Buku Pramudya Ananta Tur "Panggil Aku Kartini Saja"


Buku Pramudya Ananta Tur "Panggil Aku Kartini Saja"
Kata Sambutan Dr. Ny. Hurustiati Subandrio

Panggil Aku Kartini Saja demikianlah Pramoedya Ananta Toer menamakan karyanya tentang pendekar wanita Indonesia Raden Ajeng Kartini. Kalimat ini dikutip dari salah suatu surat yang ditulis oleh Kartini sendiri. Pandangan Pramoedya Ananta Toer tentang pribadi Kartini telah tergores dalam judul yang dipi­lihnya bagi karyanya. Dalam pilihannya itu tersimpul rasa sayang dan kagum Pramoedya terhadap diri Kartini, yang telah mengge­rakkan segala jiwanya sehingga menulis karyanya yang sangat luas dan mendalam itu. Bukankah kalimat itu menunjukkan jiwa Kartini yang demokra­tis, yang menghendaki persamaan antara sesama manusia, walaupun Kartini sendiri keturunan keluarga yang tergolong bangsawan yang paling terkemuka di seluruh Indonesia?
      Kartini tidaklah membanggakan diri bahwa ia keturunan keluarga bangsawan, walaupun menyadari hal itu. Kartini insaf pula akan kewajiban-kewajiban yang terletak pada para bangsawan terhadap kemajuan dan kebahagiaan rakyat. Jiwa demokratis Kartini selalu mendasari segala pandangannya terhadap soal-soal sosial-ekonomis, maupun politis. Dicarinya pemecahan soal-soal yang menguntungkan untuk segenap lapisan rakyat Indonesia. Di situlah arti tulisan-tulisan Kartini, yang menjadikannya pahlawan nasional, di samping pramuka kemajuan wanita Indonesia. Tidaklah pula boleh dilupakan bahwa tulisan-tulisan itu lahir dalam zaman di mana kolonialisme mengalami puncak keagungannya dan feodalisme di Pulau Jawa mempengaruhi segala bidang kehidupan rakyat. Tulisan-tulisan Kartini hendaklah ditinjau dan dinilai dalam rangka sejarah Indonesia, maupun dunia luar. Keadaan pada masa itu sa­ngat berlainan daripada sekarang.
      Inilah yang dikemukakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya. Sejarah di sekitar Kartini ketika hidupnya digali dan di­balik sehingga tampak jelas. Hubungan Kartini dengan masa itu dalam sejarah dikemukakan dengan saksama. Tidak kenal payah Pra­moedya mengerjakan penggalian fakta-fakta dari sejarah itu. Sumber-sumber bahan dicari dan diteliti; karya Kartini sendiri, tulisan tentang Kartini, bahan tentang semasa Kartini dalam arti politik, sosial, ekonomi, sejarah dan sastera, dan lain-lainnya. Karya Pramoedya ini merupakan karya yang besar dan terkemuka, dan tidak saja meliputi kehidupan seorang wanita dalam masanya, tetapi jauh menyingkap pada masa itu, masa yang lampau dan masa berikutnya. Sebagai sumber pengetahuan umum maka mengan­dung bahan-bahan yang sangat menarik perhatian.
      Pramoedya mengemukakan sejarah Indonesia sejak masa tanam paksa atau cultuurstelsel yang erat hubungannya dengan kedu­duk­an keluarga Tjondronegoro, kakek Kartini. Pangeran Adipati Tjondronegoro, bupati Demak, mempunyai tiga orang putra yang menjabat bupati pula ialah di Demak, di Jepara dan di Kudus.
      Ayah Kartini ialah bupati Jepara. Dunia Pribumi yang dikenal Kartini dijelaskan, di mana feodalisme merajalela. Feodalisme dan adat sangat kuatnya. Kedudukan wanita waktu itu sangat terpe­ngaruh feodalisme dan adat. Kehidupan di luar kabupaten diselami. Kehidupan rakyat dan penderitaannya. Watak rakyat seni rakyat, kesusilaan dan peradaban diuraikan, begitu pula pengaruh Belanda terhadapnya.
     Tidak jemu-jemunya pula Pramoedya mengemukakan pandang­an Kartini sendiri tentang segala sesuatu itu dengan menunjuk kepada kalimat-kalimat yang terdapat dalam surat-surat dan tulisan-tulisan Kartini lainnya.
     Dunia Barat yang dikenal Kartini diuraikan dengan jelas dari riwayat pendidikan Kartini secara Barat, orang-orang Barat yang pernah dijumpai Kartini, dan terutama tulisan-tulisan dalam bahasa Belanda yang pernah dibaca Kartini. Dunia Barat ini berpengaruh besar atas pertumbuhan jiwa Kartini dan atas cita-citanya bagi kemajuan bangsanya, terutama para wanita Indonesia. Kartini adalah salah seorang Pribumi dari jumlah yang sangat kecil pada waktu itu yang telah menyelami dunia Barat sedalam-dalamnya dari tulisan dalam bahasa Belanda. Pengaruh demokrasi dari luar negeri terdapat sangat mendalam pada cita-cita pemimpin-pemimpin nasional kita sejak Kartini, dan menjadi unsur yang terpenting dalam menciptakan Indonesia merdeka seperti yang kita kenal sekarang. Bermacam-macam konsepsi sosial-ekonomis telah timbul dan dipraktekkan di Indonesia, tetapi dasarnya adalah demokrasi, kerakyatan, dan bukan lagi feodalisme atau kasta yang bersandar keluhuran golongan tertentu dari masyarakat yang turun-temurun. Pengertian dan pengetahuan tentang demokrasi luar negeri ini yang menyebabkan revolusi kita untuk merebut kembali kemerdekaan bangsa dan negara mendapat hasil yang gilang-gemilang pada waktunya, karena didukung oleh seluruh rakyat. Hasil ini pasti akan lebih besar lagi dengan dimasukkannya Irian Barat dalam kekuasaan Republik Indonesia. Hasil ini dijamin oleh dasar perjuangan nasional yaitu ke­rakyatan. Konsepsi demokrasi dari luar negeri dapat tumbuh subur dalam alam Indonesia, karena di sini pun terdapat unsur-unsur demokrasi dalam tata cara masyarakat desa dan prinsip gotong-ro­yong. Demikianlah Kartini, yang hidup dalam masyarakat yang bersendikan feodalisme, pertama-tama memahami dasar demokrasi bagi perjuangan nasional dan perjuangan wanita. Inilah yang dimaksudkan oleh Pramoedya dengan memilih judul untuk karyanya ìPanggil aku Kartini sajaî. Di situ juga Pramoedya menunjukkan rasa sayangnya dan kekagumannya terhadap wanita muda ini yang beriman dan berbudi demikian luhurnya sehingga dapat memahami segala penderitaan rakyat. Segala pikiran dan kepribadian Kartini dianalisa dan difahami sedalam-dalamnya. Ternyata kekaguman Pramoedya atas keajaiban alam yang telah menyebabkan seorang wanita yang luar biasa lahir di tengah-tengah rakyat Indonesia, dan kemudian ternyata dengan kekuatan tulisan-tulisannya memberi dorongan yang besar terhadap kemajuan wanita Indonesia. Masa kecil, masa muda Kartini diperinci sampai segi-segi kecilnya, begitu pula dicoba oleh Pramoedya untuk memberi gambaran tentang kondisi rohaninya.
      Segalanya merupakan suatu karya biografi yang sangat berharga dan dapat dikatakan satu-satunya di Indonesia mengenai seorang pahlawan kita. Terutama di kalangan wanita buku ini akan mendapat tempat yang penting, karena telah menghubungkan peranan Kartini sebagai pendekar wanita dengan perjuangan Indonesia pada umumnya. Maka kami pun mengucapkan penghargaan kami yang sebesar-besarnya atas lahirnya karya ini. Pula kami sebagai wanita sangat bangga bahwa sastrawan Pramoedya Ananta Toer telah terjun dalam alam fikiran seorang wanita Indonesia.
___________

   
Pengantar Penulis

Penyusunan Sejarah Indonesia baru tambah lama tambah terasa mendesak. Satu hal yang sangat penting adalah melepaskan sejarah itu sendiri dari rangka yang selama itu ditentukan oleh politik pengajaran penjajah.
      Kesulitan-kesulitan dalam pekerjaan ini dihadapi oleh setiap ­orang. Di bidang sejarah purba disebabkan lamban, kurangnya fasilitas dan dana, kurangnya research, kerja penyelidikan, penggalian dan penelaahan. Di bidang zaman pertukaran agama dipersulit oleh terpecah-belahnya kerajaan-kerajaan, peperangan-peperangan an­tar­­kota, yang tiada henti-hentinya, yang mengakibatkan punahnya peninggalan-peninggalan yang kurang kuat dibandingkan de­ngan peninggalan zaman purba dalam bentuk pahatan-pahatan di atas batu, tembaga ataupun keramik. Di bidang zaman penjajahan Belanda dipersulit oleh pembakaran-pembakaran dokumen yang dilakukan oleh Belanda sendiri waktu mengundurkan diri dari Indonesia menghadapi masuknya Balatentara Jepang dan pemulihan kedau­latan, di samping dokumen-dokumen yang dengan sengaja dihancurkan oleh pejabat-pejabat tinggi yang berkepentingan untuk menyelamatkan prestise masing-masing.
      Kesulitan tinggal kesulitan. Penyusunan sejarah baru adalah juga perjuangan yang sama sengitnya dengan perjuangan-perjuangan lain dalam meningkatkan peradaban sesuatu bangsa dan peninggian nilai manusia. Tanpa karya ini tiada bangsa itu mempunyai cermin yang datar dan licin, tiada dicacatkan oleh kekuasaan-kekuasaan yang tidak wajar, atau ketiadapengertian-ketiadapengertian yang berkepala batu. Sumber-sumber baru harus ditemukan, bahkan yang kadang-kdang tidak punya persangkutan dengan yang tradisional. Namun penjelajahan baru ini harus dilakukan dengan berani. Setiap titik sinar mesti ditangkap, dicari asas hidupnya dan dikembangkan.
      Demikian pula halnya dengan penyusunan buku ini.
**
Sampai sedemikian jauh, Kartini disebut-sebut di berbagai hari peri­ngatan lebih banyak sebagai tokoh mitos, bukan sebagai manusia biasa, yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri, serta menempatkannya ke dalam dunia dewa-dewa. Tambah kurang pengetahuan orang tentangnya, tambah kuat keduduk­annya sebagai tokoh mitos. Gambaran orang tentangnya dengan sendirinya lantas menjadi palsu, karena kebenaran tidak dibutuhkan, orang hanya menikmati candu mitos. Padahal Kartini sebenar­nya jauh lebih agung daripada total jendral mitos-mitos tentangnya.
**
Kartini adalah orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang menutup zaman tengah, zaman feodalisme Pribumi yang ìsakitanî menurut istilah Bung Karno. Bersamaan dengan batas sejarah Pribumi ini, mulai berakhir pula penjajahan kuno Belanda atas Indonesia dan memasuki babak sejarah penjajahan baru; imperialisme modern. Dua macam arus sejarah yang mengalir pada waktu yang bersamaan dalam masa hidup Kartini ini, banyak menerbitkan salah faham ­orang tentang posisi Kartini di tengah-tengah dua arus yang kencang menderas itu. Salah faham itu berjangkit di kalangan pihak Belanda sendiri (progresif atau tidak) dan di kalangan pihak Indonesia, terutama kaum nasionalis pertama-tama. Pihak Belanda meng­anggap Kartini sebagai contoh terbaik daripada ìdidikanînya yang bisa diberikannya kepada Pribumi jajahannya, dan karenanya tanpa ragu-ragu selalu mengedepankannya, yaitu sebagai sebuah kopi yang berhasil dari usahanya mengadabkan bangsa Indonesia, malah menghidangkannya dengan manisnya kepada bangsa Indonesia sudah sejak sekolah rendah gubernemen yang berbahasa Belanda. Pada pihak Indonesia sendiri sebenarnya ada terdapat dua pendapat. Pertama golongan yang ragu-ragu menerima Kartini, karena wanita itu tidak lain daripada ìorangnya Belandaî, dan mengambil sikap lebih baik diam-diam saja melihat pihak Indonesia lain, yang berpendapat sebaliknya, tanpa sesuatu kecurigaan menerima Kartini sebagai pahlawan bangsanya. Dalam keragu-raguan tanpa berbuat sesuatupun, baik penyelidikan ataupun penilaian ñ tentu di luar keluarbiasaan-keluarbiasaan ñ sebenarnya mereka semakin menghambat atau menunda penyelesaian, dan melihat upacara-upacara peringatan Kartini dengan sinisme yang tidak dicobanya untuk merumuskan perasaannya secara wajar.
      Buku ini disusun juga dengan harapan untuk bisa membuat konfrontasi dengan pihak yang ragu-ragu tersebut.
**
Dua macam arus sejarah tersebut tidak perlu mengaburkan posisi Kartini. Bagi Kartini sendiri sudah jelas: Tujuan adalah Rakyat, dan dalam hal ini segala jalan yang mungkin bagi keuntungan Rakyatnya adalah ìdiberkahiî. Sebagai seorang wanita, yang sebenarnya berdiri sendiri, tanpa suatu dukungan organisasi massa yang waktu itu memang belum lahir, perjuangan dan masalah-masalah yang dihadapinya sebenarnya jauh lebih berat. Dari sini saja orang telah dapat mengerti mengapa jalan, bentuk, dan warna perjuangan­nya menjadi begitu rupa. Kekuatan dan kekuasaannya hanya di bidang moral, lebih dari itu sama sekali tidak ada. Ia tidak punya alat-alat untuk mewujudkan konsep-konsep pemikirannya. Bahkan boleh dikata segala pihak menentangnya. Bukanlah percuma kalau ia mengatakan: Sayang! kekuasaan tiada padaku, baiklah aku berdiam diri saja tentang itu.
      Sering dan banyaknya Kartini bergaul dengan orang-orang Belanda, pada banyak orang Indonesia yang ragu-ragu, tidak jarang me­nimbulkan dugaan yang bukan-bukan tentang posisi Kartini dalam perjuangan. Dalam hal ini patut pula diperingatkan, bahwa dugaan yang bukan-bukan itu tidak lain daripada anakronisme historik, karena nasionalisme pertama-tama, yang timbul di negeri-negeri jajahan, selamanya hasil daripada perkenalan dari dekat dengan dunia Barat yang menjajahnya, karena nasionalisme sampai pada waktu itu merupakan pengertian dan istilah yang khas Barat. Maka penguasaan asal pengertian dan istilah ini mau tak mau juga mesti melewati pergaulan dengan Barat. Karena itu juga tidak menghe­rankan, apabila pada taraf bangkitnya kesadaran nasional itu, da­pat dipastikan adanya kerjasama antara Barat dengan kaum intelektual jajahan. Perkembangan selanjutnya tentu melalui taraf-taraf lain, dan dengan makin banyaknya kaum intelektual dengan kesadaran nasional, makin cepat timbulnya gagasan untuk membentuk front nasional, yang tambah lama tambah meninggalkan ìkerjasamaî dan akhirnya mengambil posisi melawan secara total.
      Kartini hidup dalam taraf kesadaran nasional yang paling pertama. Melupakan fakta historik ini, adalah tak mau tahu tentang posisi Kartini dalam zamannya sendiri.
      Kartini adalah pemula dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia untuk pertama kali timbul di Demak -- Kudus -- Jepara sejak pertengah­an kedua abad yang lalu. Di tangannya kemajuan itu dirumuskan, diperincinya, dan diperjuangkannya, untuk kemudian menjadi milik seluruh nasion Indonesia. Dikatakan Indonesia, karena, sekalipun ia lebih sering bicara tentang Jawa, ia pun tak jarang mengemukakan keinginannya buat seluruh Hindia -- Indonesia dewasa ini.
      Tanpa Kartini, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin.
      Kartini adalah konseptor, atau seorang dari kasta Brahman, bila dipergunakan sistem kasta Hindu. Organisasi-organisasi kebudayaan politik sosial, yang timbul kemudian adalah pelaksana, penerus atau pengembang, atau sebuah aparat pelaksanaan, atau termasuk kasta satria dalam sistem kasta Hindu. Emansipasi evolusioner yang terjadi sejak masuknya Islam ke Indonesia, telah mele­nyapkan sistem kasta ini dan mengubahnya jadi golongan sosial di dalam masyarakat, tetapi hingga kini serta di masa-masa mendatang asas pengkastaan ini tidak akan lenyap, sekalipun sistemnya yang vertikal berubah menjadi horisontal.
      Kartini adalah pemikir modern Indonesia pertama-tama.
      Dengan penyusunan buku ini, sebenarnya dimulailah penyusun­an sejarah modern Indonesia.
**
Dengan terbitnya buku ini, karangan-karangan tersebar penyusun tentang Kartini di berbagai majalah dan harian pada tahun-tahun terakhir ini, harus dianggap telah diperbaiki. Juga bantahan-bantahan yang pernah dilontarkan oleh beberapa penulis atas karangan tersebar penyusun, dengan terbitnya buku ini, pun telah terjawab.
**
Akhirnya diucapkan terimakasih pada badan-badan dan perse­orang­an yang ikut membantu tersusunnya buku ini. Pertama-tama kepada Sdri. Dra. Tjoa LKN dan Stafnya dari Perpustakaan Museum, yang tidak kurang dari 3 tahun, ikut menolong menghimpunkan bahan-bahan mentah, pada Arsif Nasional yang telah bersusah-payah mencarikan dan mendapatkan tidak kurang dari 80 lembar dokumen Kartini (atau tentangnya), dan dengan sendirinya juga kepada sdr. Drs M. Ali serta Drs A. Hadi, kepala dan wakil kepala Arsif Nasional, kepada sdr. Prof. Mr G.J. Resink yang meminjamkan perpustakaannya yang up-to-date tentang Kartini dan masanya, kepada R.M. Susalit (Singgih), putra Kartini, yang selain memberikan bahan-bahan yang berharga juga meminjami gambar-gambar, kepada sk Bintang Timur dan penerbit Nusantara, yang memberikan subsidi selama penyusun melakukan pekerjaan penyusunan ini, demikian juga pada perseorangan-perseorangan lain yang memberikan bantuan finansial, tapi sayang tak mau disebutkan namanya. Tanpa bantuan-bantuan finansial yang sangat besar jumlahnya dan nilainya untuk pekerjaan ini sebenarnya buku ini tidak mungkin terbit.
      Selanjutnya terimakasih diucapkan kepada kawan-kawan yang terus membantu penyusun, dalam pekerjaan ini, sewaktu penyusun­an berada dalam tahanan yang berwajib; penjara, rumah, dan kota, sehingga kontinuitas pekerjaan ini dapat dipertahankan sedapat-dapatnya. Di antara kawan-kawan ini adalah Achmad Tarbin A. dan Toto Muryanto, Baharudin dan Motinggo Boesje.
      Terima kasih tidak lupa disampaikan kepada sdr. A. Syamsuddin, wartawan Sulindo yang meminjamkan sebagian dari perpustakaannya, sdr. Sutoyo, pejabat Front Nasional (Pusat), serta kepada organisasi-organisasi wanita yang memberikan dorongan moral, yang bagi penyusun sangat besar nilainya.
**
Bahwa buku ini mengandung banyak kekurangan, penyusun de­ngan serta-merta mengakuinya. Hal ini pertama-tama disebabkan karena tiadanya dana dan fasilitas untuk meneruskan research di Nederland, tempat di mana bahan-bahan mentah itu tidak mungkin didapatkan di Indonesia, lagi pula disebabkan karena terlalu lama­nya menunggu terhimpunnya bahan sampai selengkap mungkin (ternyata penghimpunan bahan selama 5 tahun kurang cukup ba­nyak dalam situasi kita yang belum diresapi file-and-document-minded).
      Kekurangan-kekurangan ini penyusun menyerahkannya kepada khalayak ramai untuk dibetulkan.
**
Sebagai penutup penyusun mengharapkan agar buku ini bisa dibuat sebagai bacaan pelengkap di sekolah-sekolah lanjutan dalam mata pelajaran sekolah, khususnya sejarah Indonesia pada masa dimulai dan digelorakannya politik ethik kolonial, pada satu pihak dan tumbuhnya nasionalisme di pihak lain.
    Jakarta, 1956-1961.

*****

Kartini di akhir abad 20 :
Sebuah relikwi atau inspirasi?

   Ruth Indiah Rahayu
Peneliti dari Yayasan Kalyanamitra

Surat-surat Kartini pertama kali diterbitkan pada tahun 1911 di Semarang, Surabaya dan Den Haag atas prakarsa Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, Mr. J.H. Abendanon. Kumpulan surat-surat tersebut diberi judul Door Duisternis tot Licht (DDTL): Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Ajeng Kartini, dan diterbitkan oleh G.C.T. van Dorp & Co.                                   
     Karena diterbitkan dalam bahasa Belanda, hanya kalangan priyayi dan orang Belanda yang membacanya.
      Seiring dengan tumbuhnya industri penerbitan, Balai Pustaka mengambil inisiatif untuk menerbitkan ke dalam bahasa Melayu. Berkembang majunya pergerakan perempuan sekitar tahun 1920-an, turut menentukan tiras penjualan DDTL yang melonjak tinggi. Dalam bahasa Melayu, DDTL diterjemahkan oleh Armijn Pane menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, dan pertama kali diterbitkan tahun 1922. Selang 16 tahun kemudian, pada tahun 1938, setelah melalui revisi diterbitkan kembali dengan judul Habis Gelap terbitlah Terang. Terbitan yang kedua ini lebih tipis dari yang pertama, karena Armijn Pane melakukan banyak pemotongan terhadap pikiran-pikiran Kartini yang dinyatakan berulang-ulang dalam beberapa surat. Penerjemahan ke dalam bahasa daerah juga dilakukan. Pada tahun 1930 terbit DDTL dalam bahasa Sunda, dan pada tahun 1938 terbit dalam bahasa Jawa.
     Penerjemahan dan penerbitan DDTL baru dilakukan kembali setelah 43 kemudian. Sulastin Sutrisno, dosen Filologi di Fakultas sastra UGM, menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mutakhir dan diterbitkan oleh Penerbit Djambatan (1981). Terjemahan pertama dia beri judul Surat-surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Sedangkan penerbitan yang kedua, merupakan penerjemahan dari surat-surat Kartini yang ditujukan kepada Nyonya dan Mr. J.H. Abendanon. Ada banyak surat-surat yang ditujukan ke Abendanon yang tak dipublikasikan dalam DDTL. Seperti tulisan yang bersifat pribadi, misalnya tentang penyakit yang berjangkit di kalangan keluarga. Kartini, rupanya sering terserang sakit.
      Selain terjemahan DDTL, orang Indonesia yang menulis Kartini dapat dihitung dengan jari. Panggil Aku Kartini Saja, karya Pram ini, dapat dikatakan sebagai usaha melakukan penjelajahan atas pikiran-pikiran Kartini. Penjelajahan semacam ini juga dilakukan oleh se­orang wartawan Soeloeh Indonesia, Sitisoemandari Soeroto. Dikarenakan pertemuannya dengan Kardinah Reksonagoro, adik Kartini, ia tertarik untuk membuat riset kehidupan pribadi Kartini. Bukunya yang berjudul Biografi Kartini, diterbitkan tahun 1979. Selang  7 tahun kemudian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melakukan riset dan penulisan tentang Kartini dan diberi judul Raden Ajeng. Kartini. Lagi, Th. Sumartana, direktur Interfidei (Dialog Antar Agama) menulis dan menerbitkan tafsirannya atas pandangan Kartini tentang Tuhan. Penulisan tentang Kartini yang terbaru terbit tahun 1990. Penjelajahan dilakukan dari sudut pandang psikologi me­ngenai perkembangan pikiran Kartini. Buku ini ditulis oleh Saparinah Sadli, kini anggota Komnas HAM dan pengajar Pusat Kajian Wanita UI (S2 untuk studi Wanita) dan Haryati Soebadio, mantan Menteri Sosial.
***
Dari sekian penulisan orang tentang Kartini, karya Pram ini mempunyai keistimewaan. Pendekatan yang dilakukannya berbeda de­ngan pengarang-pengarang lain. Dari judul yang dipilih oleh Pram Panggil Aku Kartini Saja, suatu ucapan yang memang berasal dari Kartini sendiri, sudah langsung kita menangkap kesejajaran atau kesamaan Kartini dan Pram dalam satu hal: mereka sama-sama emoh feodalisme.
      Kesamaan yang kedua, baik Pram maupun Kartini dilahirkan di kota dekat pantai, yang mempunyai kebudayaan ìpesisiranî. Salah satu ciri khas watak kebudayaan pesisiran, mereka mudah me­nerima ide-ide pembaharuan dan perubahan ketimbang yang tinggal di ìpedalamanî. Dalam catatan sejarah Indonesia, pintu masuk­nya ide pembaharuan dan perubahan, di tanah Jawa, adalah kadipaten-kadipaten di sepanjang pantai utara Jawa. Watak yang lain, mereka mempunyai ciri gerakan yang gesit, dinamik dan terkadang cenderung beringas. Alam pikiran mereka dibentuk oleh laut dan kebringasan gelombangnya. Karena itu, mereka mempunyai watak berani dan pemberontak yang seringkali diekspresikan secara lugas. Baik Pram maupun Kartini adalah simbol orang yang berontak terhadap status quo, kekuasaan kaum feodal yang menciptakan dan melestarikan hirarki atas dasar bangsawan dan rakyat.
      Kesamaan yang ketiga, Pram dilahirkan di kota Blora. Gambar­an saya tentang Blora, diwakili oleh nenek dan kakek moyang saya, yang konon orang-orang pelarian dari pasukan Diponegoro yang terdesak kalah melawan Belanda. Blora bertanah tidak subur dan hanya pohon jati yang mampu bertahan hidup di sana. Karena itu penduduknya sangat miskin dan, anehnya, gemar bermain ceki. Di tengah lingkungan kemiskinan ini Pram dilahirkan dan tumbuh besar. Meneer Toer, ayahnya, adalah guru sekolah yang disegani di Blora. Jadi dapat dipastikan Pram mempunyai fasilitas bacaan yang baik. Seperti halnya Kartini yang mengalami pencerahan berkat bacaan-bacaan yang mampu dia akses berkat kedudukan keluar­ganya. Sebaliknya, ketika berpaling dari dunia buku, yang dilihat Kartini adalah rakyat Jepara yang miskin. Kedua tokoh ini mempunyai kemampuan membaca kemiskinan dengan perasaan berontaknya, lantas mengekspresikan pemberontakannya itu menjadi tulisan yang beranalisis tajam, sehingga karya Kartini dan Pram mempunyai jiwa, yang sebenarnya adalah memungut penderitaan hidup di sekitarnya.
      Kesamaan yang keempat, Kartini dan Pram penggemar sastra. Keduanya mempunyai citarasa berbahasa yang indah dan sama-sama suka mengarang. Kekerasan hati mereka karena bentukan alam pesisiran tadi dikemukakan dengan bahasa yang indah tapi terkandung kerasnya batu cadas.
      Kesamaan-kesamaan antara pengarang dan tokoh yang dirawi­kannya, membangun kedekatan emosional dalam diri Pram ter­hadap Kartini. Dalam buku ini, sikap itu terbaca lugas. Betapa penjelajahan Pram atas diri Kartini menempatkan perempuan Jepara itu sebagai tokoh yang disejajarkan dengan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dari Singapura. Dia mengajak pembaca untuk mengenal Kartini dari sudut sejarah. Bahkan Pram menganalogikan Kartini ibarat obor yang menerangi zaman kegelapan,  sedangkan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi hanya kunang-kunang. Kedua tokoh tersebut adalah produk dari perbenturan Barat dan Timur yang berhasil mengambil manfaat dari perbenturan itu. Kartini memanfaatkan pandangan Eropa yang demokratik untuk melawan feodalisme di lingkungannya. Tetapi Kartini tidak semata menyanjung orang Eropa, pada titik temu bangsa Belanda dengan Pribumi di lapangan kepangrehprajaan. Dalam perkara ini terlihat perlakuan Belanda yang diskriminatif terhadap orang Pribumi, hanya karena perbedaan warna kulit dan hubungan kuasa antara penjajah dengan rakyat terjajah.
      Penulisan sejarah Kartini ini mengambil ancang-ancang dari paska perang Diponegoro, masa Tanam Paksa, masa kapitalisme yang bertumpu pada hasil perkebunan dan ìkemenanganî kaum Liberal melaksanakan Politik Etis (baca balas budi). Pada masa ini kekuasaan raja-raja kecil, seperti halnya ayah Kartini, tidak punya arti politik dan ekonomi. Para raja kecil berkuasa di lingkup kebudayaannya, di mana sistem feodalisme tetap melestarikan wibawanya di depan rakyat. Secara menarik, dia jelaskan hubungan struktural Kartini dengan sistem yang berkuasa. Dalam struktur ini posisi Kartini ber­ada pada peringkat yang tidak ada kekuasaan apa-apa padanya. Ayah Kartini lebih berhak atas dirinya dari siapa pun di dunia ini tetapi Belanda lebih berhak atas diri ayahnya. Sehingga Kartini dikuasai oleh dua kekuasaan: feodalisme dan kolonialisme.
     Saya teringat pada karya Pram yang lain. Lihat saja pada Gadis Pantai dan Nyai Ontosoroh -- dalam tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Kedua tokoh perem­puan dalam cerita itu sama dengan Kartini, sama-sama dikuasai dan melakukan perla­wan­an sesuai dengan kondisinya. Di sini saya me­lihat budaya pesisiran diwujudkan ke dalam tokoh perempuan ciptaannya. Tokoh ciptaannya selalu berani, lugas dan mempunyai semangat perlawanan. Tak ada tokoh perempuan protagonis yang dia gambar­kan lemah lembut dan bersikap fatalis terhadap kekua­saan yang menjajahnya.
Sikap Pram ini menempatkan posisinya sebagai pengarang laki-laki yang berbeda arus dengan kebanyakan pengarang. Kebanyakan pengarang, yang perempuan sekali pun, mempunyai pandangan yang stereotipikal terhadap tokoh perempuan ciptaannya. Perempuan seringkali digambarkan feminin, artinya nrimo dan tidak berontak jika ditekan. Sedangkan laki-laki diberi watak maskulin, dinamik dan berani melakukan perlawanan. Pendefinisian watak secara gender ini merupakan produk masyarakat feodal, di mana nilai perempuan dilihat dari kwalitas kepatuhannya. Padahal, di dalam diri perempuan dan laki-laki terkandung watak feminin dan maskulin. Sampai di sini, saya menaruh hormat pada Pram yang konsisten melawan feodalisme.
***
Tetapi, ada satu persoalan penting yang luput dari penglihatan Pram. Kartini yang berjenis kelamin perempuan tidak dinilai sebagai persoalan. Yang terjadi adalah penilaian terhadap persoalan Kartini karena kelas dan ras. Padahal di dalam kelas dan ras ada kontradiksi gender. Perempuan dan laki-laki ditempatkan ke dalam pembagian kerja yang berjenis kelamin, di mana laki-laki menempati struktur yang menguasai diri perempuan. Akibatnya tercipta suatu relasi yang timpang. Dari sudut padang ini akan muncul pertanyaan mengapa Kartini gagal melanjutkan sekolah ke Belanda dan mengapa pada akhirnya dia bersedia menikah dengan seorang Bupati dari Rembang? Padahal Kartini begitu gigih melobi sahabat-sahabat Belandanya agar dia dan adik-adiknya dapat melanjutkan sekolah ke Belanda. Karena di sanalah akan dia dapatkan ilmu pengetahuan untuk diberikan kepada rakyat dan negerinya. Padahal Kartini berkali-kali mengatakan pada sahabatnya bahwa dia tidak ingin menjadi Raden Ayu -- sebutan bagi perempuan yang sudah menikah. Saya kira dua keputusan tersebut signifikan dengan konflik antara politik kolonial dan adat feodal dengan seksualitas perempuan Kartini.
      Kegagalan Kartini sekolah ke Belanda harus dipahami dari kerangka Politik Etis. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai ucapan terimakasih dan membalas budi kepada rakyat Indonesia yang berkat jerihpayahnya telah memperkaya Belanda. Ungkapan itu diwujudkan dengan cara memperbaiki bidang pertanian, peningkat­an pendidikan dan transmigrasi. Kartini dapat bersekolah, berkores­pon­densi dengan orang-orang Belanda dan membaca buku-buku terbitan Eropa, berkat kebijakan ini. Hakekatnya merupakan buah kemenangan dari kelompok li­beral-humanis-sosialis di tingkat Tweede Kamer di negeri Belanda.
      Tetapi ke Belanda? Untuk seorang bumiputra perempuan terlalu berlebihan! Politik gender berlaku untuk memberikan ongkos sekolah kepada Pribumi laki-laki ketimbang perempuan. Anak perempuan dianggap tidak bernilai produktif, karena itu lebih baik mendidik anak laki-laki yang jelas-jelas dapat digunakan untuk kebutuhan produksi.
      Niat Kartini sekolah ke Belanda itu juga ditentang oleh Residen Semarang, Bupati Demak yang selama ini berpandangan maju dan masih paman Kartini. Saya menduga, penggagalan itu merupakan hasil kolusi antara Belanda dengan pihak keluarga, dan cara yang ditempuh adalah menggiring Kartini menuju gerbang perkawinan ketimbang menjadi seorang perempuan pekerja dan intelektual. Anehnya Kartini yang menggugat poligami malah menikah dengan laki-laki yang sudah punya isteri sekian. Ayahnya sendiri juga berpoligami dan disadari Kartini, tindakan demikian sangat menekan dan melukai dua hati perempuan yang menjadi ibunya. Tampaknya Kartini tidak mempunyai kekuat­an untuk melawan, yang selalu dia katakan ìdemi cintanya pada ayahî. Jangan lupa bahwa mereka yang berkuasa atas diri Kartini telah melakukan penghancuran progresivitas Kartini melalui cara mema­sukkan perempuan muda itu ke dalam kehidupan ìraden ayuî. Gelar yang sebelumnya banyak dia gugat, bercermin pada kehidup­an ibu ìtiriî yang mengasuhnya. Dia melihat ketika se­orang perem­puan menjadi ìraden ayuî, tamatlah segalanya. Itulah sebabnya dia ingin me­nanggalkan ìraden ajengî supaya terbebas dari peranan raden ayu.
 
***
Memahami jalan pikiran Kartini, saya harus berada pada situasi peralihan dari kapitalisme perkebunan ke kapitalisme uang, antara tahun 1870-1900. Ketika UU Agraria diberlakukan tahun 1870 untuk membuka penyewaan tanah bagi orang-orang Eropa yang pu­nya modal, sejak itu terjadi apa yang disebut konglomerasi berkat kesuburan Tanah Deli. Bayangkan 80% ban mobil (4 dari 5 ban mobil) perusahaan Ford tergantung pada karet Deli. Mutu cerutu­nya juga sangat terkenal di dunia bahkan mengalahkan Kuba. Tetapi yang dilupakan orang adalah di balik konglomerasi usaha perkebunan itu ada sekian ratus ribu kuli kontrak yang didatangkan dari Jawa yang tenaganya diperas seperti hewan. Sedangkan di balik produktivitas para kuli itu ada sekian puluh ribu perempuan yang juga didatang­kan dari Jawa untuk melayani seksual para laki-laki yang bekerja di perkebunan tersebut, tak terkecuali orang Belanda. Pemerintah kolonial dan pengusaha perkebunan Belanda memang sengaja membuat kebijaksanaan mendatangkan kaum perempuan ini demi produktivitas kuli tidak merosot. Akibatnya berkembang penyakit kelamin yang disebut boru Jawa.
      Pemerasan Belanda terhadap Pribumi mendapat otokritik dari kelompok yang tidak menginginkan sistem kapitalisme lama yang melindungi cara feodal. Multatuli menceritakan nasib Saija dan Adinda dan termasuk yang gigih menentang Tanam Paksa. Golong­an Liberalis yang lain, E.S.W. Roorda van Eisinga, mengutuk peme­rintah Hindia Belanda dengan sajak-sajaknya. Seorang lagi tokoh yang berjuang di lapangan politik, Van Hovell, bekas pendeta, berusaha untuk membangun pendidikan bagi kaum Bumiputera. Perasaan tidak enak terhadap rakyat Pribumi ini kemudian diikuti oleh Van Deventer yang disebut pelopor Politik Etis di Hindia ­Be­landa.
      Setidaknya ada 3 kelompok yang terbentuk karena kepentingan ekonomi. Pertama, mereka yang ingin mempertahankan sistem ka­pitalisme lama, memeras tandas sumberdaya tanah jajahan dengan cara Tanam Paksa. Pengelola hasil bumi dipegang oleh pemerintah kerajaan Belanda. Kedua, kelompok Liberal yang menuntut usaha dan modal swasta diberi peluang untuk sepenuhnya menanam modal ke berbagai usaha di Hindia Belanda. Terutama usaha perkebunan, seperti kopi, teh, gula dan kina. Kelompok ini berpandangan bahwa rakyat Pribumi harus diberi pendidikan supaya dapat dipergunakan untuk membantu kelancaran proses produksi mereka, karena tersedianya tenaga Pribumi yang terdidik akan me­ngurangi biaya produksi mendatangkan tenaga kerja dari Eropa. Selain itu mereka dapat dibayar lebih murah ketimbang orang Eropa. Ketiga, kelompok sosialis yang menuntut Belanda membayar rasa terima­kasih kepada rakyat Pribumi dengan cara menjadikan mereka pandai dan membangun bidang-bidang yang memberi kesejahte­raan. Kelompok ketiga ini juga peduli dengan persoalan perempuan. Karena itu feminisme di Belanda bisa bertemu pandangan dengan mereka.
      Seorang sahabat pena Kartini di Belanda bernama Estella Zeehandelaar adalah seorang feminis sosialis. Terbukanya mata dan hati Kartini terhadap persoalan perempuan dan usaha untuk membebaskan dari penindasan diperoleh dari diskusi-diskusinya dengan ­Estella. Lebih jauh, sebenarnya Kartini memperoleh pencerahan dari membaca karya sastra. Di antara sekian banyak buku yang dia baca, ada beberpa buku yang benar-benar monumental mempenga­ruhi jalan pikirannya. Terhadap kemiskinan dan penjajahan dia memperolehnya dari membaca karya Multatuli. Emansipasi perempuan dan hak atas kerja dia peroleh setelah membaca Hilda van Suylenburg karya Nyonya Goekoop. Pengenalan tentang gerakan perempuan dia dapatkan secara gamblang setelah membaca Moderne Maagden karya Marcel PrÈvost. Satu hal yang tak kalah penting, Kartini membaca De Vrouw en Sosialisme, karya Auguste Bibel. Roman bertendens kemajuan dan sosialisme ini sangat progresif dalam mempersoalkan emansipasi perempuan pada masa itu. Dalam DDTL, menurut Pram, surat Kartini yang secara khsusus membahas ini dihapus oleh J.H. Abendanon dengan alasan politik kolonialnya. Dari mana Kartini mendapat bacaan yang progresif itu? Penting diketahui Kartini telah menjalin persahabatan dengan suami-isteri H.H. van Kol sejak tahun 1902. Van Kol adalah anggota Tweede Kamer, seorang sosialis demokrat, kedua suami isteri ini sangat setu­ju dengan cita-cita Kartini hendak belajar ke Negeri Belanda. Tampaknya van Kol memperjuangkan beasiswa Kartini dan Roekmini, dan minister jajahan memberi janji akan memenuhi permintaan tersebut. Tetapi niat itu digagalkan oleh J.H. Abendanon dalam kunjungan­nya ke Jepara tahun 1903, dengan alasan kalau Kartini pergi ke Belanda akan merugikan cita-citanya. Kartini mengiyakan saja apa yang dikatakan Abendanon. Segala nyala api cita-cita yang ditumbuhkan suami-isteri van Kol hilang begitu saja. Sebaliknya Abendanon memberi rekomendasi Kartini sekolah guru di Betawi dan sambil menunggu jawabannya, Kartini diminta untuk terus bekerja mendirikan sekolah sendiri.
      Dalam bukunya ini Pram mengkaitkan Kartini dengan buku-buku sastra dan majalah kebudayaan Eropa. Dari buku-buku itu Kartini me­ngenal segala aspek Eropa: kultural, sosial, kehidupan kejiwaan dan kehidupan materi. Kartini mengikuti tradisi Eropa untuk menda­patkan ilmu pengetahuan: studi, lektur, seni dan sastra. Sesungguh­nya Pram mengagumi Kartini sebagai seniman. Ia tulis:

Orang dengan perasaan halus, dengan perabaan tajam dan da­yacipta besar tidak boleh tidak pastilah seniman, tak peduli di bidang apa pun. Dan tiada ayal lagi, Kartini adalah seniman -- di berbagai bidang pula. Dia menulis buku, melukis, membatik.

Hal yang patut dicatat, Pram menekankan padangan Kartini yang penting bahwa pendidikan tanpa seni rakyat sama saja dengan pendidikan tanpa watak. Jelasnya, Pram telah menggambarkan sosok Kartini utuh menyeluruh, baik sebagai seniman maupun pendidik yang secara politik mempunyai kesadaran atas identitas perempuannya yang terjajah, secara kultural memiliki identitas sebagai orang Jawa yang hendak mengambil segi baik dari Eropa.
      Kini, sejauh mana bangsa kita mengenal Kartini? Mari kita lihat se­tiap 21 April, terlihat kegiatan-kegiatan yang menafsirkan Kartini atas dasar identitas kulturalnya. Kartini identik dengan busana Jawa: kebaya ìKartiniî, kain panjang dan gelung. Dengan cara itu bangsa kita melakukan penghormatan atas dasar keyakinan bahwa Kartini adalah ìpahlawan emansipasi wanitaî? Pandangan seperti itu rupanya menimbulkan rasa bangga, bahwa kaum perempuan Indonesia sudah terlepas dari kungkungan, kaum perempuan sudah merdeka dan sudah mengenyam pendidikan tinggi? Maka selesailah segala yang dipersoalkan sebagai persoalan perempuan. Saya heran terhadap pandangan ini, bagaimana hati orang-orang itu bisa tertutup?
      Apakah persoalan perempuan benar-benar usai dari muka bumi ini? Dari riset media pers saja, saya mendapat data bahwa setiap hari ada kasus perkosaan. Ada yang lebih hebat lagi menemukan fakta bahwa setiap 6 jam terjadi perkosaan seksual. Belum lagi kasus yang tidak pernah disadari orang sebagai kasus, yakni pelecehan sek­sual, tampaknya sudah menjadi kegiatan spontanitas yang dilakukan di mana-mana. Kasus perempuan dijual ke luar negeri untuk dijadikan budak seksual, pembunuhan, penganiayaan terhadap isteri maupun pembantu rumah tangga. Persoalannya, semua kasus kekerasan seksual ini dilakukan oleh laki-laki, entah dia aparat negara, anak sekolah, guru atau apapunlah, terhadap perempuan. Kecuali dalam hubungan majikan dengan pembantu rumah tangga. Selain persoalan kekerasan terhadap perempuan, kaum perempuan di Indonesia sekarang mengalami penghancuran identitas perempuannya sehubungan dengan otonomi ekonomi, politik dan budayanya. Karena identitas perempuan didefinisikan menjadi pelengkap pendukung para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, sistem yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah dan negara yang didefinisikan sebagai ìbapakî, pejabat dan aparat negara yang benar-benar melaksanakan peran ìbapakî. Lagi, soal hilangnya hak perempuan atas kerja juga menjadi persoalan pokok perempuan saat ini. Banyak kaum perempuan yang kehilangan alat produksinya, seperti ani-ani, canting, alat penenun, dll. Sebaliknya mereka tergiring menjadi alat produksi industri jasa, manufaktur maupun pariwisata. Seks, seksual dan seksualitas kaum perempuan dijadikan komoditi untuk merangsang orang membeli barang-barang produksi yang dikerjakan oleh buruh perempuan.
      Saya melihat persoalan perempuan di zaman Kartini dengan masakini, selama yang berkaitan dengan seksnya, tidak berubah. Pemaksaan terhadap perempuan menjadi budak seks di tengah perkebunan dahulu, kini terulang di tengah industri pariwisata. Pandang­an feodal semasa Kartini kini malah dibangkitkan -- neo-feodalisme. Perempuan di raden ayu kan dan menjadi pelengkap dari kekuasaan suami. Anehnya, ingatan orang zaman sekarang terhadap Kartini tidak lain kecuali busananya. Betapa jauh pemikiran Kartini dilihat dari zaman sekarang, meskipun persoalannya sejak dari zamannya tetap saja masih tidak bergeming  sampai sekarang. Orang memang memuliakan Kartini pada tiap 21 April dalam acara rutin seremoni Hari Kartini, tetapi  cobalah kita hitung dengan jari berapa banyak orang Indonesia yang pernah membaca DDTL? Memuja-muja berulang-ulang dirinya sebagai pendekar, pelopor, perintis emansipasi dan berkat cita-citanya kaum perempuan sekarang bisa sampai ke sekolah tinggi, bukankah itu memberi beban padanya de­ngan penilaian yang melebihi kapasitasnya?
      Mari kita bandingkan dengan pengalaman Suyatin -- setelah menikah menjadi Suyatin S. Kartowiyono, salah seorang pelajar MULO yang aktif di Jong Java bagian perempuan ketika mendapat hadiah buku tersebut. Ia membaca berulang-ulang DDTL seakan dirinya adalah Kartini. Pikiran-pikiran Kartini dalam DDTL, membuka ruang kesadarannya untuk melihat persoalan perempuan. Di dalam dirinya kemudian terbangun solidaritas bahwa ia, Kartini dan perempuan lainnya sama-sama menderita karena dilahirkan sebagai perempuan. Kartini baginya adalah inspirator yang mendorongnya berjuang di medan persoalan perempuan. Kelak Suyatin menjadi salah satu pemrakarsa Kongres Perempuan Indonesia I 1928, pendiri dan ketua umum Perwari Pusat dan pernah memimpin de­monstrasi menentang pernikahan Soekarno untuk yang kedua kali.
      Pada zamannya Kartini adalah inspirator ­-- tetapi sekarang, fakta­nya, Kartini hanyalah puing-puing yang coba dihidupkan sekali setahun. Kartini sudah kehilangan nilai simbolisnya, meski secara resmi masih diangkat menjadi tokoh simbolis. Maka tidak berlebih­an jika ada yang berpendapat bahwa Kartini di akhir abad 20 hanya sebuah lukisan yang dipasang di museum.
      Semoga terbitan ulang karya Pram mengangkat Kartini ke tempat yang pan­tas dia terima daripada sekedar men­jadikannya relikwi ñ menghormati raga dan memuja peninggalan busana putri suci masa lampau ñ, melainkan mengajak orang untuk menggali sejarah ìpengalamanî perempuan yang sering dikalahkan oleh kebesaran pahlawan laki-laki.
    Jakarta, 4 April 1997