Pramoedya Ananta Toer
Panggil aku Kartini saja
"Panggil Aku Kartini Saja" jilid III (bagian 7 s/d 9) dan jilid IV (bagian 10 s/d 12) sirna pada saat orang-orang menyerbu rumah Pramoedya pada bulan Oktober 1965 dan memporak-perandakan perpustakaan dan dokumentasinya. Tidak bisa kita ketahui apakah di antara kaum vandalis itu ada yang menyembunyikan naskah-naskah yang mereka jarah itu, atau memang sengaja memusnahkannya.
Suatu asset kepustakaan nasional yang tak ternilai harganya dengan demikian telah tiada -- sesuatu yang dalam ukuran-ukuran masyarakat beradab merupakan perbuatan tercela, namun jilid I dan jilid II yang sempat terdokumentasi dan terselamatkan ini, tetap menjadi acaan sangat berharga sebagai suatu karya riset biografis dalam khazanah literatur sejarah modern Indonesia.
Cetak-ulang jilid I dan II ini, dengan penyesuaian ejaan baru, seutuhnya sama dengan terbitan pertama tahun 1962, termasuk kata sambutan oleh Ny. DR. Hurustiati Subandrio dan Kata Pengantar oleh Penulis. Yang tidak dimuat adalah beberapa foto yang pernah dipinjamkan oleh R.M. Susalit (Singgih), putra Kartini, karena sudah tidak jelas untuk direproduksi.
Penebit mengucapkan terimakasih kepada Ruth Indah Rahayu dari Yayasan Perempuan Kalyanamitra yang menulis sebuah Epilog pada karya Pramoedya ini -- sebuah tantangan yang menuntut jawaban : Kartini jadi Relikwi sanjungan atau Inspirasi? - ed.
***
ISBN 9-7986-5907-6
... Dari sekian penulisan orang tentang Kartini, karya Pram ini mempunyai keistimewaan. Pendekatan yang dilakukannya berbeda dengan pengarang-pengarang lain. Dari judul yang dipilih oleh Pram Panggil Aku Kartini Saja, suatu ucapan yang memang berasal dari Kartini sendiri, sudah langsung kita menangkap kesejajaran serta kesamaan Kartini dan Pram dalam satu hal : mereka sama-sama emoh feodalisme ... .
Pada zamannya Kartini adalah inspirator – tetapi sekarang, faktanya, Kartini hanyalah puing-puing yang coba dihidupkan setahun sekali. Kartini sudah kehilangan nilai simbolisnya, meski secara resmi masih diangkat menjadi tokoh simbolis. Maka tidak berlebihan jika ada yang berpendapat bahwa Kartini di akhir abad 20 hanya sebuah lukisan yang dipasang di museum.
Semoga terbitan ulang karya Pram mengangkat Kartini ke tempat yang pantas dia terima daripada sekedar menjadikannya relikwi – menghormati raga dan memuja peninggalan busana putri suci masa lampau –, melainkan mengajak orang untuk menggali sejarah “pengalaman” perempuan yang sering dikalahkan oleh kebesaran pahlawan laki-laki.
Pada zamannya Kartini adalah inspirator – tetapi sekarang, faktanya, Kartini hanyalah puing-puing yang coba dihidupkan setahun sekali. Kartini sudah kehilangan nilai simbolisnya, meski secara resmi masih diangkat menjadi tokoh simbolis. Maka tidak berlebihan jika ada yang berpendapat bahwa Kartini di akhir abad 20 hanya sebuah lukisan yang dipasang di museum.
Semoga terbitan ulang karya Pram mengangkat Kartini ke tempat yang pantas dia terima daripada sekedar menjadikannya relikwi – menghormati raga dan memuja peninggalan busana putri suci masa lampau –, melainkan mengajak orang untuk menggali sejarah “pengalaman” perempuan yang sering dikalahkan oleh kebesaran pahlawan laki-laki.
Ruth Indiah Rahayu
Peneliti dari Yayasan Kalyanamitra
Peneliti dari Yayasan Kalyanamitra