Joesoef Isak: Tabah dan Cakap
Koesalah Soebagyo Toer
Saya pertama kali kenal Pak Joesoef Isak tahun 1970, ketika saya dipindahkan dari Blok R ke Blok Q di RTC (Rumah Tahanan Chusus) Salemba, Jakarta. Warga dalam (istilah untuk tahanan G30S di Salemba) di Blok Q waktu itu sekitar seratus orang, satu dari 18 blok di Salemba. Blok itu dikenal sebagai blok pemimpin, karena di sinilah berkumpul bekas tokoh organisasi politik (PKI, PNI, Partindo dan lain-lain) dan massa (Lekra, LKN, Lesbi dll.), bekas anggota lembaga-lembaga tinggi negara (DPRS, MPRS, Front Nasional dll.) dan lain-lain.
Waktu itu konsinyes (istilah untuk peraturan penjara) sangat ketat. Tahanan baru harus disel sebulan lamanya tanpa boleh menerima kiriman dari rumah. Istilahnya makan jatah, yang kalau berlangsung lama, tahanan pasti mati. Dilarang mengucapkan kata kawan, solidaritas, aja lali. Bersembahyang lima waktu merupakan konsinyes keras bagi pemeluk agama Islam.
Pindah agama dilarang. Kalau tahanan terlanjur pindah, harus kembali ke agama semula. Jalan-jalan tiga orang (di halaman blok atau di lapangan RTC waktu giliran olahraga) dilarang. Dilarang memasukkan buku filsafat, politik, dan komik. Dilarang membaca koran, mendengarkan radio, menyimpan alat tulis. Dalam hal makanan, dilarang memasukkan sambel, tape, apalagi minuman keras.
Untuk semua itu sewaktu-waktu dilakukan razia di blok-blok. Dan perwira observasi Marzuki (dengan zu!) mengawasi pelaksanaan konsinyes dengan ketat. Dia pegang keker yang bisa menghantarkannya ke segala penjuru blok. Dia sampai membanggakan diri, ”belum ada sejarahnya dua ribu PKI tunduk pada seorang pelda”. Tiap Senin ada Senenan: para Kablok (kepala blok) menghadap Marzuki dan melaporkan situasi bloknya. Orang-orang tertentu mendadak dipanggil, dipaksa jadi cecunguk, ditanyai tentang apa saja, termasuk kelakuan para rekannya.
Semua warga dalam tercekam oleh konsinyes itu. Tapi ada yang dengan tenang mampu menepisnya, yaitu Pak Joesoef. Buktinya? Yang paling menyolok: Dia tidak sembahyang! Kalau bukan orang peng-pengan tidak mungkin ini kiranya. Dan bukan hanya itu. Saya lihat dia terus menjaga standar kecendekiaannya. Dialah pemilik buku kedua terbanyak di RTC, dengan 40 buku (Pak Chalid Arifin nomor satu, dengan 60 buku). Saya tahu itu, karena saya yang mengurus buku mereka dan buku pemilik lain, hingga jumlahnya mencapai 600, dan kemudian (ketika konsinyes melonggar) resmi dibentuk perpustakaan. Dan yang unik, di tengah masa penahanan yang berat itu, Pak Joesoef tetap melaksanakan fungsinya sebagai wartawan. Dia selalu up to date dengan situasi nasional dan internasional. Tahu saja dia, ada terjadi ini-itu di luar. Dan waktu dia berceramah tentang situasi (dalam rangka acara di blok), sepertinya dia berbicara di hadapan konperensi nasional saja (kebetulan ia adalah bekas ketua KWAA, Konperensi Wartawan Asia-Afrika). Dan ketika seorang mayor (warga dalam) ngotot mengatakan, tidak mungkin Uni Soviet dan RRT – sama-sama negeri sosialis – bentrok di perbatasan, dengan senyumnya yang khas Pak Joesoef mengatakan: Kalau salah satu atau kedua negeri itu sudah berubah, tentu mungkin.
Saya beruntung pernah satu sel dan satu riungan (kelompok makan untuk saling bantu) dengan Pak Joesoef. Kalau kirimannya datang, saya biasanya yang memindahkan makanan. Dari situlah saya tahu, kadang-kadang nasinya bercampur guntingan tulisan. (Di sini jasa dan keberanian Bu Joesoef perlu diakui). Dan karena Pak Joesoef kadang-kadang dipanggil Marzuki, saya pun sering dapat bocoran isi pembicaraan mereka. Marzuki keliru mengatakan yang di atas itu. Tidak semua tahanan tunduk padanya. Pak Joesoef tidak tunduk, bahkan mampu memanfaatkan pemanggilan terhadap dirinya.
Pak Joesoef biasa menanggapi kata-kata orang dengan senang hati dan bertanggungjawab, hingga ia menjadi lawan bicara yang santai dan hangat. Begitulah juga kiranya ia menanggapi kata-kata Marzuki, hingga Marzuki dapat merasa bersahabat dengan Pak Joesoef. Tidak heran, kalau sesudah Pak Joesoef bebas, Marzuki masih – bukan memanggil – melainkan memanggilkan diri pada Pak Joesoef.
Tidak tunduk pada Marzuki berarti tidak tunduk pada Jenderal Soeharto, karena Marzuki itu cuma sekrup kecil Diktator Soeharto. Maka saya sama sekali tidak heran, sepulang penghuni paksa Buru, tiga serangkai Joesoef Isak, Hasjim Rachman dan Pramoedya Ananta Toer “berani” membentuk penerbit Hasta Mitra, “berani” menerbitkan kuartet “Karya Pulau Buru”, “berani” menanggung pembredelan demi pembredelan yang membangkrutkan, dan yang terpenting “berani” menghadapi interogasi yang pada hakekatnya adalah teror militer. Ketiga serangkai mengalami interogasi dengan tabah dan cakap. Seorang Hesti Nugroho yang (hanya) pengedar “Karya Pulau Buru” diadili dan dijatuhi hukuman banyak tahun, seorang Pak Kasto yang (hanya) pesuruh Hasta Mitra disekap berbulan-bulan, tapi seorang Joesoef Isak, seorang Hasjim Rachman, dan seorang Pramoedya Ananta Toer lolos, meger-meger di rumah masing-masing. Ketabahan dan kecakapan ketiga serangkai ini sungguh mengagumkan, dan menimbulkan kepercayaan. Rakyat Indonesia mengakuinya. Dunia mengakuinya.
Tapi... orang biasa tergelincir bukan oleh batu besar, sebaliknya oleh kerikil kecil. Setelah menunjukkan keperkasaannya sebagai satu, ketiga serangkai ini pecah. Saya sebagai sahabat Pak Joesoef, sahabat Pak Hasjim Rachman, dan lebih-lebih lagi sahabat Pramoedya Ananta Toer, hanya bisa memastikan bahwa ada salah paham di balik perpecahan ini. Sayangnya, seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Nasi sudah jadi tai.”
Tinggallah kini melakukan apa yang masih bisa dilakukan. Satu di antaranya bagi saya adalah menulis ucapan selamat ini kepada Pak Joesoef Isak pada ulang tahunnya yang ke-80. Mudah-mudahan di bawah pimpinannya, Hasta Mitra tetap produktif dan kreatif.
***