Misteri Tiga Serangkai Pramoedya Ananta Toer


Misteri Tiga Serangkai Pramoedya Ananta Toer

mbah S. Sukaris

April 1980
Suatu pagi bermendung di pojokan selatan Jakarta dalam sebuah rumah bertembok batu di tepi jalan raya selebar empat meter. Posisi jalanan yang menurun itu masih banyak pohon buah-buahan berusia tua. Belum ada pelebaran jalan, Nama jalan itu cukup aneh, "durian kembar tiga". Mungkin tempat itu pernah menjadi sentra penghasil buah yang kulitnya berduri tapi dagingnya sangat lezat itu pada jaman Belanda. 
      Angkutan umum pun belum ada rute yang melalui jalan itu. Becak masih bersliweran dengan leluasa. Tak ada ojek sepeda motor maupun sepeda biasa. Jakarta masih ramah dengan kalangan tertentu.  Di halaman rumah itu terparkir dua mobil yang ketinggalan mode beberapa tahun berselang. Sebuah mobil mini yang tidak seimbang dengan pengendaranya yang tinggi besar, Honda Life berwarna hijau muda, dan sebuah lain yang disopiri seorang  Mazda Vantrend biru donker. Dua tamu yang mengunjungi rumah Joesoef itu bernama Pramoedya Ananta Toer kegiatan terakhir alumni kamp tahanan Pulau Buru, tidak tahu pulau Buru? Pulau itu berada sebelah barat laut dekat pulau Ambon. Luasnya satu setengah kali pulau Timor.
      Tamu yang kedua bernama Hasjim Rachman, juga belum lagi genap setahun baru dilantik sebagai lulusan akademi orde baru di kampus Buru yang itu juga.
      Dalam ruang tamu itu tampak asap rokok mengepul dari tiga batang rokok menyala sekaligus asapnya memenuhi ruangan tamu yang lumayan luas itu: Tiga aroma merek rokok yang sama bercampur, Gudang Garam Merah, Surya, dan satu lagi klobot mbako. Perlombaan nabun itu diselingi bau aroma kopi mengepul-ngepul. Cangkir kosong sudah dobel, ada yang tripel.
      Air muka Pramoedya tampak penuh harapan, "Jadi di sini kita berkantor, Bung?"
      "Ya, kita akan berkantor di rumah kau, Cup." Sapaan akrab Hasjim kepada Joesoef.
Joesoef mengangguk tanda menyetujui. Tangannya menggenggam sebatang rokok yang hampir membakar jarinya. 
      "Aaah," ia mengibas-ngibas abu yang jatuh ke pakaiannya yang tipis. Di bajunya tampak beberapa lubang kehitaman bekas percikan api rokok. Air mukanya tidak berubah tampak seperti biasa. Pandangannya selalu terarah pada Pramoedya penuh kekaguman.
      Perubahan tampak pada air muka Pramoedya, lega. Ia mengisap klobotnya dan menghembuskannya cepat-cepat.
Hasjim yang bersuara keras tidak seperti biasanya, kali ini air mukanya tampak serius.
      Pramoedya diberi kursi yang tidak memungkinkan baginya menatap jendela luar. Ia duduk sejajar dengan Hasjim. Joesoef menghadapi mereka berdua yang dengan bebas menatap keluar rumah melalui jendela kaca. Ia sebagaimana lazimnya menempati kursi tuan rumah yang muat dua orang. Kursi rotan yang cukup antik itu berukuran raja. Bantal alas duduk dan sandaran dilapisi kain gorden sederhana berwarna coklat muda bermotif kembang. Kursi itu mengepung sebuah meja rontan berbentuk bundar. Kursi rotan itu sangat rendah, duduk di atasnya seperti sedang mengendarai mobil balap, ndlosor.
      Dinding ruangan itu dihiasi lukisan yang menggambarkan seorang nelayan yang tengah mengurus ikan hasil tangkapannya. 
      Lantai ruangan yang dilapisi ubin teraso sudah berceceran abu rokok. Dan di dekat Joesoef bukan hanya abu berceceran, juga puntung. Jumlahnya lebih dari setengah lusin.
      "Kita jalan dulu untuk makan siang, ya Cup." Tiba-tiba Hasjim memecah kesunyian.
      Ketiganya berdiri. "Ajak si Budia, ya."
      Joesoef memanggil-manggil. Seseorang datang menghampiri, "Tolong panggil ibu," perintahnya, seperti biasa dengan nada cukup jelas.
      Mereka meluncur ke arah jalan menanjak, ke arah kiri dilihat dari rumah itu. Joesoef, Hasjim, Budia berdesakan di dalam Honda Life. Pramoedya bersama sopir, cukup lengang dalam Vantrend biru donker itu.
      Di dalam sebuah restoran sate tak jauh dari rumah itu mereka mengepung meja. Restoran sate itu pada jam makan siang cukup ramai. Itu menandakan hidangannya lezat dan murah. 
      Pramoedya tidak begitu banyak makannya. Ketiga orang lainnya tampak cukup santai dalam menikmati hidangan pesanannya.
      Asap bakaran sate memenuhi ruangan, membuat ketiga perokok itu tidak berselera lagi untuk mengeluarkan bungkus-bungkus sigaret masing-masing tatkala selesai menyantap hidangannya.
      "Bung, aku pulang langsung, ya," kata Pramoedya sambil menatap Joesoef.
      "Ah, kenapa buru-buru, Bung," Hasjim mendahului menyahut.
      "Kapan bung Pram datang ke rumah lagi?" Joesoef membuka suara ke arah Pramoedya.
      "Besok saya akan menerima tamu, lusa pagi saya datang bawa naskah yang sudah saya siapkan," sahut Pramoedya, air mukanya tampak lega, dan puas.
      "Bagus, dan terimakasih bung!" Joesoef menyalami Pramoedya. Hasjim dan Budia ikut menyodorkan tangannya.
      Siang itu tidak terik, dan cenderung agak mendung. Udara Jakarta pada hari itu menjadi tidak terlalu panas.
     Mereka semua mengantarkan Pramoedya hingga masuk ke dalam mobil, Pramoedya menganggukkan kepalanya berkali-kali ke arah tuan rumah. 
      "Ayo kita jalan!" seru Hasjim kepada Joesoef dan Budia setelah menyelesaikan tagihannya di kasir restoran. 
      Selama mereka bertiga sepanjang perjalanan kembali ke rumah Joesoef tidak banyak bersuara lagi, tampaknya Joesoef setengah tertidur di jok depan Honda Life itu. 
      "Oke, Cup, aku pulang dulu. Budi, terimakasih, ya." kata Hasjim setelah ketiganya menutup pintu mobil yang jendelanya menganga.
      "Hati-hati di jalan, Sjim," sahut sepasang suami-istri itu dari balik pagar besi rendah.
      Mentari sudah condong ke barat. Terdengar suara azan ashar dari mushola sebelah rumah Joesoef.

****

Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 11:59 PM