Revolusi Indonesia mandeg oleh Orde Baru

 Revolusi Indonesia mandeg oleh Orde Baru

Max Lane

Saya membaca Bumi Manusia pertama kali pada tahun 1980. Ketika itu aku berumur 29 tahun dan sedang bekerja sebagai Sekretaris Dua di Kedutaan Australia di Jakarta di bagian proyek-proyek bantuan pembangunan. Sebelumnya saya pernah menterjemahkan sandiwara politis W.S. Rendra, Kisah Perjuangan Suku Naga, sebuah terjemahan yang sudah diterbitkan di Australia dan Amerika dan juga sudah dipentaskan di berbagai negeri. Pada tahun 70an, suara sajak dan drama Rendra merupakan suara peloporan daripada perlawanan terhadap kediktatoran Suharto.
        Ketika membaca BUMI MANUSIA pada tahun 1980, pertama saya tenggelam dalam keasyikan ceriteranya, dengan berbagai perannya yang menarik -- Nyai Ontosoroh, Minke, Annelies, Darsam, dan semuanya. Tetapi bukan hanya itu. Dengan membaca BUMI MANUSIA saya tiba-tiba sadar bahwa saya sedang membaca sebuah karya sastra yang revolusioner. Revolusi, itu yang sedang dijelaskan oleh Pramoedya, yaitu revolusi Indonesia pada awal-awalnya. Membaca BUMI MANUSIA adalah pertama kali dalam hidup saya saya sungguh-sungguh mengerti bahwa revolusi terutama ialah sebuah proses kreatif.
      Yang dijelaskan dalam roman BUMI MANUISA ini ialah bagaimana sebentuk kepribadian, sebuah jenis manusia tak tak pernah berinjak kaki di atas bumi Indonesia mulai untuk pertama kali menginjak kakinya itu. Sebelum ada generasi Minke -- Tirto Adhisuryo dan Kartini -- yang namanya manusia Indonesia belum pernah keluar dari kandung seorang ibu. Sebelumnya ada manusia Jawa atau Minangkabau atau Tionghoa atau Aceh. Dan BUMI MANUSIA menggambarkan bahwa lahirnya manusia Indonesia ini bukan, sama sekali bukan hasil penggabungan nilai budaya dari berbagai etnis, tetapi justru sebuah proses yang menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Proses ini berdiri di atas pertentangan antar nilai-nilai pembebasan dan ilmu pengetahuan dengan sebuah bentuk kediktatoran yang bernama kolonialisme.
      Buat Pramoedya Ananta Toer, perempuan muda Jawa yang bernamam Kartini itu, yang tinggal sendiri di sebuah kompleks bupati, jauh dari pusat dinamisme dunia di Eropa, menemukan ide-ide dan nilai yang dengan sendirinya bertentangan dengan kediktatoran ala Barat yang bernama kolonailisme itu. Begitu juga Tirto Adhsiuryo yang belajar nilai itu dari seorang korban kerakusan Barat, Sanikem yang dijual pada pengusaha Belanda, yang beranjak melalui sebuah proses revolusi diri menjadi Nyai Ontosoroh, seorang perempuan yang teguh dan mampu.
      BUMI MANUSIA, apalagi novel-novel berikutnya ANAK SEMUA BANGSA, JEJAK LANGKAH, dan RUMAH KACA, harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Sastra revolusioner ini, yang penuh kemanusiaan maupun semangat pembebasan, harus bisa dibaca orang di luar Indonesia. Itu perasaan saya itu pada waktu itu. Saya merasa itu urgen pada saat itu, dan masih urgen pada tahun 2006. Bung Pramoedya dan kawan-kawan di Hasta Mitra, Joesoef Isak, dan Hasyim Rachman menyetujui. Saya mulai dan selesaikannya secepatnya. Kemudian diterbitkan oleh Penguin Australia dan United Kingdom. 10 tahun kemudian disusul oleh William Morrow dan Penguin Amerika.
     Sejak tahun 1980-81 sampai sekarang proses penterjemahan karya Pramoedtya itu lebih berpusat pada proses berusaha mengerti pikiran Pramoedya dan mengerti perjalanan revolusi nasional Indonesia. Menerjemahkan Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca bukan hanya atau terutama sebuah usaha bergulat dengan bahasa. Terutama ialah usaha bergulat dengan sejarah revolusi Indonesia dan revolusi Indonesia sekarang. Menerjemahkan ataupun membaca karya-karya Pramoedya yang dia tulis sejak tahun 1959 tak teropisah dari proses belajar mengerti soal hubungan antara revolsi dan Indonesia.
      Untuk banyak orang “revolusi” berarti kekerasan. Memang revolusi Indonesia penuh dengah kekerasas, terutama yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang. Tetapi kaum pemuda juga angkat senjata dan bambu runcing pada tahun 1945-49 juga. Tetapi bukan itu yang terutama. Revolsui berarti memutarbalikkan tatanan masyarakat sekaligus, dan ini juga syarat mutlak, sekaligus mencipatakan sesuatu yang baru. Dalam proses sejarah revolusi Indonesia kolonialisme diputarbalikkan dan lahirlah sebuah kreasi baru Indonesia, bangsa Indonesia, negeri Indonesia, dan manusia Indonesia.
  Indonesia adalah kreasi revolusi. Tetapi menurut Pramoedya proses ini belum selesai, belum tuntas, terhambat proses menuntaskannya oleh Orde Baru itu sendiri. Empat buku BUMI MANUSIA sampai RUMAH KACA sebenarnya baru menceriterakan asal-usul dari proses revolusi ini, belum revolusinya sendiri yang mulai dengan berdirinya Sarekat Islam, dengan sastra pembebasannya seperti novel-novel mas Marco, dan yang berkembang dengan muncul figur-figur seperti, Soekarno yang penuh dengan seribu ide, kemudian munculnya berbagai partai, sastra-sastra baru sebagai basis kebudayaan baru, revolusi fisik tahun 1945-49, kemudian berbagai pergulatan untuk selesaikan revolusi sesudah kemerdekaan.
        Tetapi empat buku yang ceritera sekedar asul-usulnya itu sedemikian kaya dengan kemanusiaan dan sejarah. Bangsa dan orang Indonesia dan orang luarpun bisa mulai sadar akan dinamisnya revolusi Indonesia dari tahun 1900 sampai dengan 1965, kemudian tersendat-sendat mulai bangkit lagi sedikit pada tahun 1970an zaman mahasiswa dan perjuangan suku Naga, kemudian tahun 1980an zaman Hasta Mitra dan kelompok diskusi dan tahun 1990an zaman aksi di jalan dan jatuhnya Suharto. Bahkan kita semua bisa mulai sadar bahwa revolusi Indonesia ini tidak kalau sebagai enersi pembebasan dibanding dengan revolusi dunia lain yang mengubah dunia, seperti revolusi Prancis atau revolusi Amerika.
      Hanya kesadaran ini baru mulai saja. Kurang banyak orang Indonesia sudah membaca karya-karya Pramoedya.
      Ini merupakan tantangan. Semua karya klasik Pramoedya, terutama 4 buku ini tetapi juga ARUS BALIK, AROK DEDES, MANGIR, HOKKIAU DI INDONESIA antara lain harus menjadi bacaan wajib di sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah dan universitas.
      Bahwa anak-anak sekolah tidak diberi kesempatan membaca dan serius mempelajarinya adalah dosa besar. Bayangkan kalau di Inggris, Shakespeare dan Charles Dickens tidak diajarkan di sekolah; atau Steinbeck dan Hemingway tidak diajarkan di sekolah-sekolah Amerika. Serius gila! Kriminalitas! Sastra adalah basisnya setiap kebudayaan nasion. Sebuah karya terbesar sebuah nasion harus menjadi bacaan wajib untuk dipelajari di sekolah. Setiap murid harus bisa pegang buku-bukunya dan memilikinya berdiri di rak bukunya di rumahnya, biar itu rumah mewah di Menteng atau gubuk kecil di desa pelosok. Setiap perpustakkan sekolah harus punya dan setiap perpustakaan umum. Dan bukan hanya buku Pramoedya, tetapi semua klasik, baik dari zaman kolonial, zaman penuntasan revolusi (1949-65), zaman penindasan revolusi (1965-73), atau zaman kebangkitan kembali (1974-98).
      Tetapi karya-karya Pram adalah sastra yang mulai kembalikan Indonesia pada bangsanya dengan kembalikan sejarah kekreatifan politiknya. Karena itu, karya Pramoedya ini harus jadi prioritas menjadi bacaan wajib sekolah, persis seperti disuarakan oleh Wakil Presiden Adam Malik sesudah dia membacanya tahun 1981. Adalah tugas wajib oleh semua kita pembaca Pramoedya untuk sekarang berdiri dan menuntut ini: jadikanlah buku-buku ini bacaan wajib di sekolah. Pakai surat, petisi, demo atau apapun: ini tantangan buat kita semua ini.
      Mau saya tambah juga sebuah komentar lain: jangan lagi bicara BUIRU QUARTET. Jangan lagi menulis bahwa karya terbesar Pramoedya adalah Buru Quartet, yaitu empat buku yang mulai dengan BUMI MANUSIA itu. Memang BUMI MANUSIA mempunyai hikayat sendiri di Pulau Buru, penjara konsentrasi buatan Orde Baru itu. Ketika para tahanan pada demoralisasi sesudah terjadi siksaan dan pembunuhan, Pramoedya ceriterakan kisah penculikan gadis berumur 14 tahun bernama Sanikem untuk dijadikan gundik seorang Belanda dan bagaimana dia berjuang beranjak menjadi orang lebih bermartabat dari sang penculiknya sendiri.
      Tetapi empat buku merupakan bagian daripada sebuah karya intellectual yang lebih besar. Sebenarnya kita seharusnya bicara bukan empat  karya Buru tetapi delapan. Di dalam tahanan, dengan ingat-ingat semua bacaan dan risetnya dari tahun 1958-65, Pramoedya berhasil menulis 8 karya yang semuanya merupakan sebuah kesatuan. Babak-babak penting dalam sejarah Indonesia dianalisa dan diceriterakan lewat fiksi buat bangsanya: AROK DEDES, ARUS BALIK, MATA PUSARAN (naskahnya hilang), MANGIR dan baru kemudian BUMI MANUSIA, ANAK SEMUA BANGSA, JEJAK LANGKAH, dan RUMAH KACA. Naskah-naskah ini menjadi sebuah kekayaan budaya dan politik milik bangsa Indonesia dan dunia yang tak ternilai harganya.
      Pada tahun-tahun terakhir ini saya juga sudah selesai terjemahkan HOKKIAU DI INDONESIA dan juga AROK DEDES. Sebentar lagi, saya berharap, saya akan mulai terjemahkan ARUS BALIK. Memang ini semua juga bicara pada orang di luar. Sebagai penerjemah BUMIA MANUSIA dan ketiga buku lainnya, sampai sekarang saya terima surat dari segala macam pembaca mengucapkan terima kasih. Berapa banyak pembaca asing jatuh cinta sama buku-buku ini. Mengapa? Karena kuat gemanya suara revolusi. Begitu banyak orang yang rindu untuk pergolakan yang membebaskan dan menciptakan yang akan membabat dari kehidupan dunia kontemporer ini semua ketidakadilan, kebodohan, kebosanan yang terciptakan oleh sebuah system masyarakat dunia yang mapan dan sudah sampai jalan buntunya.
      “Kita sudah melawan, Ma,” berkata Minke pada Nyai Ontosoroh. Semua karakter Pramoedya dalam hikayat Nusantaranya yang ditulisnya ini adalah orang yang melawan. “Hanya ada satu kata: lawan” berbunyi syair Wiji Thukul pada tahun 90an. Indonesia diciptakan oleh proses kreatif yang dimulai oleh perlawanan. Semua proses kreatif dalam sejarah mulai dengan perlawanan. Penerbitan buku-buku Pramoedya tahun 80an oleh pemberani-pemberani Hasta Mitra juga merupakan sebuah perlawanan. Mungkin sejarah sudah mulai kembali dengan berbagai perlawanan ini. Mungkin akan sesuatu yang baru sama sekali terciptakan. Apakah itu? Saya belum tahu. Tetapi Pramoedya berkali-kali berkata bahwa dalam sejarah Indonesia ada suatu kekeliruan yang harus dibetulkan. Menggunakan nama “INDONESIA” katanya keliru. Pertama, ini ciptaan orang Barat. Kedua, artinya “kepulauan India”, dan Indonesia tak ada hubungan dengan India, kata dia. Pakai saja nama yang berasal dari sejarah sendiri: Dipantara atau Nusantara. Apakah dengan pernyataan ini oleh Pramoedya dia juga sedang berseru untuk rakyat Indonesia bangkit dan memulai sebuah proses kreatif baru?

***
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 11:54 PM