Goenawan Mohamad pengantar anak D.N. Aidit

Pengantar Roman Biografis Anak D.N. Aidit

‘…bila kenangan tentang hari-hari sedih dan berdarah luruh di tengah suasana merdeka, damai dan sejahtera, ketika sakit hati telah lenyap dan rasa bangga akan sebuah negeri yang bebas dirasakan semua orang Spanyol, bicaralah kepada anak-anak kalian’

                        -- Dolores Ibarruri, di Barcelona, 1 November 1938

50 tahun setelah Kristallnacht, malam menakutkan ketika orang-orang ‘pribumi’ Jerman menyerbu dan menghancurkan apa saja milik orang Yahudi – dengan kata lain, awal datangnya Holocaust, pembantaian besar-besaran yang diorkestrasi para pemimpin Nazi di akhir tahun 1930-an --  Elie Wiesel berbicara di depan Reichstag di Berlin. ‘Penyelamatan’, kata pengarang La Nuit yang berkisah pengalamannya disiksa dalam kamp konsentrasi di Ausschwtz dan Buchenwald, ‘sebagaimana halnya penebusan, hanya didapat dalam mengenangkan’.
      Hari itu 10 November  1987.  Kemudian kita tahu bahwa Wiesel benar, tapi juga bisa tidak benar. Kenang-kenangan atau memori -- dalam hal ini tentang aniaya dan sengsara, tentang kekejian dan korbannya -- dapat membuat manusia belajar untuk membebaskan diri dari kesewenang-wenangan dan kebengisan, dan dengan demikian menemukan ‘penyelamatan’.  Tapi juga tidak.  Di tahun 1990-an pecah perang saudara yang kejam di Yugoslavia. Tiap kekejaman dilakukan atas nama ingatan tentang kekejaman sebelumnya: dendam dan kebencian seakan-akan membentuk lanskap sejarah di negeri itu.  Melihat itu, terutama menyaksikan apa yang terjadi di Bosnia, Wiesel mengatakan, dalam sebuah interview:  ‘di negeri yang teraniaya itu, memori-lah yang jadi masalah’.
      Kita tahu ingatan adalah ibarat kain ikat: ia tersusun dan mendapatkan bentuknya dari serpihan dan untaian beribu-ribu hal yang terjadi di masa lalu, tapi justru untuk mencapai bentuk itu, ada hal-hal yang tak dipakai, tak dijalin, tak dipasang.  Siapa manusia yang ingat semuanya? Seleksi mau tak mau terjadi. Ingatan sebab itu mengandung lupa.  Dan seperti halnya kain ikat, ia bisa dipakai untuk apa saja: melindungi orang lain dari angin keras, mempercantik diri sendiri sebelum pesta, membalut luka, atau diperjual-belikan.
      Maka tiap buku kenang-kenangan hidup -– seperti halnya tiap buku – pada akhirnya tak cuma ditentukan artinya oleh si penulis, tapi juga si pembaca dan orang lain yang hidup di tempat lain, di saat lain. Tiap buku kenang-kenangan bukanlah sebuah penemuan kembali masa silam, tapi penyusunan diri masa kini. Manusia adalah pelengkap pelaku memorinya, bukan sekedar pelengkap penderita.

D.N. Aidit & Bung Karno

**
Saya perlu mengutip lebih dulu hal-hal di atas, sebab buku ini adalah satu kesaksian tentang bagian sejarah yang bengis dari abad ke-20: apa yang terjadi di Indonesia di tahun 1965-1966. 
      Ia berbeda, tapi ia mau tak mau mengingatkan yang terjadi di Jerman tahun 1930-an, yang terjadi di Kambodia tahun 1970-an, yang terjadi di negeri yang dulu bernama Yugoslavia tahun 1990-an, di Rwanda, di  Chile, di Argentina, dan sederat nama tempat lagi -- yang menyebabkan kita ingat bahwa Penyair Akhmatova, yang hidup di masa Stalin yang mencengkeram, pernah bertanya: ‘Kenapa lebih buruk abad ini dari semuanya?’
      Ibarruri, dengan menulis kenang-kenangan ini,  mungkin tak menyadari bahwa ia juga saksi utama tentang yang buruk dari abad ini.  Ia –- dengan rasa humornya yang enak, dengan sikapnya yang hangat dan terbuka, dengan rendah-hatinya yang menyentuh -- memang tak hendak menganggap diri dan karyanya begitu penting.  Seperti tertulis dalam salah satu halaman buku ini, ia cemas kalau jadi besar kepala, cemas akan ego yang menggelembung, juga dari dirinya sendiri. Tapi apa boleh buat. Sejarah telah ‘mengadopsinya’:  ia putri D.N. Aidit,  ketua sebuah partai komunis yang terbesar di dunia setelah Partai Komunis Tiongkok dan Partai Komunis Uni Soviet.   
      PKI bukan saja salah satu partai komunis tertua di Asia, tapi juga sebuah partai yang –- berkat orang seperti Aidit dan Njoto, yang memimpinnya sejak mereka belum berumur 30 tahun –- paling mengesankan dalam kemampuannya menggabungkan semangat perjuangan dengan kerapian organisasi.  Di tahun 1960-an, PKI bukan saja mempunyai anggota dan simpatisan dalam jumlah besar, tapi juga akademi di pelbagai bidang, sebuah koran partai, Harian Rakjat, yang rapi keredaksiannya, sebuah lembaga penerbitan yang aktif,  dan sederet kelengkapan lain yang menunjukkan dirinya sebagai partai modern.  
      Melihat itu semua, jelas: ayah Ibarruri adalah tokoh sejarah yang penting -– meskipun belum diakui secara resmi.  Posisi itu yang menyebabkan si putri sulung (yang diberi nama seperti pendekar legendaris Partai Komunis Spanyol, Dolores Ibarruri), mau tak mau jadi salah satu saksi utama riwayat politik Indonesia.
      Di antara catatannya dalam buku ini terkadang terselip anekdot yang menunjukkan bagaimana sikap PKI dan pimpinannya waktu itu -- misalnya terhadap kekejaman Stalin (Aidit tak mau ikut mengutuknya); terhadap garis Moskow yang memilih ‘ko-eksistensi secara damai’ dengan Amerika Serikat, (PKI secara ‘naluriah’ lebih dekat ke garis Beijing), terhadap kerjasama mendukung Bung Karno bersama partai-partai lain (ada kritik yang tajam  terhadap garis politik ini).  
      Memang, Ibarruri terbatas informasinya tentang Partai dan kehidupan ‘dinas’ ayahnya.  Sebagian besar hidupnya, juga masa remajanya, dijalaninya di luar negeri. Dan bila buku ini juga semacam pembelaan terhadap sang ayah dan PKI -- yang sejak masa Orde Baru telah digambarkan demikian buruknya -- tak berarti ia berpretensi jauh, misalnya membahas apa yang bisa dilihat sebagai cacat dasar PKI waktu itu: ketidak-mampuannya memecahkan persoalan ideologis di sekitar perubahan dari tahap ‘demokratis’ ke tahap ‘sosialis’ dalam Revolusi Indonesia, yang mungkin menyebabkan ia dengan mudah dipukul hancur di tahun 1966 dan sejak itu tak bisa bangkit lagi.  
      Tapi dalam keterbatasannya itu, pembelaan Iba terhadap ayah dan ibunya yang paling efektif justru dalam sikap hidupnya: ceria, tanpa kepahitan, tanpa dendam, dan tak habis-habisnya idealitis, yang semuanya merupakan sebuah komplimen bagi  orang tuanya, sebab menunjukkan bahwa dalam keadaan luar biasa dari keluarga ini tumbuh anak-anak yang cerdas, berkepribadian kuat, dan berpikir untuk hal-hal yang jauh.
     Tapi Ibarruri tak hanya seorang putri Aidit.  Ia salah satu dari sedikit perempuan Indonesia yang  hampir lengkap keragaman pengalaman hidupnya:  lahir dari sebuah keluarga aktivis politik yang penuh risiko,  tumbuh di pengasingan, belajar di Uni Soviet,  bekerja sebagai dokter di RRC dan perbatasan Birma, menyamar (seperti Pandawa dalam pembuangan, katanya) sebagai buruh di Macao, mempercayai komunisme, beralih memeluk Budhisme, dan selama itu mendengar, menyaksikan, bagaimana persahabatan, pengkhianatan, ketabahan, kengerian, dan kegembiraan bisa terjadi.
      Hal-hal itulah  yang mendorong saya, yang jauh dari posisi politik Aidit, dengan senang hati menuliskan pengantar ini -- bukan saja karena saya kebetulan kenal Iba,  Iwan dan Ilham. Saya merasa, dari buku semacam ini, yang terbit dengan bebas, dan bisa dibicarakan dengan leluasa,  akan ada tanda yang baik bahwa Indonesia  bisa dilahirkan kembali, juga setelah dan seraya membawa (untuk memakai kata-kata Chairil Anwar), ‘luka dan bisa’, ‘pedih dan perih’.  
      Indonesia, yang bagi Iba, bagi Iwan, bagi generasi mereka dan generasi saya, juga bagi berjuta-juta orang, juga yang hidup di negeri jauh, adalah tanah air yang tak bisa dilepaskan.** *


Jakarta, 10 Nopember 2005.

Goenawan Mohamad.