambakan masyarakat Indonesia bermanusiawi, bermartabat
dan berdemokrasi. Namun kita sepenuhnya sadar, bahwa sikap demokratis –
terutama terhadap PKI, komunisme dan juga terhadap Bung Karno – tetap masih merupakan
kekuatan kelompok minoritas. Sejak 1998, pada masa pasca otoriterisme militer
atau yang seyogianya sudah merupakan era-reformasi – konsep politik Orde Baru
Suharto jelas masih kental mendominasi dunia politik Indonesia. Alam pikiran politik Indonesia pada “era reformasi” sampai detik ini
jelas masih dikuasai slogan-slogan baku
konsep Orde Baru: Awas, PKI! -– Awas, gejala PKI akan bangkit
kembali! -– Awas, bahaya latent PKI! Bla-bla-bla,
bla-bla-bla.
Proses pembodohan dan penyeragaman berpikir yang berjalan
selama tiga dasawarsa Suharto berkuasa, dengan sukses gemilang telah membikin
inteligensia dan para politikus kita mandul menggunakan otak mereka. Kaum
inteligensia -– termasuk sebagian jendral yang notabene berpendidikan akademis
-– penuh dan sebulat-bulatnya terindoktrinasi oleh tesis-tesis abstrak Orde Baru
yang dimamah-biak sebagai “kenyataan” dan “kebenaran”. Sudah pada ludes
kemampuan berpikir waras- kritis-mandiri, mereka tidak bosan-bosan dalam paduan
suara bersenandung lagu yang itu-itu juga, teruuus itu-itu saja : Awas, bahaya latent PKI! Awas, bahaya latent
PKI!
Logika sederhana dan otak sehat tentu akan bertanya
terheran-heran: bila sudah ketahuan PKI demikian bahayanya,
mengapa mereka tidak segera ditangkap dan diseret saja ke pengadilan? Sudah sejak tiga-puluh tahun yang lalu, lebih-lebih di
era-reformasi delapan tahun belakangan ini tidak ada pengadilan yang menangani
perkara urusan bahaya PKI, padahal para dewa peramal musibah (onheilsprofeten - prophets of doom) tidak henti-henti mencanangkan Awas, bahaya laten PKI! Yang terjadi malahan sebaliknya. Dalam kerusuhan Ambon
yang berkepanjangan, dalam kekerasan di Poso yang seakan tanpa akhir,
pertumpahan darah bertahun-tahun di Aceh, Irian Papua, Tanjung Priok, Lampung;
Pengadilan kita di daerah mau pun di tingkat Mahkamah Agung satu kali pun
tidak menyidangkan PKI atau kaki-tangannya sebagai biang-keladi pencetus
kerusuhan. Tidak jelas siapa berada di belakang kerusuhan-kerusuhan berdarah
itu -– yang jelas hanyalah bahwa mereka bersenjata. Tetapi inteligensia kita,
para jendral dan politikus kita, mindset-nya sudah kadung terkerangkeng, terkontaminasi tesis
politik Orde Baru yang dikemas dalam “produk ingatan” yang patent: jangan pernah lupa
bahaya PKI! Semua kerusuhan dan kekisruhan pasti tidak bisa tidak,
sumbernya PKI! Masih ingat,
bagaimana pers kita di jaman Suharto menyanyi terus lagu-lagu seperti itu,
bukan?
Kita sama sekali tidak berkeberatan pada canang “awas, bahaya PKI!” “Awas, PKI dan neo-PKI mau bangkit!” -– kita cuma mau menyarankan kepada para dewa peramal bencana
itu : “Jangan ragu, jangan tunda-tunda, seretlah PKI-PKI yang berbahaya itu
ke Pengadilan! Jatuhkan hukuman seberat-beratnya -– atau pun hukuman mati –
sesuai perbuatan jahat mereka setelah Pengadilan yang adil memutuskan
kebenaran!”
Bila cuma berulang-ulang berkoar awas PKI, awas PKI tanpa pembuktian,
apalagi tanpa keputusan pengadilan, maka peringatan seperti itu setara
nilainya dengan fitnah, gunjing politik murahan, tidak beda dengan maling
teriak maling. Sebenarnya canang nonsens seperti itu mempunyai konsekwensi
sangat serius dan parah, sebab omong-kosong itu bukan sekedar seperti teriakan
maling yang sedang terpojok panik ketakutan, tetapi merupakan produk rekayasa
politik kekuasaan yang menghambat bangsa berpikir mandiri, berpikir positif
dan berpikir kreatif. Serius sekali, bukan?
Manufaktur produk ingatan yang dikonservasi, di-aplikasi
dan di-sistemkan ke dalam pergaulan masyarakat intelektual maupun awam,
di-sosialisasi puluhan tahun ke seluruh peringkat lembaga pendidikan, dicekoki
non-stop ke segenap jajaran ABRI, maka dampaknya dengan sendirinya akan menghasilkan
pejabat, politikus, wartawan, sastrawan, mahasiswa, buruh, pegawai-negeri,
jendral -– pendek-kata berbagai lapis segmen masyarakat -– yang selalu berpikir
negatif, kerdil penuh pra-sangka, dan selalu manut pada boss seperti robot.
Presiden SBY pernah mengeluh dan menganjurkan dalam suatu
peristiwa heboh urusan renovasi KBRI di Korea, agar masyarakat jangan berpikir
à-priori, jangan berprasangka menyalah-nyalahkan seseorang sebelum Pengadilan
memutuskan duduk perkara sebenarnya dan menentukan siapa yang salah. Demikian
kurang-lebih seruan Presiden dalam perkara “surat sakti” debius sekretariat kabinet
kepada Menlu. Kita tidak tahu, apakah SBY sadar bahwa berpikir à-priori itu dan menyalah-nyalahkan pihak lain adalah warisan paling otentik kekuasaan Orde Baru Suharto
yang sekarang menjadi beban di pundak generasi pasca-Suharto. Itulah produk
paling patent, paling efektif tahan-lama
(durable) yang dihasilkan oleh kekuasaan rejim
Suharto dan dengan sukses diwariskan untuk terus berjalan langgeng menguasai
alam pemikiran inteligensia bangsa.
Membaca suratkabar sekali-sekali kita kagum mengikuti ucapan
SBY yang kadang-kadang mencerminkan visi tajam, kearifan penuh pencerahan,
seperti misalnya ajakan berpikir positif, mengkaji masa-lalu bangsa, masa-kini
dan masa-depan dengan menyambut bangkitnya kembali kaum nasionalis untuk
menyelamatkan bangsa, etc, etc. Kita menggaris-bawahi dan menyetujui penuh
pemikiran-pemikiran positif SBY tersebut, tetapi kita dengan pasti bisa
mengatakan bahwa ucapan-ucapan itu akan tetap menjadi verbal indah di atas
kertas, melayang-layang hampa di awang-awang tanpa pernah akan berwujud, selama
kita semua – segenap bangsa termasuk SBY, politisi dan para jendral – belum
mampu membebaskan diri dari produk ingatan warisan kekuasaan Orde Baru itu.
Mayoritas bangsa terlena seakan tidak bakal sadar-sadar bahwa geo-politis Indonesia oleh
rejim Suharto sebenarnya sudah lama terhempas sebiduk dan sewilayah dengan apa
yang dinamakan “dunia bebas”nya Ronald Reagan dan Mr. Bush. The Free World dengan paradigma
anti-komunis dan sekarang anti teror Islam fundamentalis – entah hewan apa itu
–, mencetak Indonesia
kini menjadi epigon latah yang overdosis anti-komunis dan kelebih-lebihan anti
teror Islam ketimbang majikannya sendiri. Kita menjadi bertanya, apakah berada
sekubu dengan “dunia bebas” memang menjadi pilihan sadar elit politik kita?
Kita sengaja agak berpanjang-panjang dalam pengantar ini,
karena kita belum lupa pada ucapan seorang pejabat tinggi negara, cukup tinggi
setinggi kedudukan wakil-presiden (sic!), juga para pejabat kejaksaan agung dan sebagian pers kita
yang beberapa tahun lalu keras menuntut pemberangusan buku “Saya Bangga Menjadi Anak PKI”. Lantas bagaimana sekarang?
Apakah sudah bangkit lagi PKI? Sudah merajalela
teror PKI gara-gara buku itu? Setahu kita penulisnya malah sekarang
menjadi anggota terhormat Parlemen
R.I.
Itulah contoh gamblang betapa para pejabat, elit politik,
bahkan intelektual kita terkondisi tesis-tesis politik kekuasaan Orde Baru yang
berisi kebohongan kolektif, terkontaminasi “produk ingatan” yang memang
dimanufaktur untuk melestarikan kekuasaan Orde Baru Suharto. Bagaimana mau
membangun Indonesia
ber-Pancasila, mandiri, adil-sejahtera, bermartabat, hormat pada hukum dan HAM dengan inteligensia
bangsa yang berpikir rancu, tak sanggup membebaskan diri dari warisan penyakit
keseragaman berpikir otoriter bagai robot bodoh begitu?
Kita selalu berpendapat bahwa krisis intelektual yang meliput seluruh bangsa saat ini jauh lebih parah
daripada krisis moneter, krisis ekonomi, krisis keamanan dan berbagai krisis
lainnya, lebih-lebih lagi karena elit kita tidak sadar bahwa virus kerancuan mindset atau kerangka
berpikir itu sudah merasuk otak bangsa dalam stadium tinggi. Berbagai krisis
yang sedang dihadapi akan sulit diatasi selama induk krisis tidak dibongkar dan
dibenahi.
Akhirnya kembali pada memoar Ibarruri ini, Hasta Mitra
tidak mempersoalkan apa yang ditulis oleh anak sulung D.N. Aidit ini. Itu
haknya yang sah. Dia bisa dan boleh menulis apa saja, begitu pun pendapat para
cendikiawan kita seperti Goenawan Mohamad dan Gus Dur. Hadirnya kebebasan
berpendapat seperti buku Ibarruri Putri Alam ini menjadi latihan bagi kita
semua untuk membiasakan menerima dan menghormati pendapat orang lain.
Semoga latihan ini bermanfaat, tidak ada lagi pejabat,
politikus, sastrawan dan wartawan yang merasa buku seperti ini berbahaya dan
perlu dibredel. Begitulah proses demokratisasi untuk berdemokrasi!
Joesoef Isak, ed.