Sumbangsih Siauw Giok Tjhan




Sumbangsih 
Siauw Giok Tjhan & Baperki
dalam sejarah Indonesia

Catatan Penyunting

Dengan gembira kita menerbitkan karya biografis ini bukan saja karena isinya penting, bukan karena topiknya dulu aktual dan sekarang pun masih aktual – juga bukan karena topiknya masih  akan tetap relevan di masa mendatang yang lama –, tetapi karena kita bangga berkesempatan lewat cara ini boleh menghormati orang yang patut kita hormati: Siauw Giok Tjhan. Kita dengan sadar menolak menjadi bagian dari orang-orang yang tidak tahu seja­rah, apalagi meng­ingkari sejarah; tidak tahu menghargai jasa orang yang sepanjang umur dalam hidupnya meng­abdikan diri bagi kemer­dekaan Indonesia, bagi pembangunan nasion Indonesia – nation building – dan bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
    Siauw Giok Tjhan adalah salah seorang yang mengalami ketidak­adilan sejarah. Belasan tahun dia dibungkam dalam penjara oleh rejim Orde Baru, kemudian hidup dalam sisa umurnya sebagai refugee politik dan meninggal di rantau orang – semua itu harus dialaminya setelah dia terlibat aktif membela kemerdekaan dan sibuk berpartisipasi dalam meng­isi pembangun­an Indonesia sebagai tanah air yang dia cintai.
    Dari namanya saja sudah jelas bahwa dia keturunan Tionghoa, oleh rejim Orde Baru sengaja diganti menjadi Cina, pa­kai dalih pembenaran bahwa bahasa Inggris pun menggunakan kata ‘China’. Dalam konteks Inggris hal itu sepenuhnya benar – tidak ada konotasi negatif apa pun –, tetapi kita semua tahu latar­bela­kang mengapa Orde Baru mendadak membakukan penggu­na­an kata Cina dalam bahasa Indonesia. Dari saat muncul­nya saja sudah jelas kata “Cina” dilepas di tengah kam­panye witch hunt terhadap PKI dan warga keturunan Tionghoa yang diasosia­kan sebagai agen-agen RRT, agen-agen Cina komunis yang harus ditumpas. Memang di situlah titik awal tegaknya kekuasaan represif Orde Baru: menanam benih rasialisme dan eksplosi kebencian terhadap ketu­run­an Cina yang latent bisa meledak atau diledakkan sewaktu-waktu sesuai keperluan.
    Yang dikata-katai Cina ini, kadar patriotnya mungkin lebih kental daripada rata-rata orang yang mengaku “pribumi asli”, kenyataan itu dia nyatakan dalam perbuatan dan pekerjaan, bukan sekedar verbal hampa. Orde Baru dengan gampang saja mencam­pak­kan dan menghapus segala sum­bang­sih Siauw yang sebagai parlementarier ulung telah menghasilkan berbagai undang-undang, peraturan maupun wawasan politik, ekonomi dan budaya guna membina kesatuan dan persatuan nasion Indonesia dalam masyarakat plural etnik, agama, budaya maupun paham politik. Selain itu besar sekali sahamnya dalam melahirkan sarjana dan kaum intelektual muda Indonesia lewat program pendidikan­nya dengan pendirian sekolah-sekolah berbagai tingkat sampai pada per­guruan tinggi. Mercu suar bagi golongan keturunan Tionghoa maupun totok, dia tidak henti-hentinya tanpa pamrih menanam­kan kesadaran pada mereka yang lahir dan hidup di nusanatara ini bahwa tanahair mereka adalah Indonesia.
    Rasialisme terhadap golongan etnik Tionghoa memang punya sejarah panjang. Kolonialisme Belanda sengaja menggunakan rasialisme sebagai instrumen devide et impera untuk secara ekonomis me­nguasai koloni yang rakyatnya beragam etnik dan budaya ini. Tetapi sejak Indonesia merdeka, apalagi akan mema­suki millennium berikutnya, problema rasial itu sepenuhnya sudah menjadi perma­salahan bangsa Indonesia sendiri, dia menjadi tanggungjawab di pundak elit politik berikut kaum cendekianya. Kita sèrèt di sini cendikia Indonesia, para akademisi, terutama pakar ilmu sosial, karena sangat disayangkan bahwa mereka sampai detik ini belum menghasilkan satu kajian mendalam dan menye­luruh mengenai apa yang disebut “domestic chinese” ini, belum ada class analysis yang membedah suatu segment bangsa Indonesia yang justru patut menjadi bahan penelitian serius. Apa yang ada barulah kajian fragmentaris menyoroti satu-dua aspek dari suatu entity yang kompleks. Cukup banyak tulisan malah ikut menyumbang kepada penyebaran persepsi rancu terhadap golongan keturunan Tiong­hoa, kelompok yang inheren sudah menjadi bagian masyarakat Indonesia. Berbagai persepsi stereotip menjamur dalam masyarakat kita, seperti : Semua cina kaya raya! Semua kong­lomerat ya cina!  Yang kolusi dengan pejabat menguras kekayaan bumi Indonesia, ya cina. Mana ada cina melarat? Cina petani yang miskin?
    Main pukul rata ini jelas menyu­burkan kecemburuan sosial destruktif. Elit politik kanan dan kiri, reaksioner maupun progresif dengan cara satu dan lain hal, ikut bertang­gung­jawab atas kerancuan persepsi seperti itu.
     Siauw Giok Tjhan dengan keuletan yang luar biasa berusaha mendudukkan persoalan secara benar. Untuk itu dia harus tembus rimba belukar kebodohan dan kekerdilan:  “pemimpin-pemim­pin” asli, keturunan Tionghoa maupun totok yang picik pandangan. Dengan konsep­­-konsep­nya dia meyakinkan bahwa mengatasi kemiskinan dan ketim­pangan sosial bukanlah caranya dengan mencari apalagi mencip­takan kambing hitam : si cina kaya, si cina pedagang. Itu sama saja dengan mengam­putasi kaki dan tangan yang sangat diperlu­kan untuk bekerja, hanya gara-gara telinga gatal. Begitulah ciri berbagai kebijak­an penguasa yang lantang menentang rasialisme, mereka juga keras berkoar tentang pembauran dan asimilasi – ternyata asimilasi yang mereka laksanakan cuma sebatas dompet cina kaya, diam-diam pada saat ber­samaan mereka kipas-kipas rasialisme untuk tetap melestarikan kedudukan politik golongannya. Masa rakyat kecil lantas dijadikan subyek dan obyek sekaligus.
    Siauw Giok Tjhan membuka mata kita tentang betapa besar potensi yang dikandung oleh manusia dan bumi Indonesia, asal segala kerancuan persepsi dibenahi, membikin produktif segala yang kontra-produktif. Dengan karya biografis ini kita dapat mengikuti perspektif wawasan Siauw tentang potensi besar konsep integrasi dan "berbeda tetapi satu" warga yang sebenarnya dimiliki nasion Indonesia.
    Berhasilkah Siauw Giok Tjhan? Ada saat-saat yang rasanya seakan berhasil, tetapi kemudian mentah kembali. Penulis buku ini – walaupun anak kandungnya sendiri – menguraikan dengan jelas wawasan berpikir ayahnya secara objektif tanpa pretensi menyodorkan suatu kebenaran yang mutlak harus diikuti. Tetapi sekurang-kurangnya lewat penulisan yang menarik dan lancar, buku ini mengajak orang berpikir merefleksikan segala peng­alam­an positif dan negatif di masa lampau guna menempuh jalan terbaik dan paling tepat dalam masalah rasialisme yang kunjung tak selesai sampai hari ini.
    Kita menekankan sekali lagi di sini pentingnya analisis kelas yang mendasar dan menyeluruh mengenai warga keturunan Tionghoa ini, bagian integral nasion Indonesia kita. Tak akan rampung menyelesaikan masalah rasialisme selama persepsi stereotip masih merajalela, selama inventarisasi masalah dengan lengkap dan tuntas belum dilakukan.
    Penghargaan yang tinggi kita nyatakan di sini kepada Abdur­rahman Wahid yang bersedia memberikan kata pengantar untuk karya Siauw Tiong Djin ini. Ini sekedar bukti kecil bahwa Gus Dur tidak termasuk orang-orang yang mengingkari sejarah. Dia ternyata juga menghormati seorang warga Indonesia yang memang patut dihormati.
                                       Joesoef Isak, ed.


*****

Pengantar Penerbit
Lengsernya Soeharto pada bulan Mei 1998 membuka kemungkinan untuk proses reformasi mewujudkan alam demokratis dimulai. Situasi ini ternyata mendorong tumbuhnya berbagai organisasi yang didirikan dan bertujuan melawan rasialisme terhadap golongan Tionghoa, yang selama 32 tahun sebelumnya dilegitimasikan oleh pemerintahan Orde Baru.
     Pada umumnya organisasi-organisasi baru ini berdasarkan ke-Tionghoaan, walaupun mereka tidak membatasi keanggotaannya pada komunitas Tionghoa. Program kerjanya beraneka ragam. Ada di satu ekstrim menyatakan keinginan untuk terjun ke dalam gerakan politik di tingkat “grass-roots”, ada di ekstrim lain yang hanya membatasi kegiatannya pada usaha pengenalan identitas dan kebudayaan Tionghoa.
     Keanekaan ragam program kerja dan bentuk organisasi ini wajar. Pembungkaman, bahkan pemaksaan pemerintah dan sebagian elemen masyarakat agar hilangnya ke Tionghoaan di Indonesia berlangsung puluhan tahun. Penggunaan nama-nama Tionghoa, penggunaan bahasa Tionghoa di tempat umum, penampilan kebudayaan Tionghoa bahkan perayaan tahun baru Imlek selama 30 tahun diharamkan. Dengan sendirinya, trauma ini menghasilkan variasi respons yang berbeda-beda.
     Tidak bisa disangkal bahwa rezim Orde Baru juga telah menguntungkan sekelompok pedagang WNI keturunan Tionghoa. Bahkan ada di antara mereka ini yang turut berdosa dalam menjerumuskan negara RI ke jurang kemiskinan dan penderitaan. Akan tetapi, yang diuntungkan oleh rezim Orde Baru ini, apalagi yang turut berdosa mencelakakan RI, merupakan minoritas maha kecil. Sebagian besar anggota komunitas Tionghoa senasib dengan Rakyat terbanyak. Mereka menjadi korban kekejaman dan keserakahan penguasa Orde Baru.
     Yang menggembirakan adalah adanya tekad untuk memperbaiki situasi dan menghempas sistem yang selama puluhan tahun ini mencengkram penghidupan rakyat dan melanggar HAM.
     Yang lebih menggembirakan lagi adalah adanya pengertian di kalangan pimpinan organisasi-organisasi Tionghoa baru ini bahwa penyelesaian masalah Tionghoa tidak terpisahkan dari usaha besar memperbaiki nasib Rakyat Indonesia secara keseluruhan melalui Perombakan sistem dan tercapainya demokrasi. Tidak sedikit pemuda-pemudi Tionghoa yang terjun langsung dalam perjuangan reformasi. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi korban keganasan pihak penguasa militer.
     Dalam konteks ini, pengalaman sejarah yang mengikutsertakan gerakan komunitas Tionghoa di dalam arena politik, ekonomi, sosial dan budaya perlu dipahami dan dijadikan sandaran dalam menemukan jalan keluar yang efektif. Dan untuk memahami sejarah dengan baik, perlu ada tekad untuk membahas sejarah yang sesungguhnya, bukan sejarah yang “diciptakan” oleh pihak penguasa, dengan pikiran jernih dan kelapangan dada.
     Tekad ini ternyata telah mendorong banyak pemimpin masyarakat Tionghoa baru untuk mengadakan sebuah seminar sehari tentang pengalaman Siauw Giok Tjhan dan Baperki yang dalam zaman Orde Baru telah dijadikan momok politik dan budaya. Pemerintah Orde Baru telah memalsukan sejarah dan menegasi semua sumbangsih Siauw Giok Tjhan dan Baperki. Bahkan jalan keluar untuk mempercepat nation-building yang dicanangkan oleh Siauw dinyatakan sebagai jalur komunisme sehingga diskusi tentangnya di dalam zaman Orde Baru diharamkan.
     Seminar sehari yang diselenggarakan pada tanggal 28 Agustus 1999 di Omni Batavia hotel, Jakarta, ini dihadiri oleh sekitar 650 orang. Walaupun sebagian besar yang hadir berasal dari komunitas Tionghoa dari beberapa generasi, tidak sedikit dari mereka yang berasal dari komunitas yang dinamakan “pribumi” juga hadir.
     Seminar yang mengikutsertakan pembicara-pembicara ternama seperti Dan Lev, Sahetapy, Magnis Soeseno, Karlina Leksono Supelli, Daniel Sparinga dan Hikam berupa acara bedah buku yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, karya Siauw Tiong Djin: Siauw Giok Tjhan, Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika. Yang mengesankan adalah seminar itu menjadi sebuah sarana di mana kebijakan Siauw dan Baperki dibahas secara objektif. Para pembicara dengan bebas mengutarakan pendapat-pendapat mereka. Yang lebih mengesan­kan lagi adalah antusiasme hadirin yang memenuhi ruang acara. Sebagian besar mengikuti acara dari pukul 9:30 pagi hingga 17:30 sore. Dalam skala yang lebih kecil, acara bedah buku yang sama diadakan di Surabaya pada tanggal 30 Agustus 2000.
     Penerbitan buku riwayat Siauw Giok Tjhan dan seminar-seminar yang dengan bebas membicarakan pengalaman Baperki itu merupakan langkah pertama dalam membahas pengalaman komunitas Tionghoa yang tidak terpisahkan dari tubuh bangsa Indonesia ini berdasarkan perspektif sejarah yang tidak dinodai campur tangan pihak penguasa. Akan tetapi, minat masyarakat untuk lebih banyak mengetahui sejarah serta pandangan-pandangan para akhli, baik aktor/pelaku maupun pengamat/pemerhati sejarah, dirasakan masih besar dan menggebu. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menerbitkan sebuah buku yang merupakan kumpulan artikel, makalah dan pidato yang pernah dipersembahkan tentang Siauw Giok Tjhan dan Baperki.
     Walaupun Siauw dinyatakan oleh banyak pengamat sebagai tokoh yang menjiwai Baperki, ketokohan Siauw dan keberhasilannya dalam memimpin Baperki tidak bisa tidak berkaitan dengan dukungan loyal para pemimpin Baperki lainnya. Mereka inilah yang turut mengembangkan Baperki dan menyebarluaskan, bahkan menginisiatifkan berbagai konsep/program perjuangan yang dicanangkan Siauw. Dengan demikian kiranya jelas bahwa yang dimaksud dengan Siauw Giok Tjhan dan ketokohannya, tidak bisa tidak berhubungan dengan para tokoh dan pendukung Baperki lainnya.
      Bab pertama mempersembahkan rangkuman sejarah perjuangan Siauw Giok Tjhan. Siauw Tiong Djin menyimak ketokohan Siauw dan sumbangsih-nya dalam sejarah Indonesia. Dan Lev menekankan perkembangan sejarah yang melibatkan Siauw, Yap Thiam Hien dan Baperki. Joesoef Iskak, mantan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka yang mengenal Siauw dengan baik dan sama-sama meringkuk di penjara dengannya, menyinggung keberhasilan dan kegagalan Siauw. Zhou Nan Jing, seorang akademikus akhli masalah Tionghoa di kawasan Asia Tenggara di BeiJing, menggambarkan nasib dan kekandasan pikiran Siauw di zaman Orde Baru. Xu Ren, mantan Konsul Jendral Kedubes RRT dan mantan Komisaris Bank of China yang mengenal Siauw secara pribadi, menggambarkan bagaimana Siauw berupaya dalam bidang kewarganegaraan Indonesia dan ekonomi. Xu ternyata menentang berbagai pendapat Zhou tentang Siauw Giok Tjhan dan pikirannya. Sedangkan Benny Setiono mengungkapkan sumbangsih Siauw dalam bidang pendidikan.

Bab kedua mementaskan bagaimana perdebatan antar assimilasi dan integrasi berkembang dan relevansi pikiran-pikiran Siauw Giok Tjhan dalam mencari pemecahan masalah minoritas di era reformasi ini. Chan Chung Tak yang banyak mempelajari tulisan-tulisan Siauw dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap paham integrasi dengan keyakinan bahwa konsep ini masih merupakan jalan keluar yang tepat. Sahetapy, yang pernah menjadi tokoh LPKB Jawa Timur tetapi kemudian keluar darinya, mengemukakan bahwa konsep assimilasi dan integrasi yang berkaitan dengan bendera politik LPKB dan Baperki, sudah tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Ia menitik-beratkan perjuangan HAM dan mempertegak hukum yang melarang adanya rasialisme.
     Romo Magnis walaupun tidak bersedia masuk kedalam polemik assimilasi-integrasi menyatakan bahwa assimilasi telah gagal total dan integrasi melalui komunikasi efektif merupakan jalan keluar yang harus ditempuh oleh komunitas Tionghoa. Karlina Leksono-Supelli berseirama dengan gagasan Romo Magnis. Dengan keberanian dan keyakinan, ia mencanangkan konsep Rumah Budaya dan mengaitkannya dengan hak eksistensial. Ia melihat bahwa mempertahankan kebudayaan seseorang adalah hak eksistensi-nya dan menganggap pelaksanaan konsep assimilasi secara paksa sebagai pelanggaran HAM.
Daniel Sparinga, yang pernah mengecapi pendidikan sekolah Baperki di masa kecilnya di Surabaya juga menentang paham assimilasi. Ia cenderung mendukung integrasi dan ingin mengembangkan paham itu menuju multikulturalisme yang memang sedang berkembang di negara-negara seperti Australia. Hikam, yang kini menjadi menteri riset dan teknologi, menggambarkan kelemahan-kelemahan kebijakan politik Siauw, yang dianggapnya terlalu menggantungkan diri atas kekuatan politik partai-partai besar. Akan tetapi, ia mendukung dasar pemikiran Siauw yang menitik-beratkan kewarganegaraan (citizenship based nation). Tan Swie ling, pemerhati masalah Tionghoa yang giat menulis tentang masalah ini, melihat kebesaran Siauw dari konsep Sosialisme Pancasila yang pernah dicanangkan Siauw pada tahun 60-an.

Bab ketiga merupakan kumpulan tulisan berbagai tokoh dan akhli yang menggambarkan kesan-kesan pribadi mereka tentang ketokohan Siauw Giok Tjhan. Mary Somers Heidhues, yang banyak menulis tentang masalah peranakan Tionghoa Indonesia, pernah memperoleh bantuan Siauw dalam rangka penelitiannya. Charles Coppel, juga dikenal sebagai akhli tentang peranakan Tionghoa Indonesia, menggambarkan pertemuan Singkatnya dengan Siauw. Ong Hok Ham, seorang tokoh yang mengisi definisi assimilasi dari segi teori, yang kerap mengunjungi rumah Siauw karena berkawan dengan salah seorang iparnya, menggambarkan kesan-kesan pribadinya. Ferry Sonneville menggambarkan kesan-kesan positifnya tentang sumbangan Siauw dalam nation-building dan dunia pendidikan. Arief Budiman, yang kini menjadi guru besar di Melbourne University, tidak pernah bertemu dengan Siauw. Akan tetapi ia menggambarkan bagaimana kesannya berubah di saat-saat Siauw dan pikirannya dibungkam oleh Orde Baru. Mohamad Sobari, kini ketua Antara, menyatakan bahwa kepribadian dan kesederhanaan Siauw merupakan prerequisite kwalitas pimpinan. Ibrahim Isa, seorang tokoh dalam dunia jurnalistik dan mantan ketua OISRA yang mengenal Siauw dengan baik, menulis kenangan pribadi dan harapannya agar Siauw diterima dan diakui sebagai pahlawan nasional.

Bab keempat menampilkan sambutan-sambutan yang dibacakan di dalam seminar bedah buku yang diselenggarakan pada tanggal 28 Agustus 1999. Sambutan Indarto selaku ketua panitia penyelenggara, sambutan Miriam …., mewakili Marzuki Darusman yang berhalangan hadir, sambutan tertulis Go Gien Tjwan, yang juga berhalangan hadir dan kesimpulan panitia penyelenggara.

Bab kelima menampilkan kumpulan artikel yang pernah diterbitkan oleh dunia media di Indonesia mengenai Siauw Giok Tjhan dan Baperki.

Di samping tulisan-tulisan disebut di atas, kami muat juga pidato Presiden pertama kita, Soekarno di acara perayaan hari ulang tahun Baperki yang ke 9, Maret 1963. Pidato ini penting karena menggambarkan pemikiran Soekarno sebagai salah satu Founding-Fathers Republik Indonesia, tentang nasion, nation-building dan posisi komunitas Tionghoa di Indonesia.
     Istilah integrasi dan assimilasi memang sering dikaitkan dan dicampur-baur dengan aliran politik. Ini adalah rekayasa politik pihak penguasa. Memang sebaiknya di era-reformasi ini kita menghindari perdebatan yang bersifat retorika dan lebih menitik-beratkan bagaimana pemikiran-pemikiran yang menginginkan terwujudnya nasion Indonesia yang bersih dari rasialisme itu, diterapkan. Diskusi tentang assimilasi dan integrasi yang dipersembahkan di buku ini hendaknya diperhatikan dari segi makna dan relevansi-nya dengan kebutuhan zaman. Janganlah kita terjebak oleh rekayasa penguasa yang sebenarnya menghancurkan proses penyelesaian masalah Tionghoa itu. Dalam perkembangan selanjutnya, boleh saja kita mencari/mengadopsi istilah-istilah baru, seperti hak eksistensial, sinergi bangsa dan multikulturalisme.
     Kami menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu usaha penerbitan ini, terutama kepada para penyumbang tulisan dan pikiran yang tertuang di buku ini.
     Diharap buku ini menjadi sebuah sumbangan yang berarti, terutama untuk generasi muda yang kian gigih memperjuangkan perwujudan civil society – masyarakat sipil — yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan yang tidak mengenal adanya diskriminasi rasial.

 ****

Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 6:07 PM