Jumpa Han Suyin

Jumpa Han Suyin

Untuk menghormatinya, juga menimbang usianya yang lanjut (90), Redaksi Hasta Mitra menugaskan rekan di Paris, Umar Said, untuk langsung menjumpai Han Suyin di Lausanne-Swiss, dengan maksud mendapatkan persetujuannya menerbitkan karangannya mengenai biografi Zhou Enlai dalam edisi Indonesia. Buku Han Suyin tentang Zhou Enlai ini pertama kali terbit dalam versi Tionghoa pada 1992 di Beijing, edisi Inggris pada 1994. Berikut laporan Umar Said, wakil Hasta Mitra di Paris, mengenai pertemuannya dengan Han Suyin:
    Diterbitkannya oleh Hasta Mitra dalam bahasa Indonesia buku tentang Zhou Enlai yang ditulis oleh Han Suyin merupakan peristiwa penting dalam sejarah penerbitan di Indonesia, sekaligus juga sumbangan sangat berarti bagi pendidikan bangsa, terutama bagi generasi muda.
     Penerbitan ini perlu dan penting, bukan saja karena ditulis oleh seorang penulis wanita yang sudah masyhur sekali di dunia, melainkan karena isi bukunya mengangkat banyak topik orijinal dan interesan berkaitan dengan sejarah Zhou Enlai, tokoh besar revolusi Tiongkok Baru, yang sangat dihormati dan dicintai oleh banyak orang, di Tiongkok sendiri maupun di berbagai kalangan di dunia. Karenanya saya senang sekali, ketika pada tanggal 28 November 2007 atas nama Hasta Mitra, bisa bertemu penulis kesohor ini dan lama berbicara mengenai banyak hal yang berkaitan dengan Tiongkok masa lalu dan Tiongkok masa kini, secara khusus mengenai Zhou Enlai. Pertemuan ini terjadi di apartemennya di Lausanne, suatu kota pariwisata yang indah di negara Swiss. Ini bukan pertemuan pertama bagi saya, karena saya memang sudah mengenalnya sejak kurang-lebih empatpuluh tahun yang lalu.
     Dalam tahun 1973, saya pernah menginap di rumahnya di Lausanne dua malam, ketika dalam perjalanan dari Beijing menuju Paris. Ketika itu Han Suyin menyambut saya dengan hangat bersama suaminya yang semasa itu masih hidup, seorang India yang gagah dan ganteng, Vincent Ruthnaswami.
Bagi saya, berbicara dengan Han Suyin yang kini sudah berusia 90 tahun dan menjanda sejak empat tahun terakhir adalah suatu kesempatan yang berharga sekali, bukan saja karena ia seorang wanita pintar dan cantik – apalagi ketika mudanya! –, melainkan karena ia gudang ilmu, sarat dengan data sejarah, bertumpuk-tumpuk berkas naskah kebudayaan, politik, ekonomi dan sosial. Itu pun bukan mengenai Tiongkok saja, melainkan juga berkaitan dengan berbagai peristiwa dan masalah yang dihadapi bangsa-bangsa di dunia. Itulah Han Suyin.
     Han Suyin berpendidikan dokter dan bertahun-tahun berpraktek sebagai dokter, tetapi sekaligus penulis peringkat internasional. Han Suyin bukan saja menulis novel-novel indah, tetapi juga produktif sekali menulis karya-karya biografi dan studi sejarah yang berbobot. Di atas segala-galanya saya menilai dia pada dasarnya yang paling inti – walaupun dia Tionghoa – adalah genuine intelektual berbudaya universal. Predikat itu saya kenakan hanya pada seorang seperti Han Suyin – dia novelist, sejarawan, ilmuwan, cultured, polyglot menguasai aktif berbagai bahasa, peduli pada the good cause kepentingan masyarakat, ahli dalam aneka segi, allround, many sided. Definitif bukan intelektual netral steril munafik – dia berpihak! Berani dan terbuka. Walaupun rasio dan emosinya tetap Tionghoa, sangatlah universal cakrawalanya memandang dunia.
     Begitulah yang kami lihat pada diri Han Suyin, ketika berkunjung di rumahnya di Lausanne pada hari yang cerah di musim dingin itu. Dengan gerak yang cukup lincah – usia 90 tahun, kelahiran 12 September 1917– ia memerlukan keluar dari apartemennya menunggu di depan pintu lift untuk menyambut kedatangan kami, lalu dengan senyum ramah menyapa kami dalam bahasa Tionghoa. Saya kontan menjawab dengan bahasa Tionghoa juga, sisa perbendaharaan kata-kata Tionghoa yang masih melekat di lidah saya. Dalam usianya yang sudah begitu lanjut, ia masih bicara galak tentang jahatnya imperialisme AS, tentang perampokan yang dilakukan kolonialisme di dunia ketiga, tentang kebangkitan rakyat Tiongkok.
     Saya masih teringat bahwa butir-butir itu pulalah yang pernah dia sering bicarakan dengan saya di Hotel Beijing 1969, pada saat Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) masih berkecamuk. Dia enerjik revolusioner di masa lalu, dia tetap militant hari ini. Kemudian pada 1973 saya jumpai lagi dan menginap di rumahnya di Lausanne, selanjutnya 1982 bertemu lagi beberapa kali di Paris. Han Suyin tetap Han Suyin, charmant, enerjik penuh élan.
     “Reuni” di Lausanne 28 November itu, penuh nostalgi saling ingat-mengingatkan. Saya menceritakan kembali tokoh-tokoh yang sama-sama pernah kita kenal, program kerja yang pernah sama-sama kita perjuangkan dan tangani. Common friends berasal dari berbagai negara, semua sahabat Tiongkok. Zhungguo de lao peng you, yang saya kenal, yang dia kenal.
     Mata Han Suyin berbinar-binar ketika saya sebut nama-nama Anna Louis Strong (Amerika), Rewy Alley (Selandia Baru), Israel Epstein (Amerika), dr. George Hatem alias Ma Hai Teh (Amerika), Muller (Jerman). Nampak dia sedih terkenang nama-nama yang semuanya pernah menjadi rekan akrabnya juga. Saya ingatkan Han Suyin bahwa saya mengenal mereka ketika di Beijing memegang fungsi menjalankan sekretariat Persatuan Wartawan Asia-Afrika yang setelah peristiwa 1965 “mengungsi” dari Jakarta ke Beijing, menghindari kekuasaan militer rejim Suharto. Kemudian PWAA bekerja di bawah pengayoman Dewan Negara Tiongkok, dipimpin langsung Zhou Enlai. Han Suyin menanggapi bahwa ia sendiri masih ingat bertemu Presiden Sukarno pada tahun 1962.
     Saya ceritakan bahwa sesudah minta asyl politik di Prancis, saya menerbitkan di Paris majalah bulanan ekonomi Chine Express dalam bahasa Prancis khusus berisi informasi berita dan analisis ekonomi Tiongkok. Majalah ekonomi yang beredar bagi kalangan business Prancis itu bertujuan mengembangkan hubungan ekonomi antara Prancis dan Tiongkok. Rupanya, karena saya ceritakan bekerja berdikari selama 10 tahun menerbitkan majalah bulanan itu – praktis seorang diri, hanya dibantu istri untuk ekspedisi dan urusan pos, dia geleng-geleng kepala terkagun-kagum, lalu berkomentar: “Apa yang Anda kerjakan perlu diketahui oleh Tiongkok”. Sebagai kenang-kenangan saya tinggalkan satu eksemplar Chine Express setebal 48 halaman, majalah yang saya kelola,sendirian tanpa bantuan dana dari mana pun juga. Juga saya ceritakan kepadanya bahwa saya bersama sejumlah kawan mendirikan restoran koperasi INDONESIA di Paris, dan saya tinggalkan kepadanya kartu restoran, dengan pesan mengundangnya agar singgah di Restaurant Indonesia kalau kebetulan berkunjung ke Paris.
     Saya merasa beruntung sekali, dan tentu sangat senang bisa bicara dengannya dulu di masa muda dan sekarang di masa tua, sudah sangat manula namun kelihatan masih sehat. Gerak-geriknya masih cekatan, bicaranya masih lancar, lantang ceplas-ceplus diselingi humor segar. Lebih-lebih ketika bicara tentang Tiongkok terfokus pada peran Zhou Enlai dalam kebangkitan Tiongkok Baru, barulah langsung kelihatan siapa dan bagaimana Han Suyin. Ia bisa kelihatan serius dan sangat mendalam menjabarkan pendapatnya, diseling ungkapan tajam, kena, yang memancing senyum kagum bagi yang mendengarnya. Dia bahkan juga sampai menyanyikan sebuah lagu populer Tiongkok.
     Ketika saya raba bahunya sambil mengatakan bahwa baju yang dipakainya itu indah – warna hitam pakai pernik-pernik putih mengkilat – ia berkata bangga yang tampak nyata sekali di wajahnya: “Baju ini bikinan Tiongkok”.
     Dalam pertemuan di Lausanne kali ini, yang paling menimbulkan kesan mendalam bagi saya adalah bila dalam obrolan muncul nama Zhou Enlai. Saya katakan bahwa buku-bukunya yang banyak beredar mempunyai arti besar dalam memperkenalkan wajah Tiongkok Baru bagi banyak orang di dunia. Dengan sendirinya saya sebut lagi nama Zhou Enlai, betapa penting peran dan besar jasanya bagi kebangkitan Tiongkok Baru dikaji dari berbagai aspek manapun. Mendengar nama Zhou Enlai, mendadak Han Suyin yang rapuh ringkih fisiknya seakan disengat enerji, dia semakin menggebu-gebu bersemangat.
     Dari cara bicara, dari tema-tema yang dia angkat, jelas bagi saya Han Suyin bukan saja luas mendalam menguasai sejarah Tiongkok, tetapi dia sendirilah Tiongkok, isi hati, cara berfikirnya – DNA Han Suyin adalah Tiongkok! Han Suyin membuktikannya dengan banyak cara dalam jangka waktu lama betapa sepenuh hati cintanya kepada Tiongkok dan rakyatnya. Bukan itu saja! Han Suyin mengetahui persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa-bangsa di dunia, perjuangan berbagai rakyat untuk melawan ketidakadilan, memberontak terhadap penjajahan, neo-kolonialisme, globalisme, imperialisme. Buku-bukunya yang beredar dalam berbagai bahasa, mencerminkan dengan jelas kepedulian sekaligus produktivi-tasnya. Berkali-kali selama puluhan tahun ia diundang sebagai scholar dan budayawan terkemuka untuk berbicara dalam berbagai pertemuan yang diselenggarakan di Amerika, Eropa dan Asia, dan di-interview oleh banyak pers dan radio-televisi di dunia.

Han Suyin, Ninon, dan Umar Said
     Karena sikapnya yang tajam dan terbuka, pernah ia bertahun-tahun persona non grata di Amerika Serikat, dianggap terlalu pro-Tiongkok yang komunis. Dia dicekal masuk Amerika dan buku-bukunya dipersukar beredar di negeri MacCarty itu. Sesudah tahun 1980 larangan itu dicabut, Han Suyin bisa berkunjung lagi ke Amerika meskipun ia tidak menyukai negara AS dan pemerintahnya. Tetapi ia mempunyai banyak sahabat dan pengagum di Amerika Serikat. Dalam omong-omong di rumahnya di Lausanne, berkali-kali ia menyatakan masih geramnya terhadap imperialisme AS.
     Dalam pertemuan ramah-tamah yang hangat,tanpa menutup-nutup, dia terbuka mengakui bangga sekali sebagai bangsa Tionghoa, meskipun hidup lama di luar Tiongkok dan bergaul dengan berbagai kalangan di Eropa, Amerika dan Asia. Ia memegang beberapa paspor, ayah kandung-nya orang Tionghoa (insinyur kereta-api), ibunya orang Belgia-Vlaam. Ia lahir di Xinyang (Henan) dengan nama baptis Elisabeth Rosalie Mathilde Clare Chou. Suami pertama seorang opsir Guomindang yang sebagai jenderal tewas dalam perang melawan Tentara Merah Mao Zhedong. Suami kedua orang Inggris yang lama bekerja di Malaya. Kemudian ia bertemu kolonel tentara India, Vincent Ruthnaswamy, jodoh dan suami ketiga yang perkawinannya berlang-sung terlama dan sangat dicintainya sampai meninggal pada tahun 2003.
     Jelas Han Suyin kaya pengalaman hidup: kenangan indah, kenangan tidak indah. Pengalaman kaya-raya itulah memungkinkannya mempunyai wawasan yang jeli memandang manusia, masyarakat, pemerintahan, politik, budaya berbagai bangsa. Kedalaman daya fikir yang matang tercermin dalam buku-bukunya yang mana pun. Karya-karyanya – sekitar tigapuluhan – dapat digolongkan dalam tiga kategori yang besar. Pertama: sejarah dan otobiografi, kedua: fiksi, dan kategori ketiga: esai-esai politik dan sosial. Dengan latar-belakang yang demikian, dapat dibayangkan betapa asyik ketika kita bicara tentang perubahan-perubahan yang terjadi di Tiongkok hari ini, tentang kemajuan yang dicapai oleh negeri yang berpenduduk 1.300 juta manusia itu. Ia mengatakan dengan nada suara bangga: “Sekarang siapa pun tidak lagi bisa bikin kesulitan besar, tidak berani berbuat jahat terhadap Tiongkok, karena Tiongkok sudah punya bom atom”. Saya timpali bahwa kemajuan Tiongkok di bidang ekonomi, science, teknologi, dan militer luar biasa besarnya, sehingga mengagum-kan sekaligus menakutkan dunia. Saya katakan Tiongkok tidak lama lagi akan mengatasi AS di bidang ekonomi dan banyak bidang lainnya, ia kelihatan senang tetapi kritis berkata “banyak kekurangan masih harus diperbaiki, banyak kesalahan juga harus dikoreksi,” tanpa merinci kekurangan dan kesalahan yang dia maksudkan.
     Sudah saya singgung sebelumnya, yang mencolok dan amat menarik kalau dia mulai berbicara tentang Zhou Enlai. Han Suyin mengatakan Zhou Enlai itu guru yang banyak memimpin fikirannya untuk bagaimana memandang dunia. Baginya, Zhou Enlai adalah pemimpin Tiongkok yang seluruh hidupnya bekerja untuk kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat Tiongkok. Katanya, Zhou Enlai juga menginginkan persahabatan demi kesejahteraan rakyat-rakyat lain di dunia. Dan saya heran ketika saya mengatakan bahwa bagi saya pribadi tokoh Zhou Enlai pun luar biasa hebatnya. Mendengar ucapan saya, Han Suyin langsung terharu sekali, berkaca-kaca kedua matanya setengah menangis – dia mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada dan mengayun-ayunkannya seperti kebiasaan orang Tionghoa sembahyang di altar vihara. “Teri makasih, terimakasih” berulang-ulang dia ucapkan.
     Saya makin yakin betapa tinggi respek dan dalam cinta Han Suyin pada Zhou Enlai. Tetapi terharu sampai hampir menangis sambil menggerak-gerakkan kedua telapak tangannya seperti sedang sembah-yang sungguh di luar dugaan saya. Dia angguk-anggukkan kepalanya ketika saya katakan bahwa apa yang dicita-citakan dan diramalkan Zhou Enlai mengenai Tiongkok ternyata sekarang banyak sudah menjadi kenyataan. Terasa ucapan saya saling semakin mendekatkan fikiran dan perasaan kita berdua, connect dalam frekuensi dan gelombang yang sama.
     Dalam pertemuan ini saya berkali-kali mengatakan pentingnya menerbitkan bukunya tentang Zhou Enlai. Bukan saja generasi muda Tiongkok perlu tahu, tetapi juga generasi muda negeri saya, Indonesia, bahkan juga di negara-negara lain. Saya berpendapat mengenal Zou Enlai penting sebagai pembelajaraan bagaimana menjadi politikus berkarakter. Han Suyin gembira mendengarnya, dia membenarkan pendapat saya dan setuju sepenuhnya.
     Menurut data-data yang bisa dilacak di Internet, sejak tahun 1960 Han Suyin sudah memberikan ceramah dalam berbagai pertemuan dan konperensi sebanyak 2000 kali di Eropa, Amerika dan Asia. Dalam semua ceramahnya itu dia menjurubicarai dan memperkenalkan Tiongkok dalam perkembangannya di berbagai bidang. Atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam memupuk persahabatan Tiongkok dengan banyak rakyat di berbagai negeri itu, pada tahun 1996 the Chinese People’s Association for Friendship with Foreign Countries memberikan gelar “Duta Persahabatan” (Friendship Envoy). Suatu gelar yang tepat dan lebih dari pantas disandang oleh penulis yang berkaliber dunia ini.
     Bagi saya, bertemu dengannya pada masa usianya yang sudah sangat lanjut, menjadi peristiwa yang membangkitkan macam-macam kenangan, fikiran dan perasaan. Saya juga merasa senang dengan sikapnya yang selalu serius mendengarkan pendapat saya. Kita berkomunikasi lewat bahasa Prancis, tetapi beberapa kali saya sengaja sisipkan penjelasan, bahwa saya orang Indonesia 100%, maksudnya tidak lain jangan sampai dia sangka saya beneran orang Tionghoa, hanya karena dalam pembicaraan kita, saya selang-seling masih mengeluarkan sisa-sisa bahasa Tionghoa saya. Secara berkelakar ia tanggapi bahwa nama Umar mirip dengan nama Omar bahasa Arab.
     Saya tambah hormat kepadanya, walaupun usia sudah sangat lanjut – dan kadang-kadang kelihatan juga daya ingatnya agak mundur – tetapi dia tetap saja seperti semasa muda, masih gairah dan mampu bicara jernih dan tajam tentang berbagai peristiwa penting yang sudah jauh berlalu. Biar sudah uzur, senyumnya masih manis, gelak-tawanya pun masih menyegarkan hati. Ketika saya minta tanda-tangannya pada buku karangan-nya yang saya bawa dari Paris “Le déluge du matin” (Air Bah di Pagi Hari), dengan huruf-huruf mantap dia tulis “A vous, grand patriote et grand example de la Chine. Han Suyin. Namanya sendiri selain huruf Latin, dia tulis dengan ideogram tiga suku atau kaligrafi karakter Tionghoa yang indah.
     Saya merasa kecil membaca sanjungan kata-kata mengenai diri saya yang saya percaya datang dari hati yang paling tulus, karena saya tahu Han Suyin tidak suka pada kemunafikan. Ketulusan hatinya juga nampak dengan di­suruhnya pembantunya menempatkan buket keranjang yang berisi tanaman bunga hidup yang kami bawa dari Paris di atas meja dan diapit oleh dua vas bunga yang sudah ada sebelumnya.
     Di akhir pertemuan pun saya masih sangat terkesan pada satu geste, suatu tanda kebaikan hati, ketika dia sekali lagi memerlukan mengantar kami ikut berjalan ke luar dari ruang-tamu di apartemennya sampai pada pintu lift di lantai 4, persis seperti ketika menyambut kedatangan kami.
     Sunggah pertemuan dan perpisahan hangat mesra yang tak terlupakan.

Hasta Mitra - Paris
                                                                                               Umar Said


Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 7:09 AM