Kisah "Joesoef Merdeka" bukan lagi orang Merdeka

Ini kisah tentang "Joesoef Merdeka" yang bukan lagi orang Merdeka
Oleh Eka Kurniawan

"Kunjungan dua orang jurnalis muda ke rumahnya membuat dia kemudian terkenang pada karir jurnalistiknya sendiri"

Di masa tuanya kini, orang lebih mengenal Joesoef Isak sebagai seorang editor buku terutama buku-buku karya novelis Pramoedya Ananta Toer. Pada awal tahun 1980-an bersama dua sahabat karibnya, Hasyim Rachman dan Pramoedya yang pernah menjalani pembuangan di Pulau Buru, Joesoef Isak mendirikan perusahaan penerbit bernama Hasta Mitra. Empat novel yang dalam terjemahan Inggrisnya terkenal dengan “The Buru Quartet” yang ditulis Pramoedya di Pulau Buru –- Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca -–, merupakan beberapa buku yang membuat Hasta Mitra terkenal di dunia sebagai penerbit yang paling dikuyo-kuyo semasa rejim Orde Baru Suharto. Keempat novel serial itu Joesoef menjadi editornya. Nama W.F. Wertheim dia akui sangat membantunya dari segi akurasi data sejarah novel-novel historis itu.
 Ia kini berumur 72 tahun, dan masih terus menangani naskah-naskah Pramoedya di sebuah ruangan kecil yang disebut­nya “kandang ayam”. Dulunya kamar mandi di rumahnya yang terletak di daerah Duren Tiga Jakarta Selatan. Dalam ruangan sempit, dengan atap langit-langit mi­ring nyaris ambruk, Joesoef tekun mengutak-ngatik seperangkat Macintosh, merk komputer yang dengan fanatik dia pakai sejak 1987.
 Para pecinta karya Pramoedya di dalam negeri sampai di manca­negara berterima kasih pada kegigihannya mengedit naskah dan menerbit­kannya meski di bawah tekanan pemerintah Soeharto. Itu ucapan para wartawan dan ilmuwan asing yang mengunjunginya, mewawancarainya, serta memotretnya di kandang ayam tersebut. Terheran-heran mereka mengetahui bahwa karya-karya besar Pramoe­dya yang secara dramatis lahir di tempat pembuangan, tidak kalah dramatisnya pula mulai menjelma menjadi buku dari ruangan kecil dan sederhana ini.
 Ketika Joesoef belum lama ini masuk ICU di sebuah rumah sakit di kawasan Jakarta Timur karena gangguan jantung, beberapa rekan dan sahabat dari Amerika yang datang menjenguk menyarankan demi kesehatannya merenovasi ruangan kerja tersebut. Tak hanya memberi­kan saran tulus, melainkan menghadiahinya perlengkapan kamar-kerja termasuk sebuah AC untuk memperbaiki kondisi “kandang ayam”nya.
Joesoef Isak, di usianya yang senja itu, masih tampak penuh semangat meskipun ia agak mengeluh di tubuhnya bersemayam penyakit. Ia ramah, dengan senyumnya yang lebar, kaca mata minus bertengger di hidungnya, bercerita mengenai dunia jurnalistik yang pernah membesarkannya. Secara sambil lalu ia bilang masih memiliki semacam kegenitan wartawan; dan suka kesal bila melihat media massa sekarang gemar mengobral-obral gunjing politik.
***
BAYANGAN masa lalu berkelebat di benaknya. Ia teringat Tom Anwar, temannya sesama wartawan. Ketika itu, di awal tahun enam puluhan, Tom bekerja sebagai pemimpin redaksi koran  Bintang Timur, sementara ia sendiri memimpin koran Merdeka. Kedua surat kabar itu bertetangga, di Jalan Hayam Wuruk nomor 8 dan 9.
Ingatannya pada Tom membuatnya teringat pada hal-hal menggelikan yang pernah ia lakukan untuk rekannya itu. Rupanya Tom Anwar cukup sering memesan tulisan atau bahkan minta dibikinkan editorial untuknya. Menurut Joesoef, itu pasti bukan karena Tom sudah mandul menulis, sebab Joesoef mengakui Tom seorang penulis yang hebat. Tetapi Tom selalu terlalu sibuk, kalau tidak mau dikatakan sering diserang penyakit malas. Joesoef ingat, dulu wartawan tak dispesiali­sasikan seperti sekarang ini. Wartawan tak ada bedanya dengan kuli borongan. Ia sendiri pernah menjadi redaktur luar negeri, dalam negeri, pengadilan, menulis mengenai sepakbola, dan bahkan mode. Menurut­nya, Tom hebat dalam menulis apa pun, editorial maupun gaya reportasenya enak dibaca. Di zaman Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia masih jaya dengan trio Ramang-Djamiat-Sian Liong, ia sangat suka tulisan sepakbola Tom dan rubrik pojoknya yang dalam istilah Joesoef dinilai kreatif, produktif sekaligus penuh humor yang jitu, dan lagi-lagi ia kembali tersenyum geli mengingat hal itu.
Ada hal-hal yang mungkin hanya dia dan Tom yang tahu. Ia seorang wartawan ex- harian Merdeka yang oleh rekan-rekannya lebih dikenal sebagai “orang tengah”, sementara harian  Bintang Timur berafiliasi ke Partindo, jelas cenderung ke kiri. Hanya mereka yang bersangkutan sendiri tahu bahwa kadang-kadang editorial Bintang Timur ditulis oleh orang bekas harian Merdeka itu, lebih-lebih setelah dia lebih banyak punya waktu ketika tidak terikat lagi pada suatu suratkabar dan memimpin Persatuan Wartawan Asia-Afrika.
Ia juga teringat pada Burhanudin Mohamad Diah, atau lebih dikenal dengan sebutan BM Diah, seorang wartawan yang jauh lebih senior dan yang sangat dia hormati. Tentu ini wajar. Bagaimanapun, BM Diah bukan saja merupakan majikannya tetapi sekaligus mentor jurnalistik­nya. Bersama isterinya, Herawati, BM Diah menjadi pemilik harian Merdeka, tempat Joesoef pernah bekerja.
Suatu hari di tahun 1996, BM Diah yang lama menderita gagal ginjal masuk rumah sakit Gleneagles, Karawaci, Tangerang. Joesoef pergi ke sana untuk menengok. Rumah sakitnya sangat mewah, begitu ia berpikir. Keluarga BM Diah menunggu juga di sana, di sebuah ruangan yang menurutnya tidak kalah mewah dari kamar hotel berbintang. Ia datang, tapi BM Diah sudah sama sekali tak bisa mengenali siapa pun, karena dalam keadaan  comma.
Di ruang tunggu di sampingnya duduk seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, rupanya dia seorang dari suratkabar Merdeka. Satu orang pun sudah tidak ada lagi yang dia kenal setelah dia keluar dari suratkabar itu, lebih-lebih setelah berpisah cukup lama dan mendekam sepuluh­tahun di penjara. Laki-laki itu tak mengenal Joesoef sama sekali. Dengan akrab ia mulai bercerita tentang BM Diah di hadapan beberapa penjenguk lain di kamar tunggu rumah sakit itu. Dia bercerita BM Diah waktu menggarap memoarnya, yang paling berat untuk ditulisnya menyangkut “peristiwa Joesoef”. Diah tak tahu bagaimana sebaiknya menulis tentang konflik politik yang dialami suratkabarnya. Akhirnya ia mengambil keputusan tak menulis  sebaris apa pun. Laki-laki itu terus bercerita –- tak tahu Joesoef yang disebut-sebut ada di depannya. Soalnya walau pun terjadi konflik politik, Diah tetap dekat ibarat abang dengan si Joesoef ini. Diah tidak mau ungkit-ungkit masa lalu, hubungan pribadi dengan si Joesoef itu pun tetap sangat bersahabat, begitu lanjutnya.
Joesoef membiarkan orang itu bercerita panjang lebar soal konflik antara Joesoef dan BM Diah. Konflik itu sempat menjadi peristiwa pers paling menghebohkan di tahun 1963. Konflik yang kemudian membuat­nya hengkang dari koran tersebut, serta secara formal mengakhiri karirnya sebagai wartawan suratkabar harian. Tapi ia meyakinkan dirinya bahwa seorang wartawan seperti juga prajurit tua “never die”, karena hingga kini pun ia masih menulis walaupun tidak punya suratkabar. Sekeluar dari Merdeka, sebagai sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika ia memimpin majalah bulanan The Afro-Asian Journalist, kecuali bahasa Inggris juga terbit dalam bahasa Prancis dan Arab.
Tak lama setelah kunjungannya, BM Diah yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri diterbangkan dengan ambulans helikopter dari rumah sakit Gleneagles ke rumah sakit Jakarta di pusat kota, menempuh jarak sekitar setengah jam perjalanan. Ia berbaring di sana selama sepuluh hari, hingga pada hari Senin 10 Juni 1996, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada jam tiga dini hari.
Bukan semata-mata karena BM Diah sudah meninggal, ketika Joesoef menandaskan bahwa antara dia dan BM Diah tak ada lagi masalah. Jauh sebelum BM Diah pergi untuk selama-lamanya, mereka beberapa kali masih saling jumpa.Pada suatu waktu Joesoef secara langsung dan terbuka melakukan klarifikasi atas segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Sekarang semuanya sudah selesai, katanya dengan senang dan hati lega, tak ada lagi masalah antara aku dan BM Diah. Dia ulangi ucapan BM Diah yang diseling-seling bahasa Belanda: “ Suf, kau kenal Hera, kau kenal aku, tak mungkin Hera atau aku menuduh kau macam-macam. Apa yang terjadi adalah suatu konflik politik. Kita berbeda pendapat ketika itu. Itu wajar saja. Sekarang semua itu sudah lewat!” 
 *****
DULU ia dikenal dengan panggilan Joesoef Merdeka, karena banyak orang mengenalnya sebagai wartawan dan kemudian pemimpin redaksi harian Merdeka. Ia masuk koran tersebut dengan cara yang aneh; melalui jual-beli. Ceritanya, sebelum ia bekerja untuk koran tersebut, ia merupa­kan salah seorang wartawan muda pada suratkabar  Berita Indonesia, koran pertama Indonesia selepas proklamasi kemerdekaan. Tapi pada tahun 1949, koran itu dijual ke BM Diah, seluruhnya termasuk para redaksi dan wartawannya. Maka, bersama segala harta-benda milik Berita Indonesia, ia boyongan pindah ke harian  Merdeka dan dikenallah ia sebagai Joesoef Merdeka.
Joesoef mengenang bahwa sang pemilik tak pernah melepas jabatan pemimpin redaksinya di harian tersebut, walau pun secara de facto BM Diah mengangkat orang lain untuk berfungsi sebagai pemimpin redaksi untuk menulis editorial, memimpin pekerjaan rutin redaksi dan sebagai­nya. Memang semua orang pun tahu, nama BM Diah  melekat erat dengan korannya. BM Diah memang identik dengan Merdeka. Merdeka adalah BM Diah dan BM Diah adalah  Merdeka. Halaman muka koran Merdeka  seolah melambai di depan Joesoef, terpatri paten di bagian kiri sederet statement baku: “Didirikan oleh BM Diah, 1 Oktober 1945.”
 Seorang penulis biografi, Toeti Kaliailatu, bahkan menyebutnya “raja”  Merdeka . Ada cerita bagaimana ia misalnya sanggup mendepak Rosihan Anwar, wartawan yang kemudian dikenal sebagai pemimpin harian  Pedoman.
Pada 10 Agustus 1945 BM Diah baru keluar dari tahanan Jepang di Pasar Minggu. Suasana proklamasi, kegembiraan yang bercampur dengan kecemasan mengingat tentara Jepang masih bergentayangan menunggu kedatangan Sekutu, mengambang di seantero kota. Namun pekik “Merdeka!”  mulai terdengar di sana-sini, dan bahkan pada 1 September 1945 pekik itu menjadi salam nasional secara resmi.
Saat itu kantor berita  Antara  sudah terbit kembali, begitu juga  Berita Indonesia  tempat Joesoef mulai karier jurnalistiknya. Namun BM Diah pun berpikir untuk punya suratkabar sendiri. Ide nekatnya muncul. Ia ingin merampas percetakan De Unie.
Percetakan De Unie adalah milik seorang Belanda bernama Metzelaar, di zaman kolonial dulu dengan percetakannya yang paling modern dan kantor redaksi paling lengkap, di sanalah dicetak koran  Java Bode serta majalah dua mingguan Wereldnieuws. Ketika Jepang datang, De Unie dipakai untuk mencetak koran  Asia Raya  untuk orang Indonesia dan  Djawa Shimbun untuk orang Jepang. Metzelaar sendiri sudah pergi entah ke mana.
Pada 29 September 1945 pagi-pagi sekitar pukul sembilan, BM Diah mengajak Frans Soemarto Mendur dan Yep Kamsar, dua temannya yang pernah menjadi tukang setting dan korektor Asia Raya. Namun Diah tutup mulut ketika ditanya ke mana tujuan mereka. Tapi di tempat lain Rosihan Anwar serta Dal Bassa Pulungan sudah diberi isyarat dan berjanji akan membantu. Aksi tutup mulut atas rencana ini ia lakukan mengingat ia sendiri tahu betapa nekat apa yang akan ia lakukan. Bahkan untuk berjaga-jaga, BM Diah menyelipkan sepucuk revolver di saku celananya.
Mereka pergi ke Molenvliet, beberapa waktu kemudian bernama Jalan Hayam Wuruk, di mana terdapat gedung percetakan De Unie. Diiringi teman-temannya, BM Diah memimpin masuk ke ruang direksi Djawa Shimbun
Ia berpikir, bangsa yang sudah kalah perang seperti Jepang, pasti tak punya semangat lagi untuk meneruskan perang, maka ia berani saja melakukan tindakan nekatnya. Tapi ternyata apa yang ia hadapi tak semengerikan bayangannya. Revolver di kantongnya, jangankan dipakai, bahkan tak pernah dikeluarkan. Orang-orang Jepang itu, seolah tak peduli, menyerahkan percetakan kepada mereka tanpa perlawanan sedikit pun. Pada hari itulah mereka menjadi pemilik percetakan, “Atas Nama Republik Indonesia”.
Keesokan harinya mereka mulai bekerja, mempersiapkan beberapa tulisan. Nama  Merdeka dipilih, mengingat salam nasional yang telah diresmikan itu. Bentuk huruf dirancang, dan mereka kemudian mempergunakan jenis huruf Wiwosch yang dicetak dengan tinta merah. Sepanjang umur  Merdeka, jenis huruf itu tetap dipertahankan. Kebetulan waktu itu di gedung De Unie masih ada persediaan kertas yang banyak, cukup untuk enam bulan. Beberapa tulisan yang sudah di-setting dicetak pada hari itu, siang-siang. Lembar pertama dibaca beramai-ramai, dan korektor mulai membaca proefdruk untuk mengo­rek­­si  berita yang salah ketik. Mesin berputar lagi, dan suara sorak-sorai orang-orang nekat itu menggema penuh kegembiraan. Sore 1 Oktober akhirnya koran itu beredar, meski cuma empat halaman.
Namun cerita riang itu tak berumur panjang. Jepang pergi tapi Sekutu datang. Tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger , Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda) dengan seragam NICA (Nederlands Indies Civil Administration – Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) datang bersama tentara Inggris, memenuhi kota dan mempersempit ruang gerak, termasuk para wartawan di koran  Merdeka.
Di sana-sini, di pelosok-pelosok jalan, tampak tentara-tentara NICA siap menahaan atau menginterograsi orang-orang yang dicurigai.
Yang paling mengerikan adalah ketika suatu hari kantor Merdeka diserbu segerombolan anak-anak muda NICA. Mereka berlarian di kantor yang luas tersebut sambil menembak ke sana-ke mari. Memang tak ada yang tertembak, tapi sudah cukup membuat orang nyaris semaput.
Namun dengan berjalannya waktu, terutama setelah kedatangan wartawan-wartawan asing serta perkenalan dengan seorang kapten asal Gurkha yang senang nongkrong di Merdeka bernama Sen Grupta, kantor Merdeka tak pernah diganggu lagi.
Masalah internlah yang kemudian muncul. Rupanya ada persaingan keras antara para pendiri Merdeka, antara lain BM Diah dengan Rosihan Anwar. Memang ada motif politik di belakang itu. Rosihan Anwar pendukung Sjahrir, sementara BM Diah menentangnya. Perselisihan meningkat sampai Rosihan dan beberapa pendukungnya berniat me­nying­kirkan BM Diah dari Merdeka. Namun BM Diah sudah mencium gelagat itu. Ia bergerak lebih gesit, Rosihan dan sekutunya didepak lebih dulu. Padahal, meskipun menjabat sebagai redaktur pertama, Rosihan praktis melaksanakan fungsi pemimpin redaksi. Rosihan hanya sekitar satu tahun di koran itu. Konflik politik dan perebutan kepemilikan di mana ia berharap Merdeka menjadi milik semua karyawan, membuatnya didepak dari sana. Itu juga yang ditulis Tribuana Said suatu ketika. Dan itulah titik awal pemilikan dan kepemimpinan tunggal BM Diah di koran Merdeka.

Kini, ketika Joesoef mengenangkan hari-harinya di koran Merdeka, sambil ditemani suara bising tukang kayu membetulkan “kandang ayam”nya, koran Merdeka sudah lebih dari lima bulan tidak terbit. Gulung tikar kehabisan modal sementara koran-koran baru bermunculan mengiringi euforia kebebasan pers setelah tumbangnya Soeharto: Detikcom siang dan sore, serta Koran Tempo misalnya.
Joesoef memang sudah bukan wartawan Merdeka lagi. Bahkan di biografi BM Diah yang ditulis Kaliailatu namanya hanya muncul di tiga halaman, meskipun buku itu banyak mengulas mengenai sejarah Merdeka. Merdeka tampaknya tak begitu suka mengait-ngaitkan dirinya dengan Joesoef.
Sebaliknya apa pun yang terjadi, benak Joesoef seringkali melayang ke sana. Ia masih mengenangkannya, dengan segala romantismenya. Dia masih saja merasa punya hubungan emosional dengan Merdeka, dengan BM Diah dan Herawati Diah yang tetap dia respek walau sudah berpisah oleh suatu konflik politik. Betapa tidak, “the best years of life” berada di sana, katanya.

Jauh dari rumah Joesoef, di sebuah rumah mewah di kawasan Kuningan Jakarta, seorang perempuan yang masih tampak sehat di usia senjanya tetap optimis dengan kebangkitan kembali Merdeka.
Ia adalah isteri almarhum BM Diah, Siti Latifah Herawati, atau lebih dikenal sebagai Herawati Diah. Meskipun ia mengaku tak sepenuhnya aktif dalam proses kelahiran baru Merdeka, tapi ia membayangkan akhir tahun ini Merdeka sudah terbit lagi. “Ada investor baru,”  katanya, meskipun ia sendiri belum bisa memastikan siapa yang akan jadi pemimpin redaksi. Ini kali situasi dan kondisi politik sudah sangat lain ketimbang BM Diah pada tahun 1959 harus mengangkat pemimpin redaksi baru bagi Merdeka.
***

NASIB ajaiblah yang membuat Joesoef menjadi pemimpin redaksi Merdeka pada tahun 1959, satu hal yang tak terbayangkan mengingat tradisi Merdeka yang selalu mencantumkan nama BM Diah sebagai Pemimpin Redaksi, walaupun ada orang lain dia angkat untuk berfungsi sebagai pemred. Tradisi itu memang dimungkinkan karena BM Diah sehari-hari tetap berkantor di Merdeka, ia bukan saja memimpin suratkabar harian tetapi juga percetakan dan semua bidang bisnis lain dari grup Merdeka. Ia pun tetap berada di Jakarta. Tetapi kali ini tradisi itu tidak bisa dipertahankan. Soekarno meng­angkatnya menjadi duta besar untuk Cekoslowakia merangkap Hongaria. Secara formal, politis, protokoler maupun fungsional, tak mungkin jabatan resmi pemerin­tahan dirangkap dengan suatu jabatan swasta, apalagi pimpinan sebuah suratkabar yang bisa saja punya garis politik berbeda dengan pemerintah.. Lagipula secara fisik ia berada di luar Indonesia, ia berada jauh di Eropa Timur.
BM Diah sendiri sebenarnya tak  ingin meninggalkan Merdeka. Apalagi isterinya sendiri sudah menerbitkan majalah  “Keluarga”  di samping mingguan “Majalah Merdeka” dan tengah merencanakan harian berbahasa Inggris “Indonesian Observer”. Akhirnya paman Herawati datang menembus segala emosi dilematis. Ia adalah Soebardjo, mantan Menteri Luar Negeri, dan berkata pada BM Diah, “Ah, pekerjaan diplomat itu sama dengan pekerjaan wartawan. Bedanya, diplomat membuat laporan buat menterinya, sedangkan wartawan membuat laporan buat pembaca suratkabar.”
Bung Karno memang sedang berselera tinggi mengirim wartawan jadi duta besar.  Dinas luar negeri dan korps diplomatnya, menurut Bung Karno perlu disuntikkan darah baru! Adam Malik dari  Antara,  ia kirim ke Uni Sovyet. Asa Bafagih dari Duta Masyarakat yang juga pernah pemimpin redaksi Merdeka dikirim ke Sri Lanka kemudian ke Aljazair. Djawoto dan Sukrisno dari Antara masing-masing ke Peking dan Hanoi. Kemu­dian Suardi Tahsin ke Bamako-Mali dan Armunanto juga dari Bintang Timur ke  Cekoslowakia, menggantikan BM Diah.

Awalnya adalah pada suatu hari di bulan September 1959. BM Diah dan keluarga tamasya akhir pekan ke Megamendung. Mereka mempunyai sebuah vila di sana. Meninggalkan isteri dan anak-anaknya di vila, BM Diah naik  Austin dan pergi ke Puncak, hendak membeli tanaman hias dan bunga-bungaan. Herawati tengah bersantai, mengenakan pakaian  shorts, rambut bahkan belum tersisir. Tiba-tiba Menteri Luar Negeri Subandrio datang, tanpa pengawal dan tanpa pakaian resmi. Kedatang­annya yang mendadak jelas mengejutkan, dan lebih mengejutkan adalah berita yang dibawanya. Subandriolah yang membawa berita pengang­katan BM Diah menjadi duta besar.
***

“Siapa yang akan menggantikanmu?” tanya Soekarno ketika akhirnya BM Diah datang ke Istana Merdeka berjumpa Presiden Sukarno. “Saya harap kau berangkat ke Praha, tetapi suratkabarmu harus berada di tangan orang yang progresif revolusioner. Kalau suratkabarmu tidak berada di tangan orang yang progresif revolusioner, akan kupanggil kau pulang.”
Ketika itu BM Diah tak bisa langsung menjawab. Bagaimanapun, ia tak memikirkan ada seseorang menggantikan posisinya di  Merdeka. Calon memang ada beberapa, baik dari luar maupun dari dalam redaksi sendiri. Kepada Soekarno, BM Diah kemudian menjawab “Joesoef”.
Joesoef Isak akhirnya menjadi pilihannya, meski masih cukup banyak tenaga senior lain di atasnya. Ketika itu ia berumur 31 tahun. Menurut penulis biografi BM Diah, Joesoef gemar membaca terutama karya-karya Soekarno, Tan Malaka, Sjahrir sampai ke Karl Marx dan Mao Zedong. Paling tidak itu memenuhi tuntutan Soekarno untuk menempatkan seseorang yang progresif revolusioner sebagai pemimpin redaksi Merdeka. Kepada Joesoef, BM Diah mengulang berkali-kali pesan Bung Karno untuk diperhatikan.
Sebelumnya ia menjabat sebagai redaksi pertama. Ketika BM Diah dan Herawati Diah berdiri untuk dipotret di pelaminan semasa resepsi pernikahan Joesoef tahun 1956, Diah berbisik: “Ik heb een cadeau voor jou – aku punya kado untuk mu. Mulai hari ini aku angkat kau menjadi redaktur pertama.”  Dulu disebut managing editor.
Itu kisah Joesoef yang diceritakannya sendiri mengenang hubungannya dengan Diah. Dan demi amanat Diah yang meneruskan pesan Presiden Pemimpin Besar Revolusi, ia dengan konsisten menjalani garis Soekarno yang memang juga diyakininya sendiri: revolusioner-progresif, sepanjang ia memimpin redaksi koran  Merdeka . BM Diah dan isterinya ke Praha, sementara  Merdeka  di tangan Joesoef dengan gigih tampil menjadi pendukung Manipol dan kebijakan politik Soekarno.
Namun Joesoef rupanya tampil pada waktu yang tidak tepat. Di tengah karir jurnalistiknya yang cemerlang, hantu perang dingin membayang di belakangnya. Konfrontasi antara kubu kapitalis Amerika Serikat dan kubu komunis Sovyet semakin memanas selepas Perang Dunia Kedua. Joesoef yakin, nasib yang kemudian menimpanya, dan juga nasib bangsa ini secara umum -– termasuk Bung Karno -–, tak bisa dilepaskan dari latar perang dingin. Kubu kapitalis dan kubu komunis siap memlintir leher masing-masing. Kebetulan yang menang adalah kubu kapitalis. Adalah korup mengkaji periode Sukarno tanpa memperhatikan bahwa perang dingin sedang berlangsung sepanas-panasnya, katanya.
Ia menarik nafas, mengakhiri ceritanya. Sepanjang monolognya yang panjang, ia tak merokok dan juga tak minum. Bahkan, Joesoef tak beranjak dari kursinya. Ia tampak begitu semangat menumpahkan apa yang ada di benaknya, mengeluarkan semua kenangan-kenangan masa lampaunya. Ia senang masih ada yang mengingat dia sebagai wartawan, profesi sejatinya.
 ******
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 9:52 AM