Satrio Piningit Uga Wangsit Siliwangi

Satrio Piningit Uga Wangsit Siliwangi


Prabu Siliwangi yang hidup pada abad keenambelas masehi (1500-an), penguasa tanah Pasundan, raja besar kerajaan Hindu Sunda-Galuh, Pakuan-Pajajaran meninggalkan wasiat berupa ramalan masa depan bagi rakyatnya. Di abad keenambelas masehi (1500-an) itu bangsa Eropa kulit putih sudah berhasil berlayar mencapai wilayah Nusantara. Perseteruan antara kerajaan Islam dengan bangsa Eropa itu menempatkan kerajaan Pajajaran yang Hindu dalam posisi sulit, alias dimusuhi keduabelah pihak yang berseteru, Prabu Siliwangi cukup bijak dalam memilih dengan memihak Portugis dalam menghadapi serbuan Demak-Banten. 
      Portugis yang tengah mencari pangkalan di Nusantara bagi armada lautnya menyambut uluran persahabatan Pajajaran, dan dengan modal pakta persahabatan yang telah diraih, maka Portugis pada 1527 berupaya mendaratkan armada lautnya lengkap di Sunda Kelapa. Sayang sekali armada tersebut ditimpa naas terkena bencana topan badai dahsyat tatkala tengah berlayar menuju Sunda Kelapa, sehingga porak-porandalah armada Portugis tersebut dan akhirnya gagal memenuhi janji persahabatan dengan kerajaan Pajajaran. Untuk selamanya armada laut Portugis tidak mau mendarat lagi di Sunda Kelapa karena tidak sudi mengulangi kegagalan pertama, selanjutnya Portugis mencari pelabuhan lain di wilayah Nusantara yang bersahabat atau kalau perlu dipaksa untuk menjadi sahabat dalam upaya armada Eropa Barat itu mendirikan pangkalan laut guna menguasai jalur laut menuju pulau rempah-rempah di kepulauan Maluku.
      Pajajaran sebuah negeri pedalaman yang sangat kuat pertahanannya sudah disadari oleh Mahapatih Gajahmada bahwa sangat sulit untuk menghadapi pasukan Pajajaran yang berjumlah besar hanya mengandalkan angkatan laut Majapahit. Diperkirakan akan memakan waktu dan biaya besar untuk mengerahkan pasukan Majapahit dalam jumlah besar melalui laut ditambah lagi dengan perjalanan darat yang makan waktu berhari-hari. Dan sebaliknya bagi Pajajaran yang tidak memiliki armada laut itu tentu tidak pernah terlintas untuk menyerang wilayah lain melalui laut. Satu-satunya pilihan bagi Pajajaran selalu memperkuat pasukan darat untuk persiapan menahan serbuan musuh. Strategi perang yang dijalankan oleh Prabu Siliwangi memang sesuai dengan geografis dan topografis tanah Pasundan yang bergunung dan sebagian besar terdiri dari dataran tinggi, berhawa sejuk, konon terkenal rakyatnya paling tampan dan cantik se-Asia Tenggara. Maka tidaklah mengherankan pilihan strategi paling jitu, dan paling tepat yang dilakukan oleh Majapahit dalam upaya melebarkan pengaruh politiknya di Jawa Barat ialah melalui jalan perkawinan kerajaan. Akan tetapi upaya itu gagal karena dalam tahap akhir pelaksanaan misi tersebut akibat terjadinya Perang Bubat yang menewaskan calon pengantin berikut keluarga kerajaan Pajajaran yang turut mengiringinya.
      Prabu Siliwangi yang memerintah Pajajaran setelah terjadinya perang Bubat, merasa sendiri dalam menghadapi serbuan kerajaan non-Hindu. Majapahit telah runtuh beberapa puluh tahun sebelum sang Prabu marak menduduki singgasana Pakuan Pajajaran. Dan dengan runtuhnya Majapahit maka sasaran tembak kerajaan Demak dan Banten mengarah tepat ke ibukota kerajaan Sunda-Galuh tersebut. Sebagai benteng terakhir kerajaan Hindu setelah Majapahit, sang Prabu sudah merasa bahwa takdir sejarah memihak yang baru dan memunahkan yang lama. Runtuhnya kerajaan Hindu digantikan oleh kerajaan Islam adalah atas kehendak sejarah.
      Prabu Siliwangi berjanji kelak di masa depan akan selalu hadir dalam bentuk "wewangian yang harum semerbak" guna melindungi rakyatnya tertentu yakni yang berhati baik. Keraton kerajaan Pakuan Pajajaran yang berlokasi dalam radius beberapa ratus meter dari prasasti Batutulis Bogor pada empat mata angin rakyat yang setia pada Prabu Siliwangi akan menyebarkan dirinya telah diberikan gambaran mengenai masa depan mereka.
      Dari arah utara keraton kelak digambarkan kedatangan para tamu dalam jumlah besar yang selalu merepotkan para penduduk. Di mulai dengan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang menempati istana Bogor, sampai dengan Presiden Sukarno yang mendirikan dua istana, Istana Cipanas dan Istana Bogor. Keduanya datang dari utara, Jakarta. Dan kini para penduduk Jakarta yang cukup mapan selalu mengarahkan kendaraan pribadinya berlibur ke Bogor-Puncak dan membikin jalanan macet pada hari libur, mereka itulah yang disebut oleh Prabu Siliwangi sebagai tamu yang cukup merepotkan penduduk setempat.
      Dari arah Timur keraton Batutulis itu pada masa pemerintahan Sultan Agung Mataram pada abad enambelas datang perintah bagi rakyat Pajajaran untuk mengerahkan pasukan guna menyerbu Batavia yang tengah diduduki oleh pasukan Belanda. Serbuan pasukan ditambah dengan membendung sungai Ciliwung yang dilakukan olah Dipati Ukur pimpinan pasukan Mataram wakil dari tanah Pasundan itu tidak berhasil mengusir Belanda.
      Ke arah Barat keraton Pajajaran para pengikut Prabu Siliwangi yang mengundurkan diri ke daerah Lebak itu merasa aman berkat kedisiplinan mereka menjaga mandala kerajaan. Mereka secara ketat tidak menggunakan api yang menimbulkan asap yang mudah dideteksi musuh dari jarak jauh. Suku Baduy dalam yang merupakan turunan langsung rakyat Pajajaran di masa Prabu Siliwangi hingga hari ini terus menunggu isyarat berupa teriakan minta tolong di tengah malam datang dari arah Gunung Halimun, sebagai pertanda datangnya sosok pemimpin bijak. Suku Baduy paling dalam melarang diri dalam menggunakan peralatan modern antara lain listrik, dan kendaraan bermotor, yang mereka anggap adalah api yang itu juga (bisa memberi petunjuk posisi mereka pada musuh).
      Ke arah Selatan tempat arah yang dipilih Prabu Siliwangi berikut rakyat yang mengikutinya memang sangat tepat dijadikan basis pertahanan sekaligus membaurkan diri dengan mendiami lembah, dan dataran tingginya. Basis ini memiliki modal utama hawa yang sejuk dan tanah yang sangat subur di masa sekitar tahun enampuluhan adalah basis Darul Islam-Tentara Islam Indonesia. Dan juga pimpinan tertinggi Partai Komunis Indonesia juga memanfaatkan wilayah tertentu di Jawa Barat untuk eksperimen rahasia sebagai daerah basis pertanian berupa sistem pertanian kolektif seperti di Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok.
      Di samping itu juga sejak tahun enampuluhan hingga awal milinneum ketiga wilayah yang bergunung dan subur itu telah menjadi basis rebutan bagi Negara Islam Indonesia, HTI, maupun aliran Ahmadiyah, dan yang lainnya. Di masa revolusi kemerdekaan Pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah jadi andalan kabinet Mohammad Hatta untuk menggempur pasukan komunis dan pasukan lainnya yang tidak setuju kebijakan pemerintah Soekarno-Hatta. Dalam konflik 1965 pasukan Siliwangi sebagian besar setia pada Bung Karno, di samping sebagian kecil yang mendukung Orde Baru Jenderal Soeharto. Semua itu terakumulasi di wilayah tanah Pasundan tidak mengherankan karena hutan-hutan dan alamnya relatif lebih terjaga dibandingkan di daerah lain di Pulau Jawa bagian Tengah dan Timur yang rusak parah.
      Juga dari arah Selatan itu menurut Prabu Siliwangi kelak akan datang dan asal Si Bocah Angon -- seorang penulis sejarah -- adalah si Satria Piningit atau Satrio Piningit yang mengetahui rahasia mengenai Ratu Adil. Si Bocah Angon yang rumahnya di ujung sungai, dan rumahnya berlantai tiga berpintu setinggi batu pada lantai kedua gemar memelihara tanaman dalam pot berupa pohon handeuleum yang berkhasiat menyembuhkan wasir, daunnya merah hati tua. Dan satu lagi pohon hanjuang, daunnya berwarna persis sama merah hati tua atau merah marun. Si bocah angon ini akan dijadikan sebagai tumbal, akan tetapi ia selalu berhasil meloloskan diri berjalan menuju ke arah barat dan menghilang bersama seorang lain berwajah penuh rambut, dan berpakaian serba hitam, dan yang pernah dipenjarakan oleh pemerintah karena dianggap sebagai pengacau keamanan. Mereka berdua yang bisa "melawan penguasa sambil tertawa" itulah yang sebenarnya Satria Piningit atau Satrio Piningit dan pendampingnya yang memegang rahasia mengenai Ratu Adil yang kelak muncul setelah timbulnya bencana alam berupa meletusnya tujuh gunung ditambah sebuah gunung lagi terdekat di arah sebelah selatan daripada keraton Prabu Siliwangi. Dengan kehadiran sang Ratu Adil, maka kejayaan Nusantara yang adil makmur sesuai keinginan dan ditunggu selama berabad-abad oleh rakyat jelata akan kesampaian. Demikian inti wasiat uga wangsit Siliwangi bagi segenap rakyat Pakuan Pajajaran khususnya dan umumnya bagi segenap rakyat Tanah Pasundan, Jawa Kulon.
      Bung Karno di akhir masa pemerintahannya memilih istana Bogor (tak jauh dari istana Pajajaran di sekitar Batutulis) dan sempat memberi wasiat beliau ingin dikebumikan di sekitar daerah Batutulis, Bogor, (di bawah pohon rindang dengan pemandangan lembah dan gunung nan indah) lebih memilih dirinya tenggelam daripada mengorbankan rakyatnya. Prabu Siliwangi yang dikebumikan di Rancamaya (dengan pemandangan lembah dan gunung nan indah) juga setali tiga uang lebih memilih dirinya tenggelam dengan alasan serupa. Sosok Bung Karno yang ibunya berasal dari pulau Dewata termaktub juga dalam uga wangsit Siliwangi. Dan tentu dengan sendirinya Bung Karno juga mengetahui hal demikian. Barangkali itu yang menjadi alasan beliau dalam membuktikan kebenaran uga wangsit Siliwangi maka memilih Batutulis sebagai tempat peristirahatan abadinya.