Rahasia Tulisan Pramoedya Ananta Toer
mbah subowo bin sukaris
Pramoedya Ananta Toer pengarang masyhur di Nusantara atau Dipantara itu selalu menggunakan mesin tik konvensional dalam menuangkan karya tulisnya yang ribuan halaman. Di samping menggunakan wahana mesin tik, Pram juga menggunakan balpoin dalam menulis epos sejarah "Arus Balik". Buku paling tebal itu ditulis beliau dalam buku tulis biasa yang sering digunakan anak sekolah menengah. Buku tulis jenis ini biasanya bergaris-garis sehingga memudahkan menuntun tangan agar tulisan menjadi lurus.
Tampaknya pada waktu itu di Pulau Buru, Pram belum mendapatkan fasilitas mesin tik dan kertas hvs. Jadilah ia menggunakan buku tulis biasa hingga tuntas menjadi sebuah buku paling tebal dari semua karyanya.
Ada sedikit perbedaan dari karya Pramoedya Ananta Toer antara yang ditulis tangan dan menggunakan mesin tik biasa (ia tidak suka mesin tik listrik maupun tuts komputer). Detil-detil tema-tema dalam tulisan lebih bagus, dan fokus lebih panjang. Maka dalam satu tema ia bisa menulis agak panjang, dengan sendirinya buku "Arus Balik" cukup tebal.
Pramoedya dalam kamp tahanan Pulau Buru tentu saja tidak punya peluang beli mesin tik dan kertas, karena hal tersebut terlarang baginya karena setiap saat berada dalam pengawasan militer. Dan dalam situasi normal Pramoedya Ananta Toer lebih suka menggunakan mesin tik dari pada menulis dengan tangan dalam menuangkan daya kreativitasnya yaitu menulis buku atau cerpen fiksi dan non-fiksi.
Pramoedya yang terkenal dengan tulisan sekali jadi: begitu dituangkan di lembar ketikan, jadilah naskah itu sempurna! Ia tidak akan membaca lagi hasil ketikan itu sampai rampung menjadi buku tebal. Dan itu pun juga tidak pernah dibacanya lagi untuk diperbaiki.
Tulisan tangan manuscript buku "Arus Balik" yang berjumlah seribu halaman lebih buku tulis biasa itu langka ditemukan coretan, sedikit sekali ia mengulangi dengan coretan baru dalam puluhan ribu paragraf hasil imajinasinya.
Pramoedya Ananta Toer mengakui, "Saya mampu menulis jika dalam kondisi tekanan luar biasa. Dalam keadaan normal sekarang (1990-an) saya mengalami writer block. Sesuatu yang lumrah dialami para penulis atau pengarang." Kondisi dalam tahanan militer di Pulau Buru yang cukup panas dan gersang itu membikin suasana yang lain dari dunia luar.
Pada pertengahan era 90-an marak mesin komputer yang sangat nyaman untuk mengetik tulisan. Pramoedya tetap bertahan dengan mesin tik biasa, "Saya tidak menyukainya, walaupun mesin itu memudahkan pekerjaan. Apalagi harus berkutat untuk mempelajari cara mengoperasikannya, malas ah...." demikian sahutnya tatkala ia ditawari sebuah komputer dengan cuma-cuma oleh seseorang bule asing.
"Si bule itu sama seperti Yesus," ujarnya pada seorang sahabat dekatnya. Si bule yang lahir di Indonesia dan fasih berbahasa Indonesia itu memang sering membantu dengan tulus apapun yang dibutuhkannya, terutama dalam situasi politik orde baru yang mencekam waktu itu, uluran tangan seseorang betapapun kecilnya, adalah sesuatu yang luarbiasa bagi Pramoedya Ananta Toer yang selalu khawatir ada mata-mata dari pihak militer. Pramoedya bebas dari Pulau Buru pada 1979 dan tinggal di Jalan Multikarya, Utan Kayu, Jakarta Timur.
Salah satu kegemarannya waktu itu ialah menggunting koran untuk kliping. Membuat kliping telah mengisi sebagian besar waktunya selepas tahanan. Ia berencana menerbitkan ensiklopedi geografi atau semacam itu.
Sebagai seorang perokok berat, Pramoedya Ananta Toer cukup berbadan sehat, berkat latihan-latihan dan olahraga yang rutin. Setiap hari ia berjalan kaki berputar-putar sekitar lingkungan rumahnya. Selanjutnya kegiatan paling menarik baginya ialah mengumpulkan daun-daun yang jatuh dari halaman rumahnya. Sampah itu tanpa upacara kemudian dibakarnya sendiri dan ditungguinya hingga bara api padam. Ia masih perlu menyiraminya dengan air agar benar-benar aman.
Untuk menjaga kebugaran beliau mengonsumsi asupan utamanya bawang putih untuk mengatasi gula darah, ia tidak percaya apapun lainnya. Bahkan obat yang disarankan dokter sekalipun. Ia menelan bulat-bulat bawang putih mentah setiap hari beberapa butir. Tentu saja bawang putih yang berkasiat itu jenis laki-laki (dalam satu siung tunggal berisi satu berbentuk bulat oval).
"Arus Balik" yang meluncur dari balik bumi pada 1995 mengantarkan Pramoedya tak lama kemudian meraih Ramon Magsaysay Award, dalam bidang literatur, yang juga dianggap Nobel Asia.
Begitu pula pada tahun 1988, tatkala Rumah Kaca (House of Glass) meluncur dari balik bumi, maka pada 1989 Pramoedya menerima penghargaan American PEN, juga menerima kehormatan sebagai anggota PEN. PEN merupakan wadah bergengsi bagi para penulis, dan seniman lainnya, yang penting sekali jadi benteng internasional guna menghadang sepak-terjang keganasan orde baru yang membungkam suara rakyatnya daripada dunia politik.
Hal-hal kecil itulah yang dikerjakan penerbit Hasta Mitra, mengorbitkan Pramoedya ke pentas dunia. Hasta Mitra bekerja dari balik bumi, tanpa henti. Konon di era konyol itu hal-hal kecil bisa bikin konyol, bagaimana mungkin terjadi, seorang mahasiswa Yogya membawa-bawa Bumi Manusia di kampus diganjar pengadilan 8 tahun penjara, Hasta Mitra dari balik bumi mengedit, melayout dan mengedarkan beberapa bentar untuk siap diberi penghargaan oleh Orde Baru berupa medali kehormatan "dibreidel". Kerja bakti tanpa peduli imbalan dan penghargaan apapun. Tanpa berharap memperoleh keuntungan finansil, semata-mata hanya ingin kepuasan bahwa buku itu bisa beredar.
Kebesaran Pramoedya berkat jasa orde baru yang membreidel semua bukunya sehingga dunia internasional memalingkan sejenak ke arahnya. Iklan gratis yang efektif, walaupun secara ilmiah dan populer, semua karya Pramoedya memang punya kelas tersendiri, kelas sempurna.
Pada 1996 dari rumahnya bertingkat dua, tepat pada hari ulangtahunnya, diundanglah pada sahabat dan pengagumnya, antara lain Gus Dur, Megawati, dan tokoh-tokoh tua lainnya. Menjelang magrib, sebuah buku baru yang sangat penting bagi dunia telah datang dari percetakan hari yang sama. Kalangan pers, berbagai media tentu saja meliput dan menyoroti buku baru itu, "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu" (The Mute's Soliloquy).
Ibarat senjata paling ampuh dalam membombardir Orde Baru, maka Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah ibarat senjata Nuklir. Benar-benar menantang kekuasaan Suharto.
Hanya dalam hitungan jam, buku itu pun masuk daftar kehormatan berikut medali yang paling berkilau, "breidel".
Apa sih isinya, kok begitu dahsyat ledakannya? Dalam buku itu dimuat daftar orang-orang tahanan kamp pulau Buru yang meninggal karena sakit, dibunuh oleh militer, dan lain-lain. Intinya kamp Pulau Buru benar-benar ada dan telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana.
Buru Quartet itu berurutan sebagai berikut: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa (Child of All Nations), Jejak Langkah (Footsteps), dan Rumah Kaca. Tiap kali terbit satu persatu buku, dan tiap kali pula diberi medali kehormatan Satyalencana "Breidel" oleh pemerintah NKRI. Buku kedua dan ketiga (Jejak Langkah) berjarak cukup lama baru bisa terbit. Buku keempat, Rumah Kaca terbit (1988) sedangkan buku ketiga (Jejak Langkah) pada 1985.
Sebenarnya semua naskah itu sudah rampung ditulis dan dibawa ke dunia luar pada 1979, dari dunia kegelapan kamp tahanan Pulau Buru. Naskah tersebut ditulis dengan mesin ketik biasa. Termasuk juga Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Arok Dedes, Mata Pusaran semuanya menggunakan mesin tulis. Sumitro yang mengirimkan mesin tulis listrik, sampai di tangan Pramoedya berubah menjadi mesin tulis bobrok yang untung saja bisa diperbaiki oleh insinyur Tapol.
"Arus Balik" yang meluncur dari balik bumi pada 1995 mengantarkan Pramoedya tak lama kemudian meraih Ramon Magsaysay Award, dalam bidang literatur, yang juga dianggap Nobel Asia.
Begitu pula pada tahun 1988, tatkala Rumah Kaca (House of Glass) meluncur dari balik bumi, maka pada 1989 Pramoedya menerima penghargaan American PEN, juga menerima kehormatan sebagai anggota PEN. PEN merupakan wadah bergengsi bagi para penulis, dan seniman lainnya, yang penting sekali jadi benteng internasional guna menghadang sepak-terjang keganasan orde baru yang membungkam suara rakyatnya daripada dunia politik.
Hal-hal kecil itulah yang dikerjakan penerbit Hasta Mitra, mengorbitkan Pramoedya ke pentas dunia. Hasta Mitra bekerja dari balik bumi, tanpa henti. Konon di era konyol itu hal-hal kecil bisa bikin konyol, bagaimana mungkin terjadi, seorang mahasiswa Yogya membawa-bawa Bumi Manusia di kampus diganjar pengadilan 8 tahun penjara, Hasta Mitra dari balik bumi mengedit, melayout dan mengedarkan beberapa bentar untuk siap diberi penghargaan oleh Orde Baru berupa medali kehormatan "dibreidel". Kerja bakti tanpa peduli imbalan dan penghargaan apapun. Tanpa berharap memperoleh keuntungan finansil, semata-mata hanya ingin kepuasan bahwa buku itu bisa beredar.
Kebesaran Pramoedya berkat jasa orde baru yang membreidel semua bukunya sehingga dunia internasional memalingkan sejenak ke arahnya. Iklan gratis yang efektif, walaupun secara ilmiah dan populer, semua karya Pramoedya memang punya kelas tersendiri, kelas sempurna.
Pada 1996 dari rumahnya bertingkat dua, tepat pada hari ulangtahunnya, diundanglah pada sahabat dan pengagumnya, antara lain Gus Dur, Megawati, dan tokoh-tokoh tua lainnya. Menjelang magrib, sebuah buku baru yang sangat penting bagi dunia telah datang dari percetakan hari yang sama. Kalangan pers, berbagai media tentu saja meliput dan menyoroti buku baru itu, "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu" (The Mute's Soliloquy).
Ibarat senjata paling ampuh dalam membombardir Orde Baru, maka Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah ibarat senjata Nuklir. Benar-benar menantang kekuasaan Suharto.
Hanya dalam hitungan jam, buku itu pun masuk daftar kehormatan berikut medali yang paling berkilau, "breidel".
Apa sih isinya, kok begitu dahsyat ledakannya? Dalam buku itu dimuat daftar orang-orang tahanan kamp pulau Buru yang meninggal karena sakit, dibunuh oleh militer, dan lain-lain. Intinya kamp Pulau Buru benar-benar ada dan telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana.
Buru Quartet itu berurutan sebagai berikut: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa (Child of All Nations), Jejak Langkah (Footsteps), dan Rumah Kaca. Tiap kali terbit satu persatu buku, dan tiap kali pula diberi medali kehormatan Satyalencana "Breidel" oleh pemerintah NKRI. Buku kedua dan ketiga (Jejak Langkah) berjarak cukup lama baru bisa terbit. Buku keempat, Rumah Kaca terbit (1988) sedangkan buku ketiga (Jejak Langkah) pada 1985.
Sebenarnya semua naskah itu sudah rampung ditulis dan dibawa ke dunia luar pada 1979, dari dunia kegelapan kamp tahanan Pulau Buru. Naskah tersebut ditulis dengan mesin ketik biasa. Termasuk juga Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Arok Dedes, Mata Pusaran semuanya menggunakan mesin tulis. Sumitro yang mengirimkan mesin tulis listrik, sampai di tangan Pramoedya berubah menjadi mesin tulis bobrok yang untung saja bisa diperbaiki oleh insinyur Tapol.