Perahu Retak Emha Ainun Nadjib

Perahu Retak 

Emha Ainun Nadjib

mbah sghriwo

Pendahuluan

Awal Kerajaan Mataram, abad 16.
    Sesudah keberlangsungan kesultanan Demak dan Kesultanan Pajang, berdirinya Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati dan Ki Mondoroko Juru Martani penasihatnya, sesungguhnya merupakan transformasi politik dari pola kepemimpinan pesisiran yang berwatak lebih terbuka, egaliter dan demokratis, menuju atau menjadi kekuasaan pedalaman yang relatif lebih tertutup.
    Pola pesisiran dan pedalaman itu berbeda terutama pada penyikapannya terhadap Islam atau Ummat Islam, yang merupakan komponen sosial politik tak terelakkan dalam konstelasi kekuatan Mataram. Perbedaan itu bersumber dari historisitas pesisiran yang memang merupakan asal usul masuknya Islam ke pulau Jawa. Sejumlah pemuka Islam yang beraspirasi pesisiran sesungguhnya telahmengantisipasi berdirinya Kerajaan Mataram dengan suatu konsep yang meletakkan Islam sebagai komponen partisipatoris dalam nasionalisme Mataram. Tetapi yang kemudian berlangsung di Mataram, yang dipimpin oleh Panembahan Senopati serta Ki Juru Martani atau Ki Mondoroko sebagai penasihatnya, adalah suatu konsep kekuasaan yang cenderung meletakkan Islam semacam ancaman atas kekuasaan Jawa.
    Mataram merekrut Islam sampai batas-batas tertentu. Simbol-simbol formal ke-Islaman tidak sama sekali dihapuskan, tetapi pertumbuhan kulturan-kualitatif Islam dikendalikan atau dikebiri sedemikian rupa.
    Pimpinan Tertinggi Demak dan Pajang memakai gelar Sultan, idiom yang berasal dari tradisi kekuasaan Islam -- sedangkan pada Mataram gelarnya adalah Panembahan -- suatu gelar Jawa, meskipun raja-raja Mataram tetap juga menyebut dirinya sebagai Sayidin Panatagama, Kalifatullah Ing Bhumi Mataram: suatu gelar Islam yang berarti pemimpin penata Agama dan utusan Allah di tanah Mataram.
    Kepemimpinan Demak dan Pajang dilatarbelakangi oleh legitimasi spiritual Islam melalui Wali Songo. Disebut 'legitimasi spiritual', sebab titik berat ke-Islaman di sini adalah spiritualitas, bukan teologi, sehingga Kesultanan Demak tidak bisa merupakan contoh dari suatu pemerintahan teokratis Islam.
    Kerajaan Mataram tidak meneruskan "tradisi Wali", dan menggantikannya dengan legitimasi mistik Jawa terutama melalui figur Nyai Roro Kidul, yakni tokoh yang dipercaya sebagai Ratu Laut Selatan yang berhubungan karib dengan raja Mataram.
    Pergeseran legitimasi ini mensifati pula landasan, watak, dan orientasi kepemerintahan politik Mataram, Demak, dan Pajang juga belum bisa disebut telah mampu mengaktalisasikan nilai Islam seperti kesamaan derajat antar-manusia, egaliteranisme, keterbukaan, dan dialog, atau juga demokrasi dan kedaulatan rakyat -- dan itulah yang disebut watak politik dan budaya pesisiran. Namun sampai batas tertentu yang diselenggarakan oleh Mataram pada hakekatnya adalah refeodalisasi struktur politik dan kebudayaan, sentralisme dan otoritarianisme Raja, juga ketertutupan dan tahayul -- dan itu merupakan ciri khas watak politik dan budaya pedalaman.
    Tak juga bisa disimpulkan bahwa "Demak adalah Islam, sementara Mataram adalah Jawa", di mana Islam-Demak menjinakkan dan menginstrumentalisasikan Jawa, sementara Jawa-Mataram menjinakkan dan menginstrumentalisasikan Islam. Tetapi memang pergulatan, dialektika, atau kerjasama pada sisi tertentu dan upaya saling memusnahkan pada sisi yang lain, antara substansi Jawa dengan Islam, merupakan tema utama sejarah masyarakat Jawa dan Nusantara sejak abad 16 hingga kini.
    Juga tidak bisa dikatakan bahwa antara Jawa dengan Islam adalah semata-mata merupakan dua kerangka nilai yang pasti saling bertentangan. Banyak pararel-pararel atau titik temu antara keduanya, namun "pergulatan Mataram" dari abad 16 hingga abad 20 dan seterusnya berisikan usaha pengawinan antara keduanya pada berbagai level nilai, namun juga perbenturan-perbenturan terutama pada level kekuasaan politik di mana Islam maupun Jawa bisa saling atau sama-sama diperalat.
    Lakon berikut adalah secercah ilustrasi tentang upaya pencarian kemungkinan kerjasama dan demokratisasi antara Jawa dengan Islam. Meskipun pada saat itu term 'demokrasi' belum dikenal, tapi sama sekali tidak berarti bahwa demokrasi tidak ada sebagai aspirasi, naluri, ide atau gagasan manusia dan masyarakat pada jaman itu.
Emha Ainun Nadjib
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 11:57 AM