Pramoedya Ananta Toer
Gadis Pantai
by Subowo bin Sukaris
Priyayi Jawa di kota pedalaman yang biasanya punya penghidupan yang baik dibandingkan rakyat jelata di pantai yang harus membanting tulang dengan sendirinya agar dapat mempertahankan gaya hidup sederhananya. Adalah hal biasa terjadi orang tidak berharta memandang lebih kepada yang mampu dan kecukupan. Di samping itu orang biasa memandang dirinya punya penghidupan yang bebas sebebasnya tidak terkena peraturan apapun yang membebani seorang priyayi Jawa umumnya dengan berbagai sopan-santun dan tata-tertib lainnya. Dan saking sopannya untuk mendapatkan seorang istri yang baik bagi Bendoro yang terhormat itu melalui percobaan menikahi gadis kampung biasa sebagai kelincinya.
Tujuan akhirnya tentu saja menikah dengan istri yang berasal dari sesama priyayi atau wanita terhormat lainnya asalkan bukan orang kampung dan miskin tambah kafir lagi.
Priyayi muslim tetaplah seorang yang memiliki ilmu agama Islam lebih dari rakyat biasa yang terkadang malahan belum mengenal banyak soal sorga dan neraka karena sibuk cari nafkah. Tak punya waktu sisa untuk hal lainnya. Di samping sebagai istri sementara yang bakalnya bisa membuahkan seorang bayi priyayi yang terhormat, tapi ibunya tidak mendapatkan setinggi itu. Cukuplah mendapatkan pendidikan agama dari sang bendoro dan melayaninya dengan baik setelah itu pulang ke kampungnya kembali sebagai seorang yang telah lulus ujian hidup.
Priyayi muslim tetaplah seorang yang memiliki ilmu agama Islam lebih dari rakyat biasa yang terkadang malahan belum mengenal banyak soal sorga dan neraka karena sibuk cari nafkah. Tak punya waktu sisa untuk hal lainnya. Di samping sebagai istri sementara yang bakalnya bisa membuahkan seorang bayi priyayi yang terhormat, tapi ibunya tidak mendapatkan setinggi itu. Cukuplah mendapatkan pendidikan agama dari sang bendoro dan melayaninya dengan baik setelah itu pulang ke kampungnya kembali sebagai seorang yang telah lulus ujian hidup.
Kenyataannya persaingan memperebutkan suami juga harus dialami yang terhormat para priyayi santri Jawa itu. Kaum wanita dari golongan santri priyayi harus menghadapi ketatnya persaingan pasar kini harus ditambah lagi menghadapi saingan dari gadis kampung yang lebih menggairahkan bagi pria-pria tak punya pengalaman soal wanita itu.
Si Gadis Pantai yang berasal dari pantai dan hidup dari hasil pantai merasa bahagia tinggal di kampunya sendiri daripada di gedung mewah milik Bendoro yang mengambilnya sebagai istri sementara. Apalagi anaknya sendiri harus ditinggalkan di gedung untuk diasuh oleh orangnya Bendoro.
Cerita Gadis Pantai terbit bersambung di sebuah harian pada tahun enampuluhan. Untuk mendapatkan copy naskahnya yang berbentuk microfilm yang kurang baik di simpan di sebuah institusi di Australia membutuhkan perombakan total dari naskah Gadis Pantai yang didapatkan tersebut. Editor Gadis Pantai yakni Joesoef Isak telah bekerja lebih daripada mestinya. Pramoedya sendiri yang menyerahkan editing sangat berat itu mengucapkan rasa terimakasihnya, "Bagus, bung!" Gadis Pantai termasuk buku yang dilarang oleh Orde Baru.
"Gadis Pantai ini sebenarnya kisah dari nenekku sendiri yang berasal dari pesisir di Rembang sana," kata Bung Pram suatu kali kepada sang editor.
Kehidupan paling asyik memang di pantai dan tak jarang penduduknya yang begitu miskinnya mungkin tidak tahu dirinya miskin karena asyik bergelut dengan lautan yang memiliki kekayaan melimpah: ikan, kerang, udang, dan batu karang.
"Ada jilid-jilid lain Gadis Pantai bahkan tiga jilid lanjutan dari ini yang hilang, dan saya tidak punya energi lagi untuk menuliskan ulang naskah tersebut, bung." kata Pram suatu kali di tengah sibuknya sang editor menjelaskan bagian mana saja yang diubahnya, "Terserah bung saja." jawaban Pram itu berarti menyerahkan bulat-bulat atas nasib sang naskah kepada kreaivitas editornya.
"Di mana hilangnya naskah itu, bung?" tanya si editor.
"Sekitar bulan-bulan Oktober-November tengah gencar-gencarnya orang membabi-buta melakukan anarki di beckingi oleh tentara. Mereka membakar buku-buku saya, dan mengambili apa yang saya punya dari rumah saya," jawab Pram.
Kekacauan yang benar-benar merugikan hasil karya bangsa sendiri yang tidak tergantikan dalam seratus tahun mendatang.
****