Buku Ruth Havelaar "Selamat Tinggal Indonesia"

Buku Ruth Havelaar "Selamat Tinggal Indonesia"

Kata Penutup
Suatu hari dalam tahun 1985 ia selesai dengan cerita pendeknya yang pertama: Despised Delight. Sementara membacanya, hatiku terharu dan sekaligus terguncang. Sudah sekitar lima tahun kami hidup berbagi nasib bersama, tidak pernah aku menyadari perihal itu. Bahwa se­sungguhnya ia pantas disebut sebagai pengarang. Walau sebelumnya ia pun memang pernah menerbitkan dua karangannya, yaitu De glooiende buik (Amsterdam, 1979) dan Nasi met Soesa (Jakarta 1985; Amsterdam 1986).
    Dalam pada itu suaminya, tanpa satu buku pun pernah ditulisnya, dikenal sementara orang sebagai penulis. Sepatah sebutan yang dengan sendiri membawa segala akibat-akibat yang bisa timbul dari sebutan itu. Yang paling buruk di antara segala akibat sebutan, yang ditopang di atas beberapa potong puisi, cerita pendek, dan esai yang terbit di sana-sini, ia harus dipenjarakan dan bahkan disingkirkan ke pulau pengasingan Buru. Anehnya lagi, justru karena itulah pula, maka sebutan pengarang yang sudah ganjil baginya itu, seperti mendapat pondasi pengu­kuhnya! Barangkali sekaligus inilah gambar ironi hidup, inti pesan yang dibisikkan di dalam kumpulan cerita-cerita pribadi Ruth Havelaar ini. Bahwa manusia hidup dan dihidupi oleh predikat-predikat, dan bukan oleh denyut jantungnya sendiri.
      Tentu sehubungan dengan itu juga jika di tengah masyarakat Indonesia sekarang, yang konon berpancasila, ada segolongan orang-orang yang dipandang seakan-akan berkasta paria. Mereka orang-orang yang turun-temurun dipandang sebagai bercemar politik sekaligus berpolitik cemar. Alasannya? Karena mereka bersanak-saudara de­ngan orang-orang yang, pada akhir tahun 60-an dan awal 70-an, oleh penguasa militer mendapat cap: ìterlibat kudeta G30S/PKIî tahun 1965. Betapakah akan jadinya orang-orang, dan keturunan mereka, yang mendapat cap hitam sepanjang sejarah itu? Mendengar dan melihat itu Ruth Havelaar tidak bisa tutup mulut.
     "I cannot remain silent about my experiences," tulisnya pada sahabat Australia. "It is so maddening that the military pervades the homes and minds of thousands families like our own, disturbing normal family life."1
      Akhirnya ia mempercayai saranku. Tapi kerendahan hatinya menuntut pengorbanan dirinya. Ia tetap bimbang. Benarkah Despised Delight sebuah cerita yang patut dibaca umum? Padahal ia sendiri sesungguhnya yang telah menjawab pertanyaan itu. Karena justru dialah yang telah mulai berbicara, tentang masalah yang telah sekian lama ditabukan itu. Ya, bukankah paria memang di luar caturwarna yang pantang disebut-sebut?

Seorang perempuan hendak memulai hidup baru, merintis jalan ke hari depan. Sesungguhnya ia, perempuan tokoh kisah Despised Delight ini, mempunyai cukup harapan bagi hari depan anaknya yang cerah. Tetapi sementara itu ia pun merasa masygul, jika membayangkan bencana yang setiap saat bisa mengancam hari depan angan-angannya itu.
      Gaya berceritanya lugas, tanpa basa-basi dan tanpa pretensi. Kisah pendek ini terbit pertama kali tahun 1988, oleh majalah berbahasa Inggris di Australia, Inside Indonesia. Kisahnya bukan sekedar karangan rekaan, melainkan sebuah laporan kejadian tentang akibat-akibat buruk, yang ditimpakan oleh kesewenang-wenangan pemerintah terhadap warga bangsanya sendiri. Sedangkan penulisnya pun bukan sekedar seorang penonton, yang berdiri di luar pentas kejadian. Ia sendiri salah seorang di antara mereka yang di-paria-kan, korban-korban yang tak terbilang jumlahnya itu.
       Penulis kisah ini Ruth Havelaar, nama pena Jitske Mulder, istri seorang eks-tapol. Ia seorang Belanda, baik menurut darah maupun menilik paspor. Karena itu, jika akal-sehat yang bicara, sesungguhnya tidak perlu ia harus termasuk salah seorang dari para paria masyarakat Indonesia. Tetapi, bukankah menjadi istri orang terlibat berarti sengaja melibatkan diri kepadanya? Memang, untuk menjadi istri paria, sesungguhnya keberanian diperlukan. Keberanian menetapkan pilihan. Pilihan ambil pihak.

Jitske lahir dan dibesarkan di Baambrugge, sebuah desa Kristen Calvijn tradisional, di provinsi Utrecht. Ia diasuh dalam buaian ranjang Tuhan Allah dan Alkitabnya. Dalam tahun-tahun terakhir umurnya banyak pahit getir hidup harus ditelannya, tetapi bersamaan dengan itu juga tidak sedikit butir-butir bernas bisa dicernanya. Di depan ma­tanya Gereja telah membikin orang-orang Alkitab yang hangat dan hidup menjadi tandus dan jauh. Namun seorang di antara mereka hadir di depannya sebagai wujud alter-ego pribadi. Dialah Ruth2. Perempuan yang telah berani menetapkan pilihan, termasuk pilihan menyerahkan segala-gala yang ada pada dirinya kepada Yang Asing.
     Untuk Ruth Havelaar Yang Asing itulah Indonesia.
     Tanahairnya, Nederland, ditinggalkan. Ia berangkat menuju Indonesia, untuk membangun hidup baru dan tinggal selama-lamanya di sana. Tidak lebih dari 12 kilogram bagasi yang dibawanya, tetapi dengan tekad dan keberanian yang tak tertakar. Ia kawin dengan seorang laki-laki eks-tapol di Jakarta. Mula-mula mereka tinggal di sebuah kampung di ibukota itu, dan belakangan pindah ke Bogor. Sekitar setahun sesudah perkawinan itu, lahirlah anak perempuan mereka. Cintanya pada anaknya inilah, di samping pada suaminya, sumber pertama inspirasi seluruh karangan yang dihimpun dalam buku ini.
      Ketika, oleh desakan banyak teman, ia akhirnya mau mengumumkan Despised Delight yang ditulisnya itu, seketika timbullah satu soal. Di bawah nama siapa karangan itu hendak beredar? Walau karangan itu akan terbit dalam sebuah majalah berbahasa Inggris pun, apakah penggunaan nama sendiri tidak akan membawa akibat bagi diri sendiri dan keluarganya? Bukankah tidak mustahil bahwa karenanya Sang Paria, suaminya, bisa kembali meringkuk di penjara? Dan bagaimana pula dia sendiri, dan anak kekasih itu? Benar ia masih tetap berkewarganegaraan Belanda. Tetapi perihalnya yang demikian itu, agaknya tidak akan banyak bisa membantunya, manakala suatu hari ìkesulitan politikî datang menerpanya. Politik ìhubungan baikî Belanda terhadap Indonesia niscayalah tidak akan dipertaruhkan untuk nasib satu keluarga Paria, bukan?
      Dengan nama samaran? Apakah nama samaran tempat berlindung yang sama sekali aman? Rasanya juga tidak. Despised Delight, walau ditulis untuk anak yang belum 5 tahun, bukanlah semacam dongeng petualangan ajaib atau sebuah nyanyian ninabobok. Lagi pula di sebuah kota kecil seperti Bogor, bagaimana bisa bersembunyi? Siapa yang tidak mengenalinya? Seorang perempuan Belanda, kawin dengan laki-laki pribumi eks-tapol, yang setiap bulan harus wajib lapor itu? Lebih dari itu mereka juga tidak termasuk golongan keluarga "orang-orang gedong­an". Mereka tinggal di sebuah kampung di belakang pabrik ban "Good Year", di mana pergaulan bertetangga lebih didekatkan melalui lembaga-lembaga yang dinamakan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW). Lembaga RT-RW, penerjemahan lembaga Tonarigumi dari jaman fasisme Jepang itu, sesungguhnya memang lebih berfungsi sarana kontrol ketimbang sarana administrasi. Tonarigumi-RT-RW ialah mata-mata dan telinga-telinga kekuasaan.
     Apakah Despised Delight harus disimpan dilaci selama-lamanya sampai hancur sendiri? Tidak. Barangsiapa bersampan-sampan di teluk sarang badai dan batu-batu karang pun mengancam, tetapi tidak berani mengayuh dayung, sesungguhnya ia tinggal menunggu saat tengge­lam saja. Jer basuki mawa beya, pepatah Jawa mengajar. Tidak ada sesuatu yang bisa diperoleh cuma-cuma dari hidup ini. Maka dengan segala resiko diumumkanlah Despised Delight, di bawah nama pena: Ruth Havelaar.
      Ruth oleh karena, seperti dikatakannya sendiri, itulah pribadi identifikasi dirinya: Perempuan Alkitab yang telah berani mengambil pilihan. Havelaar oleh karena, seperti tokoh kisah terkenal Eduard Douwes Dekker juga, ia ingin menyuarakan para Paria yang tertindas tapi tak boleh mengaduh sekalipun.
     Tujuannya tidak lain kecuali agar harkat kemanusiaan para Paria itu diakui seperti adanya. Baginya bukanlah kekuasaan tetapi kemandirian, itulah yang soal. Karena, bukankah kekuasaan selalu cenderung memborgol kemandirian, sebaliknya kemandirian selalu memberontak terhadap kekuasaan? Bagi Jitske Mulder nama Ruth Havelaar sama sekali bukanlah bangunan baja perlindungan, melainkan sebuah semboyan yang dengan sadar dikibarkan pada panji-panjinya.

Pada hari-hari pertama kami bertemu, berkisahlah ia antara lain tentang cerita perjalanan darat yang ditempuhnya, dari Sumatra ke Jawa. Ketika aku bertanya cenderung memrotes, mengapa cerita itu tidak ditulisnya, ia menja­wab: "Akh, aku bukan penulis. Lagi pula apa artinya untuk masyarakat umum?"
    Suatu hari di Jakarta Selatan, di rumah Direktur "Erasmus Huis" ketika itu, kami bertemu Margaretha Ferguson, Han Resink, dan Dick Hartoko. Ketika kisah perjalanan darat Jawa-Sumatra itu ikut muncul dalam pembicaraan, mereka pun bertanya setengah minta seperti halnya saya dulu. Tidak lama sesudah itu, ia memang sibuk menuturkan kisah perjalanannya pada mesin tulis. Selesai versi pertama. Tetapi segera disimpannya di laci. Tiba-tiba terjadilah peristiwa yang menyentuh kepekaan naluri kemandiriannya.
     Dalam tahun 1983 dilancarkanlah gerakan yang banyak dikicaukan: "Abri Masuk Desa". Semboyan yang dide­ngung-dengungkan riuh-rendah ini, ternyata memang bukan sekedar semboyan kosong. Menurut bunyi kata-kata­nya semboyan itu berarti, Abri datang di desa-desa dengan tugas memimpin pelaksanaan proyek-proyek pembangun­an, sesuai dengan yang telah ditetapkan pemerintah. Tetapi kenyataan praktiknya berarti, Abri bersibuk dengan urusan-urusan yang non-militer, demi mewujudkan doktrin pemerintah: "Dwifungsi Abri". Fungsi kemiliteran dan fungsi kesipilan. Dengan begitu maka kegiatan pengawasan militer atas sipil terpelihara, dan malahan terus-menerus semakin dipertajam.
    "Jika hari ini masuk desa", kataku suatu ketika, "Tinggal satu langkah lagi, besok mereka akan masuk dapur dan naik ke tempat tidur kita." Mendengar kata-kataku ia cepat-cepat membenarkan: "Tinggal satu langkah? Tidak! Sekarang ini pun, tanpa kita undang, mereka sudah duduk di ruang tamu kita."
      Barangkali ia teringat pada cerita kedua orangtuanya, tentang Baambrugge selama masa Perang Dunia II. Yaitu tentang keharusan penduduk sipil menjadi induk-semang bagi serdadu-serdadu Jerman. Dengan cara seperti ini Jerman bisa menguasai dua garis medan perang: garis depan dan garis belakang, sekaligus dua sisi situasi: situasi perang dan situasi "damai". Manuver ini tidak lain dan tidak bukan ialah penjabaran secara militer ajaran geopolitik Bluntschli3, yang kelak dikembangkan di dalam teori Lebensraum Hitler. Jalan dari teori ini menuju ideologi dan praktik "Dwifungsi Abri", kiranya jauh lebih pendek dari yang disangka orang. Dan demikianlah Ruth Havelaar memberi judul himpunan tulisannya ini The Quartering, atau Inkwartiering dalam versi Belanda.

Seperti berlomba dengan waktu ia menulis dan menulis, di sela-sela kesibukan hariannya. Sebagai guru, sebagai Ibu yang mencintai anaknya, dan sebagai istri eks-tapol yang nyaris tidak mempunyai kebebasan bergerak. Maka ia pun berjanji kepada dirinya sendiri: "Hersri, aku akan terus menulis. Aku belum mau mati sebelum buku ini selesai."
      Keinginannya mati di Indonesia, dan dikubur di bawah makam Ibu Mertuanya, ... "diselimuti sehelai kain batik, di bawah payung warna biru damai, di dalam pelukan tanah yang tenteram, dan di bawah kaki Ibu yang bijak dan tercinta" ..., sayang terpaksa harus ditanggalkannya. Setahun sebelum tutup umur ia kembali ke tanah kelahirannya. Tetapi keinginannya menyelesaikan tulisan-tulisannya sebelum mati, memang telah terpenuhi.
Dua puluh hari sebelum ia meninggal, yang sungguh terlalu cepat, pada 2 April 1989 di Kockengen, ditulisnya kata-kata terakhir kisahnya:

"Selamat tinggal Indonesia, kukirim bagimu harapanku, airmataku, dan cintaku ..."

      Di negeri asing pilihannya, Indonesia, Ruth Havelaar telah mendapati apa yang di sepanjang tahun-tahun hidupnya selalu dicarinya: kedamaian dan kebahagiaan. Tidak ada kedamaian setenteram di tengah perjuangan, tidak ada kebahagiaan semanis di dalam kepahitan. Dan semuanya itu ditemuinya di Indonesia. Persis seperti Ruth Alkitab Ruth Havelaar menghadapi dahsyatnya gelombang hidup yang tak kunjung reda. Namun delapan tahun terakhir di Indonesia, walau dengan segala ketegangan dan kesakitan, merupakan tahun-tahun paling berbahagia di sepanjang hidupnya. Suatu pagi di tahun 1985, di emper belakang rumah kami di Bogor, berkatalah ia: "... di sini aku merasa sangat berbahagia, Hersri. Seolah-olah aku sedang memulai dengan suatu kehidupan baru ..."
     Berkat kesediaannya merelativisasi segala sesuatu, maka ia pun dapat menikmati segala hal dan ihwal yang ada dan terjadi di sekelilingnya. Betapapun itu adanya! Maka, bahkan tentang tahun-tahun subur hidupnya pun, ia padatkan dalam baris-baris begini4:

              aku merasa seperti sebatang pohon
              kasar dan keras oleh angin dan badai
                  yang berkembang,
              terbang bunga-bunganya ditiup angin
              dan buah-buahnya pun terbuncang.

Kockengen, 1991                                                                                              Hersri


 ****
___________
1. "Tidak mungkin aku tutup mulut. Alangkah gilanya! Itu tentara Indonesia menyusupi kehidupan rumahtangga dan kehidupan batin beribu-ribu keluarga, juga keluarga kami. Itu mengganggu ketenangan hidup rumahtangga."
2. Alkitab; Lembaga Alkitab Indonesia 1979: 307-310.
3. Johan Kaspar Bluntschli (1808-1881), pakar hukum internasio­nal.
4. Mulder, Jitske. De glooiende buik, 179:38.


Subowo bin Sukaris
Hasta Mitra Updated at: 7:56 PM