Soemarsono Konsisten Menempuh “Jalan Baru” Musso

Soemarsono konsisten menempuh “Jalan Baru” 
DuluSekarangdan bagi Masa Depan

Wilson

Peristiwa masa lalu boleh saja dianggap selesai, tapi penulisan dan interprestasi atas masa lalu ternyata tak pernah mencapai kata final.
      Negara Indonesia di masa Orde Baru telah merekayasa dan menciptakan sejarah atau masa lalu ini sebagai alat legitimasi kekuasaan, bukan menempatkannya sebagai sebuah peristiwa. Kenyataan itu seolah membenarkan pemeo bahwa barangsiapa yang berkuasa di setiap zaman, maka merekalah yang menentukan seperti apa teks sejarah ditulis. Pendeknya, sungguh tepat apa yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, novelis terkemuka Indonesia, bahwa “sejarah yang dikenal bangsa Indonesia adalah perjalanan menuju singgasana alias kekuasaan.”
      Penulisan sejarah untuk tujuan kekuasaan tentu saja tidak mengharuskan si penulis mencari fakta-fakta untuk mengungkap kebenaran, tapi dilakukan dengan memperkosa, mengelabui, dan menyeleksi fakta dan bila perlu, membungkam para pelaku sejarah itu sendiri. Penulisan sejarah kemudian tidak sekadar soal ingatan, fakta dan metodologi, tapi juga sebuah ekspresi dari kekuasaan dominan atas teks, masa lalu dan manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Dan akhirnya, sejarah versi penguasa di Indonesia dapat kita anggap sebagai mitos yang dipropagandakan sebagai ‘sejarah’. Dan ironisnya, para akademisi, seringkali terlibat langsung secara sadar atau untuk ‘cari selamat', dalam proyek-proyek propaganda semacam ini.
      Buku ini bermaksud mengungkap sejarah dari sisi lain, dari sisi yang tak ada dalam sejarah resmi. Buku ini mengungkap pengalam­an politik seorang saksi dan pelaku sejarah bernama Soemarsono, sejak masa revolusi hingga masa ia menjalani hukuman akibat peristiwa Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965.
      Dalam periode revolusi, ada dua peristiwa penting yang melibatkan Soemarsono, yaitu peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan peristiwa Madiun, September 1948.
       Keterangan paling penting dan ditunggu banyak orang dari buku ini adalah penuturan Soemarsono seputar peristiwa Madiun. Di buku ini, ia tidak hanya mengisahkan pengalamannya, tapi juga menanggapi beberapa kekeliruan dalam penulisan dan pemaham­an orang tentang kejadian di sekitar Madiun pada tahun 1948. Tentu saja pandangan dan kesaksiannya sangat subyektif. Sebab ia saksi sekaligus pelaku. Namun, apa yang ia ungkapkan sangat penting dari perspektif ‘korban’ yang dibungkam selama hampir 60 tahun. Penuturannya juga menguji keabsahan sejarah dominan yang menjadi narasi utama di negeri ini hingga sekarang.

Peristiwa Madiun

Tragedi dan misteri yang menyelimuti peristiwa ini tetap mempunyai daya tarik, sehingga apa yang disampaikan Soemarsono berguna untuk melengkapi mozaik penulisan sekitar peristiwa Madiun dan memberi penafsiran baru tentang kejadian terebut.
      Pertanyaan yang mungkin muncul adalah kenapa Soemarsono baru sekarang menuliskan pengalamannya? Bukankah ia memiliki kesempatan luas untuk menuliskan versinya justru ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang tumbuh pesat di akhir tahun 1950-an dan di awal tahun 1960-an?
      Alasan Soemarsono sederhana. Ia merasa tidak punya kecakap­an untuk menulis sendiri apa yang dialaminya itu. Namun, saya menduga alasannya juga terkait dengan keputusan partainya (PKI) yang menginstruksikan dia ‘mengasingkan diri’ secara ‘sukarela’ ke Pematangsiantar dan tidak boleh terlibat dalam urusan partai bahkan tidak boleh mengaku sebagai anggota partai selama hampir 14 tahun. Dengan ‘batasan’ seperti ini, bisa dimaklumi bila Soemarsono tidak bisa melakukan upaya pembelaan atas peristiwa tersebut. Itu artinya sikap resmi PKI atas peristiwa Madiun ditulis tanpa melibatkan pelaku utamanya yang saat itu masih hidup dan segar-bugar.
      Meskipun begitu, beberapa pokok penjelasan utama dan analisis yang ia berikan tidak jauh berbeda dengan penjelasan resmi PKI (dikeluarkan DN Aidit) yang menganggap pemerintahan Hatta yang berkolaborasi dengan Amerika Serikat telah menjalankan operasi “Red Drive Proposal”. Operasi ini diyakini PKI sebagai upaya untuk mengubah arah revolusi Indonesia dari “Jalan Baru Republik Indonesia” menjadi “Jalan Barat Republik Indonesia”.
      Namun, tidak semua versi resmi PKI atas peristiwa Madiun sejalan dengan pengakuan Soemarsono. Tampak jelas ada ke­gundahan dalam dirinya sebagai “seorang murid dan pengagum” Soekarno atas sikap politik Soekarno yang seakan mendukung apa yang dilakukan Hatta. Hal yang paling mengganjal tampaknya berpusat di sekitar pidato Soekarno yang seolah-olah memberi jalan bagi ‘pembasmian’ atas upaya bela diri yang dilakukan oleh kekuatan kiri di Madiun saat itu. Oleh sebab itu, Soemarsono berani menyatakan bahwa Soekarno pada peristiwa tersebut juga mempunyai andil akibat pidatonya yang menurut Soemarsono “tidak seharusnya” dilakukan.
      Menurut Soemarsono, apa yang terjadi di Madiun adalah bentrokan bersenjata antar pasukan yang biasa terjadi saat itu, di masa revolusi. Pada saat itu Brigade 29 melakukan penyerbuan dan penangkapan atas pasukan gelap yang mulai melakukan penculik­an-penculikan di Madiun. Untuk mencegah keresahan tidak meluas seperti kejadian di Solo, Soemarsono lantas menemui Musso dan Amir Sjarifuddin yang kemudian memberi instruksi kepadanya untuk melucuti pasukan gelap yang mulai melakukan penculikan.
      Pada 18 September 1948, pasukan gelap tersebut berhasil dilucuti dan ditahan oleh Brigade 29. Keesokan harinya, 19 September, wakil walikota Madiun mengirim telegram ke pemerintahan pusat dan meminta instruksi lebih lanjut. Namun jawaban dari pusat adalah pidato Soekarno, yang menyatakan telah terjadi “perampasan kekuasaan di Madiun”, “pemerintah Soviet di bawah pimpinan Musso”, dan “coup yang terjadi di Madiun”.
    Soemarsono terkejut mengetahui isi pidato tersebut. Ia meng­anggapnya sebagai sebuah ‘seruan perang’. Pidato Soekarno ini memberi jalan bagi operasi militer dan tampaknya mendapat respon yang agak berlebihan dari Front Demokrasi Rakyat (FDR), sebagai upaya membela diri dengan melakukan upaya-upaya konsolidasi politik dan militer untuk berjaga-jaga dari seruan “marilah kita basmi” yang diucapkan Soekarno. Bahkan Soemarsono mengibaratkan situasi ketika itu seperti hari-hari menjelang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
      Maka dibentuklah badan darurat Front Nasional Daerah Madiun (FNDM) yang terdiri dari lima kabupaten/kota yang bupati/walikotanya diangkat oleh orang-orang PKI untuk mengkoordinasikan persiapan menghadapi serangan ‘pembasmian’. Peristiwa ini disebut Soemarsono sebagai ‘pertukaran’, bukan ‘perebutan kekuasaan’. Kebetulan kelima wilayah tersebut memang di bawah hegemoni kekuatan kiri, bahkan bisa dianggap sebagai basis-basis utama PKI di Jawa Timur saat itu.
      FNDM kemudian mengangkat Soemarsono sebagai gubernur militer. Ia dianggap cakap dan berpengalaman dalam menghadapi serangan militer sebagaimana ia tunjukkan dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Sebagai gubernur militer, Soemarsono memiliki kewenangan menyiapkan siaga militer untuk menghadapi serbuan militer pemerintah yang bergerak setelah pidato berapi-api Soekarno.
     FNDM adalah sebuah badan darurat yang tidak direncanakan sebelumnya sebagai sebuah upaya “clash untuk bela diri” (hlm. 153) atau “tindakan kepepet” (hlm. 161).
      ‘Pertukaran’ pemimpin wilayah di lima kabupaten/kota untuk menghadapi situasi darurat tersebut, menurut Soemarsono, juga tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah ‘kudeta kota’. Pendapat ini masuk akal sebab saat itu PKI mempunyai pengaruh kuat dalam organisasi rakyat, birokrasi pemerintahan dan ketentaraan di wilayah tersebut. Secara de facto, lima kabupaten/kota tersebut telah berada di bawah hegemoni sayap kiri. Jadi memang agak aneh bila FNDM melakukan pengambil-alihan kekuasaan di daerah di mana mereka secara politik sudah berkuasa. Karena itu, pidato Soekarno yang menyatakan terjadi “coup” di Madiun tampaknya bukanlah sesuatu yang nyata di Madiun pada saat itu. Selain itu, Soemarsono berteguh bahwa kudeta bukanlah cara kaum revolusioner merebut kekuasaan. Perebutan kekuasaan harus melalui revolusi yang disiapkan secara matang, dan dalam kasus Madiun juga tidak ada rencana untuk mempersiapkan sebuah revolusi.
      Hal lain yang juga menarik adalah di Madiun tidak pernah ada deklarasi yang menyatakan bahwa wilayah itu membentuk pemerintahan soviet dan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang dinyatakan dalam pidato Soekarno dan Hatta di muka BP KNIP. Jadi jelas bahwa posisi kaum progresif di Madiun saat itu adalah tetap mengakui kekuasaan politik peme­rintahan pusat dan meminta petunjuk untuk menyelesaikan clash di antara kesatuan militer di sana, sebagaimana yang ditulis oleh wakil walikota Madiun dalam suratnya. Hal yang masih jadi misteri adalah mengapa pemerintah pusat tidak menjawab telegram minta petunjuk tersebut, tapi meresponnya dengan pidato khas Soekarno yang menyerukan “tindakan korektif” di bagian awal, lalu diakhiri dengan seruan “marilah kita basmi bersama”.
       Prolog dari peristiwa Madiun sebetulnya dapat dikaitkan dengan krisis politik yang dialami pemerintahan yang masih baru terbentuk, di awal Republik Indonesia (RI) berdiri, yang ditandai dengan koalisi dan oposisi politik yang silih-berganti.
      Perjuangan politik meraih kekuasaan dan mengelola kekuasaan negara merupakan pengalaman politik baru yang harus dilalui di tengah sentimen-sentimen revolusioner yang berkembang luas akibat keresahan sosial dan ketidakpuasan politik yang berkembang, juga kebutuhan republik baru untuk mendapatkan pengakuan dari negara-negara Barat yang menjadi pemenang Perang Dunia II.
     Pemerintahan mana pun yang berkuasa saat itu, termasuk pemerintahan sayap kiri di bawah perdana menteri Amir Sjarifuddin, terjebak dalam dua arus besar dan mencoba untuk melewatinya.
      Pemerintahan Amir mencoba menjejakkan dua kakinya dalam sentimen revolusioner kaum kiri dan perjuangan diplomasi yang avonturir dalam rangka menjaga dukungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masjumi. Tapi akhirnya ia gagal dalam taktik ini. Ia ditinggalkan oleh PNI dan Masjumi setelah Perjanjian Renville. Di lain pihak, ia juga dikritik habis oleh kaum kiri karena menyetujui perjanjian Renville yang menguntungkan Belanda.
      Kejadian-kejadian politik menjelang peristiwa Madiun memang menampilkan beberapa pelaku utama dalam arena politik nasional saat itu. Soemarsono menunjukkan bahwa di arena ini kubu oposisi yang dipimpin oleh FDR dikepung oleh lawan-lawan politiknya seperti Hatta dan pendukung pemerintahannya dari PNI dan Masjumi, kelompok ultra kiri Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang dipimpin oleh Tan Malaka dan kawan-kawan, dan kelompok militer anti-komunis di bawah pengaruh Jenderal Abdul Haris Nasution yang mendukung program rasionalisasi Hatta di angkatan bersenjata. Dan tampaknya pihak militer dengan cerdik mengambil keuntungan paling maksimal dari peristiwa tersebut.
     Untuk memperlemah oposisi kiri itu, Hatta tampaknya berhasil memecah ‘kubu moderat’ di dalam Partai Sosialis dengan cara menyapih kubu Sjahrir dan mendirikan partai sendiri yang dinamai Partai Sosialis Indonesia (PSI). Kedekatan Hatta dan Sjahrir sejak bersekolah di Belanda dan PNI Baru serta kedatangan Musso dari Rusia jelas menjadi faktor penting perpecahan ini. Kelompok kiri lainnya yang dirangkul oleh Hatta adalah kelompok Tan Malaka dan kawan-kawan yang tersangkut peristiwa kudeta 3 juli 1946. Pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1948, Tan Malaka dan pendukungnya dibebaskan dari penjara dan kemudian membentuk GRR, yang secara nyata sangat mengganggu ruang gerak PKI (atau FDR) di beberapa daerah lewat provokasi dan propagandanya. Bahkan peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi di Solo dan sekitarnya menjelang peristiwa Madiun tak lepas dari peran GRR. Dengan cara merangkul ‘faksi kiri’ lainnya untuk mendukung pemerintahannya, Hatta dapat menganggap bahwa oposisi terhadap pemerintahannya bukanlah sikap resmi semua kekuatan kiri saat itu. Bagaimanapun juga legitimasi ‘revolusioner’ tetap dibutuhkan oleh pemerintahan Hatta dalam suasana revolusi. Dan ia memperolehnya dari faksi-faksi kiri di luar FDR dan PKI ini.
      Perseteruan antara FDR dan lawan-lawan politiknya itu mulai meluas ke arena Perang Dingin dengan datangnya Musso dari Rusia, dan keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam konferensi meja bundar serta dukungannya kepada pemerintahan Hatta yang tidak didukung oleh ‘unsur komunis’.
        Soemarsono sendiri menolak secara tegas bahwa peristiwa Madiun adalah instruksi dari Komintern (Kominform atau Uni Soviet) yang sering direpresentasikan melalui kehadiran Musso dan juga ada yang dikaitkan dengan kehadiran mahasiswa Indonesia dalam World Youth Festival di Calcuta, India, pada bulan November 1947. Soemarsono, seperti juga sikap resmi PKI, justru menuduh peme­rintahan Hatta dan AS yang berkomplot membuat ‘plot’ peristiwa Madiun atau melakukan ‘provokasi Madiun’ melalui apa yang ia sebut sebagai ‘pertemuan rahasia Sarangan’ pada 21 Juli 1948.
     Pertemuan ini diyakini oleh Soemarsono (dan sikap resmi PKI) melahirkan apa yang disebut dengan “Red Drive Proposal” atau “Proposal Penyingkiran Kaum Merah”, dan yang dirujuk tampaknya adalah PKI dan FDR.
      Soemarsono bukanlah saksi langsung yang terlibat dalam apa yang disebut ‘pertemuan rahasia Sarangan’. Pihak Indonesia yang hadir dalam pertemuan ini adalah presiden Soekarno, wakil presiden Mohammad Hatta, M. Natsir, Soekiman, Muhammad Roem dan kepala polisi Soekamto, sedangkan dari pihak AS adalah Gerald Hopkins, penasehat politik luar negeri presiden Harry Truman, dan Merle Cochran, delegasi AS dalam Komisi Tiga Negara (KTN). Informasi pertemuan ini didapat Soemarsono dari sumber kedua, yaitu Ismail Hasan, yang katanya mendengar adanya pertemuan ini dari M Natsir. Sementara Natsir sendiri ketika bertemu Soemarsono hanya diam dan manggut-manggut saja ketika ditanya. Soemarsono menganggap manggut-manggut itu sebagai tanda bahwa ia tak membantah soal fakta pertemuan Sarangan. Informasi lain diperoleh Soemarsono dari adik Amir Sjariffudin yang kala itu menjadi notulis di sidang-sidang kabinet.
      Satu-satunya tulisan yang menyatakan pertemuan tersebut terjadi adalah buku pengarang Prancis, Roger Vailland, yang berjudul Boroboudour. Voyage à Bali, Java et autres Iles (Paris, 1951). Apa yang ditulis Vailland ini kemudian dikutip Soe Hok Gie dalam bukunya, Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan. Dari kutipan itu tidak ada penjelasan secara eksplisit tentang “Red Drive Proposal”, tapi memang ada percakapan di mana pihak AS menganjurkan untuk ‘mengeliminasi’ pengaruh kaum komunis baik yang ada di dalam militer maupun di luar militer.

Hatta dan Soekarno

Pendapat Soemarsono tentang posisi Hatta dalam peristiwa Madiun tidak berbeda dengan sikap resmi PKI saat itu. Hatta dianggapnya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas provokasi Madiun. Soemarsono menganggap penyingkiran sayap kiri sudah direncanakan Hatta dan diawali dengan penjatuhan pemerintahan perdana menteri Amir Sjarifuddin akibat mosi tidak percaya dari PNI dan Masjumi.
      Ketika Hatta diangkat menjadi perdana menteri pemerintahan barunya dibentuk dengan dukungan penuh Masjumi dan PNI. Sementara sayap kiri, FDR, ditawari jabatan menteri yang tidak strategis dan FDR menolaknya.
      Posisi politik Hatta makin kuat dengan dukungan faksi tentara Nasution yang menghendaki proses rasionalisasi guna menyapih tentara yang berada di bawah pengaruh politik sayap kiri. Pada titik ini pemerintahan Hatta secara nyata menggantungkan pondasi politik pada kekuatan politik yang posisi ideologinya berseberangan dengan cita-cita “Jalan Baru” FDR yang menghendaki Republik Indonesia merdeka 100% dan akan menapak jalan sosialisme.
      Dengan naiknya Hatta sebagai perdana menteri, konflik yang terjadi dengan oposisi sayap kiri FDR makin meruncing dan memperjelas perbedaan ideologis dalam melihat masa depan Indonesia merdeka.
      Kubu sayap kiri yang berpegang pada dokumen “Jalan Baru” mengajukan masa depan Indonesia di luar garis orbit kapitalisme. Sementara Hatta dan pendukungnya bersikap kolaboratif terhadap AS dan lebih memilih bersikap akomodatif terhadap kapitalisme. Inilah untuk pertama kali perbedaan politik di antara komponen politik pendiri bangsa saling berbenturan, dengan aroma ideologi yang kental di belakangnya.
      Pertarungan politik yang semula demokratis, lalu semakin menajam adalah hal yang biasa saat itu. Tapi pertarungan itu kemudian menjadi berdarah-darah ketika faksi tentara pendukung rasionalisasi, di bawah pengaruh Nasution, ikut terlibat dan bermain dalam arus kompetisi tersebut.
      Dalam kasus Madiun, tentara tidak memilih “tindakan korektif” yang diserukan Soekarno, tapi memanfaatkan seruan Soekarno lainnya yaitu “ marilah kita basmi bersama”. Di tengah kompetisi politik yang terjadi antara Hatta dan oposisi sayap kiri, tentara dengan cerdik mengambil peluang untuk menjalankan taktik di lapangan, dengan tujuan-tujuan militernya sendiri. Politik gaya militer yang memajukan cara kekerasan dalam menghadapi konflik politik bisa jadi tidak terbayangkan oleh Soekarno dan Hatta.
     Dalam penelitiannya tentang Madiun, D.C. Anderson menyebutkan bahwa partai-partai politik bisa saja melakukan aliansi taktis dengan kelompok militer, baik di pusat maupun di regional, namun partai-partai politik tersebut tidak dalam posisi yang menentukan “aturan main” di lapangan.
      Menurut Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin, setelah keberhasilan pemerintahan Hatta mengatasi peristiwa Madiun, secara rahasia, pemerintah AS mengirim agen CIA untuk merekrut perwira muda yang paling pandai dari kesatuan Brigade Mobil (Brimob) dan mengirim mereka ke tempat pelatihan militer di negara adikuasa ini. Perekrutan para perwira muda yang dilatih AS “tidak saja akan menentang kebangkitan kembali komunis tetapi juga siapapun yang mendukung pemimpin komunis. ”
     Tampaknya operasi militer yang keras dan tak pandang bulu dari militer yang mendukung Hatta telah menggiring AS untuk mulai menemukan sekutu strategisnya di tubuh militer Indonesia. Fakta kerja sama AS dengan pihak kepolisian Indonesia pasca peristiwa Madiun ini jadi hal yang menarik bila dikaitkan dengan kehadiran kepala kepolisian Soekamto dalam apa yang disebut sebagai ‘pertemuan rahasia Sarangan’.
      Hatta tampaknya juga tidak dapat mengendalikan operasi militer di Madiun agar diakhiri dengan cara politik. Seperti ditulis oleh D.C. Anderson bahwa “perencanaan secara terperinci atas operasi penumpasan keseluruhan berada di tangan Nasution dan Gatot Subroto”. Ketakberdayaan ‘keputusan politik pusat’ atas pimpinan militer di lapangan tampak dari instruksi Hatta yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan kepada Gatot Subroto, gubernur militer Surakarta, agar menahan para pemimpin yang terkait peristiwa Madiun dan membawanya ke pengadilan. Namun kita tahu, Gatot Subroto melakukan eksekusi atas Amir Sjarifuddin dan kawan-kawan tanpa ada proses pengadilan. Hatta menganggap keputusan itu diambil sendiri oleh Gatot Subroto. Namun, menurut Mavis Rose, penulis buku biografi politik Hatta, “Hatta tampaknya berusaha membersihkan namanya sendiri, karena Gatot pernah menyatakan bahwa ia melakukan eksekusi karena perintah Hatta agar mereka tidak melarikan diri dan dapat kembali berkuasa setelah agresi Belanda kedua.”
     Dengan pondasi pemerintahan yang lebih steril dari sayap kiri, pemerintahan Hatta semakin meyakinkan AS untuk melakukan suatu perundingan pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia dan mengembangkan agenda tersembunyi politik luar negeri AS untuk membendung perluasan pengaruh kaum komunis di Indonesia.
      Dokumen-dokumen komunikasi Cochran dengan pemerintah pusat di Washington menunjukkan dengan jelas komitmen politik pemerintah AS untuk mendukung pemerintahan Hatta bukan hanya dalam kerangka pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia, tapi lebih penting lagi, untuk menjamin “jalannya revolusi Indonesia” tidak menghambat dan bertentangan dengan kepentingan kapitalis­me itu sendiri. Operasi pembasmian di Madiun pada tahun 1948 semakin menunjukkan kepercayaan AS bahwa pemerintahan Hatta telah terbukti anti-komunis.

Dilema Soekarno

Bila kita memperhatikan isi pidato Soekarno pada 19 September 1948, kita akan menemukan dua opsi penyelesaian di situ, yaitu “tindakan korektif” dan “marilah kita basmi bersama”. Dua opsi ini seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam mengatasi kejadian di Madiun. Opsi moderat dalam bentuk “tindakan korektif” menunjukkan bahwa Soekarno masih berharap bahwa solusi politik akan lebih dikedepankan ketimbang cara kekerasan. Namun, kompetisi politik antara Hatta -– yang kini mendapat dukungan dari militer kubu Nasution -– dengan kubu sayap kiri tidak menghasilkan opsi politik yang moderat. Militer tampaknya secara maksimal memanfatkan opsi kedua, “basmi bersama”, sebagai pilihan. Tapi di lapangan, kedua kubu militer sesama pendukung Hatta, yang dipimpin Nasution dan Gatot Subroto, justru melakukan sendiri-sendiri operasi pembersihan mereka dan melanggar seruan “bersama”.
      Pandangan Soemarsono terhadap Hatta tak beda dengan sikap resmi PKI, tapi pandangannya terhadap Soekarno agak lain.
      Soemarsono mengagumi Soekarno dan mengaku sebagai muridnya, “tapi saya tidak fanatik kepada Soekarno”. Soemarsono menyebut “Soekarno ada positifnya, tapi juga ada negatifnya.”
      Menurutnya, Soekarno itu juga manusia yang mempunyai “segi baik-buruknya”, karena itu “dia bisa saja berbuat salah”. Ia menga­takan bahwa Soekarno berpihak pada Hatta untuk mendukung “Red Drive Proposal” karena ingin kemerdekaan Indonesia diakui oleh negara-negara Barat, “meskipun itu harus mengorbankan golongan kiri” karena itu “dalam Peristiwa Madiun, Bung Karno ya terlibat”.
      Soemarsono tampak kecewa terhadap isi pidato Soekarno yang diakhiri dengan kata “mari kita basmi bersama” untuk mengatasi peristiwa Madiun. Dan menurut D.C. Anderson, “Akibat dari pidato presiden atas kelompok FDR-PKI di Madiun benar-benar mematikan”
      Dampak dari Peristiwa Madiun membuat Soemarsono harus ‘mengasingkan diri’ berdasarkan instruksi PKI. Tampaknya pe­ristiwa ini dianggap sebagai ganjalan taktik legal partai yang mulai mendekat kembali Soekarno. Soemarsono atas ‘instruksi partai’ mengasingkan diri ke Pematangsiantar dan Medan selama hampir 14 tahun. Dia tidak hanya diminta ‘mengasingkan diri’ tapi juga diminta tidak berhubungan dengan partai dan tidak boleh mengakui sebagai anggota PKI kecuali muncul keadaan kontra revolusi.
      Namun partai juga tidak konsisten dengan keputusannya. Ketika kekuatan kontra revolusi muncul dalam bentuk pemberontakan PRRI Permesta dan pembentukan Dewan Gajah di Sumatra pada tahun 1957, inisiatif Soemarsono untuk pengorganisasian bersenjata Organisasi Pagar Desa (OPD) mendapat tentangan partai. Pemimpin CC PKI di Jakarta tidak senang dengan apa yang dilakukan Soemarsono. Ia kembali ditegur dan diputuskan tidak boleh berhubungan dengan siapa pun dan menjalani semacam ‘hukuman rumah’ hingga tahun 1963.

Kritik atas Partai

Meskipun 14 tahun diinstruksikan mengasingkan diri ke Pematangsiantar dan tidak boleh mengaku sebagai anggota PKI, Soemarsono tetap melanjutkan perjuangannya di bawah bendera PKI, hingga ia ditangkap pasca Gestok 1965. Ia juga menjadi salah satu dari sedikit orang yang berani melontarkan kritik kepada partai dan ketua partai saat itu, D.N. Aidit.
      Salah satu kritik utamanya adalah personifikasi partai dengan D.N. Aidit. Sehingga terjadi kekaburan antara tindakan Aidit sebagai individu yang menjabat sebagai ketua partai dengan keputusan partai sebagai sebuah organisasi revolusioner yang harus diambil dengan prinsip-prinsip sentralisme demokrasi dan kolektivisme.
      PKI menjelang kejadian Gestok 1965 seolah-olah “partai adalah Aidit dan Aidit adalah partai.” Harus diakui bahwa integrasi Aidit dengan PKI telah memberi pengaruh besar dalam pertumbuhan PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia. Namun integrasi dan personifikasi itu, di luar keberhasilannya yang menakjubkan, mengabaikan faktor bahwa Aidit juga bisa membuat kekeliruan dan bersikap subyektif. Dalam bukunya, Komunisme Ala Aidit, Peter Edman membuktikan bahwa integrasi Aidit dan partai telah mewarnai partai secara signifikan dan menciptakan apa yang ia sebut sebagai “PKI ala Aidit”.
   Dengan kemampuannya sebagai organisator ulung, Aidit mampu menggalang PKI menjadi kekuatan politik signifikan dan disegani di awal tahun 1960-an. Karena itu, masih jadi tanda tanya, mengapa ia mempertaruhkan nasib seluruh gerakan dalam satu “operasi penculikan semalam” di tengah pesatnya perkembangan partai.
      Seperti dikatakan Peter Edman, Aidit “juga bertanggung jawab dalam berbagai tindakan yang ditempuh oleh partai.”
      Soemarsono menolak anggapan bahwa PKI bertanggung jawab sebagai organisasi dalam peristiwa Gestok 1965. Apa yang dilakukan Biro Chusus (BC) dan Aidit tidak berdasarkan keputusan organisasi dan tidak dibicarakan dalam mekanisme resmi partai. Tindakan Aidit dan BC bukan tindakan partai. Soemarsono menga­takan, “Aidit tidak bisa disamakan dengan PKI, karena Aidit itu orang dan PKI itu organisasi”.
      Mempersonifikasikan pemimpin dengan partai, menurut Soemarsono, justru menunjukkan kelemahan partai dalam bidang ideologi dan masih berkembangnya sisa feodalisme, langgam burjuasi dan kultus individu. Dalam kasus Aidit, ia melihat bahwa setelah jadi pemimpin partai, Aidit “senang kultus dan dikultuskan orang”. Akibat pengkultusan tersebut langgam demokrasi di partai tidak berkembang dan kritik otokritik untuk mencegah partai dari kekeliruan dan kesalahan menjadi mandeg. Bahkan di kalangan kader beredar ketakutan bahwa ketika mereka menyampaikan kritik atau berbeda pendapat akan dianggap sebagai membangun faksionalisme. Aidit, menurut pengalaman Soemarsono, juga mulai kurang menghargai kritik dan menganggap kritik sebagai tindakan ‘melawan’. Pada suatu kali ia dimarahi Aidit karena kritiknya. “Kalau kau mau melawan saya, baca dulu buku saya, pelajari dulu, sekolah dulu. Nanti kalau sudah kuasai itu, lawan aku,” ucap Aidit kepadanya.
      Soemarsono juga mempertegas fakta bahwa poin-poin kritik atas PKI dalam bidang organisasi politik dan ideologi seperti yang tertera dalam Oto Kritik Polit Biro CC PKI (OKPB) dibuat oleh Sudisman pasca Gestok 1965 di Indonesia, bukan dibuat di luar negeri seperti isu yang sempat berkembang.
      Beberapa gagasan dalam dokumen otokritik diakui Soemarsono adalah kritik yang pernah disampaikan kepada Aidit tiga bulan sebelum terjadi Gestok, namun Sudisman menyimpulkannya sendiri setelah Gestok terjadi.

Menghadapi Tantangan Zaman Baru

Badai yang mengikuti Gestok 1965, yang menurut Soekarno, disebabkan oleh “keblingeran pimpinan PKI” juga menyapu kehidupan Soemarsono. Ia kembali ditangkap dan dipenjara oleh penguasa Orde Baru. Dari dalam penjara ini ia dapat menemukan betapa ‘rapuhnya’ PKI dengan melihat sikap beberapa pemimpin dan kader yang menyerah pada keadaan dan bahkan membantu ‘musuh’ menyisir kawan-kawannya sendiri. Karena itu, ia tampaknya memberi penekanan kuat pada soal ‘ketahanan ideologi’ dalam sebuah organisasi perjuangan, ketimbang kemegahan anggota dan kebesaran papan nama.
      Dengan pengalamannya yang panjang dalam berbagai zaman dan melewati berbagai situasi krisis yang ekstrem atas gerakan kiri yang ia alami sendiri, Soemarsono menunjukkan ketangguhan dirinya dengan tetap percaya pada perjuangan revolusioner dan sosialisme.
     Dalam menghadapi tantangan zaman baru, Soemarsono tetap konsisten bahwa apa yang diamanatkan oleh dokumen “Jalan Baru” yang dikeluarkan pada tahun 1948 masih relevan untuk meneropong zaman ini. Ia seolah ingin mengatakan bahwa kondisi obyektif bangsa Indonesia 60 tahun lalu di masa FDR dan kondisi sekarang di bawah hegemoni neokolonialisme tidak jauh berbeda. Ia tetap menganggap tuntutan ‘kemerdekaan 100 persen’, menjadi semakin relevan dengan kekinian bangsa Indonesia yang terpuruk dalam hegemoni kapitalisme global dan kehilangan tiga kedaulatan mendasar sebagai sebuah bangsa, yaitu kedaulatan atas politik, kedaulatan atas ekonomi dan kedaulatan atas budaya. Ketiga kedaulatan ini sekarang ini telah digadaikan oleh penguasa sejak masa Soeharto sampai sekarang kepada kepentingan modal internasional. Masa depan Indonesia yang dicita-citakan dalam “Jalan Baru” tampaknya semakin jauh.
      Namun, dengan optimistis ia tetap mengajukan metode untuk membangun kembali perlawanan rakyat untuk merebut kembali tiga kedaulatan tersebut dengan mengandalkan pembangunan kekuatan baru berbasis kepada generasi sekarang. Oleh sebab itu, ia tidak berupaya untuk meromantisasi masa lalu dengan menganjurkan membangun kembali kekuatan PKI. Selain kondisi obyektif yang berubah, tampaknya ia juga melihat banyak problem yang akan muncul bila berupaya merekatkan kembali sobekan-sobekan politik masa lalu yang dihancurkan secara kejam oleh Orde Baru.
      Untuk membangun kembali kekuatan rakyat, ia menganjurkan untuk membangun sebuah pondasi politik baru yang lebih mengutamakan ikatan ideologis ketimbang ikatan organisatoris dengan metode “Dari Titik Menjadi Bidang”. Dengan metode ini, ia ­ingin menunjukkan bahwa perkembangan kualitatif dan kuantitatif sebuah gerakan harus dibangun dari individu-individu yang sadar ideologis. Individu-individu yang sadar ideologis ini lalu ditempa melalui keterlibatan langsung dalam perjuangan konkret rakyat di sektor buruh, tani, kaum miskin, pemuda, mahasiswa dan sektor tertindas lainnya. Pengaruh dan kepemimpinan ideologis kaum progresif dan pengalaman perlawanan bersama sektor-sektor rakyat tertindas ini nantinya akan menuju pada peningkatan kualitas alat perjuangan dalam upaya pembentukan sebuah partai untuk memimpin perjuangan massa merebut tiga kedaulatan itu.

Penutup

Membongkar sebuah peristiwa di masa lalu tentu saja bukan untuk mengungkit-ungkit luka lama atau mewariskan konflik masa lalu ke dalam konteks masa kini, tapi justru menjadi semacam historical healing (penyembuhan historis) atas luka-luka dan konflik di masa lalu agar dapat melangkah ke masa depan secara lebih jelas dan lapang.
      Dalam proses penyembuhan atas masa lalu ini, kadang-kadang prosesnya memang mengaduk-aduk emosi, empati dan memaksa kita harus menerima fakta-fakta baru yang selama ini ‘tidak bersuara’. Dalam perspektif ini pula saya menganggap memoar Soemarsono berguna bagi generasi masa kini untuk mengetahui ‘apa yang sebenarnya’ tersembunyi atau disembunyikan dari masa lalu negerinya.
      Buku Soemarsono ini juga penting bagi generasi sekarang untuk belajar tentang keteguhan ideologi seorang revolusioner dalam melalui masa-masa sulit yang paling gelap. Hampir 60 tahun se­telah peristiwa Madiun, Soemarsono tetap tegar menjalani hidup dan tetap berlayar dan optimis dengan masa depan.
      Di tengah membanjirnya biografi politik para elit mantan pejabat sipil dan militer yang tampak seperti pahlawan kesiangan, maka buku ini menjadi penting untuk memberi inspirasi tentang keteguh­an dan pengorbanan bagi sebuah perjuangan dari sosok yang hampir dilupakan oleh banyak orang dan penguasa di negerinya sendiri. Buku ini akan mengingatkan kita bahwa para pahlawan sejati yang membangun republik ini dengan keringat, darah dan pengorbanan telah diperlakukan tidak adil oleh sejarah dominan.
      Bagi para aktivis gerakan rakyat, sosok seperti Soemarsono patut menjadi tempat bercermin. Akankah setelah berusia 80 tahun kita masih memiliki semangat yang sama seperti sekarang ini? Di tengah avonturisme dan kelelahan para aktivis karena kemandegan gerakan rakyat dan fragmentasi yang dialaminya, kepada Soemarsono kita patut berkaca dan mengambil ilham yang tak pernah kering. Seorang revolusioner sejati tidak akan mundur untuk memperjuangkan pembebasan rakyat, selama apa pun perjuangan itu harus ditempuh.

         Salemba Tengah, 28 Oktober 2008