Abad Intervensi adalah Abad Intelligence, abad dajjal raksasa!

 Abad Intervensi adalah Abad Intelligence, abad dajjal raksasa!   

Bung Karno pernah berkata: “Abad ke-20 adalah Abad Intervensi!”      
Kita semua tahu apa yang dimaksudkan oleh Bung Karno: negeri-negeri adikuasa -– terutama Amerika Serikat bersama negeri-negeri Barat pendukung­nya -– dengan terbuka dan lebih-lebih lagi secara gelap mengaduk-aduk negeri orang lain dengan sasaran utama negeri-negeri Dunia Ketiga, khususnya Indonesia-nya Sukarno yang dianggap paling menghambat garis politik “dunia bebas”. De­ngan gemilang manuver Amerika itu berhasil, maka berguguranlah satu demi satu, Lumumba, Modibo Keita, Nkrumah, Sihanouk (berhasil tampil kembali) dan Sukarno, pemimpin Dunia Ketiga terpenting yang dianggap sebagai bahaya paling potensial bagi “dunia bebas”.
Almarhum George Kahin, indonesianist Amerika paling terkemuka dari Cornell University bersama istrinya, se­perempat abad se­telah wafatnya Bung Karno memberikan bukti dan kesaksian dalam bukunya “Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia” (New York 1995). Lewat bukunya, Kahin dengan gamblang menguraikan betapa kegiatan subversif menjadi politik resmi pemerintah Amerika Serikat terhadap Indonesia cq Sukarno. Masih banyak pakar politik asing lain yang menulis mengenai kelakuan CIA di jagad raya ini, seperti misal­nya yang dibèbèrkan oleh Noam Chomsky, Edward S. Herman, William Blum, Philip Agee dan lain-lain. Khusus tentang Meletusnya Kudeta G30S yang memang dirancang untuk gagal, dapat kita ikuti Ruth McVey, Ben Anderson, Wertheim, Oltmans, Peter Dale Scott -– tetapi pada akhirnya yang punya gawè sendiri meng­ungkap tabir ber­bagai manuvernya. Dari apa yang resmi di­umum­kan sebagai declassified CIA documents dalam terbitan ini, sudah cukup terang bagi kita untuk menelusuri benang-merahnya guna mengetahui kisah peng­guling­an Sukarno dan kudeta G30S-1965 yang ber­lumur­an darah itu, walaupun boleh kita pasti­kan bahwa banyak informasi pen­ting yang masih disembunyikan -– sengaja masih tetap ditu­tup agar tidak membongkar rahasia intern, melindungi nama-nama tertentu dan menyembunyikan kerja kasak-kusuk lembaga intel itu dalam menggu­lingkan Sukarno dan PKI.
 Mengkaji lebih lanjut dan mendalami essensi formula Bung Karno tentang “Abad Intervensi!”, maka tepat dan secara hakiki benar sekali untuk menama­kan­ juga abad-20 sebagai “Abad Intel”. Abad-20 adalah abad puncak kecang­gih­an intelligence yang berkuasa seantero jagad, mendominasi hajat-hidup manusia di bumi dan langit. Kegiatan intelligence memang menjadi bagian sangat penting bagi pihak Sekutu berikut Uni Sovyet untuk memenangkan Perang Dunia II dalam menaklukkan kubu fasisme. Begitu Perang Dunia usai, langsung serta-merta pecah Perang Di­ngin, perang tanpa senjata dan tanpa ledak­an bom atom, tetapi perang dingin ada­lah tetap perang yang tidak kurang parah dan tidak kurang-kurangnya memakan korban ketimbang perang panas. Lagi pula dia berlangsung tanpa batas waktu seakan permanen. Bedanya ada­lah bahwa dalam pengelompokan persete­ruan dan persekutuannya sudah terjadi pergèsèran -– bukan lagi kekuatan demokrasi melawan fasisme -– tetapi kubu kapi­talis berhadapan de­ngan kubu komunis. Kedua pihak -– terbuka atau tertutup, bersih atau kotor -– menghalalkan segala cara guna membendung dan kalau dapat membekuk batang leher lawan masing-masing. Indonesia dan segenap rakyatnya bisa banyak bercerita tentang hal itu, karena kitalah yang pa­ling tahu dan pa­ling merasakan hasil produk-produk Perang Dingin sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 sampai kemudian memuncak di tahun 1965, dan masih saja te­rus bisa dirasakan sampai ke detik ini.
Kita semua lihat bagaimana Amerika berhasil membendung komunisme di Eropa Barat seusai Perang Dunia II -– di sana mereka mengguyur dollar secara masif lewat Mashall Plan-nya sehingga mereka sukses dalam misinya itu. Di Dunia Ketiga, Amerika mene­mukan cara yang jauh lebih murah, dollar cukup ditètèskan kepada sekutu-sekutu lokal­nya. Mereka menggunakan militer dan jenderal-jenderal lokal –- “our local army friends” –- sebagai sekutu terpercaya untuk membendung komunisme. Kecanggih­an intelligence membikin orang-orang sipil dan militer yang digunakan tidak merasa digunakan, atau sebalik­nya mereka memang sepe­nuh­nya sadar digunakan, bahkan rela dan mau melayani induk-semang karena merasa sepaham dalam benak dan dalam hati. Di sini kita lihat bahwa bukan saja di bidang ekonomi dan kapi­talisme berlangsung globalisme, tetapi juga di bidang ke-intel-an, intelligence.
Kita masih ingat betul produk-produk atau paradigma Perang Dingin, misal­nya doktrin Foster Dulles yang dengan gampang menarik garis kawan dan lawan : yang tidak memihak kepadanya semua adalah musuh! –- Titik. Bagi gembong Perang Di­ngin ini yang katanya mau membela demokrasi dan “dunia-bebas” tidak masuk dalam otak­nya bahwa ada orang atau negeri yang mau mengambil sikap mandiri, bebas tidak memilih pihak-pihak yang kese­tanan bersaing atau berseteru. Hak demokratis orang lain tidak dia akui, demokrasi rupanya hanya berlaku bagi diri­nya saja. Paradigma Perang Di­ngin lain ada­lah teori-domino McNamara. Belakangan dia sendiri mengaku kekeliruannya, sebab ternyata tidak ada “kartu-kartu domino” di Asia Tenggara yang satu-demi-satu jatuh ke tangan komunis. Tetapi teori omong-kosong yang riuh di­nyanyikan oleh paduan-suara “dunia-bebas” penentang komunisme, sempat memakan jutaan korban dan menyebar penderitaan pada rakyat-rakyat di Asia Tenggara, termasuk putera-putera Amerika sendiri yang dikirim sebagai serdadu ke Vietnam. Selain rakyat-rakyat Vietnam, Kamboja, Laos yang menderita, terlebih-lebih Indonesia dan rakyatnya berduka kehilangan Pemim­pin Besarnya, Bung Karno. Jelas sekali paradigma Perang Dingin coûte que coûte mensyaratkan Sukarno harus dibungkam sebelum mereka mampu menghancurkan partai komunis yang besar di Indo­nesia. Itulah sebabnya kita menganggap bodoh, naif, bahkan korup, bila para pakar politik, ahli sejarah atau wartawan yang menulis tentang peristiwa G30S dan jatuhnya Sukarno, tidak jeli menangkap bahkan mengkaji peristiwa itu lepas sama sekali dari konteks politik-semasa dan latar-belakang Pe­rang Dingin yang de­ngan kecang­gih­an intelligence-nya telah ikut meng­ambil peran sangat menentukan dalam pembantaian masal tahun-tahun 65-66. Peristiwa G30S ke mana dan bagai­mana pun orang coba membahasnya, yang pasti kejadian itu adalah suatu produk canggih intelligence!
Sudah waktunya kita tanggalkan sikap naif dalam menilai kerja orang-­orang dan lembaga intelijen –- padahal tanpa memerlukan kemampuan daya analitis yang tajam kita sudah bisa melihat betapa kekuatan intel telah berkembang menjadi dajjal raksasa yang perlu diwaspadai. Lembaga intelligence dalam abad-20 sudah menjadi kekuasaan di dalam kekuasaan, negara dalam negara, maha-kuasa dan berada di luar kontrol administrasi yang resmi. Rakyat Amerika pun sampai sekarang masih bertanya-tanya tanpa menemukan jawaban tentang siapa sebenarnya berada di balik pembunuhan Presi­den John Kennedy. Kita di Indonesia pun bertanya siapa berada di balik penggu­lingan Presiden Sukarno? Samar-samar kita lihat sambung-menyambung jelujur benang-me­rah oleh tangan­-tangan kotor yang mengatur skenario pentas dunia ini. Rupanya dua pemimpin visioner itu – masing­-masing de­ngan wawasan The New Frontier dan The New Emerging Forces –- direncanakan oleh kekuatan intel mutlak harus turun panggung. Rencana Kennedy yang dalam pertemuan terakhir di New York menilai Sukarno positif bukan komunis dan berjanji akan datang ke Jakarta untuk membantu penyelesaian “Konfrontasi Malaysia”, sebagaimana dia sebelumnya juga membantu penyelesaian kon­flik “Konfrontasi Irian Barat”, rupanya tidak bisa dibenarkan oleh lembaga intelijen yang maha-kuasa di negerinya sendiri. Kita lihat bahwa janji pertemuan itu tidak pernah kesam­paian -– karena .... Irian Barat terlalu kaya dalam segala-galanya! Kita mungkin heran bertanya: apa urusannya dengan Irian Barat? Walaupun kon­flik Konfrontasi Irian Barat sudah bisa di­selesai­kan, namun emas, nikkel dan tambang mineral lain yang melimpah-ruah itu tidak boleh jatuh ke tangan Sukarno yang komunis -– seorang kandidat “sahabat sejati dunia-bebas” perlu disiapkan .... Kelanjutan skenario intelijen ini kemudian bisa kita ikuti lewat proses meletusnya kudeta 1965 dan kisah-kisah yang ramai tentang Freeport di Irian Jaya sampai sekarang ini! Masih juga naif-kah kita meng-underestimate kekuasa­an dan kemampuan kerja intelijen? CIA mau pun mitra lokalnya –- induk-semang maupun para abdinya?
Sebagaimana kapitalisme atau globalisme ekonomi, juga mengenai kerja intel ini kita harus bicara tentang realitas globalisme intelligence, realitas mata-rantai inter­aksi, koordinasi dan koneksitas induk-semang dan para abdi. Abdi-abdi lokal ini pun secara naif jangan dianggap enteng. Pada saat Bill Clinton diangkat pertama kali menjadi Presiden, dia berbicara tentang kebang­kit­an kembali demokrasi, The Revival of Democracy -– pada saat Suharto menjadi Presiden memimpin rejim Orde Barunya dia dengan sepenuh-penuh potensi­nya mengge­rakkan mesin politik dan militernya untuk melaksanakan The Revival of McCarthyism. Seluruh rakyat Indonesia menyaksikan dan merasakan betapa absurd dan sekaligus kejamnya tindakan politik Suharto itu. Apa yang dilakukan jenderal Orde Baru itu tidak lain adalah melaksana­kan dalam optima forma primbon atau essensi paradigma Perang Dingin dari sang induk-semang. Demokrasi dikerangkeng, pluralisme diberangus, kaum revolusioner Indonesia dibantai dan dikejar-kejar, ya komunis, ya nasionalis, ya agamis yang progresif; semua itu demi dan atas-nama pembenaran menum­pas komunisme.
Apakah semua itu sudah berakhir setelah lèngsèrnya Suharto di era reformasi ini? Sama sekali tidak, karena di dunia yang di­pimpin Paman Sam, para­digma Perang Dingin sama sekali belum berakhir. Essensinya tetap valid dan berjalan terus, hanya manifestasi verbalnya muncul dalam berbagai varian baru. Presiden Bush baru-baru ini setelah menanda-tangani perjanjian pengu­rangan senjata nuklir dengan Presiden Rusia, mendeklarasikan bahwa “Era Perang Dingin Sudah Berakhir”. Itu cuma retorika! –- yang benar adalah bahwa hanya satu bagian dari perangkat-keras Perang Dingin dikurangi ­–- pe­rangkat-lunaknya, software-nya, state of mind, wawasan atau paradigma Pe­rang Dingin tetap utuh, tetap jalan terus dan tetap berpraktek. Realitas ini terrefleksi sepenuhnya di pentas politik Indonesia dalam masa yang dikatakan “Era Reformasi” sekarang ini. Tidak lain karena segenap permesinan, aparat, sampai ke sel-sel paradigma Suharto sebagai pengemban dan pelaksana paradigma Perang Dingin masih utuh kukuh dan berfungsi dalam seluruh strata kehidup­an nasional kita. Selama paradigma Perang Dingin yang absurd – seper­ti teori domino-nya McNamara – belum substantif berubah, selama itu dunia untuk sementara belum bisa diharapkan akan damai; dengan sendirinya juga Indonesia masih jauh dari segala harap­an akan kedamaian, perdamaian, rekonsili­asi atau bebas dari segala bentuk ke­kerasan.
Akhirnya ingin kita tegaskan di sini bahwa penerbitan buku DOKUMEN CIA dengan Kata Pengantarnya ini sama sekali tidak bermaksud membangkitkan amarah apalagi kebencian rakyat Indonesia kepada Dunia Barat atau Amerika Serikat. Dalam hal ini kita sepenuhnya teguh dibimbing oleh prinsip-prinsip ajar­an Bung Karno, antara lain tentang sintesa Pancasila, tentang The New Emer­ging Forces kontra The Old Established Forces. Kita sepenuhnya sadar bahwa di Dunia Barat dan di Amerika Serikat terdapat cukup banyak unsur-unsur The New Emerging Forces dalam semua tingkat kehidupan mereka, sahabat-sahabat sejati seperasaian -– geestverwanten, kindred spirit dan political supporters -– yang sama-sama mendambakan persahabatan dan perdamai­an di bumi ini. Sebaliknya kita juga sadar, bahwa kekuatan besar The Old Established Forces masih bercokol dan mengacau dalam rumah-tangga kita sendiri.
Itulah sebabnya globalisme ekonomi/politik dan globalisme intelligence yang berwatak destruktif bagi kemanusiaan, keadilan yang beradab dan perdamaian bumi manusia, mutlak juga harus di­hadapi dengan kerja-sama dan penggalangan globalisme soli­daritas The New Emerging Forces sedunia!
                Joesoef Isak, ed.
                                                                                    Jakarta, Agustus 2002

 ****
Catatan Tambahan
Kumpulan data intelijen otentik yang kita bukukan sebagai “Dokumen CIA”  ini resmi dibuka kepada publik oleh State Department Amerika Serikat, bahkan juga sudah di­sebar-luaskan lewat internet, tetapi kemudian ditarik kembali dari per­edaran –- kabarnya dilakukan atas pertimbangan menghormati terpilihnya Megawati sebagai Presiden R.I. Alas­an ini sungguh absurd, basa-basi munafik, karena berkat teknologi internet kita tahu bahwa jutaan orang di seluruh dunia sudah membacanya bahkan memiliki dokumen-dokumen ini. Oleh karena itu, walaupun resmi sudah ditarik kembali dari per­edaran, kita tetap menerbitkannya. Sebagai orang Indonesia kita merasa punya hak moral dan segala hak yang sah untuk mengumumkan dokumen-dokumen ini, pada saat kita tahu bahwa ada orang lain bebas berbica­ra, bebas menggarap dan bebas seenaknya mengintervensi rumah-tangga kita. Seluruh rakyat Indonesia patut dan berhak mengetahui hal ini.
Hasta Mitra mengucapkan terimakasih kepada bpk. Soetopo Srisadono yang lewat bpk. Partono Karnen S.H. (alm.) telah membantu mengoreksi dengan teliti isi terjemahan cetakan pertama kumpulan dokumen ini. Kekurangan dan kesalah-an yang masih ada, tetap menjadi tanggung-jawab redaksi Hasta Mitra. – ed.
Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 7:35 AM