Ini kisah tentang "Joesoef Merdeka" yang bukan lagi orang Merdeka
Oleh Eka Kurniawan
"Kunjungan dua orang jurnalis muda ke rumahnya membuat dia kemudian terkenang pada karir jurnalistiknya sendiri"
Di masa tuanya kini, orang lebih mengenal Joesoef Isak sebagai
seorang editor buku terutama buku-buku karya novelis Pramoedya Ananta Toer.
Pada awal tahun 1980-an bersama dua sahabat karibnya, Hasyim Rachman dan
Pramoedya yang pernah menjalani pembuangan di Pulau Buru, Joesoef Isak mendirikan perusahaan penerbit
bernama Hasta Mitra. Empat novel yang dalam terjemahan Inggrisnya terkenal
dengan “The Buru Quartet” yang ditulis Pramoedya di Pulau Buru –- Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca -–, merupakan beberapa buku yang membuat Hasta Mitra terkenal di
dunia sebagai penerbit yang paling dikuyo-kuyo semasa rejim Orde Baru Suharto.
Keempat novel serial itu Joesoef menjadi editornya. Nama W.F. Wertheim dia akui
sangat membantunya dari segi akurasi data sejarah novel-novel historis itu.
Ia kini berumur 72 tahun, dan masih terus
menangani naskah-naskah Pramoedya di sebuah ruangan kecil yang disebutnya
“kandang ayam”. Dulunya kamar mandi di rumahnya yang terletak di daerah Duren
Tiga Jakarta Selatan. Dalam ruangan sempit, dengan atap langit-langit miring
nyaris ambruk, Joesoef tekun mengutak-ngatik seperangkat Macintosh, merk
komputer yang dengan fanatik dia pakai sejak 1987.
Ketika Joesoef belum lama ini masuk ICU di
sebuah rumah sakit di kawasan Jakarta Timur karena gangguan jantung, beberapa
rekan dan sahabat dari Amerika yang datang menjenguk menyarankan demi
kesehatannya merenovasi ruangan kerja tersebut. Tak hanya memberikan saran
tulus, melainkan menghadiahinya perlengkapan kamar-kerja termasuk sebuah AC
untuk memperbaiki kondisi “kandang ayam”nya.
Joesoef Isak, di usianya yang
senja itu, masih tampak penuh semangat meskipun ia agak mengeluh di tubuhnya
bersemayam penyakit. Ia ramah, dengan senyumnya yang lebar, kaca mata minus
bertengger di hidungnya, bercerita mengenai dunia jurnalistik yang pernah
membesarkannya. Secara sambil lalu ia bilang masih memiliki semacam kegenitan
wartawan; dan suka kesal bila melihat media massa sekarang gemar mengobral-obral gunjing
politik.
***
BAYANGAN masa lalu berkelebat di benaknya. Ia teringat Tom Anwar,
temannya sesama wartawan. Ketika itu, di awal tahun enam puluhan, Tom bekerja
sebagai pemimpin redaksi koran Bintang
Timur, sementara ia sendiri memimpin koran Merdeka. Kedua surat kabar itu bertetangga, di Jalan Hayam
Wuruk nomor 8 dan 9.
Ingatannya pada Tom membuatnya
teringat pada hal-hal menggelikan yang pernah ia lakukan untuk rekannya itu.
Rupanya Tom Anwar cukup sering memesan tulisan atau bahkan minta dibikinkan
editorial untuknya. Menurut Joesoef, itu pasti bukan karena Tom sudah mandul
menulis, sebab Joesoef mengakui Tom seorang penulis yang hebat. Tetapi Tom
selalu terlalu sibuk, kalau tidak mau dikatakan sering diserang penyakit malas.
Joesoef ingat, dulu wartawan tak dispesialisasikan seperti sekarang ini.
Wartawan tak ada bedanya dengan kuli borongan. Ia sendiri pernah menjadi
redaktur luar negeri, dalam negeri, pengadilan, menulis mengenai sepakbola, dan
bahkan mode. Menurutnya, Tom hebat dalam menulis apa pun, editorial maupun gaya reportasenya enak
dibaca. Di zaman Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia masih jaya dengan trio
Ramang-Djamiat-Sian Liong, ia sangat suka tulisan sepakbola Tom dan rubrik
pojoknya yang dalam istilah Joesoef dinilai kreatif, produktif sekaligus penuh
humor yang jitu, dan lagi-lagi ia kembali tersenyum geli mengingat hal itu.
Ia juga teringat pada
Burhanudin Mohamad Diah, atau lebih dikenal dengan sebutan BM Diah, seorang
wartawan yang jauh lebih senior dan yang sangat dia hormati. Tentu ini wajar.
Bagaimanapun, BM Diah bukan saja merupakan majikannya tetapi sekaligus mentor
jurnalistiknya. Bersama isterinya, Herawati, BM Diah menjadi pemilik harian
Merdeka, tempat Joesoef pernah bekerja.
Suatu hari di tahun 1996, BM
Diah yang lama menderita gagal ginjal masuk rumah sakit Gleneagles, Karawaci,
Tangerang. Joesoef pergi ke sana
untuk menengok. Rumah sakitnya sangat mewah, begitu ia berpikir. Keluarga BM
Diah menunggu juga di sana ,
di sebuah ruangan yang menurutnya tidak kalah mewah dari kamar hotel
berbintang. Ia datang, tapi BM Diah sudah sama sekali tak bisa mengenali siapa
pun, karena dalam keadaan comma.
Di ruang tunggu di sampingnya
duduk seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, rupanya dia seorang dari
suratkabar Merdeka. Satu orang pun sudah tidak ada lagi yang dia kenal setelah
dia keluar dari suratkabar itu, lebih-lebih setelah berpisah cukup lama dan
mendekam sepuluhtahun di penjara. Laki-laki itu tak mengenal Joesoef sama
sekali. Dengan akrab ia mulai bercerita tentang BM Diah di hadapan beberapa
penjenguk lain di kamar tunggu rumah sakit itu. Dia bercerita BM Diah waktu
menggarap memoarnya, yang paling berat untuk ditulisnya menyangkut “peristiwa
Joesoef”. Diah tak tahu bagaimana sebaiknya menulis tentang konflik politik
yang dialami suratkabarnya. Akhirnya ia mengambil keputusan tak menulis sebaris apa pun. Laki-laki itu terus
bercerita –- tak tahu Joesoef yang disebut-sebut ada di depannya. Soalnya walau
pun terjadi konflik politik, Diah tetap dekat ibarat abang dengan si Joesoef
ini. Diah tidak mau ungkit-ungkit masa lalu, hubungan pribadi dengan si Joesoef
itu pun tetap sangat bersahabat, begitu lanjutnya.
Joesoef membiarkan orang itu
bercerita panjang lebar soal konflik antara Joesoef dan BM Diah. Konflik itu
sempat menjadi peristiwa pers paling menghebohkan di tahun 1963. Konflik yang
kemudian membuatnya hengkang dari koran tersebut, serta secara formal
mengakhiri karirnya sebagai wartawan suratkabar harian. Tapi ia meyakinkan
dirinya bahwa seorang wartawan seperti juga prajurit tua “never die”, karena
hingga kini pun ia masih menulis walaupun tidak punya suratkabar. Sekeluar dari
Merdeka, sebagai sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika ia memimpin majalah
bulanan The Afro-Asian Journalist, kecuali bahasa Inggris juga terbit dalam bahasa
Prancis dan Arab.
Tak lama setelah kunjungannya,
BM Diah yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri diterbangkan dengan ambulans
helikopter dari rumah sakit Gleneagles ke rumah sakit Jakarta
di pusat kota ,
menempuh jarak sekitar setengah jam perjalanan. Ia berbaring di sana selama sepuluh hari,
hingga pada hari Senin 10 Juni 1996, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir
pada jam tiga dini hari.
Bukan semata-mata karena BM
Diah sudah meninggal, ketika Joesoef menandaskan bahwa antara dia dan BM Diah
tak ada lagi masalah. Jauh sebelum BM Diah pergi untuk selama-lamanya, mereka
beberapa kali masih saling jumpa.Pada suatu waktu Joesoef secara langsung dan
terbuka melakukan klarifikasi atas segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Sekarang semuanya sudah selesai, katanya dengan senang dan hati lega, tak ada
lagi masalah antara aku dan BM Diah. Dia ulangi ucapan BM Diah yang
diseling-seling bahasa Belanda: “ Suf, kau kenal Hera, kau kenal aku, tak
mungkin Hera atau aku menuduh kau macam-macam. Apa yang terjadi adalah suatu
konflik politik. Kita berbeda pendapat ketika itu. Itu wajar saja. Sekarang
semua itu sudah lewat!”
*****
DULU ia dikenal dengan panggilan Joesoef Merdeka, karena banyak
orang mengenalnya sebagai wartawan dan kemudian pemimpin redaksi harian
Merdeka. Ia masuk koran tersebut dengan cara yang aneh; melalui jual-beli.
Ceritanya, sebelum ia bekerja untuk koran tersebut, ia merupakan salah seorang
wartawan muda pada suratkabar Berita Indonesia, koran pertama Indonesia selepas proklamasi kemerdekaan. Tapi
pada tahun 1949, koran itu dijual ke BM Diah, seluruhnya termasuk para redaksi
dan wartawannya. Maka, bersama segala harta-benda milik Berita Indonesia, ia
boyongan pindah ke harian Merdeka dan
dikenallah ia sebagai Joesoef Merdeka.
Joesoef mengenang bahwa sang
pemilik tak pernah melepas jabatan pemimpin redaksinya di harian tersebut,
walau pun secara de facto BM Diah mengangkat orang lain untuk berfungsi sebagai
pemimpin redaksi untuk menulis editorial, memimpin pekerjaan rutin redaksi dan
sebagainya. Memang semua orang pun tahu, nama BM Diah melekat erat dengan korannya. BM Diah memang
identik dengan Merdeka. Merdeka adalah BM Diah dan BM Diah adalah Merdeka. Halaman muka koran Merdeka seolah melambai di depan Joesoef, terpatri
paten di bagian kiri sederet statement baku: “Didirikan
oleh BM Diah, 1 Oktober 1945.”
Seorang penulis biografi, Toeti Kaliailatu,
bahkan menyebutnya “raja” Merdeka . Ada
cerita bagaimana ia misalnya sanggup mendepak Rosihan Anwar, wartawan yang
kemudian dikenal sebagai pemimpin harian
Pedoman.
Pada 10 Agustus 1945 BM Diah
baru keluar dari tahanan Jepang di Pasar Minggu. Suasana proklamasi,
kegembiraan yang bercampur dengan kecemasan mengingat tentara Jepang masih
bergentayangan menunggu kedatangan Sekutu, mengambang di seantero kota. Namun
pekik “Merdeka!” mulai terdengar di
sana-sini, dan bahkan pada 1 September 1945 pekik itu menjadi salam nasional
secara resmi.
Saat itu kantor berita Antara
sudah terbit kembali, begitu juga
Berita Indonesia tempat Joesoef
mulai karier jurnalistiknya. Namun BM Diah pun berpikir untuk punya suratkabar
sendiri. Ide nekatnya muncul. Ia ingin merampas percetakan De Unie.
Percetakan De Unie adalah milik
seorang Belanda bernama Metzelaar, di zaman kolonial dulu dengan percetakannya
yang paling modern dan kantor redaksi paling lengkap, di sanalah dicetak
koran Java Bode serta majalah dua
mingguan Wereldnieuws. Ketika Jepang
datang, De Unie dipakai untuk mencetak koran
Asia Raya untuk orang Indonesia
dan Djawa Shimbun untuk orang Jepang.
Metzelaar sendiri sudah pergi entah ke mana.
Pada 29 September 1945
pagi-pagi sekitar pukul sembilan, BM Diah mengajak Frans Soemarto Mendur dan
Yep Kamsar, dua temannya yang pernah menjadi tukang setting dan korektor Asia
Raya. Namun Diah tutup mulut ketika ditanya ke mana tujuan mereka. Tapi di
tempat lain Rosihan Anwar serta Dal Bassa Pulungan sudah diberi isyarat dan
berjanji akan membantu. Aksi tutup mulut atas rencana ini ia lakukan mengingat
ia sendiri tahu betapa nekat apa yang akan ia lakukan. Bahkan untuk
berjaga-jaga, BM Diah menyelipkan sepucuk revolver di saku celananya.
Mereka pergi ke Molenvliet,
beberapa waktu kemudian bernama Jalan Hayam Wuruk, di mana terdapat gedung
percetakan De Unie. Diiringi teman-temannya, BM Diah memimpin masuk ke ruang
direksi Djawa Shimbun
Ia berpikir, bangsa yang sudah
kalah perang seperti Jepang, pasti tak punya semangat lagi untuk meneruskan
perang, maka ia berani saja melakukan tindakan nekatnya. Tapi ternyata apa yang
ia hadapi tak semengerikan bayangannya. Revolver di kantongnya, jangankan
dipakai, bahkan tak pernah dikeluarkan. Orang-orang Jepang itu, seolah tak
peduli, menyerahkan percetakan kepada mereka tanpa perlawanan sedikit pun. Pada
hari itulah mereka menjadi pemilik percetakan, “Atas Nama Republik Indonesia”.
Keesokan harinya mereka mulai
bekerja, mempersiapkan beberapa tulisan. Nama
Merdeka dipilih, mengingat salam nasional yang telah diresmikan itu.
Bentuk huruf dirancang, dan mereka kemudian mempergunakan jenis huruf Wiwosch
yang dicetak dengan tinta merah. Sepanjang umur
Merdeka, jenis huruf itu tetap dipertahankan. Kebetulan waktu itu di
gedung De Unie masih ada persediaan kertas yang banyak, cukup untuk enam bulan.
Beberapa tulisan yang sudah di-setting dicetak pada hari itu, siang-siang.
Lembar pertama dibaca beramai-ramai, dan korektor mulai membaca proefdruk untuk
mengoreksi berita yang salah ketik.
Mesin berputar lagi, dan suara sorak-sorai orang-orang nekat itu menggema penuh
kegembiraan. Sore 1 Oktober akhirnya koran itu beredar, meski cuma empat
halaman.
Namun cerita riang itu tak
berumur panjang. Jepang pergi tapi Sekutu datang. Tentara KNIL (Koninklijk
Nederlands Indisch Leger , Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda) dengan
seragam NICA (Nederlands Indies Civil Administration – Pemerintahan Sipil
Hindia Belanda) datang bersama tentara Inggris, memenuhi kota dan mempersempit
ruang gerak, termasuk para wartawan di koran
Merdeka.
Di sana-sini, di
pelosok-pelosok jalan, tampak tentara-tentara NICA siap menahaan atau
menginterograsi orang-orang yang dicurigai.
Yang paling mengerikan adalah
ketika suatu hari kantor Merdeka diserbu segerombolan anak-anak muda NICA.
Mereka berlarian di kantor yang luas tersebut sambil menembak ke sana-ke mari.
Memang tak ada yang tertembak, tapi sudah cukup membuat orang nyaris semaput.
Namun dengan berjalannya waktu,
terutama setelah kedatangan wartawan-wartawan asing serta perkenalan dengan
seorang kapten asal Gurkha yang senang nongkrong di Merdeka bernama Sen Grupta,
kantor Merdeka tak pernah diganggu lagi.
Masalah internlah yang kemudian
muncul. Rupanya ada persaingan keras antara para pendiri Merdeka, antara lain
BM Diah dengan Rosihan Anwar. Memang ada motif politik di belakang itu. Rosihan
Anwar pendukung Sjahrir, sementara BM Diah menentangnya. Perselisihan meningkat
sampai Rosihan dan beberapa pendukungnya berniat menyingkirkan BM Diah dari
Merdeka. Namun BM Diah sudah mencium gelagat itu. Ia bergerak lebih gesit,
Rosihan dan sekutunya didepak lebih dulu. Padahal, meskipun menjabat sebagai
redaktur pertama, Rosihan praktis melaksanakan fungsi pemimpin redaksi. Rosihan
hanya sekitar satu tahun di koran itu. Konflik politik dan perebutan
kepemilikan di mana ia berharap Merdeka menjadi milik semua karyawan,
membuatnya didepak dari sana. Itu juga yang ditulis Tribuana Said suatu ketika.
Dan itulah titik awal pemilikan dan kepemimpinan tunggal BM Diah di koran
Merdeka.
Kini, ketika Joesoef mengenangkan hari-harinya di koran Merdeka,
sambil ditemani suara bising tukang kayu membetulkan “kandang ayam”nya, koran
Merdeka sudah lebih dari lima bulan tidak terbit. Gulung tikar kehabisan modal
sementara koran-koran baru bermunculan mengiringi euforia kebebasan pers
setelah tumbangnya Soeharto: Detikcom siang dan sore, serta Koran Tempo
misalnya.
Joesoef memang sudah bukan
wartawan Merdeka lagi. Bahkan di biografi BM Diah yang ditulis Kaliailatu
namanya hanya muncul di tiga halaman, meskipun buku itu banyak mengulas
mengenai sejarah Merdeka. Merdeka tampaknya tak begitu suka mengait-ngaitkan
dirinya dengan Joesoef.
Sebaliknya apa pun yang
terjadi, benak Joesoef seringkali melayang ke sana. Ia masih mengenangkannya,
dengan segala romantismenya. Dia masih saja merasa punya hubungan emosional
dengan Merdeka, dengan BM Diah dan Herawati Diah yang tetap dia respek walau
sudah berpisah oleh suatu konflik politik. Betapa tidak, “the best years of life”
berada di sana, katanya.
Jauh dari rumah Joesoef, di sebuah rumah mewah di kawasan Kuningan
Jakarta, seorang perempuan yang masih tampak sehat di usia senjanya tetap
optimis dengan kebangkitan kembali Merdeka.
Ia adalah isteri almarhum BM
Diah, Siti Latifah Herawati, atau lebih dikenal sebagai Herawati Diah. Meskipun
ia mengaku tak sepenuhnya aktif dalam proses kelahiran baru Merdeka, tapi ia
membayangkan akhir tahun ini Merdeka sudah terbit lagi. “Ada investor
baru,” katanya, meskipun ia sendiri
belum bisa memastikan siapa yang akan jadi pemimpin redaksi. Ini kali situasi
dan kondisi politik sudah sangat lain ketimbang BM Diah pada tahun 1959 harus
mengangkat pemimpin redaksi baru bagi Merdeka.
***
NASIB ajaiblah yang membuat Joesoef menjadi pemimpin redaksi
Merdeka pada tahun 1959, satu hal yang tak terbayangkan mengingat tradisi
Merdeka yang selalu mencantumkan nama BM Diah sebagai Pemimpin Redaksi,
walaupun ada orang lain dia angkat untuk berfungsi sebagai pemred. Tradisi itu
memang dimungkinkan karena BM Diah sehari-hari tetap berkantor di Merdeka, ia
bukan saja memimpin suratkabar harian tetapi juga percetakan dan semua bidang
bisnis lain dari grup Merdeka. Ia pun tetap berada di Jakarta. Tetapi kali ini
tradisi itu tidak bisa dipertahankan. Soekarno mengangkatnya menjadi duta
besar untuk Cekoslowakia merangkap Hongaria. Secara formal, politis, protokoler
maupun fungsional, tak mungkin jabatan resmi pemerintahan dirangkap dengan
suatu jabatan swasta, apalagi pimpinan sebuah suratkabar yang bisa saja punya
garis politik berbeda dengan pemerintah.. Lagipula secara fisik ia berada di
luar Indonesia, ia berada jauh di Eropa Timur.
BM Diah sendiri sebenarnya
tak ingin meninggalkan Merdeka. Apalagi
isterinya sendiri sudah menerbitkan majalah
“Keluarga” di samping mingguan
“Majalah Merdeka” dan tengah merencanakan harian berbahasa Inggris “Indonesian
Observer”. Akhirnya paman Herawati datang menembus segala emosi dilematis. Ia
adalah Soebardjo, mantan Menteri Luar Negeri, dan berkata pada BM Diah, “Ah,
pekerjaan diplomat itu sama dengan pekerjaan wartawan. Bedanya, diplomat
membuat laporan buat menterinya, sedangkan wartawan membuat laporan buat
pembaca suratkabar.”
Bung Karno memang sedang
berselera tinggi mengirim wartawan jadi duta besar. Dinas luar negeri dan korps diplomatnya,
menurut Bung Karno perlu disuntikkan darah baru! Adam Malik dari Antara,
ia kirim ke Uni Sovyet. Asa Bafagih dari Duta Masyarakat yang juga
pernah pemimpin redaksi Merdeka dikirim ke Sri Lanka kemudian ke Aljazair.
Djawoto dan Sukrisno dari Antara masing-masing ke Peking dan Hanoi. Kemudian
Suardi Tahsin ke Bamako-Mali dan Armunanto juga dari Bintang Timur ke Cekoslowakia, menggantikan BM Diah.
Awalnya adalah pada suatu hari di bulan September 1959. BM Diah
dan keluarga tamasya akhir pekan ke Megamendung. Mereka mempunyai sebuah vila
di sana. Meninggalkan isteri dan anak-anaknya di vila, BM Diah naik Austin dan pergi ke Puncak, hendak membeli tanaman
hias dan bunga-bungaan. Herawati tengah bersantai, mengenakan pakaian shorts, rambut bahkan belum tersisir.
Tiba-tiba Menteri Luar Negeri Subandrio datang, tanpa pengawal dan tanpa
pakaian resmi. Kedatangannya yang mendadak jelas mengejutkan, dan lebih
mengejutkan adalah berita yang dibawanya. Subandriolah yang membawa berita
pengangkatan BM Diah menjadi duta besar.
***
“Siapa yang akan menggantikanmu?” tanya Soekarno ketika akhirnya
BM Diah datang ke Istana Merdeka berjumpa Presiden Sukarno. “Saya harap kau
berangkat ke Praha, tetapi suratkabarmu harus berada di tangan orang yang
progresif revolusioner. Kalau suratkabarmu tidak berada di tangan orang yang
progresif revolusioner, akan kupanggil kau pulang.”
Ketika itu BM Diah tak bisa
langsung menjawab. Bagaimanapun, ia tak memikirkan ada seseorang menggantikan
posisinya di Merdeka. Calon memang ada
beberapa, baik dari luar maupun dari dalam redaksi sendiri. Kepada Soekarno, BM
Diah kemudian menjawab “Joesoef”.
Joesoef Isak akhirnya menjadi
pilihannya, meski masih cukup banyak tenaga senior lain di atasnya. Ketika itu
ia berumur 31 tahun. Menurut penulis biografi BM Diah, Joesoef gemar membaca
terutama karya-karya Soekarno, Tan Malaka, Sjahrir sampai ke Karl Marx dan Mao
Zedong. Paling tidak itu memenuhi tuntutan Soekarno untuk menempatkan seseorang
yang progresif revolusioner sebagai pemimpin redaksi Merdeka. Kepada Joesoef,
BM Diah mengulang berkali-kali pesan Bung Karno untuk diperhatikan.
Sebelumnya ia menjabat sebagai
redaksi pertama. Ketika BM Diah dan Herawati Diah berdiri untuk dipotret di
pelaminan semasa resepsi pernikahan Joesoef tahun 1956, Diah berbisik: “Ik heb
een cadeau voor jou – aku punya kado untuk mu. Mulai hari ini aku angkat kau
menjadi redaktur pertama.” Dulu disebut
managing editor.
Itu kisah Joesoef yang
diceritakannya sendiri mengenang hubungannya dengan Diah. Dan demi amanat Diah
yang meneruskan pesan Presiden Pemimpin Besar Revolusi, ia dengan konsisten
menjalani garis Soekarno yang memang juga diyakininya sendiri: revolusioner-progresif,
sepanjang ia memimpin redaksi koran
Merdeka . BM Diah dan isterinya ke Praha, sementara Merdeka
di tangan Joesoef dengan gigih tampil menjadi pendukung Manipol dan
kebijakan politik Soekarno.
Namun Joesoef rupanya tampil
pada waktu yang tidak tepat. Di tengah karir jurnalistiknya yang cemerlang,
hantu perang dingin membayang di belakangnya. Konfrontasi antara kubu kapitalis
Amerika Serikat dan kubu komunis Sovyet semakin memanas selepas Perang Dunia
Kedua. Joesoef yakin, nasib yang kemudian menimpanya, dan juga nasib bangsa ini
secara umum -– termasuk Bung Karno -–, tak bisa dilepaskan dari latar perang
dingin. Kubu kapitalis dan kubu komunis siap memlintir leher masing-masing.
Kebetulan yang menang adalah kubu kapitalis. Adalah korup mengkaji periode
Sukarno tanpa memperhatikan bahwa perang dingin sedang berlangsung
sepanas-panasnya, katanya.
Ia menarik nafas, mengakhiri
ceritanya. Sepanjang monolognya yang panjang, ia tak merokok dan juga tak
minum. Bahkan, Joesoef tak beranjak dari kursinya. Ia tampak begitu semangat
menumpahkan apa yang ada di benaknya, mengeluarkan semua kenangan-kenangan masa
lampaunya. Ia senang masih ada yang mengingat dia sebagai wartawan, profesi
sejatinya.
******