Amanat Presiden Soekarno Tahun “Vivere Pericoloso”

Tahun “Vivere Pericoloso” **

Amanat Presiden Sukarno

 
Saudara-saudara sekalian!
Hari ini 17 Agustus 1964.

Tiap 17 Agustus mempunyai arti-pentingnya sendiri, significane-nya sendiri yang khusus. Di antara bulan-bulan yang duabelas itu, Agustus adalah yang terkeramat bagi kita. Amerika dan Prancis mengkeramatkan bulan Julinya, Tiongkok dan Sovyet-Unie bulan Oktobernya, -– kita mengkeramatkan bulan Agustus, bulan Proklamasi. Dan seirama dengan gemuruhnya ombak-sejarah, maka tiap-tiap 17 Agustus mempunyai ciri-khas­nya sendiri, gemanya sendiri, arti-pentingnya sendiri.
      17 Agustus 1945 saya membacakan Proklamasi Kemerdekaan. Kemudian daripada itu, delapanbelas kali 17 Agustus saya telah memberikan “amanat-tahunan”. Sekarang, 17 Agustus 1964, buat kesembilanbelas kalinya saya memberikan “amanat-tahunan” itu.
      Selalu saya memberikan amanat tentang Revolusi Indonesia, tentang perjuangan Rakyat Indonesia, bahkan memberikan gambaran tentang perjuangan Ummat Ma­nusia!
      Saya memang dengan sengaja tidak memberikan pertanggungan-jawab tentang hasil-kerja Pemerintah, -– sekarangpun tidak, meski saya sendirilah seka­rang Kepala Pemerintah itu, Perdana Menteri Pemerintah Republik Indonesia.
      Saya tidak berkata, bahwa hasil-kerja Pemerintah itu tidak secara berkala harus diberitahukan kepada Rakyat, -– samasekali tidak! -– tetapi saya berpendapat, bahwa kita lebih baik mempergunakan mimbar lain untuk itu, daripada podium sekarang ini, yaitu misalnya mimbar M.P.R.S., mimbar D.P.R.-G.R., mimbar Dewan Pertimbang­an Agung, atau mimbarnya rapat-rapat-dinas, dan sebagainya.
      Podium sekarang ini, podium 17 Agustus, bagi saya adalah Podium Rakyat, Po­dium Revolusi, Podium Perjuangan, -– Podium Kiprah-Tekadnya Bangsa! Podium ini saya pergunakan sebagai tempat-pertanggungan-jawab atas jalannya Perjuangan Bangsa sebagai satu keseluruhan. Podium ini saya pergunakan sebagai tempat dialog Sukarno-pribadi dengan Sukarno Pemimpin Besar Re­volusi, tempat dialognya Sukarno Pemimpin Besar Revolusi dengan Rakyat Indonesia yang ber-Revolusi.
      Bahkan saya berkata: inilah podium tempat dialog Kita dengan Kita, tempat dialognya 103 juta Rakyat dengan Revolusi. Kita semua harus memberi pertanggungan-jawab!: Kita Semua!, –- baik Pemerintah, maupun lembaga-lembaga-Negara, maupun golongan-golongan-karya, maupun perseorangan-perseorangan, -– kita semua, si Dadap, si Waru, si Suta, si Naya, si Tuminem, si Fatimah, -– apalagi saya, yang oleh kamu semua telah ditunjuk menjadi Pemimpin Besar Revolusi! Tetapi saya tandaskan sekali lagi: Kita semua bertanggung-jawab, kita semua, ya engkau situkang beca, ya engkau sibaju militer, ya engkau situan pegawai, ya engkau sikaum buruh, ya engkau sikaum tani, ya engkau si mBok Kromo di lèrèng gunung, ya engkau, -– terutama sekali engkau! -–, yang menyebut dirimu pemimpin Rakyat.
      Sebab, jangan lupa: Revolusi kita masih terus berjalan, dan bukan saja berjalan, tetapi harus bertumbuh, dalam arti pengluasan, bertumbuh dalam arti pemekaran konsepsi-konsepsi, sesuai dengan tuntutan zaman, sesuai dengan tuntutan Amanat Penderitaan Rakyat, sesuai dengan tuntutan The Universal Revolution of Man.
      Karena itulah, maka tiap kali saya berdiri di atas Podium 17 Agustus ini, saya bukan saja berdialog dengan Rakyat Indonesia yang ber-Revolusi tetapi juga berdialog dengan seluruh Ummat Manusia yang juga dalam Revolusi. Bagaimana jalannya Revolusi kita ini? Bagaimana maju-mundurnya Revolusi kita ini? Bagaimana “gatuknya” derap-iramanya Revolusi kita ini dengan derapmu, hai Ummat Manusia di seluruh muka bumi? Dan selalu, dalam memberikan “stock-opname” yang demikian itu, hati saya berganti-ganti terharu-gembira dan terharu-sedih, berganti-ganti mangkok-senang dan meng­keret-kecewa, -– mangkok-kagum dalam melihat titik-titik-gemilang dalam jalannya Revolusi kita ini, mengkeret-kecewa dan kadang-kadang mengkeret-cemas kalau melihat penyelèwèngan-penyelèwèngan yang dapat membaha­yakan jalannya Revolusi kita itu. Pendek-kata saya selalu memberikan ba­lans dari Revolusi kita itu, -– pasang-surutnya dan pasang-naiknya, dentam-majunya dan geram-deritanya Revolusi kita itu.
      Pada tiap 17 Agustus saya mengajak saudara-saudara menolèh ke belakang sejenak. Lihat! Hai saudara-saudara! Lihat! Peristiwa-peristiwa di belakang kita ini, peristiwa-peristiwa di masa yang lampau, merupakan pelajaran bagi kita semua, pelajaran agar jalannya Revolusi dapat dipercepat, pelajaran agar yang pahit-getir tidak diulangi lagi. Dan selanjutnya juga selalu saya lantas mengajak Rakyat untuk melihat ke muka: selalu saya lantas memberikan jurusan, memberikan arah, memberikan direction selanjutnya, dalam meng­hadapi masalah-masalah yang akan datang.

Dr. Ir. Sukarno

     Pelajaran dari pengalaman yang sudah, dan jurusan untuk yang di muka, dua hal itu adalah penting-maha-penting dalam Revolusi yang sedang berjalan, -– Revolusi yang pada hakekatnya adalah satu perjalanan, satu proces, satu gerak. Apalagi bagi satu Revolusi yang sedang dikepung seperti Revolusi kita sekarang ini, satu Revolusi yang hendak dihancurkan orang, satu Revolusi yang harus mempertahankan kepalanya di atas samudera subversi dan intervensi dari fihak imperialis dan kolonialis, -– satu Revolusi yang harus menyelamatkan badannya dan jiwanya dari serangan-serangan yang maha-dahsyat dari segala jurusan, –- dari luar, dari dalam, dari kanan, dari kiri, dari atas, dari bawah. Keadaan yang demikian itu kita alami, ujian demikian itu kita lalui! Gempuran imperialis bertubi-tubi, anjing-anjing dan serigala-serigala sekeli­ling kita menggonggong dan mengauk-auk! Tapi Revolusi Indonesia harus berjalan terus, dan memang berjalan terus! Gempuran imperialis kita layani, gonggongan anjing dan serigala tidak kita rèwès. Kita tidak takut apa-apa! Jangan pun gonggongan anjing, suaranya gelèdèk dari angkasa tidak membuat berdiri sehelai pun bulu-roma kita!
     Ya! Sejarah berjalan terus. Adakah sejarah pernah berhenti? Revolusi Indonesia-pun berjalan terus. Revolusi Indonesia tidak akan berhenti. Imperialis­me akan hancur-lebur, anjing dan serigala akan bungkem, tetapi Revolusi Indonesia akan berjalan terus, dan akan menang! Di Yogyakarta, di tahun ’48, tatkala imperialisme sedang menggempur Republik Indonesia, di Yogyakarta di tahun 1948 itu, di bawah sinar kelip-kelipnya sebuah lilin, saya pernah menulis, bahwa Revolusi Indonesia adalah “razende inspiratie van de Indonésische geschiedenis”, –- inspirasi dentam-berdentam-gegap-gempita daripada Sejarah itu?
     Ya, kuulangi: Revolusi Indonesia berjalan terus, dan Revolusi Indonesia akan menang. Tetapi toh, kita harus waspada! Kita harus tahu apa yang kita perbuat. De­ngan meminjam perkataan Thomas Carlyle, kita harus “wijs van tevoren”. Karena itu kita harus mengambil pelajaran dari pengalaman-penga­laman yang telah sudah, menetapkan arah dan jurusan bagi masa yang akan datang. Pengalaman-pengalaman yang telah sudah, bagaimana pahit dan ge­tirnya pun, harus memberi inspirasi kepada kita untuk menetapkan arah-yang-tetap, jurusan-yang-tepat, bagi masa yang akan datang. Tidak sekali-kali penga­laman pahit boleh mematahkan kita punya hati. Penga­laman pahit harus menjadi cambuk, – malahan inspirasi kataku tadi! –-, untuk menga­dakan koreksi dan untuk menetapkan jalan yang tepat, dan maju terus di atas jalan yang tepat itu!
      Tahukah saudara-saudara, bahwa saya anggap serangan militer Belanda yang kedua atas tubuhnya Republik Indonesia dulu itu sebagai Romantiknya Revolusi? Itupun saya tuliskan dalam tahun ’48.
      Tiada Revolusi dapat benar-benar bergelora, kalau Rakyatnya tidak menjalankan Revolusi itu dengan anggapan Romantik. Tiada Revolusi dapat mempertahankan jiwanya, jikalau Rakyatnya tidak bisa menerima serangan musuh sebagai romantik­nya Revolusi, dan menangkis serangan musuh dan menghantam hancur-lebur kepada musuh itu sebagai romantiknya Revolusi. Tiada Re­volusi dapat tetap bertegak kepala, jikalau Rakyatnya tidak sedia menjalankan korbanan-korbanan yang perlu, de­ngan tegak kepala pula, bahkan dengan mulut bersenyum, karena menganggap korbanan-korbanan itu romantiknya Revolusi. Danton pergi ke guillotine dengan rasa romantik, Rizal pergi ke tempat eksekusi dengan rasa romantik, pejuang-pejuang Rusia menggempur musuh di Stalingrad dengan rasa romantik, Rakyat R.R.T. dalam jumlah berjuta-juta sebagai semut menundukkan sungai Yang Tse Kiang dengan rasa romantik. Dan tiada Revolusi dapat membangun secara hebat, kalau dentamnya pembangunan itu tidak dirasakan oleh Rakyatnya sebagai romantik. Revolusi adalah rantai kejadian-kejadian memukul dan dipukul, rantai kejadian-kejadian menggempur dan digempur, rantai kejadian menjebol dan membangun. Memukul dan dipukul, menggempur dan digempur, menjebol dan membangun, -– perganti-gantian ini harus dirasakan sebagai irama romantiknya Revolusi. Dengarkanlah apa yang saya tulis dalam tahun 1948 itu, waktu Yogyakarta dikepung musuh:
      “Negara Indonesia dalam bahaya. Memang bahaya ini adalah satu fase, satu tingkat, dalam usaha kita mendirikan satu negara yang merdeka. Justru oleh karena proklamasi kemerdekan kita adalah satu kejadian yang tidak konstitusionil, justru oleh karena tindakan kita memerdekakan Indonesia adalah satu tindakan yang revolusio­ner, maka tidak boleh tidak Negara Indonesia harus melalui satu fase “dalam bahaya”. Tidakkah selalu saya sitirkan ucapan, bahwa ta’ pernah sesuatu kelas melepaskan kedudukannya yag berlebih dengan  sukarela? -– Revolusi bukanlah sekadar satu “Kejadian” belaka, bukanlah sekadar satu “gebeurtenis”. Revolusi adalah satu proces. Puluhan tahun kadang-kadang, berjalan proces itu. –- Pasang-naik dan pasang-surut akan kita alami berganti-ganti, pasang-naik pasang-surut itulah yang dinamakan iramanya Revolusi. Tetapi gelora samudera tidak berhenti, gelora samudera berjalan terus!”
      Iramanya Revolusi! Iramanya Revolusi! Ya, anggapan inilah yang membawa saya kepada anggapan Romantiknya Revolusi. Romantiknya perjuangan saya pribadi pula. Tetapi terutama sekali romantiknya perjuangan nasional, romantiknya perjuangan ummat manusia dalam the Universal Revolution of Man, romantiknya tiap-tiap perjuangan besar yang revolusioner. Mahabesarlah Tuhan yang telah memberikan rasa romantiknya-perjuangan itu kepada saya, tatkala saya sebagai pemuda, dengan physik duduk di atas tikar, di bawah sinar kelip-kelipnya lampu cempor, mengadakan dialog mental di alam luar-jasmani dengan pejuang-pejuang-besar pelbagai bangsa, dengan ahli-ahli-pikir segala bangsa yang mengemudikan jalannya sejarah. Maka sesudah saya, sebagai hasil dialog mental itu, mencapai keyakinan bahwa tiada perjuangan besar dapat terselenggara tanpa rasa romantiknya-perjuangan, maka saya tidak berhenti-berhenti mentransferkan rasa romantik-perjuangan itu kepada Rakyat Indonesia. Segala pasang-naik dan pasang-surutnya perjuangan, segala pukulan yang kita berikan dan segala pukulan yang kita terima, adalah iramanya perjuangan, iramanya Revolusi. “Memukul, –- hayo berjalan terus! Dipukul, -– hayo berjalan terus!” Dentamnya Revolusi, yang kadang-kadang berkumandang pekik-sorak, kadang-kadang bersuara jerit-pedih, sebagai satu keseluruhan kita dengarkan sebagai satu nyanyian, satu simfoni, satu gita, laksana dentumnya gelombang samudera yang bergelora pukul-memukul membanting di pantai, kita dengarkan sebagai satu gita kepada Tuhan yang amat dahsyat.
      Rasa romantik-perjuangan adalah sumber kekuatan abadi daripada Perjuangan. Oerkracht daripada perjuangan! Kalau tidak ada ras romantik-perjuangan itu, sudah lama kita remuk-redam, sudah lama kita seperti cacing-mati terinjak-injak. Apa yang tidak kita alami sudah, sekali lagi: apa yang tidak kita alami sudah, –- en toh kita masih berdiri tegak, en toh kita masih belalak mata, bahkan kita makin kuat, makin sentausa, makin hebat derap-langkah kita menggetarkan bumi? Aksi militer Belanda kesatu?; aksi militer Belanda kedua?; pengkhianatan P.R.R.I.?; pengkhianatan Permesta?; penyelèwèngan-penyelèwèngan yang disengaja untuk menjatuhkan demokrasi terpimpin?; sabotase internasional oleh kaum imperialis?; subversi dan intervensi yang licin tapi bertubi-tubi?; kepungan terang-terangan dengan basis-basis militer impe­rialis yang bernama “Malaysia” dengan antèk imperialis yang bernama Tengku Abdul Rachman?, –- héhé semua itu kita anggap sebagai bagian saja daripada iramanya Revolusi, semua itu kita terima dengan rasa romantiknya Revolusi, –- semua itu kita ganyang dengan romantiknya Revolusi.
      Karena romantik inilah, kita tidak remuk; karena romantik inilah, kita makin kuat; karena romantik inilah, kita malahan berderap terus. Ya Romantik-Perjuangan, -– oerkracht (sumber abadi) dari kekuatan Perjuangan, oerkracht dari ketahanan Perjuang­an, oerkracht dari kekuatan idiel, oerkracht dari kekuatan batin! Oerkracht yang memberikan kecintaan kepada semua kepahlawanan, oerkracht yang membangkitkan kepercayaan kepada diri sendiri, oerkracht yang memberikan pengertian kepada perlunya dinamikanya dan dialektikanya Revolusi. Oerkracht yang memberikan kepercayaan bahwa Revolusi bergerak-terus dan harus bergerak-terus, dan bahwa Revolusi bergeraknya terus itu melalui jalan pukul dan dipukul, gempur dan digempur, jalan pasang dan jalan surut, jalan sorak dan jalan jerit, jalan lurus dan jalan liku, jalan turun kemudian naik, turun, tetapi kemudian naik, naik, naik! Jalan yang hebat tetapi tidak lurus-licin sebagai Boulevard Champs Elysées di kota Paris, atau Newsky Prospect di kota Leningrad. Pengertian dan kepercayaan dus: bahwa Revolusi adalah satu proces panjang yang dinamis (artinya: bergerak), dengan segala pukul dan dipukulnya, tetapi terus naik, (inilah dialektika), satu proces panjang yang harus dijalankan terus-menerus dengan ulet dan tekad “ever onward, no retreat”.
      Saya tandaskan sekarang sekali lagi: dus: Revolusi minta tiga syarat-mutlak: romantik, dinamik, dialektik. Romantik, dinamik, dan dialektik yang bukan saja bersarang di dada pemimpin, tetapi romantik, dinamik, dialektik yang menggelora di seluruh hatinya Rakyat, -– romantik, dinamik dan dialektik yang mengelektrisir sekujur badannya Rakyat dari Sabang sampai Merauke. Tanpa romantik yang mengelektrisir seluruh Rakyat itu, Revolusi ta’ akan tahan. Tanpa dinamik yang laksana mengkranjingankan seluruh Rakyat itu, Revolusi akan mandek di tengah jalan. Tanpa dialektik yang bersambung kepada angan-angan seluruh Rakyat itu, Rakyat ta’ akan bersatu dengan rising demandsnya Revolusi, dan Revolusi akan pelan-pelan ambles dalam padang-pasirnya kemasa-bodohan, seperti kadang-kadang ada sungai ambles-hilang dalam gurun-gurun-pasir sebelum ia mencapai samudera lautan.
      Karena itu maka kita harus memasukkan romantik, dinamik dan dialektik Revolusi itu dalam dada kita semua, kita pertumbuhkan, kita gerakkan, kita gemblèngkan dalam dada kita semua, sampai ke puncak-puncaknya kemampuan kita, agar Revolusi kita dan Revolusi Ummat Manusia dapat bergerak-terus, menghantam dan membangun terus, mendobrak segala rintangan yang direncanakan dan dipasangkan oleh fihak imperialis dan kolonialis.
      Adakah revolusi tanpa tiga syarat-mutlak itu tadi? Ada! Tetapi revolusi yang tanpa romantik, dinamik, dialektik massal, revolusi yang hanya didorong oleh impuls perseorangan, ambisi pribadi dari seorang-orang, atau rasa-sakit-hati-pribadi sebagai dinamik dari kekuatan, -– revolusi yang demikian itu hanyalah merupakan sekadar “revolusi istana” saja, -– satu “palace-revolution”, yang sekarang muncul, besok sudah hilang kembali. Revolusi yang demikian itulah yang sering ditunggangi oleh kaum imperialis! Revolusi yang demikian itulah yang sering dibuat oleh kaum imperialis, dengan mengadakan “coup”, pembunuhan pemimpin, dan lain sebagainya. Juga di Indonesia kaum imperialis kadang-kadang mencoba hendak mengadakan revolusi yang demikian itu, dengan maksud hendak mematikan Revolusi kita! Tetapi kita selalu waspada! Rakyat Indonesia alhamdulillah selalu waspada! Rakyat Indonesia telah mengganyang berkali-kali percobaan-percobaan kaum imperialis itu!
      Dan sekarang, Revolusi Indonesia yang ta’ dapat mereka ganyang itu, telah menjadilah satu realitas bagi mereka, satu kenyataan yang ta’ dapat mereka pungkiri atau mereka hapus. Revolusi Indonesia telah menjadi satu fait accompli bagi lawan dan bagi kawan, satu fait accompli bagi dunia, satu gunung-karang-sarang-petir di te­ngah-tengah samudera-perjuangan Ummat Manusia untuk mendirikan satu Dunia Baru tanpa “exploitation de l’homme par l’homme” dan tanpa “exploitation de nation par nation”.
   Apa sebabnya? Karena sekarang Revolusi Indonesia sejak 1959 telah kembali menjadi satu Revolusi Rakyat yang berromantik, berdinamik, berdialektik. Itulah sebabnya Revolusi Indonesia sekarang menjadi “gunung-karang-sarang-petir” bagi perjuangan ummat Indonesia dan ummat manusia di seluruh muka bumi.
      Ya, pernah kita melepaskan romantik itu. Pernah kita melepaskan dinamik itu. Pernah kita melepaskan dialektik itu. Waktu itu ialah sebelum tahun 1959. Pada waktu itu pemimpin-pemimpin kita banyak yang kena cekokan liberal. Pada waktu itu ba­nyak pemimpin-pemimpin kita nyelèwèng. Pada waktu itu banyak partai-partai kita pada gila-gilaan. Pada waktu itu banyak pemuka-pemuka kita yang keblinger de­ngan ilmu-ilmu á la Rotterdam atau á la Harvard. Pada waktu itu banyak berkeluyuran zg. “pemimpin-pemimpin”, yang dalam tubuhnya tidak ada satu tètès darah pun revolusioner. Pada waktu itu terjadilah pemberontakan-pemberontakan yang mendurhakai Revolusi. Pada waktu itu Romantiknya Revolusi, Dinamiknya Revolusi, Dialektik­nya Revolusi seperti dikentuti oleh “pemimpin-pemimpin” semacam itu. Jadinya? Re­volusi Indonesia menjadi satu revolusi yang oleh seorang Belanda dinamakan “revolutie op drift”, artinya “revolusi yang kintir ke kanan dan ke kiri”.
      Saya pada waktu itu cemas sekali. Cemas sekali! Tetapi Alhamdulillah, sebelum kasip, kita “banting-setir”, ke arah jalan Revolusi yang asli. Stop kegila-gilaan! Stop penyelèwèngan! Kembali ke Undang-undang-Dasar ’45! Kembali ke romantika, dinamika, dialektika Revolusi! Kembali kepada Amanat Penderitaan Rakyat! Kembali! Kembali! Ini Manipol!, obor perjalananmu! Ini USDEK!, tunggak ingatanmu!
      Bayangkan kalau umpama tidak lekas-lekas kita banting-setir! Bayangkan kalau tidak lekas-lekas kita kembalikan Rakyat kepada romantik, dinamik, dialektiknya Revolusi! Bencana tentu ta’ akan ada batasnya! Kehancuran Revolusi di ambang pintu! Saya pada waktu itu berkata dalam pidato 17 Agustus tahun yang lalu: “Barangkali kita akan makin lama makin jauh op drift, makin lama makin kléyar-kléyor, makin lama makin tanpa arah, bahkan makin lama makin masuk lagi dalam lumpurnya muara “exploitation de l’homme par l’homme” dan “exploitation de nation par nation”. Dan Sejarah akan menulis: di sana, antara benua Asia dan benua Australia, antara Lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup satu bangsa, yang mula-mula mencoba untuk hidup kembali sebagai Bangsa, akhirnya kembali menjadi satu kuli di antara bangsa-bangsa, – kembali menjadi “een natie van koelies, en een koelie onder de naties”. Sungguh Maha Besarlah Tuhan, yang membuat kita sadar kembali, sebelum kasip”.
Demikian kataku pada 17 Agustus tahun yang lalu.
      Ya, memang benar sebelum tahun 1959 Revolusi kita pernah “op drift”. Pernah Kléyar-kléyor. Pernah kintir tanpa arah. Pernah keblinger puter-puter.
      Dan itu karena apa? Karena banyak pemimpin kita, -– malah terutama sekali pemimpin-pemimpin yang memakai titel mr, atau dr, atau ir lho! -– tidak mengerti arti daripada Revolusi Modern dalam bagian kedua dari abad ke XX, yaitu zamannya imperialisme modern dan kapitalisme monopool. Mereka, pemimpin-pemimpin itu, mengira bahwa revolusi hanyalah: merebut kemerdekaan, menyusun Pemerintah Nasional, mengganti pegawai asing dengan pegawai bangsa sendiri, dan seterusnya: menyusun segala sesuatunya menurut contoh-contoh Barat yang tertulis dalam mereka punya textbooks. Malah kita dicekoki oleh pemimpin-pemimpin semacam itu, bahwa “revolusi sudah selesai”, dan bahwa “kolonialisme-imperialisme sudah mati”!
      “Revolusi sudah selesai”, -– kata mereka itu! Dengan itu, maka romantiknya Revo­lusi hendak dimatikan. Dinamiknya Revolusi hendak dimatikan. Pada hal kita harus berkata: Kobar-kobarkanlah terus romantiknya Revolusi, sampai Amanat Penderitaan Rakyat terlaksana! Gempa-gempakanlah terus dinamiknya Revolusi, sampai Amanat Penderitaan Rakyat terlaksana! Tarikkan ke atas terus, ledakkan ke atas terus, lebih tinggi lagi, lebih tinggi lagi, dialektiknya Revolusi, sampai terlaksana Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia dan Amanat Penderitaan Rakyat seluruh dunia, sesuai dengan tuntutan zaman! Marilah kita semua sadar, bahwa Revolusi kita adalah satu “Revolution of Rising Demands”!     Revolusi kita bukan sekadar mengusir Pemerintahan Belanda dari Indonesia. Revolusi kita menuju lebih jauh lagi daripada itu. Revolusi Indonesia menuju tiga kerangka yang sudah terkenal. Revolusi Indonesia menuju kepada Sosialisme! Re­volusi Indonesia menuju kepada Dunia Baru tanpa exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation! Bagaimana Revolusi yang demikian ini mau dimandekkan dengan kata bahwa “revolusi sudah selesai”? Bagaimana Re­volusi demikian ini dapat dijalankan-terus tanpa romantik, tanpa dinamik, tanpa dialektik?
      Nah, apa yang saya ceritakan di atas ini adalah pengalaman beberapa tahun yang lalu: hampir-hampir saja kita keblinger samasekali, hampir-hampir saja kita “op drift” samasekali, hampir-hampir saja kita matikutu samasekali, – kalau kita tidak lekas-lekas banting-setir ke jalan-benar kembali –, dan dengan itu memberi kembali kepada Revolusi Indonesia ia punya Romantik, ia punya Dinamik, ia punya Dialektik.
      Dengan koreksi banting-setir itu, kita kembali beri kepada Revolusi Indonesia ia punya jurusan, ia punya arah, ia punya Direction.
      Karena itulah maka pada permulaan pidato ini saya bicara tentang pengalaman di masa yang lampau, dan jurusan untuk masa yang akan datang. Sebagai Pemimpin Besar Revolusi, saya pergunakanlah Podium 17 Agustus ini sebagai Podium yang utama.
      Saudara-saudara! Tahun ini adalah tahun 1964. Hari ini adalah 17 Agustus 1964. Menangkapkah saudara simbolik dari 17 Agustus 1964 ini? Menangkapkah, saudara-saudara?
Ingat! 17 Agustus 1959 saya mempidatokan Manipol! Dus 17 Agustus 1964 ada­lah genap lima tahun umurnya Manipol! 17 Agustus sekarang ini adalah Panca Warsanya Manipol!
     Panca Warsa! Selama lima tahun ini Manipol itu digemblèng oleh hantaman-hantamannya palugodam sejarah. Dan oleh karena baja Manipol itu bukan baja sembarang baja, maka jauh daripada patah, jauh daripada hancur, Manipol itu malahan terbukti tahan-uji setahan-tahannya, – ya, Manipol terbukti baja gemblèngan dari kwalitet yang setinggi-tingginya!
      Aku masih ingat dengan sejelas-jelasnya akan situasi gawat tanah-air kita ketika Manipol lahir. Ya, “lahir” aku katakan, karena sesungguhnya, seperti halnya Pancasila itu bukan ciptaanku pribadi – melainkan aku sekadar menggalinya dari bumi Ibu Pratiwi –, demikianpun Manipol itu bukan ciptaanku pribadi; Manipol lahir dari kandungannya Ibu Sejarah. Sejarahlah ibunya, Manipol jabangbayinya, sedangkan Rakyat Indonesia yang progressif-revolusioner adalah bidannya. Adapun Sukarno? Sukarno paling-paling bidan-kepala, paling-paling “hoofdverpleger”, dan sekalipun kelahiran itu kelahiran yang susah payah, sekalipun kelahiran itu harus melalui tangverlossing, tetapi syukur alhamdulillah kelahiran itu selamat, dan bayinya segar-bugar sehat-walafiat.
      Ya, aku masih ingat dengan sejelas-jelasnya situasi pada waktu “expulsion stage”nya Manipol itu. Jiwa bangsa Indonesia ketika itu, kataku tempohari, seperti terkoyak-koyak, terbelah-belah, terrobèk-robèk. Aku katakan di dalam “Penemuan kembali Revolusi kita” – yang kemudian diterima oleh segenap bangsa Indonesia, oleh partai-partai politiknya, oleh organisasi-organisasi-massanya, oleh Angkatan Bersenjatanya, oleh aparat Negara seluruhnya, oleh tokoh-tokoh dan putera-putera­nya yang terkemuka, ya, oleh segenap Bangsa Indonesia, sebagai Manipol/Garis Besar Haluan Negara/Program Umum Revolusi Indonesia – aku katakan: “segala ke­gagalan-kegagalan, segala keseratan-keseratan, segala kemacetan-kemacetan dalam usaha-usaha kita yang kita alami dalam periode survival dan investment itu, tidak semata-mata disebabkan oleh kekurangan-kekurangan atau ketololan-ketololan yang inhaerent melekat kepada bangsa Indonesia sendiri, tidak disebabkan oleh karena bangsa Indonesia memang bangsa yang tolol, atau bangsa yang bodoh, atau bangsa yang tidak mampu apa-apa – tidak! –, segala kegagalan, keseratan, kemacetan itu pada pokoknya adalah disebabkan oleh karena kita, sengaja atau tidak sengaja, sadar atau tidak sadar, telah menyelèwèng dari Jiwa, dari Dasar, dari Tujuan Revolusi!”.
      Maka dengan Manipol itulah aku dan kita sekalian, kataku tadi, membanting-setir, menyerukan stop! stop! kepada segala penyelèwèngan, dan menetapkan tekad untuk melangsungkan Revolusi pada rèl yang seharusnya, serta melangsungkan Revolusi itu terus, terus, terus sampai pada akhirnya, terus sampai kemenangan yang sepenuh-penuhnya, yaitu suatu Indonesia Baru, suatu Indonesia yang adil dan makmur, suatu Indonesia yang Sosialis, ciptaan tangan dan otak Bangsa Indonesia sendiri.
      Inilah sebabnya ketika aku memaklumkan Manipol aku katakan, ya, aku katakan dengan pandangan-ke muka yang kumiliki ketika itu, bahwa “1959 menduduki tempat yang istimewa dalam sejarah Revolusi kita .... 1959 menduduki tempat yang istimewa dalam sejarah Perjuangan Nasional kita, satu tempat yang unik!”.
     Sekarang, siapa orangnya yang tidak terpengaruh oleh pengaruhnya Manipol! Kalau ia progressif, siapa orangnya yang tidak dihangati oleh hangatnya Manipol? Dan kalau ia reaksioner, siapa orangnya yang tidak basah-kuyup-kebes-kebes dan lari tunggang-langgang oleh semprotannya Manipol!
      Manipol bahkan tidak hanya menggelorakan persada nusantara Indonesia dari Sabang di Baratlaut sampai Merauke di ujung Tenggara, – Manipol juga mempunyai kumandangnya di kelima-lima benua di bola bumi: di punggung-punggung Himalaya sampai di belantara-belantara Afrika, menjelujuri sungai-sungai di Amerika Selatan dan menyusuri pantai-pantai di Oseania.
      Sekarang tak perlu lagi kita membuang-buang energi memperdebatkan apalah Manipol itu benar atau salah, baik atau buruk, menguntungkan atau merugikan. Memang, sekalipun mayoritet terbesar dari Rakyat kita serta-merta mendukung Manipol, tetapi pada waktu lahirnya, Manipol kita masih mengalami èjèkan-èjèkan, cercaan-cercaan, celaan-celaan, bahkan maki-makian. Saya masih membiarkan keadaan itu sampai setahun lamanya: ketika suratkabar-suratkabar oposisi-kanan masih saya tolerir, ketika partai-partai oposisi-kanan masih saya biarkan sambil saya amati, saya ikuti, saya awasi. Tetapi dasar mereka kaum reaksioner! Mereka mengira bahwa pembiaran saya itu tanda daripada kelemahan. Lalu mereka makin lama makin tak bisa mengendalikan diri lagi, makin gila-gilaan sa’kersa-kersanya. Terompet mereka, yaitu pers kuning, meraung-raung sesuka-sukanya, berselangseling dengan ledakan-ledakan granat dan tembakan-tembakan pistol, malahan mitralyur, dari da­rat dan dari udara, yang ditujukan kepada diri saya, tetapi yang sesungguhnya tertuju kepada demokrasi dan kemerdekaan itu sendiri. Jangankan percobaan-percobaan yang diperhitungkan kalau-kalau saya “kelimpé” begitu, sedangkan moncong me­riam diarahkan ke tempat saya, tetapi saya, berkat lindungan Tuhan, tetap tenang, dan saya tolak apa yang harus ditolak, yaitu main fasis-fasisan. Tetapi setahun sesudah Manipol, yaitu ketika aku memaparkan Jalannya Revolusi Kita (Jarek), aku tegaskan bahwa kita “tidak boleh setengah-setengah” dan bahwa “berdasarkan moral revolusioner dan moralnya Revolusi, maka Penguasa wajib menghantam membasmi tiap-tiap kekuasaan, asing maupun tidak asing, pribumi ataupun tidak pribumi, yang membahayakan keselamatan atau berlangsungnya Revolusi”. Maka kunyatakanlah suara hati Rakyat yang menuntut keadilan dan demokrasi, bahwa partai-partai reaksioner Masyumi dan P.S.I. adalah terlarang, maka kuperintahkan pulalah sejumlah suratkabar kuning yang suka awur-awuran, juga terlarang. Tindakan-tindakan ini obyektif memperkuat dan mempersehat Persatuan Nasional.
Dan jangan dikira bahwa manusia Sukarno ini manusia yang “weruh sadurunging winarah”. Jangan dikira Sukarno memiliki ilmu gaib yang begini-begitu! Tidak! Manakala aku meramalkan hal ini atau hal itu, ramalanku itu aku dasarkan pada pemahamanku atas hukum-hukum obyektif sejarah masyarakat. Kalaupun ada “ilmu gaib” yang kumiliki, – itu adalah karena aku kenal Amanat Penderitaan Rakyat, karena aku kenal situasi, dan karena aku kenal ilmu yang kompetent yaitu Marxisme. Maka pada waktu aku memerintahkan pelarangan partai-partai dan suratkabar-suratkabar reaksioner itu, maka aku membayangkan bahwa kaum yang progressif-kiri tentu semakin yakin akan kebenaran Manipol, kaum yang berdiri di tengah atau yang oleh orang Inggris disebut “middle-of-the-roaders” bisa melihat kebenaran politikku, sedang kaum yang kanan tentu menjadi tidak berani lagi untuk terang-terangan memusuhi Manipol. Ya, tidak berani terang-terangan memusuhi Manipol, karena takut kepada penjara, atau takut kepada Rakyat. Dari sinilah asalmula munculnya Manipolis bermuka-dua: Manipolis-munafik, Manipolis-palsu, – Manipolis-gadung­an! Maka aku peringatkan di dalam “Jarek” itu: “Salah satu ciri daripada orang yang betul-betul revolusioner ialah satunya kata dengan perbuatan, satunya mulut dengan tindakan”. Aku jelaskan juga ketika itu tentang “tiga golongan-besar revolutionnaire krachten” yang “Dewa-dewa dari Kayangan pun tidak bisa membantah kenyataan ini”, dan bahwa dus “samenbundeling daripada tiga golongan-besar revolutionnaire krachten itu adalah keharusan dalam perjuangan anti-imperialisme dan kapitalisme”. Aku waktu itu berkata: “Kita tidak boleh menderita penyakit Islamo-phobi, atau Nationalisto-phobi, atau Komunisto-phobi”, dan “saya membanting tulang mempersa­tukan semua tenaga revolusioner”, “membanting tulang mempersatukan semua te­naga NASAKOM!”
      Apakah ramalanku itu salah? Tidakkah kemudian ternyata bahwa memang ada kaum yang mulutnya kumat-kumit dengan Manipol tetapi praktek-prakteknya men­sabot Manipol? Kaum yang mulutnya kumat-kumit dengan Pancasila tetapi praktek-prakteknya mensabot Pancasila? Kaum yang mulutnya kumat-kumit dengan Nasakom tetapi praktek-prakteknya mensabot Nasakom? Dan kalau aku mengecam mereka itu, tidaklah karena aku mengada-ngada, tidaklah karena aku mau “merusak persatuan”, seperti yang dituduhkan setengah orang terhadap diriku. Tidak! Justru mereka itulah yang merusak persatuan, dan justru tindakanku mengecam mereka itulah menyelamatkan persatuan! Sebab, persatuan kita bukan persatuan asal persatuan, persatuan kita adalah persatuannya tenaga-tenaga revolusioner. Maka sungguh menggelikan bahwa ada orang-orang yang mengakunya “menyebarkan ajaran Sukarno”, tetapi menganjurkan hanya “samenbundeling van alle krachten” saja. Lihatlah!, – bukan “samenbundeling van alle revolutionnaire krachten”, tetapi mereka sekadar mengatakan “samenbundeling van alle krachten”! Yang dikorup “hanya” perkataan revolusioner, artinya, yang dikorup adalah justru jiwa daripada jiwa ajaran Re­volusi!
      Kadang-kadang kalau aku duduk seorang diri, atau juga kalau aku berhadapan dengan orang-orang yang aku tahu dasarnya munafik (aku cukup sering bertemu dengan orang-orang demikian) aku bertanya di dalam hati: Apa sebetulnya yang membikin mereka begitu membandel dan berkepalabatu? Apakah yang memberanikan mereka membikin penafsiran-penafsiran yang semau-maunya atas pidato-pidatoku? Apakah mereka mengira bahwa apa-apa yang mereka ucapkan di depan umum itu tidak sampai ke telingaku? Apakah mereka mengira aku tidak membaca koran, tidak mengikuti siaran-siaran Radio dan Televisi? Apakah mereka mengira bahwa apabila mereka main bisik-bisik dan pas-pis-pus dalam pertemuan-pertemuan yang konspiratif, tidak ada di antara yang diajak konspirasi itu yang setia kepada Pemimpin Besar Revolusi, dan melaporkan segala sesuatunya kepada Pemimpin Besar Revolusi?
      Aku tahu, sebelum aku mengucapkan pidatoku yang sekarang ini, komplotan-kompotan itu sudah membicarakan –- seperti kaum imperialis sudah membicarakan -– “apa gerangan yang akan dipidatokan oleh Sukarno siahli-demagogi itu?”. Ya, mereka mengèjèk aku sebagai “ahli-demagogi”. Tetapi, dengan èjèkannya itu mereka sebenarnya bukannya menipu orang lain, -– mereka sebenarnya menipu diri mereka sendiri! Mereka tidak percaya kepada èjèkan-èjèkan mereka sendiri, ini terang! Sebab kalau mereka percaya, kalau aku memang hanya seorang “ahli-demagogi” saja, kenapa kalian takut kepada pidato-pidatoku yang toh “cuma demagogi”? Neen Meneer, kalian takut akan kebangkitannya massa yang tentu saja beraksi atas anjuran-anjuranku untuk ber-massa-aksi! Kalian takut kepada Rakyat, sebab kalau Rakyat tahu bahwa kalian munafik, tentu kalian akan diganyang oleh Rakyat!
      Katakanlah aku “ahli-demagogi”, katakanlah aku “ahli-fraseologi”, tetapi yang pasti ialah aku bukan ahli-pura-pura, Sukarno tidak pernah “pura-pura”, Sukarno tidak pernah “schijnheilig”. Salah satu tuntutan bagi kaum revolusioner adalah sifat terus-terang, sifat berani mengatakan apa yang harus dikatakan, “mendumuk” apa yang harus “didumuk”. Inilah sebabnya aku sekarang sinyalir terang-terangan adanya kaum yang plintat-plintut atau plungkar-plungker dengan Manipol, kaum yang pertentang-pertèntèng dengan Manipol. Dan ada juga kaum yang mau “mengagul-agulkan” atau “melanggengkan jasanya”, kaum yang “membusungkan dada”. Ya, memang ada ­orang-orang yang kepalanya menjadi besar, sangat besar sampai-sampai hampir pecah, yang menyangka bahwa nasib Indonesia ini “ada di dalam tangannya”, yang mengira Indonesia “tak bisa hidup tanpa mereka”, yang menganggap dirinya “Presdir” Republik, yang mengharap-harap – ya, aku terang-terangan aja –- “kalau Sukarno mati biar aku jadi Presiden atau Raja Indonesia” ....
      Apa yang bisa aku katakan? Aku hanya mau mengatakan ini: kalian menghina Rakyat Indonesia, kalian merèmèhkan kesadaran politik Rakyat Indonesia! Sebab, orang boleh mencibirkan bibir bahwa Revolusi Indonesia belum menyelesaikan tugas ini atau belum merampungkan kewajiban itu, tetapi orang tidak bisa mengenak-enakkan diri, orang can never draw comfort dari anggapan bahwa Rakyat Indonesia bisa ditundukkan! Di Amerika-Latin kudéta yang satu bisa disusul oleh kudéta yang lain, terkadang tanpa ikut-sertanya samasekali Rakyat dalam aksi-aksi itu. Di Afrika pergolakan sekarang memang hebat, tetapi pergolakan itu boleh dibilang baru mulai. Di tetangga kita yang menyebut dirinya “Malaysia”, boneka-boneka imperialis masih bisa menongkrongi singgasana kekuasaan. Tetapi di Indonesia -– ini bukan menyom­bongkan diri -– Rakyatnya sudah banyak makan garam perjuangan, sudah banyak berpengalaman, setidak-tidaknya pengalamannya sudah sangat lumayan, sedang tingkat kesadaran maupun tingkat keterorganisasian kaum buruh dan kaum taninya amat tinggi. Apa saja yang tidak sudah kita alami! Pengadilan kolonial, bui kolonial, poenale-sanctie, tanah-pembuangan, tiang-penggantungan? Sudah! Militerisme fasis? Sudah! Agresi-agresi kolonial? Sudah! Intervensi dan subversi imperialis? Sudah! Kontra-revolusi? Sudah! Dan dalam melawan segala kemaksiatan itu kita mengkom­binasikan “akal” dengan “okol”, taktik-taktik perjuangan dengan penyusunan kekuat­an, kerja legal dengan kerja ilegal, perang gerilya dengan perang frontal, diplomasi dengan konfrontasi. Rakyat yang punya pengalaman begini di balik punggungnya, Rakyat gemblèngan macam ini tidak mudah dikalahkan, Rakyat otot-kawat-balung-wesi macam ini tak bisa dikalahkan! Di Indonesia yang Rakyatnya adalah Rakyat baja-tempaan-baja-gemblèngan ini, hanya usaha-usaha yang progressif sajalah yang bisa berhasil. Sedang usaha-usaha, langkah-langkah dan aksi-aksi yang bertentangan dengan hukumnya sejarah bukan saja bisa gagal, tetapi pasti gagal. Pasti gagal! Yo opo ora, Rèk! Pasti gagal! Kalau mau berenang di lautan, orang harus tahu hukumnya laut! Orang bisa bunuh diri dengan menentang hukumnya laut, tetapi orang tidak bisa membunuh hukumnya laut! Orang tak bisa membunuh hukum Sejarah, orang tak bisa membunuh hukum Revolusi!
      Apa hukum-hukum Revolusi itu? Hukum-hukum Revolusi itu kecuali garis-besar romantika, dinamika, dialektika yang sudah kupaparkan tadi, pada pokoknya adalah:
      Pertama, Revolusi mesti punya kawan dan punya lawan, dan kekuatan-kekuatan Revolusi harus tahu siapa kawan dan siapa lawan; maka harus ditarik garis-pemisah yang terang dan harus diambil sikap yang tepat terhadap kawan dan terhadap lawan Revolusi;
      Kedua, Revolusi yang benar-benar Revolusi bukanlah “revolusi istana” atau “re­volusi pemimpin”, melainkan Revolusi Rakyat; oleh sebab itu, maka Revolusi tidak boleh “main atas” saja, tetapi harus dijalankan dari atas dan dari bawah;
      Ketiga, Revolusi adalah simfoninya destruksi dan konstruksi, simfoninya penjebolan dan pembangunan, karena destruksi atau penjebolan saja tanpa konstruksi atau pembangunan adalah sama dengan anarkhi, dan sebaliknya; konstruksi atau pemba­ngunan saja tanpa destruksi atau penjebolan berarti kompromi, reformisme;
      Keempat, Revolusi selalu punya tahap-tahapnya; dalam hal Revolusi kita: tahap nasional-demokratis dan tahap Sosialis, tahap yang pertama meretas jalan buat yang kedua, tahap yang pertama harus dirampungkan dulu, tetapi sesudah rampung harus ditingkatkan kepada tahap yang kedua; -– inilah dialektik Revolusi;
      Kelima, Revolusi harus punya Program yang jelas dan tepat, seperti dalam Manipol kita merumuskan dengan jelas dan tepat: (A) Dasar/Tujuan dan Kewajiban-kewajiban Revolusi Indonesia; (B) Kekuatan-kekuatan sosial Revolusi Indonesia; (C) Sifat Revolusi Indonesia; (D) Haridepan Revolusi Indonesia; dan (E) Musuh-musuh Revolusi Indonesia. Dan seluruh kebijaksanaan Revolusi harus setia kepada Program itu;
      Keenam, Revolusi harus punya sokoguru yang tepat dan punya pimpinan yang tepat, yang berpandangan jauh-ke muka, yang konsekwen, yang sanggup melaksa­nakan tugas-tugas Revolusi sampai pada akhirnya, dan Revolusi juga harus punya kader-kadernya yang tepat pengertiannya dan tinggi semangatnya.
      Demikianlah hukum-hukum Revolusi.
      Saya sendiri tak pernah ragu-ragu bahwa Revolusi kita akan menang. Betapa saya akan ragu! Bukan saja sesudah Manipol, bahkan bukan saja sesudah Proklamasi, tetapi sejak aku masih muda dan menceburkan diri ke dalam kancah perjuangan kemerdekaan, sejak detik itu aku tak pernah ragu-ragu. Malahan, aku menceburkan diri ke dalam kancah perjuangan itu karena aku tidak ragu-ragu. Yaitu karena keyakinan!, – keyakinan akan adilnya cita-cita kemerdekaan nasional, keyakinan akan Sosialisme, keyakinan bahwa cita-cita Revolusi itu bisa, pasti, dan akan menang.
      Tetapi sudah barang tentu kaum peragu selalu saja ada, seperti juga kaum munafik selalu saja ada, dan seperti kaum khianat selalu saja ada. Inilah sebabnya aku tak bosan-bosannya memperingatkan akan segala bahaya yang secara latent mengancam Revolusi kita.
      Di dalam Manipol aku mengganyang “si-12 syaitan”. Di dalam Jarek aku mengganyang segala phobi-phobian dan sikap munafik. Di dalam Resopim aku mengga­nyang sikap-sikap yang méncla-ménclé. Di dalam Takem aku masih mengganyang “orang-orang yang dalam perkataan mengikuti .... akan tetapi dalam praktéknya bertentangan dengan Manipol Usdek”. Dan tahun yang lalu, di dalam Gesuri aku mengganyang lagi phobi-phobian di samping juga sikap-sikap yang serba keblinger.
      Toh masih saja ada orang yang menuduh Sukarno “memihak”, Sukarno “pilih kasih”. Sukarno memihak? Memihak siapa? Kalau terhadap imperialisme, feodalisme dan musuh-musuh Revolusi umumnya, ya!, memang Sukarno memihak, memang Sukarno pilih kasih, yaitu memihak kepada Rakyat dan memihak kepada Revolusi itu sendiri. Tidakkah pernah aku berkata, bahwa Revolusi ta’ mungkin uncommitted, artinya, bahwa Revolusi harus selalu committed, yaitu memihak? Sekali lagi ya! Kalau terhadap imperialisme, terhadap feodalisme, terhadap musuh-musuh Revolusi umumnya, memang aku pilih kasih, memang aku memihak, karena ta’ mungkin aku mengasihi imperialisme dan feodalisme, ta’ mungkin aku mengeloni antèk-antèk imperialisme dan feodalisme, dan oleh sebab itu, aku pilih kasih, dan kasihku tertuju kepada Rakyat, kepada si Marhaen, si Sarinah, si Jelata, si Proletar, si kaum “yang terhina dan lapar”.
      Aku dikatakan menguntungkan salahsatu golongan saja dari antara keluarga besar nasional kita ini? Jawabku di sini juga: Ya, aku menguntungkan salah satu golong­an saja, yaitu -– golongan revolusioner! Aku ini sahabatnya kaum Nasionalis, kaum Nasionalis yang revolusioner! Sahabatnya kaum agama, kaum agama yang revolusioner! Aku ini sahabatnya kaum Komunis, karena kaum Komunis adalah kaum yang revolusioner. Malahan, seperti kukatakan beberapa waktu yang lalu di Istora Sena­yan – aku adalah sahabatnya kaum yang paling revolusioner!
      Ada baiknya rasanya -– karena di tengah-tengah kita masih ada kaum yang sinis, yang pesimis, yang fatalis, yang defaitis -– untuk menjumlahkan hasil-hasil-perjuang­an kita yang pokok-pokok saja.
      Hasil-hasil kita, kemenangan-kemenangan kita – sekali lagi – yang pokok-pokok saja, adalah:
      Pertama, pembebasan Irian Barat;
      Kedua, penumpasan kontra-revolusi bersenjata;
     Ketiga, konsolidasi dan perluasan persatuan nasional, antara lain melalui Front Nasional, M.P.R.S., D.P.R.-G.R., D.P.A., dan lain-lain yang disusun atas dasar ke­gotong-royongan nasional berporoskan NASAKOM;
     Keempat, Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahapan ke I dan khusus di bidang ekonomi lahirnya Dekon;
      Kelima, Pembangunan Angkatan Bersenjata yang bukan main hebatnya. Angkat­an Darat kita “nggegirisi” kaum imperialis. Angkatan Laut kita megah dan kuat. Angkatan Udara kita ta’ ada tandingannya di seluruh Asia Tenggara. Angkatan Kepolisian kita up-to-date. Kita ber-missiles dan ber-rocket. Malahan kita sekarang sudah bisa bikin kita punya jet sendiri!
      Ini kemenangan-kemenangan kita di dalam negeri. Apa kemenangan-kemenang­an kita yang bersangkut-paut dengan luar negeri?
      Pertama, Asian Games IV, konfrontasi terhadap IOC, dan yang terpenting: Ga­nefo I;
      Kedua, MMAA II, dan di sampingnya juga KWAA, Sidang Eksekutif KPAA, Sidang Persiapan KIAA, dan FFAA III;
      Ketiga, pemupukan setiakawan A-A serta penggalangan kekuatan New Emerging Forces;
      Keempat, terbentuknya front Internasional yang luas anti-“Malaysia”, dan menggeloranya Dwikora.
      Siapa yang berani mengatakan bahwa kemenangan-kemenangan ini adalah kemenangan-kemenangan yang kecil? Siapa yang tidak bisa mengerti bahwa kemenang­an-kemenangan ini sedikit-banyaknya adalah kemenangan-kemenangan yang pu­nya ukuran sejarah, yang historis? Siapa yang tidak mengerti begitu, dia benar-benar adalah orang yang tolol!
      Di samping pokok-pokok yang saya sebutkan tadi, masih banyak kemajuan-kemajuan lain yang juga penting-penting sekali, tetapi yang terlalu banyak untuk saya sebutkan semuanya, misalnya pencabutan SOB, yang menandakan bahwa kita kuat, adanya UUPA-UUPBH, digantinya Caturtunggal dengan Pancatunggal, digantinya Paran dengan Kontrar, dan sebagainya dan sebagainya.
      Saya perlu tekankan positifnya hasil-hasil kita ini, karena, tanpa menyadari hal ini, tak mungkin kita mengkonsolidasi dan mengembangkan diri. Untuk mengkonsolidasi harus ada yang dikonsolidasi, dan untuk mengembangkan harus ada yang dikembangkan. Dan yang harus kita konsolidasi dan harus kita kembangkan itu sesungguhnya ada! Hanya yang bodoh saja yang tak tahu bahwa kita ini banyak maju, hanya yang ndablek saja yang tidak mau tahu bahwa kita banyak maju.
      Akhir-akhir ini udara politik di negeri kita diliputi oleh diskusi ini dan diskusi itu, polemik ini dan polemik itu, perdebatan ini dan perdebatan itu. Apakah gejala ini baik atau buruk? Ia buruk kalau ia melemahkan persatuan nasional. Tetapi ia baik kalau ia memperkuat persatuan nasional. Dasar aku ini memang orang dinamis! Aku tidak suka kepada ketenangan yang beku dan mati, aku tidak suka kepada keuler-kambang­an, yang kusukai ialah dinamika, vitalitet, militansi, aktivitet, kerevolusioneran! Misalnya: semua orang tahu bahwa aku ini penggemar senirupa, baik patung-patung, lukisan-lukisan, maupun yang lain-lain. Aku lebih suka lukisan samudera yang gelombangnya memukul-mukul menggebu-gebu, daripada lukisan sawah yang adem-ayem-tentrem, “kadyo siniram banyu wayu sewindu lawasé”. Kalaupun sawah, aku pilih lukisan sawah yang padinya pun mengombak dan anginnya bertiup. Kalau aku pilih lukisan portret, kupilih portret yang ada apinya, ada dayanya, ada grengsengnya. Lihatlah Patung Selamat Datang di depan Hotel Indonesia, lihatlah Patung Pembebasan di Lapangan Bantèng, lihatlah Patung Trikora (Pemanah) di depan Istana Merdeka –- semuanya dinamis, semuanya vital, semuanya laksana menderu-deru!
Yang aku harap adalah agar semua fihak yang berdiskusi, berpolemik dan berdebat itu melakukannya demi persatuan, bukan demi perpecahan, demi pelaksanaan Manipol, bukan untuk penyrimpungan Manipol.
      Pertama sekali ada polemik tentang sistem pendidikan, yang tadinya dimulai de­ngan tuntutan meritul Menteri PDK dan membatalkan Pancawardhana. Dalam sistem Demokrasi Terpimpin maka Presiden, yang juga Perdana Menteri mengangkat pembantu-pembantunya sendiri. Saya setuju, setuju sekali kepada social control di sam­ping social support dan social participation. Saya sebagai penyambung lidah Rakyat bersedia mendengarkan pendapat-pendapat dan saran-saran Rakyat. Dan kalau memang ada di antara pembantu-pembantu saya yang anti-Manipolis atau Manipolis-munafik, ataupun yang main-mata dengan kaum kontra-revolusioner, kaum reaksio­ner, kaum pemecah-belah dan kaum kapitalis birokrasi –- Menteri-menteri atau juga Menko-menko yang Manipolis, tergantung kepada saya apakah mereka saya perlukan sebagai pembantu atau tidak. Mengenai masalah pendidikan, saya sudah meminta DPA memberikan nasehatnya yang sesuai dengan alam-fikiran saya. Pancawar­dhana memang sistem pendidikan yang telah saya restui. Adapun pengkhususan-pengkhususan dalam melaksanakan sistem itu, ada pengkhususan Pancadarma, ada pengkhususan Islam, ada pengkhususan Katolik, ada pengkhususan Protestan, ada pengkhususan Buddha, ada pengkhususan Hindu-Bali, ada pengkhususan Pancacinta, dan sebagainya, hal ini memang diperkenankan, asal dasarnya dan isi-moralnya Pancasila-Manipol-Usdek. Tidak percuma bahwa lambang nasional kita Bhinneka Tunggal Ika! Aku ingin bahwa dari kebhinneka-tunggal-ikaan itu lahir idé-idé, konsepsi-konsepsi, kreasi-kreasi yang hebat sehebat-hebatnya, dan lahir pula putera-putera, patriot-patriot, sarjana-sarjana, seniman-seniman, sasterawan-sasterawan, ahli-ahli, bahkan empu-empu, yang bisa kita banggakan. Di RRT Ketua Mao Tse Tung bersemboyan “Biar seratus bunga mekar bersama”. Di sini aku bersemboyan: Biar melati dan mawar dan kenanga dan cempaka dan semua bunga mekar-bersama di tamansari Indonesia! Saya katakan semua bunga, -– bukan lalang, bukan rumput-pahit, bukan kemladéan, bukan ganggeng!
      Ada polemik tentang kebudayaan. Tentang kebudayaan, pendirianku sudah jelas: Berantaslah segala kebudayaan asing yang gila-gilaan! Kembalilah kepada kebudayaan sendiri. Kembalilah kepada kepribadian sendiri. Ganyanglah Manikebu, sebab Manikebu melemahkan Revolusi!
     Kemudian ada polemik tentang partai-partai politik. Memang di dalam Manipol aku berbicara tentang “syaitan multyparty system”, tetapi tak pernah aku memusuhi partai-partai politik an sich, bukan saja karena aku tahu akan jasa partai-partai politik itu sejak sebelum perang, malahan aku sendiri pernah mendirikan partai politik, pernah menjadi pemimpin partai politik. Adalah partai-partai politik itu pulalah yang ikut mempersiapkan dan kemudian mengemban Revolusi. Yang tidak aku sukai ada­lah partai-partai politik yang reaksioner, dan mereka itu sudah kita bubarkan. Yang tidak aku sukai adalah juga praktek-praktek yang menunggangi partai-partai politik untuk memperkaya diri atau untuk melampiaskan ambisi-ambisi perseorangan yang lobatama. Dengan dibubarkannya dua partai politik reaksioner dan dengan tak dipe­nuhi­nya syarat-syarat Penpres 7 dan Perpres 13/1959 oleh partai-partai lainnya, maka tinggallah 10 partai politik, yang bukan saja absah, tetapi juga dijamin hak-hidup dan hak-perwakilannya. Sudah tentu, kalau di kemudian hari di antara 10 partai itu ada yang menyelèwèng, ada yang menjadi anti-Manipol atau menjadi Manipolis-munafik, atau sudah parah penyakit phobi-phobinya, Presiden/Panglima Tertinggi tak akan ayal untuk juga membubarkan partai yang demikian! Terhadap oknum-oknum yang lewat partai-partai politik menggendutkan kantong sendiri akan diambil tindakan yang tegas. Tetapi tidak hanya yang lewat partai-partai politik saja! Juga yang menggendutkan kantong sendiri lewat “jembatan-jembatan” lain, juga mereka ini akan diambil tindakan tegas. Yang berulang-ulang saya tekankan adalah penyederhanaan, bukan pembubaran partai-partai. Seperti pernah saya nyatakan melalui wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Subandrio, saya berpendapat partai-partai politik diperlukan untuk penyelesaian Revolusi. Sudah tentu, partai-partai politik yang Pancasilais! Partai-partai politik yang Manipolis-Usdekis! Partai-partai politik yang bergelora NASAKOM. Seperti kukatakan di dalam Manipol, yang harus diritul adalah “semua alat-alat perjuangan; badan eksekutif, yaitu Pemerintah, kepegawaian, dan lain sebagainya, vertikal dan horizontal; badan legislatif, yaitu DPR; semua alat-alat kekuasaan Negara -– Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Polisi; alat-alat produksi dan alat-alat distribusi; organisasi-organisasi masyarakat -– partai-partai politik, badan-badan sosial, badan-badan ekonomi”. Partai-partai politik, seperti juga DPR dan beberapa lainnya, sudah diritul, tetapi rituling belum lagi selesai! Bukan saja di tahun 1959, tetapi sekarang pun saya berkata: “jaga-jagalah –- semuanya akan diritul, semuanya akan diordening dan herordening!” Sebab, rituling itu bukan sesuatu yang untuk dijalankan sekali pukul-jadi, bukan! Rituling itu terus-menerus, tak henti-hentinya dan takkan ada akhirnya, kadang-kadang rituling kecil, kadang-kadang rituling besar, kadang-kadang rituling yang amat besar. Kalau di dalam Gesuri kukatakan “Revolusi adalah satu rèntètan-panjang dari satu konfrontasi ke lain konfrontasi”, maka bisa juga kukatakan: Revolusi adalah satu rèntètan-panjang dari satu rituling ke lain rituling! Rituling-rituling itu bukan kemauan subyektifku, melainkan kehendaknya hukum Sejarah dan hukum Revolusi. Aku pada saat ini sudah puas pada rituling penyederhanaan yang telah kuadakan terhadap partai-partai politik. Yang kuminta adalah agar partai-partai politik itu, seperti kuanjurkan di depan Kongres Purwokerto PNI, melangsungkan kompetisi Manipolis! Siapa yang lebih banyak dan lebih baik berbuat untuk Tanah-air dan Revolusi, siapa yang lebih banyak dan lebih baik berbuat untuk persatuan nasional revolusioner, siapa yang lebih konsekwen mengerahkan massa Rakyat untuk mengganyang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme dan feodalisme, –- siapa yang unggul dalam kompetisi manipolis itu dialah partai yang jempol.
      Lalu ada polemik tentang pelaksanaan UUPA-UUPBH, terutama tentang aksef (aksi sefihak) kaum tani. Terlebih dulu saya akan menjawab pengritik-pengritik saya, yang menganggap saya telah berbuat “keterlaluan” dengan mendudukkan kaum tani sebagai salah satu sokoguru revolusi, bersama dengan kaum buruh. Tukang-tukang kritik itu rupanya begitu terpisahnya dari hidupnya kaum tani, sehingga tak tahu mereka apa yang menjadi watak kaum tani itu. Kenapa Jarek mengecam “orang-­orang yang jiwanya memang obyektif ingin menegakkan kapitalisme dan feodalisme”? Kenapa Jarek menegaskan “tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan” dan menggariskan “tanah untuk tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah”? Kenapa Jarek itu menggariskan pula landreform itu “satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia”, “revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan .... omong-besar tanpa isi”, dan “jangan hadapi dia (landreform) dengan Komunisto-phobi”? Kenapa? Kenapa? Kaum tani itu obyektif membutuhkan tanah garapan, karena kalau tidak menggarap, tidak mengolah tanah, mereka bukan petani. Kaum tani itu wataknya “ngukuhi” tanah garapan – sedumuk batuk senyari bumi. Kaum tani itu memang kaum yang sederhana, bersahaja, tetapi orang akan kecélé kalau mengira kaum tani kita itu “tukang nurut” atau “tukang nerimo” saja. Kaum tani adalah penghasil pangan kita: beras, polowijo, jagung, sayurmayur, bahkan juga daging, telur, buah-buahan, dan lain-lain. Tetapi kaum tani itu mengalami penghisapan dobel: penghisapan dari feodalisme, dan penghisapan dari kapitalisme. Kalau kita mau membaharui Indonesia, kalau kita mau memodernisasi Indonesia, tak boleh tidak kita harus memperhatikan nasib kaum tani. Seperti kukatakan di dalam Resopim: “mengerti Amanat Penderitaan Rakyat berarti mempunyai orientasi yang tepat terhadap Rakyat”. Sudah di tahun 1927, perhatikan!: 1927! – di dalam artikelku di dalam “Suluh Indonesia Muda” yang berjudul “Di manakah tinjumu?”, ketika membahas “problim agraris” dan “terjadinya kepabrikan” (industrialisasi), maka kita percaya, “bahwa menurut hukum alam, kepabrikan itu pastilah datang”. Sekarang saya tegaskan, bahwa syarat untuk industrialisasi adalah dibebaskannya tenaga produktif di desa, dan ditingkatkannya dayabeli kaum tani, karena tani itulah akhirnya “pasaran” bagi barang-barang hasil industri itu. Inilah sebabnya di depan Depernas pada 28 Agustus 1959, hanya 11 hari sesudah permakluman Manipol, saya katakan “Di dalam taraf pertama perlu kita perhatikan masyarakat desa, karena desa adalah landasan dari masyarakat negara kita”. Dan inilah pula sebabnya pada waktu pencangkulan pertama Gedung Pola 1960, yang saya komandokan adalah pelaksanaan landreform! Saya tahu bahwa sudah dilakukan usaha-usaha untuk melaksanakan landreform itu, tetapi terus-terang saja: saya belum puas! Banyak saya terima laporan-laporan tentang keseratan-keseratan, kemacetan-kemacetan, malahan tentang sabotase-sabotase terhadapnya.
     Menteri Pertanian ketika itu sudah menjanjikan waktu 3 tahun buat Jawa-Madura-Bali, dan 5 tahun buat daerah-daerah di luarnya. Sekarang kita sudah di tahun ke-4. Pendeknya, setiap usaha untuk mendobrak kemacetan saya setujui, termasuk prakarsa Menteri Kehakiman untuk membentuk Pengadilan-pengadilan Landreform.
      Sebab, saya sudah tidak sranti, saya sudah tak bisa menunggu lagi: UUPA harus segera selesai dilaksanakan di Jawa-Madura-Bali. Untuk daerah-daerah lain saya masih bisa menunggu sampai 1 à 2 tahun lagi. Saya peringatkan bahwa UUPA, juga UUPBH itu adalah undang-undang progressif bikinan kita sendiri! Saya tidak mau mendengar èjèkan seakan-akan “Undang-undang nasional itu diadakan untuk tidak dilaksanakan”. Maka dari itu saya perintahkan kepada sekalian pejabat yang ada hubungannya dengan pelaksanaan UUPA untuk segera mengadakan perundingan-perundingan dengan kaum tani. Seorang Hakim di Klaten baru-baru ini mengatakan: “Sajaké Panitia Landreform iki perlu dislentik”. Jangan-jangan nanti kaum tani juga menylentik pejabat-pejabat yang nguler-kambang! Sekali lagi: UUPA harus segera selesai di Jawa-Madura-Bali, sedang untuk daerah-daerah di luarnya saya beri waktu 1 sampai 2 tahun lagi.
      Apalagi sekarang, kita sudah menegakkan azas berdiri di atas kaki sendiri di bidang pangan, malahan saya ingin yang kita ini secepat-cepatnya tidak lagi mengimport beras. Ini bukannya tak ada konsekwensinya. Konsekwensinya ialah peningkat­an produksi pangan, dan pemimpin-pemimpin organisasi-organisasi tani sudah menga­takan kepada saya, bahwa kalau UUPA dan UUPBH dilaksanakan maka terciptalah syarat-syarat yang diperlukan untuk peningkatan produksi pangan itu. Di dalam “APP” sudah aku katakan: “Sebagai manusia, petani juga mempunyai harap­an, dan mempunyai pula rasa gembira dan rasa kecewa. Kaum tani harus yakin bahwa dia bekerja untuk masadepannya”. Sekarang saya berseru kepada kaum tuantanah dan semua saja yang punya tanah-lebih daripada yang dikerjakannya sendiri, supaya mereka juga mempunyai sedikit perasaan. Anak-anak kita bertempur menyabung nyawa di garis depan mengganyang Malaysia, kaum buruh dan pegawai-pegawai kecil harus mengurangi makan beras, mbok kalian juga berkorban sedikit dengan mengadakan bagihasil panènan yang lebih baik buat penggarap, dan membagikan tanah-lebih kalian kepada penggarap, yang notabene bukan dengan cuma-cuma, tetapi dengan kompensasi yang harus dibayar oleh bapak-bapak dan ibu-ibu tani. Negara kita tidak merampas milik-tanah siapapun! Sejengkal pun tak ada yang dirampas berdasarkan UUPA! Semuanya dibayar! Jangan kita teperdaya oleh kampanye-bisik-bisiknya kaum reaksioner yang mengatakan, bahwa landreform itu “menyempitkan pemilikan tanah”. Bacalah kembali Jarek – di sana tegas kukatakan, bahwa “Landreform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh Rakyat Indonesia terutama kaum tani”.
      Saya setuju dengan gagasan mencabut dan membatalkan IGO dan IGOB, dan insya’ Allah saya akan melaksanakan Keputusan MPRS tentang Otonomi tingkat III.
      Kepada yang biasa makan nasi 2 à 3 kali sehari saya serukan: Ubahlah menumu, campurlah makananmu dengan jagung, cantel, ketela-rambat, singkong, ubi, dan lain-lain. Hanya ini yang kuminta – mengubah menu, yang tidak akan merusak kesehatan­mu. Bandingkanlah permintaanku ini dengan pesanku kepada pemuda-pemudi kita yang sekarang berada di garis depan untuk menyerahkan segenap raganya, jika perlu juga segenap jiwanya, kepada urusan kemerdekaan, kepada pengganyangan neo-kolonialisme “Malaysia”.
     Nah, bagaimana sekarang dengan konfrontasi kita terhadap “Malaysia” itu? Tidak bisa kita sekarang ini membicarakan “Malaysia” tanpa membicarakan situasi di Asia Tenggara dan di seluruh Asia umumnya. Tidak bisa, saya katakan, karena Asia Tenggara sekarang ini sebenar-benarnya sedang menjadi pusat-têlêngnya kontradiksi-kontradiksi dunia. Kontradiksi antara Sosialisme dan kapitalisme terdapat di bagian dunia sebelah sini itu dalam bentuk-bentuk yang tajam. Juga kontradiksi antara kerja dan kapital (arbeid en kapitaal). Kontradiksi yang di dalam Gesuri kunamakan “innerlijke conflicten” daripada imperialisme dunia. Apalagi kontradiksi antara bangsa-bangsa yang baru merdeka, bangsa-bangsa terjajah dan setengah-terjajah, dengan imperialisme, – di Asia Tenggara sinilah kontradiksi itu paling tajam. Lagipula, kontradiksi ini, yang penyelesaiannya berarti memotong garis-hidup imperialisme du­nia, adalah kontradiksi yang paling genting, paling menentukan, di dunia kita dewasa ini.
      Di sampingku sekarang ini, turut menyaksikan ulang tahun Revolusi Agustus (yang berarti pula menyaksikan tekad dan semangat revolusioner Rakyat Indonesia) sahabat-sahabatku: Kepala Negara Kerajaan Kamboja Pangeran Norodom Sihanouk, dan Wakil dari Perdana Menteri Republik Rakyat Demokrasi Korea Kim Il Sung. Perdana Menteri Kim Il Sung sendiri sekunyung-kunyung ta’ dapat datang, karena gentingnya keadaan di daerah Utara kita ini. Tapi lihat: Tamu-tamu kami ini: Yang satu seorang Pangeran, yang satu seorang Marxis-Leninis. Biarlah kaum imperialis melihat kepada kami bertiga: yang seorang Pangeran yang seorang lagi Marxis-Leninis, yang seorang lagi perasan Nasakom, tetapi ketiga-tiganya patriot, ketiga-ti­ganya melawan imperialisme! Adakah yang aneh di sini? Tidak! Malahan seandainya tidak ada imperialisme, barangkali kami bertiga ini tidak muncul bersama di podium sekarang ini. Ya, imperialisme itulah sesungguhnya yang melahirkan kami-kami ini, yang menjadikan kami-kami ini, yang membentuk kami-kami ini. Memang pendirianku sejak dahulu kala, ialah, bahwa siapapun, siapapun, yang melawan imperialisme adalah obyektif seorang revolusioner. Dalam pergerakan kemerdekaan kita ada intelektuil-intelektuil di samping kaum proletar, ada elemèn-elemèn ningrat di sam­ping kaum tani, tetapi selama mereka melawan imperialisme, selama itu mereka re­volusioner. Demikian jugalah gambaran di Asia ini seluruhnya, malahan juga di Afri­ka dan di Amerika Latin. Demikianlah maka Kaisar Hailé Selasie bahu-membahu dengan Madibo Keita dan Ben Bella, dengan Sekou Touré, dengan Nkrumah, de­ngan Jomo Kenyata, dengan Gamal Abdel Nasser. Demikianlah maka Arbenz Guzman bergandengan tangan dengan Cheddy Jagan, dengan Fidel Castro, – Bolivarnya abad ke XX ini! Ya, demikianlah maka Sukarno menjadi “comrade in arms”nya Ayub Khan dan Sirimavo Bandaranaike, comrade in armsnya Ne Win dan Macapagal, comrade in armsnya Ho Chi Minh dan Mao Tse Tung, comrade in armsnya Norodom Sihanouk dan Kim Il Sung!
      Di depan pengadilan kolonial di Bandung 34 tahun yang lalu saya katakan: “Pere­butan kekuasaan di Tiongkok inilah kini menjadi nyawa persaingan antara belorong-belorong imperialisme itu, perebutan kekuasaan di Tiongkok kini menjadi pokok politik luar negeri Jepang, Amerika dan Inggris”. Tidak sampai 20 tahun sejak pidato saya itu, Tiongkok menjadi bebas, mencampakkan kekuasaan imperialis dari nege­rinya, dan Rakyat Tiongkok menjadilah tuan atas rumah dan nasibnya sendiri. Sekarang bukan saja Tiongkok Rakyat sudah membangun Sosialisme di Asia, tetapi juga Korea Rakyat dan juga Vietnam Rakyat, yang Ketua “DPR”nya, Truong Chinh, wakilnya “Paman Ho”, juga hadir dalam perayaan hari ini. Hari ini saya nyatakan kepada seluruh dunia, bahwa tidak ada syaitan, tidak ada jin, tidak ada demit yang bisa menghalangi Korea, Vietnam, Kamboja dan Indonesia bersahabat dan bersatu dalam perjalanannya menuju Dunia Baru tanpa exploitation de l’homme par l’homme!
      Korea, Vietnam dan Indonesia sama-sama membebaskan diri dari imperialisme di bulan Agustus 1945. Kemudian bersama-sama pula kami bertiga mengalami agresi-agresi kolonial kaum imperialis, – Belanda di Indonesia, Prancis di Vietnam, Amerika di Korea. Tetapi kami tak pernah gentar, kami tak sudi jual kepala. Karena itu kami berikan perlawanan di mana kami harus berikan perlawanan. Dengan perjuangan yang prinsipil dan konsekwen inilah maka Irian Barat berhasil kita bebaskan tahun yang lalu. Tetapi “Irian Barat”nya Korea dan “Irian Barat”nya Vietnam, yaitu bagian-bagian Selatan mereka, kini belum lagi bebas. Beberapa waktu yang lalu saya katakan kepada Ny. Prof. Nguyen Thi Binh dari Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan do’a saya, agar Rakyat Vietnam segera bersatu kembali dalam kemerdekaan. Dan serangan Amerika atas Vietnam Utara sekarang ini pun, kami kutuk dengan se­keras-kerasnya. Dan aku pun mendoakan Korea lekas bersatu kembali dalam ke­merdekaan.
      Tetapi apakah dengan bebasnya Irian Barat, Republik Indonesia sudah aman dan bebas dari ancaman-ancaman imperialis? Tidak, jauh daripada itu! “Malaysia” masih “dipasang” di depan pintu R.I., “Malaysia” masih membentang di muka rumah Republik Indonesia, sebagai anjing-penjaganya imperialisme. Pakta-pakta militer yang ada di seputar kita baru-baru ini pun ikut-ikut pula membicarakan soal kita, tapi zonder seizin kita! Kita dikepung terang-terangan oleh kaum imperialis dari segala jurusan!
     Tetapi kita tidak gentar, kita tidak takut. Memang, saudara-saudara jangan gentar, jangan takut! Berjalanlah terus, hantamlah terus, ganyanglah terus “Malaysia” itu meski ia ditolong dan dibantu oleh sepuluh imperialis sekalipun!
       Di Kamboja aku menyaksikan sendiri bagaimana suatu negara imperialis yang besar mencoba menggertak-gertak Pemerintah Kamboja yang kecil, dan melakukan segala usaha untuk menundukkan Kamboja itu. Tetapi dasar Pangeran kita ini Pangeran Patriot Besar: Beliau pun, seperti kita, menerima tantangan imperialis itu dengan “Ini dadaku, mana dadamu!” Beliau pun, seperti kita, menerima tantangan imperialis­me itu dengan “Go to hell with your “aid”!”.
      Di Laos kaum imperialis menginjak-injak Persetujuan Jenewa dengan seenak perutnya saja, seakan-akan sudah ta’ ada norma-norma lagi dalam hubungan-hubungan internasional, seakan-akan sudah ta’ ada lagi aturan-aturan, seolah-olah ta’ ada mo­ral! Atau memang begitulah “moral”nya imperialisme! Saya berkata: Hanya kalau kaum imperialis menghentikan campur-tangannya di sana, hanya kalau mereka menarik semua tentaranya dari sana, hanya kalau mereka menghormati Persetujuan Jenewa, baru suatu Pemerintah yang benar-benar netral, bersatu dan demokratis bisa dibentuk di Laos itu. Dan menyambut usul Pangeran Souphanouvoung: kalau perun­dingan di antara tiga golongan Laos (kiri, netralis dan kanan) mau diselenggarakan di Jakarta, – silahkan, kita akan senang.
      Di Vietnam Selatan, nasib yang tempohari dialami oleh Jenderal Lattre de Tassigny kini rupanya sedang menimpa jenderal-jenderal lain, jenderal-jenderal dari negara yang lain, tetapi yang nasibnya kiranya setali-tiga-wang. Menurut koresponden pe­rang berbangsa Australia yang terkenal, Wilfred Burchett, yang bukunya baru-baru ini saya baca, berjudul “The Furtive War” atau “De Heimelijke Oorlog”, maka geril­yawan-gerilyawan tani di Vietnam Selatan itu, terutama di Delta Mekong, yang “mempersenjatai dengan senjata-senjata AS yang paling modern dan dilatih, setidak-tidaknya secara ta’ langsung, oleh instruktor-instruktor AS, tergolonglah pejuang-pejuang gerilya yang paling berpengalaman di dunia”. Barangkali kaum imperialis boleh menghibur dirinya sendiri dengan kenyataan bahwa setidak-tidaknya mereka dikalahkan oleh bukan sembarang gerilya, tetapi oleh gerilyawan-gerilyawan yang benar-benar jempolannya gerilyawan!
      Sekarang Amerika malah menyerang Vietnam Utara! Rakyat Vietnam sudah barang tentu akan melawan mati-matian, sebagaimana mereka dulu melawan mati-matian kepada serangan-serangan imperialisme Prancis. Simpati kita tanpa tèdèng-aling-aling berada di fihak mereka itu. Ta’ habis-habisnya saya katakan, bahwa campur-tangan luar negeri di Asia ta’ akan dapat memecahkan persoalan-persoalan Asia. Sukarno-Macapagal telah dengan tegas mengatakan bahwa soal-soal Asia harus di­selesaikan oleh bangsa-bangsa Asia sendiri. “Asian problems to be solved by Asians themselves!” Sebaiknya semua tentara-tentara asing di Asia itu harus keluar saja dari Asia, pulang ke negerinya masing-masing!
      Sebab-musababnya kita hendak mengganyang “Malaysia”, sudah sering saya paparkan di muka umum. Penginjak-injakan Manila-Agreement oleh Tengku, kepalsuan penyelidikan Michelmore, gegabahnya U Thant atas dasar Michelmore itu, fait accompli proklamasi “Malaysia” pada 16 September 1963 sebelum “penyelidikan ” selesai, dan lain-lain sebagainya, sudah cukup luas saya pidatokan di mana-mana. Tetapi yah, masih juga ada fihak yang belum mengerti mengapa Republik Indonesia as a matter of principle berkonfrontasi terhadap “Malaysia” dan masih saja ada yang dengan cara ini atau cara itu memberikan sokongannya kepada neo-kolonialisme “Malaysia” itu. Saya membaca misalnya baru-baru ini lampiran salah satu badan PBB, dan di sana dikatakan “per capita income” dari penduduk “Malaysia” itu “lebih tinggi” daripada di Indonesia. Bermacam-macam memang caranya orang membaca statistik! Kalau statistik PBB itu dijual kepada orang-orang yang bodoh dan goblok, tentu saja ia bisa laku. Tetapi kepada kita! Dikatakan: “Penduduk” “Malaysia”? Penduduk yang mana? Ya, penduduk yang mana? Penduduk pribumikah? Penduduk jelata Melayukah? Berapa puluh prosen dari “national income” itu yang dicaplok oleh raja-raja Melayu dan kapitalis-kapitalis Kuomintang, dan beberapa prosèn saja yang menjadi bagiannya Rakyat Melayu jelata? Lagipula, kalau ada “Kemakmuran” tetapi tidak ada kemerdekaan dan tidak ada demokrasi, maka itu namanya “kemak­muran”nya kolonialisme, itu tandanya kolonialisme tulen, itu buktinya kolonialisme mentah-mentah dan telanjang.
      Perlawanan di Malaya-Singapura hari ini belum hebat, bukan karena Rakyat tak mau melawan, tetapi karena mereka habis ditindas secara bengis, kejam, biadab oleh kaum kolonialis Inggris dengan abdidalem-abdidalemnya seperti Tengku, seperti Razak, seperti Kai Boh, seperti Gazali, dan lain-lain sebagainya. Laginya, kalau hari ini perlawanan itu belum hebat, siapa berani bilang bahwa besok dia tidak akan hebat? Lihatlah pejuang-pejuang Kalimantan Utara, yang sejak Proklamasi 8 Desembernya tahun 1962 melakukan perjuangan bersenjata yang bekerja sama dengan sukarelawan-sukarelawan Indonesia, dan yang benar-benar mengkalangkabutkan strategi dan taktik-taktik militer Inggris dan antèk-antèknya.
      Merdeka-tidaknya sesuatu negeri, selain bisa dilihat dari struktur ekonominya, dari politik dalam dan luar negerinya, dan sebagainya, juga bisa dilihat dari kwalitet pe­nguasa-penguasanya. Negeri yang diperintah oleh komprador-komprador imperialis ta’ mungkin negeri yang merdeka! Ambillah misalnya Konggo. Kalau tempohari kita pergi ke Konggo, dan kita lihat yang berkuasa di sana Patrice Lumumba, yang bukan saja bukan komprador, tetapi seorang patriot besar, maka itu sudah pertanda Konggo merdeka. Tetapi kalau sekarang kita ke sana dan ternyata Tsombé yang berkuasa, – sebangsa dulu Kartalegawa atau dr. Mansyur –, orang gila mana mau percaya negeri itu merdeka?
      Tengku Abdulrachman adalah tulen antèk imperialis yang demikian itulah. Antèk imperialis, seperti baru-baru ini kunyatakan di depan Kongres IPPI. Waduh suara­nya, gelèdèk kalah dengan suara Tengku! Dengan angkuh ia berkata: “Malaysia is there to stay, whether you like it or not. Take it, or leave it! (“Malaysia sudah ada, orang senang atau tidak senang. Kalau senang, terimalah. Kalau tidak senang, biarkanlah”). Sama sombongnya dengan suara antèk-antèk yang lain. Tapi .... Sebaik-baik nasib antèk, nasibnya tidaklah lebih daripada nasib antèk! Lupakah kita kepada Syngman Rhee yang kemudian “dikorbankan” oleh tuan-tuannya? Lupakah kita kepada Ngo Dien Diem, yang kemudian “direlakan” oleh majikan-majikannya? Untuk memakai expresi Amerika: antèk-antèk itu seperti “paper tissues which one uses once and then throws away”. “Dipakai satu kali saja, kemudian dibuang lagi sebagai sampah”.
      Kepada Pemerintah Inggris ingin saya anjurkan untuk bersikap agak realistis. Kalau Sultan Brunei-pun tak mau tunduk kepada “Malaysia”, apa lagi Rakyat-Rakyat Kalimantan utara! Daripada meneruskan penindasan terhadap Rakyat Kalimantan utara dengan risiko akan kehilangan segala-galanya, tidakkah lebih baik bagi Inggris untuk memahami perubahan-perubahan dan pergolakan-pergolakan yang sedang terjadi di bagian dunia ini? Pemerintah Inggris pernah berunding dengan Azahari. Alangkah baiknya apabila sekarang Pemerintah Inggris membuka lagi perundingan dengan Azahari, jurubicara Rakyat Kalimantan Utara itu!
      Akhirnya saya harus mengucapkan beberapa patah pula ke alamat Pemerintah Amerika Serikat. Ini di luar kemauan saya, dan seandainya tidak ada Komuniké Bersama Johnson-Tengku, maka kata-kata saya ini ta’kan pernah saya ucapkan. Hasrat bersahabat dari fihak Indonesia terhadap Amerika Serikat sudah jelas sekali. Bahkan sesudah percobaan pendaratan Armada ke-VII ke Pakanbaru, bahkan sesudah pemboman-pemboman oleh Alan Pope, bahkan sesudah penghinaan-penghinaan oleh Avery Brundage, bahkan sesudah tingkahlaku yang tak patut dari Michelmore, Pemerintah Republik Indonesia masih bersedia memaafkan kejadian-kejadian itu. Tetapi seperti baru-baru ini diterangkan oleh Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Subandrio – soal hubungan RI-AS tidak semata-mata bergantung kepada Republik Indonesia, soalnya juga bergantung dan terutama bergantung kepada Pemerintah Amerika Serikat. Sudahkah Pemerintah Amerika Serikat berfikir berkali-kali sebelum membubuhkan tandatangannya kepada Komuniké Bersama Johnson-Tengku yang penuh dengan kata-kata hostile, kata-kata permusuhan, terhadap Republik Indonesia itu? Sudahkah mereka memikirkan akan akibat-akibatnya? Tidakkah mereka ingat akan kearifan-tua, bahwa menyakiti hati adalah mudah, tetapi menyembuhkannya adalah sulit? Dengan perasaan berat saya harus mengatakan, bahwa Komuniké Bersama Johnson-Tengku itu benar-benar keterlaluan. Benar-benar di luar batas! Pemerintah Amerika Serikat seharusnya menarik pelajaran dari politiknya selama ini yang mengutamakan Taiwan daripada Tiongkok. Tepat 40 tahun yang lalu administrasi Calvin Coolidge mengakui Uni Republik-Republik Sovyet Sosialis. Kenapa 40 tahun sesudah itu administrasi Amerika Serikat belum juga mau mengakui RRT, dan masih mempreferir Taipeh daripada Peking? Sekarang dengan Komuniké Bersama Johnson-Tengku itu malahan administrasi Johnson mempreferir “Malaysia” daripada Republik Indonesia.
      Saya tahu apa alasan yang akan mereka berikan! Tempohari, ketika kita melancarkan Trikora, mereka mengatakan “baik Belanda maupun Indonesia sahabat kami”. Sekarang di waktu Dwikora ini, tentulah mereka mengatakan “baik Malaysia maupun Indonesia sahabat kami”.
      Tetapi, maaf, tuan-tuan – dalam hal “Malaysia” kami ta’ bisa menerima kompromi, apalagi kompromi yang tidak manis terhadap kita ini. Tidak mungkin persahabat­an dengan Republik Indonesia disatunafaskan dengan persahabatan dengan “Malaysia”! Apalagi, jika diteliti kalimat-kalimat dan kata-kata dan semangat Komuniké Bersama Johnson-Tengku itu! To be frank; neither the wording nor the spirit is friendly! Baik kata-katanya maupun semangatnya, tidaklah manis.
      Tetapi saya tandaskan di sini, bahwa kami tidak gentar oleh Komuniké Bersama Johnson-Tengku itu! Kami hanya mau menandaskan, bahwa, kalau sampai buruk hubungan RI-AS, maka sebab-sebabnya tidak terletak pada Republik Indonesia, se­perti buruknya hubungan Kamboja-Amerika Serikat, sebab-sebabnya pun tidak terletak pada Kamboja. Pangeran Norodom Sihanouk sendiri baru-baru ini menulis kepada Redaksi “Time”, Amerika: “What do you reproach me with, exactly? Not to have abased myself before the dollar? To have suceeded, where so many other in this troubled region have failed? With providing my enslaved Asian brethren with a “bad example” by my pride, patriotism and independence? With placing the interests of Washington after those of my country?” (“Karena apakah sebenarnya kalian mencela saya? Karena tidak mau menghinakan diri di hadapan dollar? Karena telah berhasil, sedang begitu banyak orang lain di daerah yang keruh ini telah gagal? Karena memberikan ‘teladan yang buruk’ bagi saudara-saudara Asia yang diperbudak, teladan de­ngan kehormatan, patriotisme dan kemerdekaan? Karena menempatkan kepenting­an-kepentingan Washington di belakang kepentingan-kepentingan negeri saya sen­diri?”).
      Ada lagi satu contoh: Cukup banyak sikap pemerintah Prancis yang ta’ saya se­tujui, tetapi orang, bagaimanapun, toh harus mengakui bahwa Jenderal De Gaulle menjalankan politik yang ada mengandung realiteitszin. Pembukaan hubungan di­plomatiknya dengan RRT, usulnya untuk menetralisasikan Vietnam Selatan, dan ini­siatif-inisiatifnya yang lain, membuktikan adanya pemikiran yang lain, membuktikan adanya pemikiran yang tidak konventionil. Seperti dikatakan oleh René Dabernat dalam “Le Combat”; “De Gaulle has launched a frontal attack against the wall of silence, of conformity, of habit” .... Sesungguhnya, sejak Perang Dunia II terlalu sering, bahkan hampir selalu, pemerintah-pemerintah kapitalis yang non-AS seperti dikungkung oleh tembok kebungkeman (tidak membantah), tembok keseragaman (tak berani lain), dan tembok kebiasaan (tak pernah secara orisinil mengorientasi ke Asia atas dasar baru).
      Lihat! Kami sekarang memperbaharui hubungan-hubungan kami dengan Belanda. Dari fihak kami, kami menunjukkan cukup kesediaan dan kemauan baik, selama hubungan baik itu diletakkan di atas dasar persamaan derajat. Kami bukan bangsa pendendam, kami bukan bangsa yang berhati batu, tetapi janganlah sekali-sekali melukai hati kami lagi. Saya kira ta’ bisa dibayangkan sikap yang lebih masuk-akal daripada sikap kami ini!
      Seperti saya nyatakan di depan PBB: “Kami tidak berusaha mempertahankan dunia yang kami kenal; kami berusaha membangun suatu dunia yang baru, yang le­bih baik!.... Seluruh dunia ini merupakan suatu sumber tenaga Revolusi yang besar, suatu gudang mesiu revolusioner yang amat luas!”
      Saudara-saudara! Masih banyak persoalan-persoalan yang harus kita tanggu­langi, soal-soal nasional maupun internasional. Terutama penanggulangan ekonomi masih menuntut banyak peluh-keringat dari kita.
      MMAA II, sebagai pengembangan daripada konperensi Bandung, telah merumuskan dengan baiknya keharusan setiap negara Asia-Afrika untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam ekonomi, bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan.
      Saya teringat akan apa yang dikatakan Perdana Menteri Kim Il Sung di tahun 1947: “In order to build a democratic state, the foundation of an independent economy of the nation must be established .... Without the foundation of an independent economy, we can neither attain independence, nor found the state, nor subsist”.
      “Untuk membangun satu Negara yang demokratis, maka satu ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, ta’ mungkin kita mencapai kemerdekaan, ta’ mungkin kita mendirikan Negara, ta’ mungkin kita tetap hidup”.
      Sekarang Korea-nya Kim Il Sung sudah sepenuhnya memecahkan masalah sandang-pangan, produksi padinya saja 400 kg lebih per kapita pertahun, dan dari negara agraris-industriil sekarang Korea Kim Il Sung sudah menjadi negara industriil-agraris. Inilah kondisinya, maka Korea itu secara politik maupun kebudayaan tidak tergantung kepada siapapun.
      Indonesia tak mau berdiri di belakang! Indonesia mau berdiri di barisan depan dalam merealisasikan azas MMAA II itu! Dari sinilah keterangannya mengapa, sekalipun saya tahu banyak kesulitannya untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam hal sandang-pangan, saya sudah bertekad untuk secepat mungkin tidak mengimport beras lagi.
      Sejak 17 Agustus 1964 ini saya menghendaki kita tidak akan membikin kontrak baru lagi pembelian beras dari luar negeri! Saya minta saudara-saudara sekalian membantu usaha ini. Selain melaksanakan UUPA-UUPBH, selain membasmi hama tikus dan hama-hama lain, selain memberantas segala pemborosan, segala pencoleng-pencoleng kekayaan negara dan segala pengacau-pengacau ekonomi – kalau perlu dengan menembak mati mereka itu! –, maka saya minta saudara-saudara berkorban pula di atas lapangan makanan ini. Produksi beras kita sebenarnya sudah cukup! Tetapi kenapa kita harus membuang devizen 120 á 150 juta dollar tiap-tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau $ 150.000.000 itu kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu! Tambahlah menu-berasmu dengan ja­gung, dengan ubi, dengan lain-lain! Jagung adalah makanan sehat, kacang adalah makanan sehat! Campur menumu, campur menumu! Saya sendiri sedikitnya seming­gu sekali makan jagung, dan badanku, lihat!, adalah sehat. Marilah kita berkorban sedikit, sebagaimana sukarelawan-sukarelawati kita juga sedia berkorban!
      Ciri dari ekonomi kolonial tempohari adalah ketergantungan dalam banyak hal, termasuk pangan, dan sebaliknya yang diutamakan oleh ekonomi kolonial adalah bahan-bahan export, umumnya bahan mentah. Dekon menghendaki perombakan ekonomi kolonial itu! Dekon dengan tegas menggariskan bahwa pertanian itu dasar, dan industri itu tulangpunggung.
      Seperti sudah saya katakan di depan tadi, maka perubahan pertanian atau perubah­an agraris itu merupakan syarat bagi “kepabrikan”, yaitu bagi industrialisasi. Inilah redenasinya, inilah rationya, mengapa di dalam Jarek kukatakan bahwa keputusan untuk mengadakan Landreform itu diliputi oleh semangat “foreseeing ahead”, yaitu semangat telah “melihat lebih dahulu”. Sebaliknya, menolak Landreform, yang dalam jangka panjang berarti pula menolak industrialisasi, menandakan pandangan yang cupet, yang cètèk, yang sempit, yang dangkal, yang bodoh!
Mengenai perusahaan-perusahaan modal Inggris yang telah diambil alih oleh kaum buruh dan kini mulai dikuasai oleh Pemerintah, baiklah saya tegaskan bahwa pada dasarnya dan pada akhirnya tidak boleh ada modal imperialis yang beroperasi di bumi Indonesia. Modal imperialis yang masih beroperasi di sini harus tunduk sepenuhnya kepada perundang-undangan nasional Indonesia. Modal ex-Inggris itu akan dikuasai sepenuhnya oleh Pemerintah. Sudah tentu prosedurnya bisa bermacam-macam, bisa nasionalisasi dengan kompensasi, bisa juga konfiskasi tanpa kompensasi. Jalan mana yang akan harus ditempuh, ini bergantung pada sikap Inggris terhadap pembubaran “Malaysia”.
      Belakangan ini juga ada diskusi mengenai nation-building dan character-building. Kita semua boleh bergembira bahwa setelah “PRRI-Permesta” kita tumpas, sukuisme-daerahisme-provinsialisme sudah sangat berkurang. Juga sesudah rasialisme 10 Mei tahun yang lalu kita tindak, maka rasialisme itu – sekalipun masih latent – tidak akut lagi. Seperti saudara-saudara sekalian tahu, yang selalu saya impi-impikan ada­lah kerukunan Pancasilais-Manipolis dari segala sukubangsa, segala agama, segala aliran politik, segala kepercayaan. Kerukunan dari segala suku, artinya termasuk suku-suku peranakan atau keturunan asing, – Arab-kah dia, Eropah-kah dia, Tionghoa-kah dia, India-kah dia, Pakistan-kah dia, Yahudi-kah dia. Untuk mencapai ini saya menganjurkan integrasi maupun asimilasi kedua-duanya. Juga dalam hal ini kita tak bisa sadar memenuhi keinginan-keinginan subyektif kita. Kita harus tahu hukum-hukumnya! Ta’ bisa misalnya kita – jangankan 1-2 generasi, 10 generasi pun ta’ bisa – meniadakan “rahang Batak”, atau “sipit Tionghoa”, atau “mancung Arab”, atau “lidah Bali”, atau “kuninglangsat Menado”, atau “ikal Irian”, dan sebagainya. Memang bukan ini yang menjadi soal! Yang menjadi soal ialah: bagaimana membina kerukunan, membina persatuan, membina Bangsa, di antara semuanya, dan dari semuanya. Untuk mencapai hal ini, maka di samping tiap-tiap suku memberikan sumbangan-sumbangan positif, tiap-tiap suku juga harus menerima sumbangan-sumbang­an positif dari suku-suku lain. Pendeknya, semua suku harus mengintegrasikan diri menjadi satu keluarga besar Bangsa Indonesia. Kebhinnekaan harus terus kita bina, karena justru kebhinnekaan inilah unsur menjadikan ke Ekaan. Bhinneka tunggal ika harus kita fahami sebagai satu kesatuan dialektis! Yang terpenting adalah mengikis-habis sisa-sisa rasialisme. Oleh sebab itulah saya perintahkan kepada Pengadilan untuk mempercepat pemeriksaan perkara-perkara rasialisme, yang hanya membikin malu kita saja sebagai bangsa. Tentang pekerjaan LPKB, yang setahun yang lalu saya restui dengan pesan supaya terutama memberantas phobi-phobian, saya akan sempurnakan susunannya dengan meNASAKOMkan pimpinannya, di daerah-darah maupun di pusat. Dalam pada itu saya sedikit kecewa bahwa LPKB belakangan ini ikut-ikut campur dalam urusan-urusan yang bukan bidangnya, seperti koperasi, pariwisata, dan lain-lain. Saya dulu pernah menjèwèr FNPIB karena mengurusi totalisator, – la mbok LPKB menarik pelajaran dari peringatan saya itu!
      Mengenai soal-soal internasional, yang terpenting rasanya adalah KAA II yang akan datang. Kita senang sebanyak mungkin tenaga revolusioner-progressif tergabung dalam KAA itu. Perjuangan berarti menghimpun sebanyak mungkin tenaga dalam perjuangan itu. Juga dalam perjuangan anti-imperialisme, negara-negara Asia-Afrika harus mengusahakan "…samenbundeling van alle revolutionnaire krachten”. Saya mengharap, bahwa soal peserta Konferensi A.A. tidak menimbulkan perpecahan dalam kalangan kekuatan-kekuatan revolusioner-progressif. Saya akan sangat prihatin melihat perpecahan di kalangan blok revolusioner-progressif, oleh karena hal itu merugikan solidaritas kekuatan-kekuatan yang menentang kolonialisme dan impe­rialis­me. Saya sungguh-sungguh minta perhatian dari semua kekuatan revolusioner-progressif, jangan sampai perbedaan pendirian di kalangan mereka, merugikan kepada perjuangan-umum menggempur kolonialisme-imperialisme itu!
     Mengenai “KTT non-blok”, saya tak merasa perlu menambahkan apa-apa lagi sesudah statement Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri Subandrio di depan DPR-GR yang saya setujui sepenuhnya. Saya gembira sekali menyaksikan bahwa persatuan negara-negara Afrika semakin tergalang, dan saya menyambut-baik keputusan KTT mereka baru-baru ini, yang sesuai dengan mandat yang diberikan oleh MMAA II, menetapkan Aljazair sebagai tempat KAA II tahun depan.
      Ya, pohon Semangat Bandung akarnya sudah semakin masuk-tanah! Daunnya sema­kin rindang! Bunganya semakin semarak! Buahnya semakin banyak dan lezat! Solidaritas Asia-Afrika sudah bertambah kokoh, dan ini merupakan gunung-karang yang membikin kandasnya setiap percobaan reaksioner dan kontra-revolusioner dari “nekolim”. (Ini singkatan Jenderal Yani untuk neo-kolonialisme, kolonialisme dan imperialisme).
      Bukan saja solidaritas Asia-Afrika kian kokoh, tetapi juga solidaritas nefo, solida­ritas New Emerging Forces, yang melingkupi tritunggal negara-negara sosialis, negara-negara yang baru merdeka, dan kekuatan progressif di negara-negara kapitalis, solidaritas Nefo inipun makin menjelma, makin tumbuh, makin kokoh. Ketika saya mengkoreksi teori “tiga kekuatan dan kekuatan ketiga”, dan melantunkan teori nefo kontra oldefo, ada orang-orang, malahan ada sebagian di antara kawan-kawan kita sendiri, yang tidak segera mengertinya, dan mengira bahwa teori nefo itu “tidak ada isinya”. Dasar mereka orang-orang yang ta’ mempunyai Historis Inzicht! Sekarang bukan saja Ganefo I sukses besar, tetapi offensif nefo di bidang politik, ekonomi, kultur dan militer mencapai kemenangan-kemenangan dari hari ke hari pada skala internasional. Angan-angan Indonesia untuk mengadakan Konferensi New Emerging Forces, yaitu Conefo, dengan demikian meningkat akan menjadi realitet, meski bagaimanapun fihak imperialis akan menghalang-halanginya! Arus Sejarah ta’ dapat dibendung oleh siapapun juga tidak oleh dewa-dewa di kahyangan sekalipun!
      Memang ada pokal yang macam-macam dari kaum imperialis itu: di Brazilia pemerintah Goulart mereka gulingkan; terhadap Kuba terus-menerus mereka lancarkan serangan-serangan; di Konggo mereka dudukkan Tsombé; ke Asia Tenggara mau mereka tumplekkan seperempat-juga tentara asing. Tetapi semua ini bukanlah arus-pokok Sejarah! Semua ini adalah arus-balik sejarah, yang dus hanya ­berwatak sementara, dan ta’kan tahan akan sèrètannya arus-yang-pokok. Pasti ia akan hanyut, pasti ia akan tenggelam! Pasti!, seperti pastinya matahari terbit-lagi di hari besok!
      Brazilia dibegitukan, Kuba dibegitukan, Konggo dibegitukan, sebagian dari Asia Tenggara dibegitukan, – saya peringatkan kepada kaum imperialis manapun: jangan menjamah wilayah Republik Indonesia, jangan menjamah! Pemerintah dan Rakyat Indonesia ta’ akan membiarkan sejengkal pun tanah-tumpah-darahnya diinjak oleh musuh! Janganlah kalian coba-coba mengganggu Bantèng Indonesia! Di lain tempat kalian toh sudah kuwalahan menghadapi rakyat-rakyat yang membela tanah-airnya, apalagi kalau kalian menghadapi rakyat-rakyat yang membela tanah-airnya, apalagi kalau kalian menghadapi 103 juga Rakyat Indonesia yang bersemangat Bantèng, dan menghadapi AL-AU-AD-AK Indonesia yang terkuat di Asia Tenggara, yang berkobar-kobar semangat patriotiknya, yang bersama Rakyat sudah pernah mengusir tentara Jepang, mengusir tentara Inggris, mengusir tentara Belanda, dan sudah pernah menghantam remukredam-hancurlebur “DI-TII” dan “PRRI-Permesta” dengan semua begundal-begundalnya!
      Ya, saudara-saudara, kita ini sekarang sedang dikepung! Tetapi kepadamu, kepada segenap bangsa Indonesia kuserukan, agar mengasah dan mempertajam rencong kewaspadaanmu, menempa dan terus menempa godam persatuanmu. Kita mempu­nyai Manipol, kita mempunyai Pancasila, senjata ampuh persatuan revolusioner Indonesia.
Gunakanlah senjata ini untuk mencegah setiap perpecahan nasional dan konsentrasikanlah segala kekuatan nasional. Akhirilah segala phobi-phobian, hentikanlah jegal-jegalan dan srimpung-srimpungan, tulislah di atas panjimu “NASAKOM” dan sekali lagi “NASAKOM”, kembangkanlah daya-inisiatif dan daya-kreatifnya massa Rakyat, terutama massa Rakyat yang terorganisasi dan yang bernaung di bawah panji-panjinya Front Nasional.
       Kepada sukarelawan-sukarelawan dan sukarelawati-sukarelawati kukomandokan, agar menunaikan segala tugas nasional-patriotikmu dengan semangat berkorban yang se­tinggi-tingginya, dan agar memberikan andil yang sebesar-besarnya kepada per­juang­­an besar, kepada perjuangan suci kita mengganyang neo-kolonialisme “Malaysia”!
       Kepada seluruh Rakyat, kepada Angkatan Bersenjata, kepada semua alat negara, kepada semua alat Revolusi, kuserukan untuk merapatkan barisan, senantiasa siap-siaga dan bersatu di bawah Bendera Revolusi. Ya! di bawah Bendera Revolusi, bukan di bawah bendera kompromi atau bendera liberal, di bawah Bendera Revolusi Indonesia, Revolusi kita, Revolusi demokrasi-sosialis, Revolusi yang harus kita gelorakan terus, Revolusi yang harus makin maju dan makin memuncak!
      Karena itu kita harus menjaga jangan Revolusi kita itu mati. Karena itu semboyan kita ialah RESOPIM. Ya !, Revolusi sekali lagi Revolusi! Tadi telah kukatakan: Beri ia romantik. Beri ia dinamik. Beri ia dialektik. Jangan ia mandek. Teruslah ia maju! Teruslah ia Revolusi! Teruslah ia progressif. Keprogressifan adalah syarat-mutlak bagi sesuatu Revolusi Modern di abad ke XX. Ingat! Revolusi kita adalah Revolusi di abad XX, bukan revolusi di abad XVII!
      Segala apa yang saya sebagai Pemimpin Besar Revolusi pimpinkan kepada Re­volusi, adalah pencerminan daripada progressifitetnya Revolusi Indonesia. Tidak ada satu hal dalam pimpinan saya itu yang konservatif, tidak ada satu hal yang “mandek”, tidak ada satu hal yang tidak-progressif.
      Unsur-unsur keprogressifan itu terdapatlah di semua lapisan masyarakat Indonesia. Ada di kalangan Agama. Ada di kalangan nasionalis. Ada di kalangan sosialis-komunis. Bukan? Agama menghendaki kemerdekaan dan keadilan. Nasionalis Indonesia menghendaki socio-nasionalisme dan socio-demokrasi. Sosialis-komunis menghendaki kemerdekaan dan sosialisme. Ketiga-tiganya dus mengandung keprogressif­an. Karena itu, maka NASAKOM adalah keharusan-progressif daripada Revolusi Indonesia. Siapa anti NASAKOM, ia tidak progressif! Siapa anti NASAKOM, ia sebenarnya adalah memincangkan Revolusi, mendingklangkan Revolusi! Siapa anti NASAKOM, ia tidak-penuh-revolusioner, ia bahkan adalah historis kontra-revolusioner!
      Dan segala apa yang saya namakan unsur Revolusi itu, – romantikkah, dinamikkah, dialektikkah, progressifitetkah, kemerdekaankah, kegotong-royongankah, ke Nasakomankah, – semua itu harus hidup di kalangan Rakyat, berkobar-kobar di dalam kalbunya Rakyat, berdentam-dentam di dalam fikirannya Rakyat, mengelektrisir sekujur tubuhnya Rakyat.
      Rakyat Indonesia harus sadar-politik dan sadar-revolusi. Sadar! Ya, Sadar! Rakyat Indonesia harus politiek bewust dan Revolutie bewust. Seluruh Rakyat! Seluruh Rakyat! Semua! Si Dadap dan si Waru! Semua harus politiek bewust, semua harus Revolutie bewust. Dengan meniru perkataan Lenin, maka tiap-tiap koki pun harus me­ngerti politik dan mengerti revolusi – hidup dalam politik dan hidup dalam Re­volusi.
      Syukur Alhamdulillah! Demikian itulah memang Bangsa Indonesia! Bewust! Bewust! Sadar! Ia tidak masa-bodoh. Ia tidak seperti rumput. Ia selalu “gito-gito, lir gabah dèn interi”. Kalbunya senantiasa bergelora. Fikirannya selalu bergerak. Jiwa­nya senantiasa “kranjingan”. Kranjingan seperti ditiup Malaekat! Kranjingan dengan cita-cita. Kranjingan dengan idee. Kranjingan dengan tujuan perjuangan. Kranjingan dengan kemerdekaan. Kranjingan dengan idee masyarakat adil dan makmur. Kranjingan dengan hapusnya “exploitation de nation par nation”. Kranjingan dengan benci mati-matian kepada imperialisme dan kolonialisme. Kranjingan dengan hidup berjuang. Kranjingan, ya kranjingan, maka karena itulah ia selalu sibuk dalam aksi.
      Karena itulah Revolusinya Revolusi yang berromantik. Revolusi yang berdinamik. Revolusi yang berdialektik.
Karena itulah Revolusi Indonesia adalah satu Revolusi yang “onstervelijk”, – satu Revolusi yang ta’ dapat mati dan ta’ akan mati. “The Indonesian Revolution is a deathless Revolution! Because the Indonesian Revolution is a Revolution of Everybody of the people. And freedom is a deathless cause, and social justice is a deathless cause”.
      Ini pernah kukatakan di luar negeri. Alangkah benarnya! Alangkah tepatnya! Dengan romantik yang menghikmati seluruh Rakyat, dengan dinamik yang menggegap-gempitakan seluruh Rakyat, dengan dialektik yang mengaktifkan seluruh-alam-fikiran Rakyat, maka Revolusi Indonesia benar-benar satu Revolusi-tanpa-mati. Benar-benar satu “deathless Revolution”. Romantik adalah sumber-kekuatan-abadi kita, – Oerkracht kita, kataku tadi. Dinamik adalah sumber kekuatan sosial kita, – ia ada­lah kita punya social force. Dan Dialektik adalah sumber kekuatan konsepsi kita, – sumber rasionalisasinya Revolusi kita, daya-ciptanya Revolusi kita.
      Ada seorang perdana menteri dari Negara Asing berkata kepada saya: “How can your country subsist, you have no big industry in your country!” “Bagaimana negeri tuan bisa hidup terus, tuan ta’ mempunyai industri berat dalam negeri tuan!”
      Maaf saya berkata: Alangkah bodohnya tuan Perdana Menteri ini! Ia mengira bahwa hidup sesuatu bangsa tergantung dari teknik di negeri itu, tergantung dari industri di negeri itu.
      No Sir! Hidupnya sesuatu bangsa tergantung dari vrijheids-bewustzijn bangsa itu, kesadaran kemerdekaan bangsa itu, dan –- hidupnya sesuatu Revolusi tergantung dari Revolutie bewustzijn bangsa yang berrevolusi itu, kesadaran berrevolusi dari bangsa itu. Tidak dari teknik. Tidak dari industri. Tidak dari pabrik atau kapalterbang atau jalan aspal.
      Saya tidak berkata bahwa kita tidak memerlukan teknik. Saya sendiri beberapa tahun yang lalu telah berkata bahwa kita memerlukan technicall skill, memerlukan technical and menagerial know-how.
      Apalagi dalam dunia modern sekarang ini! Dunia abad ke XX! Bukan dunia abad bedil-sundut! Tetapi toh, lebih-lebih dari technical skill itu, kita memerlukan jiwa bangsa, jiwa merdeka, jiwa berrevolusi. Kita memerlukan kemampuan Konsepsi-konsepsi, dan keuletan-perjuangan untuk melaksanakan, merealitetkan konsepsi-konsepsi itu.
      Apa gunanya kita secara buta mengoper teknik dunia Barat, kalau hasilnya pengo­peran itu hanyalah satu negara dan masyarakat á la dunia Barat saja? Kalau hasilnya pengoperan itu hanyalah satu negara-copie dan satu masyarakat-copie á la Barat saja, –- satu negara-copie dan satu masyarakat-copie dengan berisikan segala penyakitnya exploitation de l’homme par l’homme? Apa gunanya, kalau pengoperan itu tidak mendatangkan pemenuhan dari segala isi Amanat Penderitaan Rakyat? Apa guna­nya, kalau pengoperan itu tidak mendatangkan realisasi cita-cita: gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja?

     Di Amerika Serikat sendiri, simbol dari kemajuan teknik, simbol dari kemajuan materiil yang berlimpah-limpah, orang ada yang berkata: “there is a virtual despair among many who look beyond material success to the inner meaning of their lives”. Artinya: tidak puas dengan hanya sukses materiil belaka.
      Negara-negara-Barat yang memang gémbong-gémbong di lapangan teknik itu, sekarang tidak ada satu pun yang mempunyai “Orang-Orang-Besar-Gémbong-Konsepsi”.
      Dalam masa naiknya kapitalismenya, dalam masa Kapitalismus im Aufstieg, me­reka mempunyai gémbong-gémbong seperti Disraeli dan Bismarck dan Gambetta. Dalam masa megap-megapnya kapitalismenya, dalam masa Kapitalismus im ­Niedergang, mereka mempunyai gémbong-gémbong seperti Mussolini dan Hitler. Sekarang, dalam masa “Universal Revolution of Man” ini, –- they have nobody. Mereka tidak mempunyai pemimpin yang ternama, tidak mempunyai gémbong yang berkonsepsi, tidak mempunyai Leader dengan letter L. yang besar. Tidak mempu­nyai Konseptor yang suaranya pantas didengarkan oleh seluruh ummat manusia dari se­gala bangsa, segala warna-kulit, segala agama. Misalnya, –- maaf saya sebutkan satu misal lagi –-: Dulu Amerika saya namakan “the Centre of an idea”. Sekarang saya tidak bisa lagi menyebutkan Amerika “the centre of an idea”.
      Karena itu hai Bangsa Indonesia!, dalam Revolusi kita ini, janganlah kita mencari kepeloporan mental pada orang lain. Carilah kepeloporan mental itu pada diri kita sendiri. Cari sendiri konsepsi-konsepsimu sendiri! Sudah barang tentu fihak lain, terutama sekali fihak imperialisme, selalu mencoba mencekokkan alam-fikirannya ke dalam hati dan kepala kita, – dengan merekapunya propaganda, dengan merekapu­nya perpustakaan-perpustakaan, dengan merekapunya film-film, dengan merekapunya penetrasi kebudayaan, dan lain-lain sebagainya, – dan berapa kaum intellektuil kita tidak terkena cekokan diam-diam ini?, -– berapa professor-professor kita dan sarjana-sarjana kita tidak masih ngglenggem dalam merekapunya textbooks bikinan Rotterdam atau Utrecht atau Harvard atau Cambridge? – saya ulangi: sudah barang tentu fihak lain selalu mencoba mencekokkan alam-fikirannya ke dalam hati dan otak kita, – tetapi, jadilah Bangsa yang Besar yang tidak menjiplak, jadilah mercu-suar yang gemilang bersinar sendiri, susunlah kitapunya konsepsi-konsepsi atas dialektik Revolusi kita sendiri. Freedom to be free, freedom to be free!, –- freedom to be free juga di alam konsepsi sendiri! Dan dengan dialektik kita itu, selalu tingkatkanlah konsepsi-konsepsi Revolusi kita itu menjadi setingkat dan seirama dengan dialektiknya Sejarah Ummat Manusia yang sekarang juga sedang bergelora dan berbangkit. Jikalau tidak, kita nanti diganyang, dilindas menjadi glepung oleh dialektiknya Sejarah Ummat Manusia itu.
      Saudara-saudara! Saya berbesar hati bahwa Revolusi kita ini sekarang sudah berupa gunung-karang-realitet bagi kawan dan bagi lawan. Saya berbesar hati bahwa Revolusi kita ini sekarang tidak lagi dirèmèhkan oleh lawan, dianggap sepi oleh lawan, atau dianggap sebagai satu “kegilaan” oleh lawan. Karena itu, saya tak heran bahwa lawan semakin berikhtiar untuk mematahkan Revolusi kita ini, makin mengepung revolusi kita ini dengan segala tipu-daya dan subversi, makin gila-gilaan menjelèk-jelèkkan Revolusi kita ini. Saya berbesar hati, bahwa sekarang ini seluruh telinga lawan dipasang untuk mendengarkan pidato Pemimpin Besar Revolusi Indonesia pada hari ini.
      Untuk didengar oleh telinga lawan itu, saya sekarang dengungkan lagi apa yang sudah saya katakan berulang-ulang: “Go to hell with your ‘Indonesia going to economic collapse’”! Go to hell dengan omonganmu bahwa Indonesia akan binasa eko­nomis. Go to hell! Psy-warmu tidak mempan! Psy-warmu kami anggap gonggongan anjing. Berpuluh-puluh kali engkau bilang Indonesia di bawah pimpinan Sukarno akan ambruk, akan collapse, akan hancur, tetapi psy-warmu tidak mempan! Tahun yang lalu mereka “meramalkan” bahwa Indonesia permulaan tahun 1964 akan ambruk ekonomis. Tetapi permulaan 1964 Indonesia tidak ambruk!, dan sekarang mereka berkata lagi bahwa nanti bulan Oktober yang-akan-datang ini Indonesia akan ambruk, – akan “collapse”. Go to hell! Indonesia tidak akan ambruk, – Insya Allah, Indonesia tidak akan ambruk!
      Paceklik 1962 dan paceklik 1963 tidak membuat Indonesia ambruk ekonomis, apalagi 1964, di mana panèn kita di mana-mana berhasil baik, – Indonesia tidak akan ambruk!
      Of course, sudah barang tentu, kita masih menghadapi kesulitan-kesulitan di segala bidang, -– sebagaimana semua negara-negara-dalam revolusi menghadapi kesulitan-kesulitan, -– apalagi kita, yang baru saja delapan tahun dapat bekerja memba­ngun, -– lima tahun yang pertama kita pergunakan untuk physical revolution, lima tahun lagi kemudian kita pergunakan untuk survival -– of course, sudah barang tentu, kita menghadapi dan harus memecahkan kesulitan-kesulitan, -– tetapi gobloklah ­orang kalau ia berkata bahwa Indonesia akan ambruk.
      No Sir!, kami tidak akan ambruk! Bersama-sama Rakyat Indonesia, kita akan pecahkan segala kesulitan-kesulitan itu, bersama-sama kita akan ganyang segala kesulitan-kesulitan itu. That’s what the Revolution is for! Justru itulah tugas Re­volusi!: memecahkan kesulitan-kesulitan, melenyapkan segala rintangan-rin­tangan.
      Revolusi bertugaskan dan memang berada untuk memecahkan kesulitan-kesulit­an. Revolusi bukanlah nyanyian keroncong Moritsko angler-angleran, Revolusi ada­lah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan, perjuangan yang bersayap razende inspiratie, perjuangan yang berkendaraan gegap-gempitanya aksi Rakyat untuk memecahkan kesulitan-kesulitan yang merintang di tengah jalan, perjuangan yang akhirnya mencapai kemenangan-akhir yang gilang-gemilang, yaitu terlaksananya Amanat Penderitaan Rakyat.
      Ya, saya katakan lagi, memang ada kesulitan-kesulitan, tetapi kesulitan-kesulitan itu akan kita pecahkan bersama, – that’s what the Revolution is for! –, kesulitan-kesulitan itu akan kita ganyang, – that’s what the Revolution is for, and – we can take it! Inilah romantiknya Revolusi! Inilah dinamiknya Revolusi! Siapa yang tidak memiliki romantiknya Revolusi, siapa yang tidak memiliki dinamiknya Revolusi, – sudah, jangan ikut Revolusi, masuk saja di kandang kambing, ngempèng susu saja dari tètèk sikambing itu!
      Baca Manipol, baca semua pidato-pidato saya yang dulu, dan benang-merah yang menjelujur semua pidato-pidato saya itu ialah: perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan, dan bahwa Revolusi adalah perjuangan. “Inallaha la yu ghoyiru ma bikaumin, hatta u ghoyiru ma biamfusihim”. “Tuhan tidak mengubah nasibnya sesuatu bangsa, sebelum bangsa itu mengubah nasibnya sendiri”. Firman Tuhan inilah gitaku, firman Tuhan inilah harus menjadi pula gitamu: Berjuang, berusaha, membanting tulang, memeras keringat, mengulur-ulurkan tenaga, aktif, dinamis, meraung, menggelèdèk, mengguntur, – dan selalu sungguh-sungguh, tanpa kemunafikan, ikhlas berkorban untuk cita-cita yang tinggi. Hai Manipolis, – jangan Manipolis munafik! Hai USDEKis, – jangan USDEKis munafik! Hai Sosialis, – jangan Sosialis munafik! Hai Nasakomis, – jangan Nasakomis munafik! Penyakit-busuk dari semua perjuang­an ialah kemunafikan! Kemunafikan adalah sumber dari segala kelemahan. Sumber perpecahan. Sumber reformisme. Sumber kompromis. Sumber revisionisme. Sumber rontoknya romantik, dinamik, dan dialektik. Sumber pengkhianatan. Sumber segala kerling-kerlingan main-mata dengan musuh.
      Celakalah sesuatu Revolusi yang disarangi oleh orang munafik. Karena itu, jebollah kemunafikan di mana ada, tendang-keluarlah kemunafikan dari segala penjuru!
Tendang-keluar orang-orang yang berkepala dua. Bersihkan, bersih-sucikan Manipol, sucikan Usdek, sucikan Sosialisme kita, sucikan Revolusi kita, sucikan Revolusi kita ini dari segala penyakit-penyakit-busuk yang menghinggapinya. Sucikan ia dari segala kemunafikan! Sucikan, kocok-bersih tubuh kita sendiri, agar kita kuat menghantam-remukredam semua musuhnya Revolusi.
      Ya, Subversi musuh masih amat lihaynya berjalan terus! Salah satu usaha mereka ialah menggremeti orang-orang munafik! Menggremeti orang-orang yang kurang teguh kemanipolannya dan kurang teguh keUSDEKannya, untuk misalnya mengadakan “coup” kepada pemerintah Sukarno, yang olehnya dinamakan “bajingan kepa­rat” biang-keladi Manipol dan biang-keladi USDEK itu. Dan mereka sudah beberapa kali meramalkan bahwa nanti bulan ini atu bulan itu Sukarno akan dicoup, Sukarno akan jatuh, Sukarno “tidak akan ada lagi”. Bukti-bukti tertulis tentang hal-hal semacam ini adalah di tangan saya! Tetapi, Allahu Akbar, Tuhan Maha Besar, saya masih berada di muka saudara-saudara! Saya masih berada di muka saudara-saudara sebagai Presiden Republik Indonesia, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebagai Perdana Menteri Pemerintah, sebagai Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Saya masih berada demikian, karena perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan karena kesetiaan Rakyat kepada Manipol, kepada USDEK, kepada Pancasila, kepada segala garis-besar pimpinan saya dalam Revolusi kita ini. Kalau Rakyat umpamanya tidak setuju kepada pimpinan saya itu, – sudah lama saya diganyang oleh Rakyat itu sendiri.
      Saudara-saudara yang berhadapan dengan saya di Lapangan Merdeka ini, dan saudara-saudara yang mendengarkan pidato saya ini di seluruh pelosok tanah-air, – saudara-saudara semua merasa gembira memperingati hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan. Dengan tekad baru dan dengan kekuatan segar, ditambah dengan alam-fikiran yang lebih dewasa karena telah mengunyah-merenungkan segala pengalaman-pengalaman yang di belakang kita, dan mengunyah-merenungkan segala jurusan yang harus kita tempuh, kita kini memasuki tahun ke XX daripada Kemerdekaan kita. Pesanku kepadamu ialah, sebagai telah kupesankan kepadamu dahulu: “Mengalirlah, hai sungai Revolusi Indonesia, mengalirlah ke Laut, janganlah mandek, sebab de­ngan mengalir ke Laut itu, kamu setia kepada sumbermu!”
      Jelasnya sekarang pesanku itu ialah: mengalirlah, hai sungai Revolusi Indonesia, mengalirlah dengan kekuatannya romantikmu dan ketangkasannya dinamikmu ke arah jurusan yang dijelmakan oleh dialektik Revolusi, mengalirlah jangan mandek, sebab dengan mengalir ke arah jurusan yang dijelmakan oleh dialektikmu itu, maka engkau setia kepada Amanat, yang Penderitaan Rakyat telah berikan kepadamu!
      Bagi saya sendiri, – tiap-tiap kali sesudah saya pada 17 Agustus membacakan Amanat kepada Rakyat, sesudah saya masuk kembali ke Istana Merdeka, saya selalu duduk termenung beberapa menit, – pertama untuk menyatakan syukurku kepada Tuhan, kedua untuk menikmati kekagumanku atas Bangsaku Indonesia. Engkau Bangsaku Indonesia, engkau, yang sedang berrevolusi dalam tubuh bangsa sendiri, dan engkau pula, yang sedang berrevolusi untuk mengubah keadaan seluruh ummat manusia! Allahu Akbar, – alangkah uletmu, alangkah tinggi daya-tahanmu! Alangkah tegap-tegas derap-langkahmu! Dengan Rakyat seperti engkau itu aku bisa de­ngungkan ke seluruh muka bumi pekik-perjuangan kita yang berbunyi “Kemerdekaan – Sosialisme – Dunia Baru”, dan aku bisa gelèdèkkan dalam telinganya semua imperialis di muka bumi: “ini dadaku, mana dadamu!” Dan aku bisa ulangi apa yang pernah kukatakan di luar negeri: “The Indonesian People can take everything for the sake of Revolution”. Revolusi Indonesia bisa mengganyang segala-segala apa saja yang ditimpakan kepadanya!
      Saudara-saudara sering memberikan gelar-keagungan kepadaku, – gelar ini gelar itu –, bahkan mengangkat aku sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Sebaliknya, aku mengucap syukur kepada Tuhan, bahwa aku ditunjuk untuk memimpin perjuangannya Bangsa Indonesia ini, – suatu Bangsa yang jiwanya Jiwa Besar, suatu Bangsa yang ulet laksana baja, suatu Bangsa yang mempunyai daya-tahan (incasseringsvermogen) yang luar biasa, suatu Bangsa yang dapat bersikap ramah-tamah-lemah-lembut, tetapi juga kalau disakiti atau diserang dapat “mengamuk” laksana Bantèng! Tiap-tiap 17 Agustus kekagumanku kepadamu selalu makin bertambah, tiap-tiap 17 Agustus aku merasa melihat bahwa Revolusi Indonesia memang satu Revolusi Maha Besar yang mengejar satu Idée, – Idee Besar, ya’ni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia, dan Amanat Penderitaan Rakyat di seluruh muka bumi. Dan tiap-tiap 17 Agustus aku makin teguh keyakinanku: Revolusi Indonesia adalah Revolusi tanpa-mati, Revolusi Indonesia pasti akan menang!
      Dengan Rakyat seperti Rakyat Indonesia ini, aku berani meningkatkan Revolusi Indonesia itu menjadi satu Revolusi yang benar-benar multicomplex, aku berani memimpinnya, aku berani men-senapatiinya, karena aku merasa mampu untuk de­ngan ridlo Tuhan meningkatkan segala tenaganya, meningkatkan segala fikirannya, menggegap-gempitakan segala romantik dan dinamiknya, mendentam-dentamkan segala hantaman-hantamannya, menggelegarkan segala pembantingan tulangnya, mengangkasakan segala daya kreasinya, menempa-menggemblèng segala otot-kawat-balung-wesinya!
      Sungguh: Kamu bukan bangsa cacing, kamu adalah Bangsa berkepribadian Bantèng!
Hayo, maju terus! Jebol terus!
Tanam terus! Vivere pericoloso!
Ever onward, never retreat!
Kita pasti menang!



__________

**    Amanat Presiden Sukarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1964 di Jakarta. (Ejaan disesuaikan dengan EYD, isinya sepenuhnya tetap sama – mbah subowo bin sukaris, ed.)


related post