Wertheim Award 2005 pidato sambutan

Wertheim Award 2005

Pidato Sambutan Joesoef Isak

Yang terhormat Pimpinan Wertheim Foundation,
Yang terhormat pimpinan dan staf KBRI di Den Haag,
Bung Goenawan dam rekan-rekan ku yang baik,

Hadirin yang terhormat, secara fisik setelah operasi jantung tiga minggu yang lalu kesehatan saya belum sepenuhnya pulih kembali, akan tetapi hati dan otak saya pada saat ini segar bugar dan saya sangat berbahagia berdiri di sini bertatap muka dengan saudara-saudara sekalian dalam peristiwa yang punya arti istimewa bagi diri saya ini.


part 1 of 2

part 2 of 2

    Wertheim Award  yang saya terima hari ini bersama kawan baik saya bung Goenawan Mohammad sangat membanggakan dan merupakan kehormatan besar bagi saya, dan justru karena itu saya segera merasa perlu menyatakan di sini bahwa penghargaan ini tentu bukanlah semata-mata bagi diri saya seorang diri. Dalam hal ini saya sangat sangat sadar bahwa perjuangan untuk kebebasan menyatakan pendapat bagi individu maupun bagi masyarakat adalah suatu kerja-kolektif oleh insan-insan yang seazas dan sependirian. Khusus mengenai kegiatan Hasta Mitra yang bergerak di bidang penerbitan, pertama-tama ingin saya sebut di sini jasa rekan saya almarhum Hasyim Rachman dan Pramoedya Ananta Toer, selanjutnya jasa para pekerja yang tekun dan setia pada cita-cita Hasta Mitra, antara lain almarhum sdr. Kasto dan sdr. Sugeng. Empat nama yang saya sebut itu adalah bekas tapol Pulau Buru. Saya juga tidak akan melupakan para pemuda dan mahasiswa, begitu pun toko-toko buku kecil yang berani ikut memikul risiko dalam mengedarkan buku-buku yang kami terbitkan akan tetapi selalu dilarang beredar oleh pemerintah Suharto.
    Ada satu hal yang ingin saya garis-bawahi di sini, yaitu bahwa Award ini inherent mengandung pengakuan bahwa di zaman Republik Indonesia yang baru berdiri sejak 1945 terdapat cacat hitam yang sangat merendahkan martabat manusia. Dalam lebih dari separoh usia republik yang enam-puluh tahun ini, telah berlangsung otoriterisme militer di bawah pimpinan jendral Suharto, akan tetapi kita semua tahu bahwa  negeri-negeri yang menamakan diri “the free world”  justru menganggap periode Suharto itu adalah periode demokrasi di Indonesia karena jendral itu berhasil menumbangkan kekuasaan Soekarno yang katanya pro-komunis. Award yang saya terima ini saya anggap sebagai koreksi terhadap manipulasi politik dan kekisruhan penilaian sejarah itu.
    Selanjutnya Award ini mengandung pengakuan bahwa di tengah-tengah kekuasaan facsisme militer telah lahir dan tumbuh kekuatan rakyat yang terbuka berlawan terhadap kekuasaan sewenang-wenang itu. Kekuatan progresif ini belum muncul sebagai pemenang karena lengsernya jendral Suharto tidak dengan sendirinya berarti runtuhnya secara substantive kekuasaan otoriter yang nenamakan diri rejim Orde Baru tersebut. Ini jelas dibuktikan oleh penghargaan yang diberikan oleh partai Golkar baru-baru ini kepada ­orang yang justru memimpin suatu rejim otoriter dan orang yang membudayakan korupsi dalam seluruh strata kehidupan politik dan ekonomi di Indonesia. Arti penting kekuatan berlawan ini adalah bahwa kekuatan ini sudah berani tampil terbuka dan adalah sangat penting bahwa kekuatan berlawan seperti ini tidak boleh berhenti di tengah jalan, sebab tugas menegakkan keadilan, hak-hak kebebasan individu dan martabat manusia adalah suatu pekerjaan seumur hidup, di mana pun dan dalam situasi apa pun.
    Saya bangga menerima Wertheim Award ini, terutama karena saya mempunyai hubungan pribadi yang khusus dengan Professor Wertheim yang dalam segala segi saya hormati dan kagumi wibawa dan martabatnya yang anggun sebagai manusia, sebagai ilmuwan mau pun sebagai sahabat. Sejak saya keluar penjara dan bertemu beliau di tahun 1977 di Wageningen, saya terus-menerus mempunyai komunikasi dengan beliau sampai pada tahun-tahun akhir hayatnya. Hubungan khusus yang saya maksud adalah bahwa beliaulah yang telah mendampingi saya dengan petunjuk, saran dan nasehat ketika saya meng-edit buku-buku tetralogi Pramoedya Ananta Toer yang terkenal itu. Dari hubungan yang intens itu menjadi jelas bagi saya bahwa Prof Wertheim tidak terbatas simpatinya hanya pada Hasta Mitra, tetapi lebih dari itu beliau adalah sahabat sejati Indonesia tanpa pamrih, ia seorang Belanda pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia tanpa syarat, terutama emansipasi rakyat kecil yang tertindas. Mengetahui sikap yang genuine dan konsisten memihak pada rakyat Indonesia seperti itu, saya menjadi berpikir apakah pemberian Award harini bukankah merupakan peristiwa yang terbalik-balik? Bukankah Indonesia, khususnya rakyat Indonesia yang sepatutnya memberikan penghargaan setinggi-tingginya dan berterima-kasih kepada Prof. Wim Wertheim yang dengan konkret telah memberikan sumbangannya kepada perjuangan kemerdekaan dan emansipasi rakyat Indonesia? Mengutip gagasan politik Bung Karno, maka Prof Wertheim adalah unsur the new emerging forces di tengah-tengah kekuatan the old established forces yang berada dalam masyarakat Belanda maupun masyarakat Indonesia. Bagi saya, Wim Wertheim adalah Multatulinya abad ke 20 yang patut kita hargai, patut kita tundukkan kepala menghormatinya dan mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya atas segala sumbangsihnya yang tak ternilai kepada rakyat Indonesia.

Hadirin yang saya hormati,
    Mengakhiri acceptance-speech yang ringkas ini, saya ingin berbagi pengalaman dengan para rekan saya di Belanda sini dalam menangani kerja-politik yang berkaitan dengan hak-hak individu untuk bebas menulis dan bebas menyatakan pendapat. Apa yang saya kemukakan di sini adalah pengalaman Indonesia, walaupun begitu pada dasarnya perjuangan untuk demokrasi dan hak-hak azasi manusia di mana pun bersifat universal, karena kekuatan reaksioner, kekuatan otoriterisme sipil maupun militer yang melecehkan martabat manusia, menghambat emansipasi dan kebebasan individu, di mana pun di muka bumi ini mempunyai ciri-ciri kesamaan.
    Sebagai butir pertama ingin saya sampaikan di sini agar dalam menghadapi kekuasaan otoriter dan represif – diwakili pemerintahan atau pun unsur-unsur fanatik masyarakat –,  kita jangan sekali-kali mempunyai illusi bahwa kekuatan reaksioner itu akan mempunyai pengertian apalagi bisa punya toleransi terhadap prinsip-prinsip demokratis yang sedang kita perjuangkan. Dengan ini ingin saya sampaikan bahwa sikap-sikap kompromis dalam bentuk-betuk penyesuaian diri atau tegasnya selfcensorship tidak akan melunakkan kekuatan otoriter dan represif, sebaliknya malah akan memacu sikap lebih keras karena kekuatan represif tidak akan pernah punya akal-sehat untuk memahami prinsip-prinsip demokrasi. Selfcensorship oleh pihak yang merasa diancam adalah awal dari kemenangan demi kemenangan bagi kekuatan reaksioner yang otoriter dan represif. Selfcensorship sama parahnya dengan sensor aktif oleh pihak penguasa, ia merupakan prestasi gemilang penguasa tanpa perlu mengotori tangannya.
    Pengalaman lain yang ingin saya sampaikan di sini adalah pantang capèk, apalagi berhenti di tengah jalan dalam memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi milik kita yang paling sah. Capèk, bosan, putus-asa, rasa takut adalah hal-ihwal yang diharapkan oleh semua penguasa otoriter yang reaksioner dari orang-orang atau kelompok yang mereka mau tindas. Menghadapi kekuasaan otoriter yang mampu melakukan kekejaman memang bukan pekerjaan bermain-main menjadi pahlawan. Adalah wajar sekali bila kita dicengkam rasa-takut, akan tetapi justru rasa takut, capèk, bosan dan putus-asa adalah hal-hal yang justru jangan pernah diberikan kepada penguasa.
    Kita tahu dan bolehlah yakin bahwa kita tidak sendiri dalam perjuangan menegakkan hak-hak azasi manusia, berjuta orang dalam solidaritas akan berjalan seiring sejalan bersama kita di seluruh penjuru dunia. Akan tetapi dalam praktek pelaksanaan mencapai apa yang akan kita perjuangkan, maka kita masing-masing memikul tanggung-jawab sendiri-sendiri. Kebersamaan dengan orang-orang lain yang sejalan dan sependirian akan menghasilkan  kemenangan bersama, namun memenangkan kebebasan dan martabat manusia pertama-tama selalu adalah perjuangan individual kita masing-masing.
    Kami di Indonesia masih harus menempuh perjalanan jauh dan panjang dalam menegakkan hak-hak azasi manusia, apalagi meraih keadilan dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Saya sama sekali tidak punya illusi terwujudnya perubahan sosial-politik yang berarti, selama kekuatan sosial-politik yang bertanggung-jawab atas kejahatan kemanusiaan tiga-puluh tahun lebih masih tetap mengatur dan ikut menentukan politik Indonesia hari ini. Tidak ada jalan pintas, dan tidak ada jalan lain menghentikan kesewenang-wenangan daripada apa yang dengan indah diucapkan oleh Wiji Thukul, seniman rakyat pemenang Wertheim Award di tahun sembilan-puluhan : Hanya ada satu kata : Lawan! Jangan pernah berhenti berlawan menghadapi ketidak-adilan.
    Sekali lagi kepada segenap pengurus Wertheim Foundation saya ucapkan terima-kasih yang sedalam-dalamnya atas anugerah Wertheim Award ini. Saya menerimanya atas nama rekan-rekan saya di Hasta Mitra dan para pemuda dan mahasiwa yang dengan sadar dan berani ikut membela dan memperjuangkan hak-hak azasimanusia, hak-hak individu untuk kebebasan menulis dan menyatakan pendapat secara bebas.


Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 8:56 AM