"Gelombang Pasang Emansipasi"
Wim F. Wertheim
Wim F. Wertheim
Agung Putri dan Hilmar Farid*
‘Globalisasi’ adalah kata kunci di ujung abad ke-20 yang dipopulerkan oleh para pendukungnya, mulai dari pejabat perusahaan multinasional, ahli ekonomi pembangunan Dunia Ketiga sampai media massa, baik internasional maupun domestik. Para pejabat pemerintah di Indonesia, menanggapi gerak perekonomian yang makin terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme internasional, mengatakan bahwa proses globalisasi itu tidak terhindarkan. Pasar bebas pegang komando, dan ditetapkan prinsip ‘pasar adalah panglima’. Krisis yang menyusul serangkaian pertemuan untuk memantapkan ‘garis pasar’, seperti GATT-WTO dan APEC, makin meyakinkan para pejabat dan pengusaha setidaknya bahwa sektor-sektor yang masih dilindungi oleh negara harus dilepas mengikuti kehendak pasar bebas. Setiap tantangan terhadap sistem kapitalisme internasional, baik yang datang dari dalam birokrasi, pengusaha maupun buruh atau petani, dianggap aneh di akhir abad dan mencerminkan sikap menolak kemajuan.
Sikap deterministik dalam ilmu sosial – yang memandang perkembangan umat manusia ditentukan oleh hukum-hukum tertentu – merajalela selama berabad, baik di kalangan konservatif, liberal maupun progresif-radikal. Setiap kerangka pemikiran atau paradigma yang lahir dari masing-masing kubu memiliki keyakinan besar tentang jalannya sejarah yang ‘tidak terelakkan’ walaupun dengan tujuan akhir dan akibat yang berbeda-beda bahkan bertolak belakang. Benturan-benturan terjadi ketika ilmu sosial dan ilmuwannya menghadapi perubahan masyarakat yang cepat dan tidak terduga. Dengan cepat gejala yang ‘aneh’ ini diberi cap ‘menyimpang’, dan setiap gejala dikurung sedemikian rupa dalam tempat yang terpisah dan menjadi salah satu ‘kasus’. Perkelahian pelajar atau kerusuhan dianggap sesuatu yang tidak seharusnya terjadi, dan dalam ilmu sosial pun berkembang patologi sosial yang mengobati luka-luka dalam masyarakat. Dalam konteks ini juga banyak teori sosial yang gagal memahami perjuangan pembebasan di Dunia Ketiga sebagai enerji yang turut mempengaruhi sejarah umat manusia.
Dalam ilmu sosial determinisme menjadi bahan perdebatan yang besar dan berkepanjangan. Di satu pihak ada yang beranggapan bahwa struktur adalah penentu dari segalanya, bahwa setiap kejadian – sekecil apapun – dapat dibaca melalui struktur yang menjadi wilayah huni kejadian tersebut. Kehendak manusia hilang ditelan atau setidaknya sangat dibatasi oleh struktur, dan setiap gejala ‘keluar dari struktur’ dengan cepat dianggap ‘penyakit’ atau ‘pembaruan’ yang memperkuat struktur yang sudah mapan. Di pihak lain ada pengutamaan pada aktor atau kehendak manusia. Struktur diakui ada, tapi orang tetap bebas mengembangkan, mengubah atau berjalan di luar struktur. Kejadian-kejadian dianggap unik dan merupakan produk kehendak manusia dalam waktu dan tempat tertentu. Variasi dari kedua pokok pikiran yang berbeda itu mungkin tidak terhitung, mengingat perkembangan ilmu sosial yang begitu pesat dalam satu abad terakhir, tapi pokok perdebatannya tetap saja hidup sampat hari ini.
Benturan yang paling hebat datang saat ilmu sosial yang deterministik berhadapan dengan perubahan, baik yang bersifat bertahap (gradual) maupun secara tiba-tiba dan menyeluruh. Umumnya perubahan yang disertai lonjakan dalam pandangan deterministik menjadi ‘kasus-kasus’ yang harus dilihat terpisah-pisah. Syukur kalau bisa ditemukan hubungannya dengan kerangka teoretik yang mereka bangun, karena kalau tidak maka dengan mudah dikatakan “teori saya tidak cocok untuk melihat kasus ini”. Prinsip demikian berlaku baik dalam pengamatan terhadap bentang waktu maupun geografis. ‘Kajian wilayah’ juga mengandung perangkap-perangkap yang sama bahayanya bagi pandangan deterministik, yang dengan mudah bisa mengkotak-kotakkan rangkaian kejadian, tanpa pernah (mau) menyadari bahwa secara keseluruhan, rangkaian itu adalah bagian dari proses perubahan yang lebih besar.
Ilmu sosial lahir dan tumbuh di dalam lingkungan akademi, sebagai cabang dari sekian ilmu yang lahir dan berkembang lebih dulu. Dalam era spesialisasi seperti sekarang, pertanyaan-pertanyaan dasar tentang hakekat gerak masyarakat mungkin tidak lagi penting, dan mendesak untuk dibicarakan. Apalagi dalam kecenderungan post-modernisme yang menganggap diskusi tentang ‘hakekat’ adalah kekeliruan paling dasar dari ilmu sosial ‘modernis’. Namun justru dalam situasi inilah Wim F. Wertheim datang dengan Gelombang Pasang Emansipasi, kristalisasi pemikirannya selama bertahun-tahun dalam bidang sosiologi dan pengamatannya terhadap perubahan sosial di Dunia Ketiga.
Emansipasi dalam Evolusi
Kembali Kepada Dialektika
Dalam pengamatannya terhadap gerak masyarakat, ilmuwan sosial dewasa ini menghadapi banyak pilihan penjelasan yang berdasar pada dikotomi struktur-aktor di atas. Para pemikir strukturalis melihat gerak masyarakat secara pasti menuju ke titik tertentu, dan setiap ‘penyimpangan’ di dalam proses itu hanyalah ‘riak kecil dari gelombang perubahan’. Penulis populer Francis Fukuyama misalnya, melihat kapitalisme liberal sebagai stasiun terakhir, dan mencanangkan ujung abad ke-20 sebagai ‘akhir sejarah’ (the end of history). Dalam kerangka yang lebih canggih, dunia ilmu sosial pernah dihidupi oleh teori modernisasi yang selalu melihat arah perjalanan manusia menuju ‘masyarakat modern’. Sejumlah pemikir Marxis – yang kerap dipukul rata sebagai ‘wakil sah’ Marxisme – juga menganggap bahwa tujuan akhir dari sejarah adalah masyarakat komunis, di mana pertentangan kelas yang menghidupi gerak masyarakat sejak awal kemunculannya, akan berakhir.
Wertheim merumuskan gagasannya tentang perkembangan masyarakat berdasar kritiknya terhadap kecenderungan ini, baik yang liberal maupun Marxis. Kaum liberal, terutama pengumandang teori modernisasi dikritiknya karena melihat perjalanan manusia menuju satu arah yang dipimpin dari atas oleh sekelompok elit perencana pembangunan dengan konsep dan teknik Barat. Para pemikir radikal, terutama Marxis, dikritik karena cenderung membatasi emansipasi sebagai milik bagian tertentu dari masyarakat. Khusus tentang paham deterministik dalam Marxisme, ia menegaskan bahwa kesadaran atau pemahaman akan gejala selalu berbeda dari realitas obyektif yang berlangsung di dalam masyarakat, sehingga konsep ‘kelas’ dan lainnya tidak dapat menjelaskan gejala yang dirujuk secara utuh. Mengutip Max Weber ia mengingatkan bahaya atau jebakan reifikasi pranata sosial yang disebut Kollektivgebilde.
Bagi Wertheim, gerak masyarakat tidak dapat dilihat berlangsung dalam satu arah, melainkan selalu bersifat timbal-balik, atau dengan kata lain bersifat dialektik. Arah dari berbagai gejolak, kesinambungan dan perubahan tidak dapat ditentukan sebelumnya, dan karena itu selalu diperlukan pengamatan sosiologi historis. Jika paham deterministik dalam Marxisme melihat bahwa gerak masyarakat ditentukan oleh pertentangan di antara kelas-kelas, Wertheim melihat gerak itu disebabkan oleh hasrat dan tindakan emansipatoris manusia yang terkandung di segala zaman. Karena itu juga ia menolak pandangan bahwa masyarakat bergerak melalui tahap-tahap tertentu, seperti perbudakan-feodal-kapitalis-sosialis dalam Marxisme ortodoks, tradisional-modern dalam pemikiran Daniel Lerner, ekonomi sederhana ke ekonomi tinggal landas dalam teori Rostow, atau masyarakat kesukuan ke birokrasi modern dalam benak Radcliffe-Brown.
Konsep ‘emansipasi’ sendiri sebenarnya adalah produk perjuangan sosial yang panjang. Dalam masyarakat Romawi kuno, emansipasi (emancipatus dalam Latin) berarti pembebasan budak oleh sang tuan. Istilah itu kemudian mulai dipakai di Perancis pada abad ke-17 dengan arti sedikit berbeda, yaitu ‘pengalihan pemilikan’. Pada abad ke-19, ‘emansipasi’ menjadi konsep yang populer di dalam perjuangan menentang perbudakan dan penghisapan terhadap suatu kelompok manusia. Pada tahun 1863 Abraham Lincoln mengeluarkan Proclamation of Emancipation yang menghapus perbudakan secara formal di Amerika Serikat. Gerakan anti-perbudakan yang dimulai sejak tahun 1820-an, kerap menggunakan istilah ‘emansipasi’ sebagai judul tulisan, nama suratkabar seperti Emancipator dan Genius of Universal Emancipation. Di Rusia pada waktu yang kurang lebih sama bermunculan organisasi yang menjadikan ‘emansipasi’ sebagai kata kunci gerakan mereka. Misalnya Osvobozhdenye Truda (Emansipasi Kaum Pekerja) yang didirikan oleh Georgi Valentinovich Plekhanov dan Pavel Axelrod pada tahun 1863.
Namun Wertheim menggunakannya dalam konteks dan tujuan yang berbeda. Ia melihat emansipasi bukanlah penganugerahan pembebasan dari atas kepada seseorang atau sekelompok orang. Emansipasi baginya adalah hasil atau produk perjuangan kolektif dari kelompok atau kalangan yang tidak diuntungkan oleh sistem. Perbedaannya dengan Marxisme ortodoks yang menganggap ‘kalangan yang tidak diuntungkan’ adalah kelas proletariat, Wertheim tidak membatasi pandangannya pada kelompok tertentu saja. Dari segi skala maupun dan hasil perjuangan, Wertheim juga tidak membatasi pandangannya pada perjuangan yang besar (nasional) dan mencapai perubahan sesuai keinginan. Justru setiap bentuk perlawanan kecil yang membebaskan diri dari belenggu, baik yang bersifat alamiah maupun buatan manusia, adalah kontrapunkt yang menghidupi gerak emansipasi. Dengan konsep ini ia dapat berpikir jauh lebih bebas dan dapat melihat gerak dialektik dalam tiap kejadian atau gejala masyarakat.1 Pemikiran ini justru yang menjadi sumber kritik terhadapnya, karena konsep ‘emansipasi’ dianggap terlalu umum, atau dalam bahasa yang lebih tegas lagi, sesungguhnya tidak menjelaskan apa-apa.
Pemikiran Wertheim dalam Gelombang Pasang Emansipasi ini sekaligus merupakan otokritik terhadap pemikirannya sendiri dalam Indonesia Society in Transition yang masih menggunakan skema perkembangan masyarakat dari ikatan tradisional, melalui individualisme menuju organisasi kolektif modern. Berbeda dengan teori modernisasi yang selalu melihat satu arah perjalanan masyarakat manusia, Wertheim yang kebanyakan penelitiannya terarah pada perkembangan negara-negara Dunia Ketiga, melihat bahwa jalan perkembangan setiap negara sesungguhnya berbeda-beda. Tapi, buru-buru ditambahkannya bahwa perbedaan itu tidak berarti bahwa semua perubahan dapat dipandang unik dan tidak berhubungan satu sama lain. Justru sebaliknya, berbagai ‘kasus’ yang tersebar di mana-mana secara geografis adalah unsur dari perubahan besar, yang diukur berdasarkan konsep ‘emansipasi’. Dialektika adalah elemen penting dalam penjelasannya tentang emansipasi, dan meminjam ‘dialektika kemajuan’ dari Jan Romein, seorang sarjana Marxis Belanda. Dengan dialektika seseorang dapat melewati jebakan geografis dan waktu yang statis dalam sosiologi, dan bisa memahami evolusi sebagai proses yang tidak senantiasa mulus, kadang dipercepat oleh revolusi atau dihambat oleh kontra-revolusi.
Dialektika Evolusi-Revolusi
Dalam Gelombang Pasang Emansipasi ini Wertheim kembali melihat aspek-aspek yang terabaikan dalam tesis-tesis tentang evolusi dan revolusi. Menurut pengamatannya ilmuwan sosial selama ini menerima-jadi kedua konsep tersebut dengan sikap yang sama tidak kritisnya. Lazimnya, apalagi dalam diskusi tentang perubahan politik dan strategi untuk mencapainya, evolusi dianggap lawan kata dari revolusi, sehingga perbedaan keduanya dibuat seakan-akan sangat mendasar dan tidak terdamaikan. Di sini Wertheim melonggarkan kembali konsep evolusi yang sempit dan bahkan disalahartikan, dan menyimpulkan bahwa masyarakat senantiasa mengalami evolusi dan revolusi, dan hubungan di antara keduanya bersifat dialektik.
Teori modernisasi mengatakan evolusi masyarakat bergerak ke arah masyarakat modern, dan untuk memuluskan proses itu diperlukan pertumbuhan ekonomi yang cukup. Hal ini dibantah Wertheim dengan argumentasi bahwa pertumbuhan memang merupakan bagian dari evolusi, tapi tidak niscaya memberi sumbangan pada evolusi. Masyarakat yang mengalami pertumbuhan ekonomi juga bisa berkembang ke arah sebaliknya, yang oleh Clifford Geertz disebut involusi. Kritik senada dilontarkan kepada paham determinisme dalam tradisi Marxis yang melihat evolusi manusia berlangsung melalui tahap-tahap sejarah yang pasti, karena dalam kenyataan – seperti ditunjukkan dalam Gelombang Pasang Emansipasi – perkembangan masyarakat terlihat sebagai lompatan dan lonjakan dengan waktu tempuh berbeda-beda. Di sini ia memberi arti penting terhadap berbagai gejolak dan kontrapunkt, yaitu berbagai bentuk gerakan sosial, seperti gerakan perempuan, hak asasi manusia, lingkungan hidup, masyarakat adat, dan gerakan pembebasan bangsa-bangsa kecil setelah Perang Dunia Kedua. Keseluruhan formasi gerakan sosial ini tidak mudah dipahami dengan konsep-konsep baku (lebih tepatnya, dibakukan) seperti demokrasi, sosialisme, dan lainnya. Determinisme, baik di dalam tradisi Marxis maupun teori modernisasi, agak lambat menangkap kemunculan berbagai jenis gerakan sosial ini, karena tidak sesuai dengan kerangka yang dibakukan tadi.2 Lebih jauh menurut Wertheim, determinisme inilah yang menghasilkan banyak kesalahan dalam usaha emansipasi masyarakat Uni Soviet, khususnya dalam era setelah Stalin. Nomenklatura yang bertumbuhan menjadi karang birokrasi yang kokoh amat kaku menghadapi berbagai lonjakan perkembangan di dalam masyarakat.
Sejak Revolusi Amerika 1776 dan Perancis 1789, konsep ‘revolusi’ mendapat perhatian luas dari aktivis politik dan ilmuwan sosial di seluruh dunia. Namun dalam perkembangannya, perhatian terhadap revolusi ini seakan terpecah dan terbelah ke dalam beberapa kecenderungan. Kaum konservatif dan pemelihara tatanan menganggap revolusi sebagai ancaman besar, karena tujuannya adalah merombak tatanan yang mereka pelihara (conserve). Di kalangan revolusioner sendiri ada pemaknaan berbeda-beda tentang proses revolusi, yang menimbulkan perdebatan besar dan tajam. Misalnya Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht, para pemimpin gerakan kiri di Jerman pada awal ke-20 meyakini revolusi akan terjadi akibat reaksi spontan dari massa. Mereka mendebat konsep revolusi Lenin tentang massa yang terhimpun dalam organisasi revolusioner sebagai prasyarat keberhasilan revolusi. Perdebatan ini masih ditingkahi pula oleh kaum anarkis yang langsung bertujuan menghancurkan bangunan negara, dan menentang kediktatoran, borjuis maupun proletariat. Sementara itu ilmuwan sosial membatasi diri pada aspek-aspek tertentu atau hubungan sebab-akibat dalam proses revolusi, dan menempatkan revolusi sebagai obyek telaah yang berada di luar kehidupan dirinya (dan masyarakat). Turunan dari kerangka ini menganggap revolusi sebagai kasus-kasus yang dapat dipelajari secara terpisah dari evolusi masyarakat, seakan revolusi – yang dalam abad ke-20 berlangsung di lebih dari separuh negara di dunia dan melahirkan banyak negara baru, termasuk Indonesia – tidak punya kaitan dengan proses perkembangan masyarakat yang besar, atau hanya merupakan ‘kasus’ semata.
Wertheim mengkritik pandangan ini bukan dari segi apa yang dikatakan tentang revolusi dan prasyarat untuk mencapainya, tapi dari segi bagaimana revolusi itu dipandang dalam sejarah perkembangan manusia. Dari pengamatannya ia melihat bahwa revolusi, besar maupun kecil dari segi skala atau pengaruh, harus diterima sebagai bagian dari proses sosial, bukan suatu perkecualian, kasus, penyimpangan atau tindakan terpaksa untuk menghadapi situasi sesaat. Revolusi baginya sudah menjadi fakta sosial, dan bukan sekadar deretan peristiwa unik yang perlu dicari-cari akar kemunculannya dari segi sosiologi. Pengalaman revolusi di lebih dari separuh negara di dunia, menurutnya sudah cukup untuk melihat prinsip-prinsip obyektif yang menentukan keberhasilan revolusi. Pendekatan ini berbeda dari para penulis seperti Crane Brinton dalam The Anatomy of Revolution, yang mencoba mencari hukum yang berlaku umum dengan melihat pengalaman revolusi-revolusi besar. Dalam telaah itu, yang menempati satu bab khusus di dalam Gelombang Pasang Emansipasi, Wertheim berusaha melihat seberapa jauh sebuah perubahan yang cepat dapat disebut revolusi, seberapa jauh perubahan itu bersifat emansipatif atau menyumbang pada perjalanan emansipasi manusia. Dari pengamatan itu ia secara bertahap menyusun prinsip obyektif dari revolusi, yang tidak selalu berhasil karena setiap kali satu butir prinsip berhasil dirumuskan, muncul pertanyaan baru, dan begitu seterusnya. Hal itu juga yang membuatnya bertanya mengapa situasi obyektif yang sama di negara yang berbeda tidak selalu berakhir dengan jalan revolusi.
Masalah prinsip-prinsip obyektif bagi revolusi telah menjadi tema perdebatan sengit di dalam gerakan sosialis sejak akhir abad ke-19, dan sangat menonjol dalam gelombang pasang revolusi di Eropa pada awal abad ke-20. Perdebatan itu terus berlangsung sampai pada tahun 1930-an ketika gelombang pasang itu menjadi pukulan balik bagi ide-ide revolusi, dan melahirkan periode gelap, yakni fasisme. Kegagalan berbagai usaha revolusi di Eropa, dan meluasnya kritik terhadap nomenklatura yang bertumbuhan di Eropa Timur, memaksa aktivis-aktivis politik berpikir ulang tentang teori-teori yang diungkap sebelumnya.3 Pengalaman-pengalaman dekolonisasi dan gerakan pembebasan negeri bekas jajahan adalah unsur penting dalam teori dan praktek revolusi. Dari sini lahir para pemikir dan aktivis politik Dunia Ketiga seperti Frantz Fanon, Kwame Nkrumah, Soekarno, dan Patrice Lumumba, yang menjadikan situasi koloniali sebagai titik pijak analisis mereka.
Dalam tradisi ilmu sosial khususnya yang berkembang di Barat, pengalaman di negara-negara Dunia Ketiga diterima dengan sikap ragu-ragu. Ada sebagian yang melihat sumbangan penting dari Revolusi Tiongkok di bawah pimpinan Mao Tse-tung, atau Vietnam di bawah Ho Chi Minh. Namun sebagian besar, khususnya mereka yang pikirannya bermukim di akademi, dan berkutat dengan teori atau prinsip obyektif dari revolusi, pengalaman Dunia Ketiga hanyalah satu dari sekian ‘kasus’ yang menarik sebagai obyek analisis ketimbang sumbangan bagi pemikiran teoretik mereka. Di Eropa dan Amerika Utara khususnya, analisis dan utak-atik teori tentang revolusi dan perjuangan pembebasan, memisahkan pengamatan dari pengalaman, atau memisahkan teori dari praktek. Berbeda dengan masa awal abad ke-20, di mana hingar-bingar perdebatan teori selalu berkait dengan pengalaman kongkret, perdebatan tentang revolusi di masa kemudian semakin terasing di menara gading akademi, menjadi barang unik yang layak dikaji dan dievaluasi. Otoritas akademik menjadi demikian berkuasa, sebagai pemberi segel keabsahan sebelum sebuah praktek dapat dijalankan. Hal ini yang oleh Ralph Milliband disebut ‘substitusi intelektual’, di mana para pemikir tidak lagi memandang dirinya bekerja di dalam dan bagi gerakan emansipasi tapi sebagai entitas ‘gerakan’ yang berdiri sendiri.
Dalam situasi demikian tampaknya pilihan metodologis Wertheim memberi sumbangan penting untuk mempengaruhi jalannya perdebatan. Baginya, jalan terbaik untuk menghindari jebakan geografis dan waktu, atau di pihak lain jebakan membuat ‘ilmu revolusi’ yang abstrak di dalam lingkungan akademik, adalah dengan meninjau pengalaman revolusi di berbagai tempat dalam perspektif sosio-historis dan melihat kesemuanya sebagai rangkaian kejadian yang berpengaruh terhadap evolusi masyarakat manusia. Dari perspektif dialektik ia melihat bahwa revolusi adalah jalan evolusi yang dipercepat, dan keberhasilannya diukur bukan melalui perombakan institusi atau struktur semata, tapi seberapa jauh revolusi itu membawa emansipasi bagi masyarakat luas. Di sini juga ia mengkritik determinisme Marxis yang berkutat pada syarat-syarat obyektif, basis material dan faktor teknis (organisasi revolusioner) sebagai ukuran dan penentu keberhasilan emansipasi manusia. Dikatakannya,
“Mereka mengabaikan kekuatan otonom motivasi kejiwaan sebagai faktor yang menentukan sepanjang seluruh sejarah umat manusia. Faktor kejiwaan mesti ditafsirkan sebagai hasrat akan emansipasi dan perlawanan terhadap kecenderungan penyesuaian dan stabilisasi. Sebab asal mula revolusi harus digali dari yang paling awal: suatu proses mental dalam arti kontrapunkt terhadap tatanan institusional”. (hlm. 301)
Teori sosial tentang evolusi maupun revolusi menurut Wertheim juga mengandung kelemahan, karena melakukan reifikasi terhadap struktur sosial. Konsep ‘strata sosial’ misalnya dianggap sebagai kenyataan obyektif, padahal manusia yang digolongkan ke dalam strata tersebut tidak menyadarinya. Mengikuti Max Weber, ia melihat bahaya falschen Begriffrealismus, yang menyamakan bayangan tentang realitas dengan realitas itu sendiri. Mengenai ini Wertheim mencatat,
“Konstruksi seperti sistem-status, pertentangan sentrum dan periferi, pembagian masyarakat dalam kelompok primer dan sekunder atau susunan jaringan sosial yang mempermudah penyaluran keputusan dan informasi, dianggap sebagai sesuatu yang obyektif dapat dibuktikan, sekalipun pelaku kehidupan sosial tidak sepenuhnya menyadari”. (hlm. 92)
Persis di wilayah ini, karya Wertheim mengundang banyak kritik dan dituntut memberi pembuktian lebih lanjut. Pandangannya dianggap terlalu umum dan longgar, yang secara politik lemah karena terbuka terhadap segala kemungkinan. Dalam hubungannya dengan kesadaran, Wertheim mungkin akan mengatakan bahwa kesadaran sekelompok orang tentang identitas mereka tidak dapat dihimpun atau diorganisir, karena bahaya Kollektivgebilde di atas. Padahal dalam pengalaman revolusi yang diamatinya, terlihat bahwa unsur terpenting dalam gerak emansipasi adalah perubahan sikap mental yang tidak berubah secara alamiah semata, tapi karena dorongan, tarik-menarik atau interaksi di antara berbagai kekuatan. Bagaimanapun, tesis Wertheim tentang dialektika evolusi-revolusi dan kritik terhadapnya menjadi sumbangan pikiran yang berharga untuk mengerti gejala masyarakat lebih mendalam.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, sosiologi dan ilmu sosial pada umumnya adalah produk dari dua revolusi besar di Eropa sebelum abad ke-20. Perubahan yang mendadak dalam susunan masyarakat, fungsi pranata sosial, dan posisi intelektual mendorong tumbuhnya pemikiran yang sistematis tentang masyarakat. Tapi seperti kacang lupa kulit, sosiologi tumbuh di dalam lingkungan para pelopornya – kaum borjuis – sebagai ilmu ‘pengobatan masyarakat’ yang sibuk mencari penyakit dan penyimpangan dari tatanan borjuis serta cara-cara membasmi penyakit tersebut. Dalam lingkungan ini revolusi menjadi subyek bahasan yang terpisah dari kenyataan hidup dan perjalanan masyarakat manusia, apalagi dari perkembangan teori-teori ilmu sosial. Dalam Gelombang Pasang Emansipasi ini Wertheim berusaha membawa revolusi di bekas tanah jajahan ke pusat pembicaraan ilmu sosial. Dikatakannya bahwa tidak ada revolusi yang begitu besar pengaruhnya terhadap perjalanan sejarah manusia seperti revolusi Dunia Ketiga yang membebaskan diri dari belenggu kolonialisme. Lebih jauh ia berpendapat bahwa susunan dunia sekarang ini sangat ditentukan oleh gelombang revolusi yang menerpa lebih dari setengah negara di dunia, dan menciptakan sekian banyak negara baru.
Dari titik pijak ini Wertheim memberi perhatian besar terhadap tiga revolusi di Tiongkok, yang terjadi dalam waktu 30 tahun. Dalam ilmu sosial kontemporer ketiganya dipandang dengan sikap meragukan, bahkan melecehkan, bukan saja oleh ‘musuh ideologisnya’ seperti Amerika Serikat atau Inggris, tapi juga oleh ‘kawan seperjuangannya’ yaitu Uni Soviet. Namun bagi Wertheim, kemenangan di Tiongkok justru menjadi pendorong untuk membongkar kembali asumsi-asumsi dasar tentang gerak masyarakat, dan doktrin-doktrin pembebasan yang kaku. Keberhasilan revolusi Tiongkok membantunya mempertajam pengertian emansipasi yang di tangan akademisi semakin kehilangan daya pengubahnya. Dari pengalaman itu ia melihat bahwa emansipasi adalah pembebasan manusia dari segala hal yang mencegah atau menghambat proses kreatif manusia, dan bahwa dalam proses dialektiknya emansipasi selalu menuntut kehadiran pranata baru sebagai konsekuensi berubahnya struktur sosial. Apabila kemudian tuntutan itu diredam dan coba dicocok-cocokkan dengan tatanan lama, maka seperti terlihat dalam sejarah, emansipasi yang sudah dicapai dapat berjalan mundur kembali.
Wim F. Wertheim: Kontrapunkt
dalam Emansipasi Ilmu Sosial Indonesia
Minat Wertheim yang begitu besar pada revolusi mungkin ada hubungannya dengan pengalaman hidupnya sendiri. Pada usia belasan tahun ia menjadi saksi Revolusi Bolshevik 1917, mengikuti ayahnya yang bertugas di negeri tersebut. Ia tumbuh dewasa bersamaan dengan tumbuhnya gerakan sosialis, nasionalis dan dua perang dunia. Selama bekerja di Hindia Belanda ia menyaksikan kerja sistem kolonial dan revolusi nasional yang menumbangkan kekuasaan sistem kolonial itu.
Wertheim tiba di Indonesia sebagai seorang indolog, sarjana ilmu tanah jajahan yang mengabdi pada kekuasaan kolonial. Tahun 1931 ia ditunjuk menjadi anggota Dewan Peradilan Hindia Belanda, dan sekaligus menjadi ketua badan peradilan pusat di Batavia. Lima tahun kemudian ia menjadi salah satu pengajar RHS (sekolah hukum) di Batavia, sampai tentara pendudukan Jepang tiba. Selama itu ia menerbitkan berbagai tulisan di majalah-majalah terkemuka sezaman, seperti Brijdagen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Nederlandsche Juristenblad dan Rechtskundige Opstellen. Sekalipun berpandangan kritis terhadap sistem tanah jajahan yang tidak adil, tapi karena struktur pengabdian yang kuat dan jarak dengan masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan itu, ia tidak banyak membuat kritik berarti sampai berakhirnya kekuasaan kolonial.
Setelah masa revolusi ia baru aktif menulis. Salah satu bukunya yang terkenal dan sampai hari ini masih menjadi rujukan adalah Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change, yang antara lain mengulas hubungan rasial di tanah jajahan, khususnya hubungan antara kaum kulit putih dan terjajah, kedudukan kaum peranakan dan minoritas Tionghoa pedagang. Keinginannya yang besar untuk memperhatikan sistem birokrasi dituangkan dalam East-West Parallels: Sociological Approaches to Modern Asia yang memperlihatkan sikap kritisnya terhadap tatanan kolonial. Di bawah pengaruh Max Weber ia mengkritik konsep-konsep baku dalam ilmu sosial yang tidak dapat dipakai untuk memahami gejala masyarakat pasca-jajahan. Ia menolak misalnya pandangan bahwa Asia sejak zaman pra-kolonial adalah masyarakat yang statis dan sentralistik seperti diduga oleh Karl Wittfogel dengan tesis ‘despotisme ketimuran’ (oriental despotism), dengan memperlihatkan adanya pencampuran antara prinsip birokrasi patrimonial dengan birokrasi modern.
Sikap kritisnya bersambut dengan proses dekolonisasi pada tahun 1950-an, dan ia menjadi salah satu ilmuwan ‘sisa-sisa kolonial’ yang mendapat tempat dalam alam Indonesia merdeka. Pada tahun 1956 ia diundang menjadi pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (sekarang Institut Pertanian Bogor) untuk matakuliah sosiologi pedesaan dan demografi, di mana ia bertemu dengan ahli-ahli dari Indonesia, seperti Prof Sajogyo. Di samping itu ia juga diminta mengajar di Padang, Yogyakarta dan Manado. Kuliah-kuliah umum dan tulisannya selalu mengundang perhatian khalayak, dan pada tahun 1960 ia pun diminta membantu pemerintah menyiapkan sensus penduduk, proyek sensus pertama di masa kemerdekaan. Laporan-laporan yang dibuatnya kerap menarik perhatian para pemimpin politik dan penentu kebijakan. Presiden Soekarno pun merasa perlu mengundangnya dua kali untuk memberi informasi tentang situasi sosial di berbagai daerah. Tidak banyak indolog yang menempuh jalan seperti Wertheim.
Wertheim, yang meninggal pada usia 91 tahun bulan Januari lalu, adalah sosok unik dalam perjalanan ilmu sosial Indonesia. Melihat jumlah karangannya yang mencapai ratusan Wertheim tergolong penulis yang sangat produktif. Ia mulai menulis tentang Indonesia dan teori sosiologi sejak tahun 1930-an, dan di usia senja pada tahun 1997, terbit buku terbarunya, Third World, Whence and Whither? Di masa sekarang, kalangan mahasiswa dan aktivis dari berbagai latar belakang lebih mengenalnya sebagai penulis yang banyak mengungkap fakta-fakta di sekitar peristiwa 30 September 1965.4 Karya-karya sosiologinya dikenal dalam lingkup universitas yang terbatas, itupun hanya sebagai satu dari sekian banyak karya klasik tentang masyarakat Indonesia. Dari segi popularitas, nama Wertheim boleh dibilang tenggelam di balik ilmuwan seperti Clifford Geertz dan George Kahin, apalagi setelah dunia ilmu sosial mengubah kiblatnya pada tahun 1970-an menghadap ke Amerika Serikat. Gelombang Pasang Emansipasi adalah buku pertamanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam banyak hal, Wertheim menyimpang dari langgam ilmu sosial dominan di Indonesia. Kesadarannya bahwa ilmu sosial tidak dapat dipisahkan dari politik, baik dalam arti tradisi ilmu sosial selalu dipengaruhi kejadian politik, maupun keterlibatan ilmu sosial dalam kehidupan politik, adalah gugatan terhadap ilmu sosial di Indonesia yang mencoba berlaku a-politis, tidak berpihak dan obyektif. Bagi Wertheim, setiap perdebatan dilandasi kepentingan politik, terlepas apakah itu disadari atau tidak oleh mereka yang berdebat. Teori modernisasi misalnya lahir setelah Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya dalam Perang Dingin sedang melancarkan perang containment. Segala pembicaraan tentang revolusi, perubahan sosial yang tiba-tiba dan menyeluruh, dianggap berlawanan dengan orde dunia yang ‘ditakdirkan’ menuju modernisasi model Barat. Demikian pula Marxisme, yang menjadi mapan di masa Stalin dan sesudahnya, sehingga kehilangan seluruh energi revolusioner yang kaya akan ide perombakan dan pembaruan. Keinginannya untuk melepas ilmu sosial dari belenggu kemapanan baik yang berhaluan kanan maupun kiri adalah usaha besar, yang disadarinya tidak mungkin terjadi begitu saja.
Dalam tulisan-tulisannya tentang peristiwa 1965, Wertheim kelihatan begitu berminat pada urutan peristiwa yang membawanya pada kesimpulan yang bertentangan dengan versi resmi dari pemerintah. Komentar dan hasil pengamatannya mirip dengan kerja seorang jurnalis yang telaten menguber sumber dan selalu ingin menampilkan sesuatu yang baru dalam ceritanya. Dalam keasyikan itu Wertheim mungkin tidak sadar bahwa pengamatannya menarik perhatian banyak orang, terutama kalangan intelektual Indonesia yang masih berminat pada sejarah politiknya sendiri. Membaca karyanya dalam situasi sekarang, kita merasa tengah berhadapan dengan sebuah kontrapunkt – sebuah gejolak yang oleh pelakunya sendiri mungkin dianggap tidak penting – dalam jalan panjang emansipasi ilmu sosial Indonesia. Diterbitkannya karya Wertheim ini, untuk pertama kalinya dalam bahasa Indonesia, adalah hal yang menarik. Apalagi dengan latar kejadian sosial-politik yang berlangsung begitu cepat. Kesulitan hidup mendorong orang keluar dari kebiasaan dan tatanan sejenak, baik untuk melampiaskan dendam sosial, maupun untuk mulai menabur benih-benih perubahan. Banyak di antaranya berharap tidak perlu kembali, agar dapat menuai di masa kemudian. Sebuah gelombang tengah bersiap pasang.
_____________
* Agung Putri adalah sosiolog yang bermukim di Jakarta dan menggeluti masalah hak asasi manusia di Indonesia dan menulis mengenai masalah perempuan dan pembebasan. Hilmar Farid adalah sejarawan yang menekuni masalah kebudayaan di Indonesia. Keduanya aktif di Jaringan Kerja Budaya
1. Dalam hal ini Wertheim – seperti diakuinya kemudian – sejalan dengan pemikiran James Scott tentang ‘perlawanan terselubung’ dari kaum tani, yang umumnya dianggap sepi oleh para peneliti sosial karena tidak membawa perubahan besar yang dapat dijadikan bahan tulisan. Lihat James Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance, Yale University Press, 1985.
2. Dari kritik-kritik semacam ini, yang tidak hanya dilakukan oleh Wertheim, muncul konsep ‘new social movements’ yang menantang pembakuan pengertian ‘perjuangan kelas’ yang kaku. Teori modernisasi dan pemikiran liberal lainnya jelas ditolak karena pada dasarnya tidak memberi tempat pada gerakan emansipasi yang menurut mereka hanya mengganggu proses pertumbuhan dan evolusi masyarakat menuju modernitas.
3. Di Italia misalnya muncul Antonio Gramsci, yang mendasarkan teorinya pada kegagalan partai revolusioner menggalang massa yang justru dicaplok oleh kekuatan fasis. Di Eropa Barat, khususnya Jerman, berkembang teori kritis (Mazhab Frankfurt) yang memandang kegagalan revolusi tidak lain karena kurangnya pengamatan yang cukup terhadap situasi keterasingan manusia sebagai produk kapitalisme tingkat lanjut (late capitalism). Tokoh-tokohnya seperti Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Max Horkheimer dan Erich Fromm kemudian banyak mencurahkan perhatian pada aspek-aspek sosio-psikologi dari pembebasan manusia. Mereka juga mengecam Marxisme Soviet dan para pejabat partai komunis yang menjadi birokratik, dogmatik, bahkan cenderung konservatif.
4. Beberapa di antaranya, “Suharto and the Untung Coup – The Missing Link”, Journal of Contemporary Asia, Vol. 1, No. 1, 1970; “Who’s Plot? – New Light on the 1965 Events”, Journal of Contemporary Asia, Vol. IX, No. 2, 1979; “Suharto and the Latief Trial: A Painful Revelation”, Tapol Bulletin, No. 29, 1978. Pengamatannya terhadap urutan peristiwa dan detail-detail di sekitarnya banyak dimuat dalam suratkabar De Groene Amsterdammer.