Novel Pramoedya Ananta Toer, Manuscript Mata Pusaran

Novel Pramoedya Ananta Toer, 
Mata Pusaran

by subowo bin sukaris

1400 Masehi
Tampuk singgasana Majapahit kini beralih secara damai dari Kusumawardhani kepada sang adik, Sri Maharatu Dewi Suhita. Selama memerintah Majapahit, Kusumawardhani lebih banyak bersikap sebagai pertapa, dan kini secara penuh memilih jadi pertapa bersama sang suami, Wikramawardhana daripada mengurusi pemerintahan Majapahit. Majapahit semakin kacau sejak ditinggal mangkat Prabu Hayamwuruk. Takhta Majapahit kini di tangan seorang wanita yang satu ini benar-benar mewarisi sifat Prabu Hayam Wuruk yang tidak memiliki seorang putra dari sang Paramesywari, sifatnya sekeras batu granit. Tidak lama sejak menjadi penguasa Majapahit sikap kerasnya ditunjukkan dengan perlakuan terhadap sang suaminya sendiri, Aji Ratna Pangkaya, seorang putra Melayu benar-benar diusirnya dari istana karena melakukan persekongkolan jahat yang tak dapat ditolerir lagi terhadap Majapahit.
      Sementara itu di saat yang sama secara kebetulan Armada Tiongkok di bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho berlayar ke selatan dalam jumlah besar dan mengangkut harta-benda dan kemewahan tak terbatas dari Tiongkok. Cheng Ho seorang yang sangat cerdas dan licin ini harus diberikan medan laga oleh sang Kaisar, dan itu lebih baik bila berlaga di luar wilayah Tiongkok. Maka sang Kaisar tak sayang menganugerahkan apa saja untuk Cheng Ho: prajurit terbaik, kapal terbaik, perbekalan terbaik, dan kekuasaan penuh dari Kaisar untuk melakukan apa saja dan di mana saja terdapat penduduk warga Tionghoa. Dan dengan alasan membela warganegara Tiongkok maka Cheng Ho mulai menghasut dan mengambil satu demi satu wilayah dan kerajaan bawahan Majapahit.
      Arya Damar dari Palembang berhasil dilepaskan dari Majapahit, juga Pahang, Singapura, semua dapat tunduk pada kewibawaan Tiongkok berkat politik kemewahan dan kasak-kusuk Cheng Ho.
      Kerajaan-kerajaan wilayah barat Majapahit itu pun setuju meminta perlindungan Tiongkok, dan untuk selamanya lepas dari Majapahit.
Dewi Suhita yang sibuk dan lebih memikirkan masalah menghadapi ulah Wirabhumi dari Blambangan yang berminat atas takhta Majapahit tidak bisa berbuat apa-apa dengan segala kegiatan armada Cheng Ho. Para pimpinan Armada Majapahit sendiri sudah dalam keadaan semau sendiri dan tak lagi sepenuhnya tunduk dengan kekuasaan pusat. Mereka tidak lagi dapat dipercayai oleh sang Maharatu akan menjalankan perintah Majapahit dengan baik. Suhita memilih menghadapi Wirabhumi dengan kekuatan militer, dia yang telah menghinakan dengan mengajukan lamaran kepada sang Ratu. Dalam pertempuran antara Majapahit dan Blambangan, pasukan kedua belah pihak telah melanggar amanagapa yakni menggunakan dalam pertempuran darat senjata kapal perang meriam cetbang. Wirabhumi seorang anak dari selir Prabu Hayamwuruk merasa paling berhak atas takhta Majapahit.
      Majapahit harus tetap dipertahankan sampai titik penghabisan walau kekuasaannya cuma tersisa hanya dalam istana. Majapahit harus tetap kokoh dengan segala kehormatannya dan tidak boleh lenyap, begitu tekad Sang Maharatu Suhita, putri kesayangan Prabu Hayamwuruk.
      Suhita mengangkat seorang wanita cantik menjadi panglima Pasukan Laut Majapahit yang baru. Seorang wanita tanpa latar belakang karir di bidang militer. Berenang pun ia tak mampu. Ni Ken Supraba demikian nama jabatan gelar panglima AL Majapahit dipercaya oleh Sang Ratu dapat menaklukkan hati para pemimpin gugus-gugus Majapahit yang tersebar di pelosok Nusantara. Kisah wanita cantik yang naik tampuk kekuasaan tertinggi di Majapahit ini mirip dengan wanita lain dari Kerajaan Romawi yang juga menduduki puncak kekuasaan Romawi di saat kerajaan sedang genting, dan gawat.
      Beberapa bulan berselang kemudian Cheng Ho yang menghadap ke istana Majapahit tertegun menghadapi panglima Majapahit yang baru ini. Tak disangkanya cuma seorang gadis cantik. Dan Cheng Ho yang sudah dikebiri itu tak dapat menemukan akal bagaimana menundukkan panglima yang semacam itu. Dalam perundingan di istana Majapahit tersebut, kedudukan Cheng Ho sederajat dengan Panglima Majapahit, dan Ratu Majapahit sendiri derajatnya dalam perundingan sama dengan Kaisar Tiongkok. Baik Sang Maharatu maupun Ni Ken Supraba pura-pura tidak tahu segala sepak terjang Cheng Ho di luaran sana. Tak ada pilihan lain. Maksud hati Cheng Ho meminta menghadap penguasa Majapahit ialah menuntut dan mendorong agar Ratu Majapahit dapat dibujuk untuk meminta perlindungan dan kekuatan Tiongkok dalam menghadapi pembangkangan di seluruh wilayah kekuasaan Majapahit, dan terutama menghadapi pemberontakan Wirabhumi.
      Suhita juga tahu Cheng Ho menggunakan strategi satu kaki di pihak Wirabhumi dan satu lagi dicobanya di pihak Majapahit. Cheng Ho yang beragama islam dan tidak pernah terbujuk oleh kecantikan wanita itu sudah diketahui kelemahan dan kekuatannya oleh petinggi majapahit. Dalam perundingan di hari selanjutnya Suhita yang mulai ikut bicara cuma menuding Cheng Ho dengan kata, "Yang Mulia, kami tahu bahwa armada Tiongkok sudah merebut dan mempengaruhi penguasa Majapahit bawahan kami di semenanjung Melayu dan Palembang, juga sebagian Kalimantan meminta perlindungan kekaisaran Tiongkok. Maka kami putuskan bahwa Majapahit tidak akan meminta bantuan apapun kepada Yang Mulia Dampo Awang sendiri maupun kepada kekaisaran Tiongkok. Kami sanggup menyelesaikan masalah kami sendiri." Setelah berucap demikian Suhita langsung mengundurkan diri dan perundingan dilanjutkan oleh para bawahan.
      Lama kelamaan keadaan negara Majapahit semakin memprihatinkan akibat perang berlarut-larut melawan Wirabhumi dan juga akibat kerakusan aparat sipil dan militer Majapahit yang menarik pajak tinggi terhadap rakyat di pedalaman Kalimantan selama sekian lama sejak Hayam Wuruk mangkat pada 1389 M. Permasalahan itu terakumulasi menjadi kekacauan besar di masa pemerintahan Maharatu Suhita.
      Sidang Pengadilan rakyat digelar di pelabuhan Gresik, pelabuhan utama Majapahit, untuk mengadili siapa saja baik sipil maupun militer yang dianggap korup maupun menyalahgunakan wewenang kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Jaksa, hakim, dan perangkat hukum lainnya semuanya saja diangkat langsung oleh rakyat, tanpa campur tangan pemerintah Majapahit.

***
mbah subowo bin sukaris


Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 11:10 PM