Pramoedya Larasati

Pramoedya Ananta Toer

Larasati


Dari Penerbit
Larasati, adalah sebuah roman revolusi dengan wanita sebagai tokoh utamanya. Kita cenderung mengkategorikan  karya fiksi ini sebagai sebuah “cerpen panjang”, a long short story – bentuk sastra di mana Pramoedya paling mencolok dikenal kekuatannya di tahun-tahun awal dia mulai tampil sebagai penulis (mis.: Perburuan, Keluarga Gerilya, dsb); sampai men­dadak pada awal 1980 sepulang dari tempat pembuangan Buru semua kita dibuat kaget: Pram yang selama itu dikenal sebagai cerpenis Indonesia pembawa kisah-kisah yang sarat keindahan dan kedalaman, rupanya juga seorang novelis besar yang tanpa ragu tegak sejajar dengan para penulis ternama di mana saja dunia.
    Hasta Mitra akan secepatnya memun­culkan kembali novel-novel adikarya yang tak terlupakan sepan­jang masa itu, karya-karya hasil selama penahanannya di Buru yang sebagian besar diberangus rejim Orde Baru, seperti: tetralogi Buru  Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca; Arus Balik, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Mata Pusaran dan Arok Dedes (bulan Januari '00 sudah beredar lebih dulu). Tiga buku di mana wanita menjadi tokoh utamanya: Larasati, Gadis Pantai dan Panggil Aku Kartini Saja  sengaja kita terbitkan sekaligus untuk menghormati hari Kartini yang jatuh pada bulan April ini. 
    Hasta Mitra dengan gembira mempersembahkan Larasati ini terutama pada generasi muda Indonesia yang di tahun- tahun akhir abad 20 tampil membe­rikan sumbangsih  sangat berarti bagi suatu perubahan sosial-politik negeri kita. Peranan mereka masih terus berlanjut sampai detik-detik kita memasuki milenium baru. Apa yang dikisahkan dalam Larasati adalah penampilan generasi muda juga, generasi 1945 yang memproklamirkan dan mempertahankan ke­mer­dekaan tanahair. Sepanjang sejarah kebangkitan nasional dan gerakan kemerdekaan, memang di tangan generasi muda terletak nasib negeri dan rakyat kita. Pramoedya tidak pernah bosan menekankan tentang tugas sejarah yang dipikul generasi muda itu. Namun dalam mengungkapkan gelora sejarah yang dijalani bangsa, Pramoedya selalu bersikap kritis dan seimbang – jauh daripada terpaku pada mitos sejarah. Oleh karena itu tidak meng­herankan mendengar dari Pramoedya sikap dan penilaian kritisnya tentang revolusi – positif dan negatif – termasuk di dalamnya peranan para pemuda dalam pentas sejarah semasanya, baik dalam karya-karya fiksi maupun non-fiksinya. 
    Sesudah tiga buku, Larasati, Gadis Pantai dan Panggil Aku Kartini Saja, Hasta Mitra dalam gelombang kedua akan segera memunculkan kembali karya-karya Pramoedya yang tidak henti-henti diminta oleh para pembaca, yaitu "tetra­logi Buru" Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, demikian pun Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I & II. Dalam gelombang ketiga kita harapkan memunculkan kembali Arus Balik dan karya-karya Pramoe­dya lain yang belum pernah dibukukan sebelum­nya tetapi pernah dimuat dalam suratkabar atau majalah.
    Wajar saja bila pembaca bertanya apakah larangan terhadap buku-buku yang judul-judulnya kita sebut di atas sudah dicabut oleh pemerintahan Gus Dur? Jawabnya jelas: Belum! Bagi kepentingan Indonesia, terutama untuk kebaikan Pemerin­tah sendiri – terutama bagi demokrasi!  –, kami hanya bisa mengharapkan larangan-larangan yang tak masuk akal itu segera dicabut, akan tetapi kami sendiri tidak akan menunggu birokrasi menyele­sai­kan urusan-urusan legal seperti itu.
   Seperti diketahui, hampir semua buku Pramoedya, terutama yang dia tulis di Buru, kami terbitkan semasa jendral Suharto sedang berjaya dan berkuasa penuh. Sebab itu tugas politik dan merupakan tugas kita sebagai warganegara. Kami tidak menunggu kebaikan hati penguasa, tidak berilusi kebebasan menulis dan menyatakan pendapat akan di­hadiahkan oleh rejim militeris kepada kepada Pramoedya, kepada Hasta Mitra, dan kepada Rakyat. Risiko untuk bersikap seperti itu memang berat – tidak henti-hentinya kami digebuk, hampir semua buku Pramoedya dilarang. Buku yang tidak dilarang – seperti Arus Balik misalnya – bisa beredar bukan karena diizinkan, tetapi belum sempat kejaksaan agung membikin keputusan larangannya.
    Dalam perjalanan keliling ke Amerika Serikat, Kanada dan negeri-negeri Eropa tahun lalu, penulis selalu men­jelaskan bahwa tekad untuk terus dan selalu terbit lagi – dan terbit lagi – walaupun pemberangusan berlangsung gencar tidak henti-hentinya, merupakan bentuk sumbangan penulis dan penerbitnya untuk ikut menegakkan demokrasi dan hak-hak azasi manusia. Nilai-nilai tertinggi martabat manusia tersebut – di negeri yang dikuasai rejim militeris – adalah sesuatu yang harus direbut dan ditegakkan sendiri. Dalam hubungan itu penulis dan penerbit menyatakan penghargaan dan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam masa-masa sulit itu – secara khusus ingin kami sebut di sini para mahasiswa, para pekerja LSM-LSM, para ex-tapol dan toko-toko buku kecil yang dengan segala risiko telah ikut menyebar-luaskan buku-buku Pramoedya yang terlarang itu. Tanpa sikap yang berkukuh untuk tetap terbit, dunia tidak akan berkesempatan membaca karya-karya Pramoe­dya, bahkan lebih parah lagi generasi muda kita sendiri tidak akan punya akses terhadap aset nasional yang tak ternilai harganya itu.  
    Pengalaman Pramoedya dan Hasta Mitra dalam periode kekuasaan militerisme Orde Baru akan selamanya ter­catat sebagai bagian dari sejarah politik Indonesia, sejarah kehidupan demokrasi dan sejarah dunia pener­bitan Indonesia – membanggakan dan memalukan sekaligus sebagai­mana juga tercermin dalam roman revolusi Larasati ini.
    Hasta Mitra akan berusaha optimal untuk terus me­langkah maju. Simpati dan dukungan pembaca tetap kami harapkan untuk mewujudkan cita-cita yang sejak Orde Baru masih berkuasa sudah kita ancang-ancang, yaitu: mener­bitkan lengkap semua karya pilihan Pramoedya Ananta Toer, mulai dari yang paling baru, yang diberangus, sampai kepada karya-karya awal Pramoedya memulai kepengarang­annya. Ini berarti bekerja mengabadikan suatu aset nasional sastra, budaya dan nilai-nilai tertinggi martabat manusia yang dimiliki dan dipersem­bahkan oleh seorang penulis, pujangga dan warganegara Indonesia.
    Sebagai penutup, penulis dan penerbit ingin meng­ucapkan terimakasih secara khusus kepada dua orang, yaitu Alfred D. Ticoalu, maha­siswa Indonesia di Buffalo-Amerika Serikat dan Ben Abel yang menangani proyek pendokumen­tasian "Lentera/Bintang Timur" di Cornell University, Ithaca. Usaha mereka telah memungkinkan Larasati akhirnya juga dapat dibaca oleh kita semua.

Joesoef Isak, ed.

****

Larasati – sebuah roman revolusi semasa perjuangan bersen­jata 1945-50. Kisah tentang pemuda-pemuda Indonesia yang rela membaktikan jiwa raga demi proklamasi kemer­de­kaan, kisah-kisah tentang para pahlawan sejati dan pah­la­wan munafik, pertarungan di daerah republik dan daerah pen­du­dukan Belanda – antara yang setia dan yang menye­berang, antara uang ORI dan uang Nica, dengan fokus wanita sebagai tokoh utama – bintang film tenar yang dengan caranya sendiri memberikan diri dan segalanya untuk kemenangan revolusi. Potret revolusi semasa yang meng­hidupkan kembali sepenggal sejarah di tahun-tahun awal proklamasi kemerdekaan, sebuah potret jujur gaya Pramoedya tentang kebesaran dan kekerdilan, kekuatan dan kelemahan revolusi. Sebuah fiksi yang menghanyutkan kita seakan menghayati kembali suatu dokumentasi non-fiksi Indonesia semasa romantika pertempuran berkecamuk di "jaman bersiap!"

****

Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 2:43 AM