Inilah bedanya Jokowi
vs Soeharto
mbah subowo bin
sukaris
Jokowi (4/2016) baru
berkuasa 18 bulan, Soeharto 32 tahun berkuasa. Bagaimana membedakan mereka?
Menangkap kapal asing pencuri ikan selama 32 tahun berkuasa tidak dilakukan
oleh pemerintah Soeharto, kalau toh mereka (patroli penjaga perairan) berhasil
memergoki kapal asing, maka seluruh dunia juga tahu gimana ngatasi masalah
semacam itu, konon semua saja tahu bisa
"cincai" lah antara pencuri dan penjaga pantai.
"Semua bisa
diatur.... hee hee hee," kelakar wapres Adam Malik pada 1980-an.
Pada masa Orde Baru
semua saja bisa "cincai", contohnya kena tilang polisi di jalanan,
bisa "cincai"lah, sama-sama tahulah, sama-sama enak, sama-sama
untung.
Begitu pun dalam
aspek di segala bidang semua bisa diatur, asal ada "usaha".
Yang mungkin agak
sukar dilakukan ialah membebaskan tahanan politik orde baru. Untuk yang satu
ini tidak ada jalan keluarnya, tak ada "cincai". Konon tapol (tahanan
politik) Orde Baru akhirnya dibebaskan berkat "super cincai" antara
pemerintah Amerika Serikat dengan pemerintah Orba Soeharto.
"Bagaimana kami
bisa investasi di Indonesia, kalau di negeri ini masih banyak tahanan politik
belum dibebaskan dari penjara?" demikian kira-kira argumen orang-orang US
itu.
Dalam era Jokowi,
tilang di jalan sudah benar-benar mulai bersih. Semua penyelesaian tilang itu
dijalankan berdasarkan contoh yang dilakukan oleh "polwan" yang
terkenal tidak mau menerima "rasuah".
Akan tetapi dalam era
Jokowi belum hilang juga istilah "pelicin" misalnya jadi angkatan
batu: bayar lima puluh juta, jadi angkatan air: bayar enam puluh juta, jadi
angkatan ronda: bayar seratus juta, dan seterusnya.... itu belum hilang di era
Jokowi.
Kita berharap
mudah-mudahan segera hilang praktek itu, paling tidak mafianya kudu disadap
hp-nya (oleh KPK) agar bisa dilakukan OTT. Itu soal "kecil-kecil"
bisa berdampak luarbiasa bagi negeri ini. Karena penyakit kronis semacam itu
terjadi sudah sejak jaman Hindia.
Masih ingat cerita
"Bumi Manusia" karangan Pramoedya? Di sana diceritakan "Sastro
Kasier" menyerahkan anak gadisnya kepada administratur pabrik gula Tulangan
yang bernama Plikemboh agar dirinya (Sastro Kasier) menjadi juru bayar pabrik
gula.
Budaya
"calo" di era Soeharto begitu marak, "calo" lebih canggih
"mafia" memasang jerat gurita (bukan laba-laba lagi) di mana-mana ada
sumber ekonomi praktis. Ada calo bus, ada calo pns, ada calo tanah, dan
seterusnya.
Di masa Jokowi
"calo" itu baru hilang di sektor transportasi kereta api. Kalau toh
ada spekulan yang menawarkan harga tiket duakali lipat dari harga asli, itu mah
namanya panda memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Yang belum hilang
juga semasa Jokowi, ialah gangguan transportasi kendaraan angkutan besar,
pemandangan mencolok truk-truk selalu jadi makanan empuk oknum-oknum di
jalanan. Pertanyaannya kenapa gak seperti di film Amereka itu, truk-truk besar
bebas mengangkut apa saja. Maklum saja di Amerika kan jalan-jalan lebar dan
panjang. Bagaimana kalau truk bebas tanpa kontrol di sini? Mungkin Truk besar
itu perlu dibikinkan tol khusus untuk truk. Atau digantikan dengan "Tol
Laut" Jokowi, kalau tol laut sudah berfungsi tentu angkutan dengan truk
akan berkurang melalui jalan darat. Truk bisa dinaikkan ke kapal, dan bebas
mendarat ke pelabuhan manapun di salah satu pulau besar di Nusantara.
Jaman orde baru belum
ada "media sosial online", yang ada waktu itu baru mesin faximile,
@mail. Akan tetapi jaman orde baru "politik adalah panglima" mau jadi
pegawai sipil dan militer harus punya surat keterangan bebas partai si fulan.
Dikit-dikit partai si fulan bisa diarahkan kepada siapapun juga yang terindikasi
mau bikin gara-gara alias menggangu kamtibmas.
Tatkala seorang tapol
orde baru ditanya, kapan menjadi pengikut partai si fulan, jawabnya, "Aku
dibabtis di penjara ini dituduh dan diresmikian sebagai anggota partai si fulan
oleh sang interogator," begitu hebatnya menjadi rekor nomor satu di dunia
praktek politik orba yang antipartai fulan, sampai amerika pun yang menjalankan
doktrin McCharty kalah dari "eyang".
Jaman Jokowi tahanan
politik sudah minim, yang ada paling-paling tokoh separatis dan teroris, dua-duanya
bukan tahanan politik tapi tergolong melakukan tidak pidana, sekaligus
subversif.
Subversif, ya, di
jaman orba menulis kayak "gini" aja bisa dituduh subversif. Apapun
yang tidak sejalan dengan harmoni orkestra penguasa maka ia harus dibabat
habis. Itulah bedanya dengan masa Jokowi, masa kini masa multipartai. Masa orba
masa "demokrasi terpimpin" ala Soeharto, masa "politik adalah
panglima" ala Soeharto, masa "Pancasila" ala Soeharto.
Masa kini seperti
sudah diramalkan puluhan tahun yang lalu adalah masa berkiprahnya atau
munculnya "terorisme", itulah sebabnya buku-buku pedoman
"jihad" dan sebagainya adalah tabu dimiliki jika tidak mau
disangkut-pautkan dengan teroris. Dikit-dikit teroris. Rasanya bagi kelompok
tertentu sama saja, ketakutan dituduh anggota teroris di era Jokowi sama saja
dengan dituduh simpatisan komunis di era Soeharto.
*****